0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
56 tayangan18 halaman
Surat kabar pertama di Indonesia muncul pada abad ke-17 di Batavia dengan judul Kort Bericht Eropa. Sejak itu, terbit berbagai publikasi berita secara teratur maupun tidak teratur. Pers nasional mulai berkembang pada abad ke-20 meski terus mengalami kontrol pemerintah hingga reformasi tahun 1998 yang membebaskan pers.
Surat kabar pertama di Indonesia muncul pada abad ke-17 di Batavia dengan judul Kort Bericht Eropa. Sejak itu, terbit berbagai publikasi berita secara teratur maupun tidak teratur. Pers nasional mulai berkembang pada abad ke-20 meski terus mengalami kontrol pemerintah hingga reformasi tahun 1998 yang membebaskan pers.
Surat kabar pertama di Indonesia muncul pada abad ke-17 di Batavia dengan judul Kort Bericht Eropa. Sejak itu, terbit berbagai publikasi berita secara teratur maupun tidak teratur. Pers nasional mulai berkembang pada abad ke-20 meski terus mengalami kontrol pemerintah hingga reformasi tahun 1998 yang membebaskan pers.
Sejarah Pers Nasional Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, Oud Batavia (G. Kolf Batavia 1923) Surat kabar pertama di Indonesia sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa) Lanjutan.. Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676 Lanjutan Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Lanjutan Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita. Sebagian orang mempertanyakan kriteria "pers Indonesia," atau kalau pun mau aman, lebih tepat disebut "pers di Indonesia." Ini bisa dimulai oleh surat kabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, di kota Batavia, Pulau Jawa. Kemungkinan besar Bataviasche Nouvelles adalah suratkabar pertama yang terbit di Pulau Jawa zaman Hindia Belanda. Lanjutan.. Beberapa orang lagi, terutama novelis Pramoedya Ananta Toer, berpendapat "pers Indonesia" dimulai oleh Medan Prijaji, terbitan Bandung pada Januari 1907 Lanjutan Ada juga yang berpendapat "pers Indonesia" mulai sejak Republik Indonesia ada. Artinya, "pers Indonesia" ini ya termasuk semua yang terbit, atau sudah terbit, pada Agustus 1945, Lanjutan Sebelum ada suratkabar, hadir lebih dulu newsletters. Koran pertama dikembangkan secara tidak teratur di Belanda, Inggris dan Prancis (1618-1648). Lembaran berita ini disebut corantos, yang secara bertahap digantikan laporan harian atau diurnos. Pada saat itu, tidak ada yang namanya kebebasan pers. Pencetakan koran dan material lainnya harus menggunakan ijin dan yang mengeluarkannya dapat mengontrol isi.
Lanjutan Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya Kedudukan Pers Dalam Masjarakat (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya. UU dan Hukum Pers pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.
Pers kemerdekaan.. Meski telah dihapus dengan UU No 23/1954, pers Indonesia tidak berarti terbebas dari pemasungan. Seperti dikatakan Presiden saat itu, Soekarno, saat melantik Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Kantor Berita Antara 15 Oktober 1952. Saya tidak menginginkan siaran berita yang obyektif, tetapi jelas memihak pada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi. Karena itu, pers yang bermusuhan dengan revolusi harus dilenyapkan Pers Orba Pers otoriter juga dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Pembredelan, sensor dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (pasal 4 dan 8 ayat 2), dengan Permenpen 01/1984 pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), melestarikan kekangan terhadap pers. Sebab dengan definisi pers yang bebas dan bertanggung jawab, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan. Lanjutan Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan. Pers reformasi Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya. Yaitu, ketika Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mencabut pemberlakuan SIUPP. Menurut Yunus, kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara. Ini berarti bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari konsep demokrasi bahkan merupakan salah satu unsur fundamental. Seperti pada tahun 1952, telah diambil tindakan bredel terhadap dua suratkabar, Merdeka dan Berita Indonesia, dan 12 tuduhan lainnya terhadap pers. Tuduhan pelanggaran dengan jumlah yang sama juga terjadi di tahun 1953. Pada tahun 1954 hanya terjadi 8 tindakan kemudian meningkat lagi pada tahun 1955 dengan 13 tindakan dan 32 tindakan pada tahun 1956. Terparah, ketika pada tanggal 14 Maret 1957 saat Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB-Staat van Orlog en Beleg). Pada masa itu, terjadi 125 tindakan terhadap pers, termasuk di dalamnya penutupan tiga kantor berita, pembredelan 10 suratkabar dan penahanan tujuh wartawan.