Makalah Sejarah Pers Nasional Suyanto, S.Sos, M.Sc,
Sejarah Pers Nasional Negara Indonesia Era Reformasi
Bidang Studi Sejarah Pers Nasional
Novia Faradila 0910120017
Program Studi Jurnalistik Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
2 Daftar Gambar Kata Pengantar
lhamdullillahhirabbilalamin, penulis ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat serta hidayahNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula penulis kirimkan shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi sumber inspirasi, sang motivator yang membawa umat manusia dari alam jahiliah menuju alam yang berkeadaban. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi cikal bakal gerakan reformasi di Indonesia yang juga menjadi pelopor terbentuknya pers reformasi yang keadaannya jauh berbeda dengan kondisi pers sebelumnya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Suyanto, S.Sos, M.Sc, selaku dosen mata kuliah Sejarah Pers Nasional yang telah banyak memberikan masukan serta pengarahan kepada penulis dan tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan makalah ini. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan baik dalam bentuk penyusunan atau dalam pengetikkan, mungkin disebabkan kekurangan ilmu pengetahuan dari literatur yang penulis gunakan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Penulis mengharapkan dengan adanya makalah ini, pembaca dapat mengetahui lebih jauh tentang sejarah pers Indonesia pada era reformasi, sehingga dapat menambah wawasan pembaca dan bermanfaat dalam lingkungan kampus maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Pekanbaru, Maret 2011
Penulis A
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
3 Daftar Gambar Daftar Isi
Kata Pengantar ....................................................................................................................... 2 Daftar Isi ................................................................................................................................... 3 Daftar Gambar ......................................................................................................................... 4 BAB I ......................................................................................................................................... 5 1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 5 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5 1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 6 1.4 Metode Penulisan ...................................................................................................... 6 1.5 Kegunaan Penulisan .................................................................................................. 6 1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................................... 6
BAB II ....................................................................................................................................... 7 2.1 Periode 1997: Pengaruh Krisis Moneter (Krismon) .............................................. 7 2.2 Periode 1998: Reformasi dan Kebebasan Pers ....................................................... 9 2.3 Perkembangan Pers Reformasi.............................................................................. 11 2.4 Pasca Soeharto: Pers Bebas Tanpa Etika ............................................................. 15 2.5 Pers Era Reformasi dan Ancaman Massa ............................................................ 20
BAB III .................................................................................................................................... 23 3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 23 3.2 Saran ......................................................................................................................... 23 Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 25
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
4 Daftar Gambar Daftar Gambar
Gambar 1 Demo Protest pemberedelan Tempo Editor Detik Dihajar PHH Wiranto ...... 8 Gambar 2 Peristiwa 27 Juli 1996 ............................................................................................ 8 Gambar 3 SIUPP Nomor 40 tahun 1999 ............................................................................. 10 Gambar 4 Junus Josfiah ........................................................................................................ 16 Gambar 5 ITJI ....................................................................................................................... 17 Gambar 6 Koran Merdeka ................................................................................................... 19
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
5 BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan sebagaimana yang tampak pada perubahan yang hampir menyeluruh atas Undang-Undang Dasar 1945. Peubahan Undang-Undang ini sebenarnya terjadi demikian cepat tanpa dimulai oleh sebuah perencanaan panjang. Hal ini terjadi karena didorong oleh tuntutan perubahan- perubahan yang sangat kuat pada awal reformasi antara lain tuntutan kehidupan negara dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, penegakan hukum yang lebih baik, dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan berbagai perubahan lainnya. Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru-nya juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Era reformasi ditandai dengan terbukanya kebebasan informasi. Dalam makalah ini, penulis ingin mengetahui tentang peristiwa krisis moneter yang menjadi salah satu cikal bakal gerakan reformasi di Indonesia. selain itu penulis ingin mengetahui tentang bagaimana pers di zaman reformasi. Bertolak dari halhal di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul Sejarah Pers Indonesia pada Era Reformasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca. 1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang, maka rumusan masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah keadaan pada periode 1997 akibat pengaruh krisis moneter (krismon)? 2. Bagaimanakah keadaan pada periode 1998: reformasi dan kebebasan pers? 3. Bagaimanakah perkembangan pers reformasi?
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
6 BAB I Pendahuluan 4. Bagaimanakah keadaan pers pasca Soeharto? 5. Mengapa pers era reformasi mendapat banyak ancaman dari massa?
1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan periode 1997: pengaruh krisis moneter (krismon) 2. Mendeskripsikan periode 1998: reformasi dan kebebasan pers 3. Mendeskripsikan perkembangan pers reformasi 4. Mendeskripsikan pers pasca Soeharto dimana pers begitu bebas tanpa tika 5. Mendeskripsikan pers era reformasi dan ancaman massa
1.4 Metode Penulisan Dari hasil penelitian datadata di atas, Proses penelitian yang dilakuakan dalam pembuatan makalah ini menggunakan metode: 1. Kepustakaan, mencari bahan kajian dari berbagai literatur mengenai masalah yang dibahas; 2. Internet, mencari bahan kajian pada website yang bersangkutan mengenai masalah yang dibahas. 1.5 Kegunaan Penulisan Hasil karya tulis ini diharapkan dapat beguna bagi penulis sendiri, kampus, serta bagi masyarakat pembaca. 1.6 Sistematika Penulisan Makalah ini tersusun dalam 3 (tiga) Bab, yaitu: Bab I memuat Pendahuluan yang berisi, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II memuat uraian tentang hasil penelitian. Bab III memuat kesimpulan dan saran.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
7 BAB 2 Pembahasan BAB II PEMBAHASAN
2.1 Periode 1997: Pengaruh Krisis Moneter (Krismon) Kejadian krisis moneter melanda ekonomi Indone sia pada bulan juli 1997. Demikian pula industri pers tidak terlepas dari dampak moneter tersebut. Akan tetapi, bagi industri pers ada dampak positif maupun negatifnya. Salah satu dampak negatif adalah ancaman terhadap stabilitas ekonomi pers, khususnya hargakertas koran yang sangat tinggi. Wartawan dan karyawan-karyawan lain yang dipekerjakan oleh perusahaan pers juga mengalami kesulitan, misalnya pemotongan gaji atau diberhentikan. Sebagai tanggapan atas krisis moneter tersebut, kebanyakan surat kabar mengurangi jumlah halaman, misalnya Jawa Pos mengurangi jumlah halamannya dari 28 menjadi 16 halaman serta memperkecil ukurannya dari sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Seruluh surat kabar yang terbit di Surabaya, baik yang kecil maupun yang beroplah besar, mengurangi jumlah halamannya dan beberapa surat kabarjuga mengurangi masa terbitnya. Misalnya surat kabar Karya Darma yang sebelum krisis moneter terbit enam edisi seminggu, dikurangi hanya terbit lima edisi seminggu. Namun, pengaruh negatif tersebut berkurang dengan suasana demokratis dan tuntutan berita serta informasi. Dengan kejadian krisis moneter, industri pers di Indonesia tidak kehilangan mata pencariannya, yaitu peristiwa dan berita. Hantaman Krisis: Pers Menggeliat Pers Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Tanggal 21 Juni merupakan tanggal bersejarah bagi pers Indonesia. Pada tanggal itu, tiga media massa cetak ibu kota dibredel sekaligus. Yang menjadi korban adalah TEMPO, Detik, dan Editor. Dan ketiga media itu seperti menambah daftar korban pembredelan selama Orde Baru. Tercatat, sejak 1968, sudah lebih dari 25 media massa dicabut Surat Ijin Terbit (SIT) atau Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya tanpa melalui proses pengadilan seperti disyaratkan undang-undang pokok pers. Dan selama hampir 30 tahun itu, baru Majalah TEMPO yang mengadukan nasibnya ke pengadilan. Di tingkat pertama dan kedua TEMPO
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
8 BAB 2 Pembahasan menang, tapi Mahkamah Agung mengalahkan TEMPO -- dengan pertimbangan hukum yang sering ditulis pakar hukum sebagai salah satu yang "terburuk" dalam sejarah MA.
Gambar 1 Demo Protest pemberedelan Tempo Editor Detik Dihajar PHH Wiranto
Selain itu Pers Indonesia semakin kehilangan nyali khususnya periode setelah terjadi huru- hara Peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997. Pers mainstream cuma berharap agar tetap selamat di hadapan kekuasaan yang gampang marah, akibat konfigurasi politik yang bergeser, sambil mengais keuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan. Pers mainstream yang mati suri selama tiga tahun (1994-1997), mulai menggeliat bangun pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melanda Indonesia pada akhir 1997 mempengaruhi kinerja pers.
Gambar 2 Peristiwa 27 Juli 1996
Banyak pers yang terancam bangkrut akibat nilai rupiah yang terjun bebas, mengakibatkan ongkos produksi harga kertas dan tinta mengangkasa. Manajemen penerbitan pers menerapkan penghematan total: jumlah halaman koran dikurangi, gaji wartawan dipangkas sampai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi wartawan. Dalam kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakin ditekan.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
9 BAB 2 Pembahasan Ramainya aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yang kemudian menjadi berita di berbagai media, memicu tuduhan pemerintah bahwa Pers Indonesia tidak proporsional dalam memberikan gambaran sesungguhnya tentang situasi akhir-akhir ini. Intimidasi terhadap pers pada awal 1998 langsung disuarakan oleh Presiden Soeharto.
Bulan Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebab kepanikan masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan kebutuhan pokok (panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganan nota kesepakatan dengan International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduh pers Indonesia telah memanas- manasi situasi berkaitan dengan krisis moneter yang sedang terjadi dan menyebabkan rupiah semakin turun. Pernyataan itu ditegaskan lagi dalam sambutan pidato pertanggungjawaban presiden di depan Sidang Umum MPR, Maret 1998. Berbagai tekanan kepada pers itu tidak berujung pada pembredelan, mengingat pemerintahan Soeharto mulai goyah legitimasinya.
Namun rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengan kasus sampul Soeharto sebagai Raja Sekop di majalah D&R, awal Maret 1998. Menteri Penerangan Hartono bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karena melakukan penghinaan terhadap kepala negara, melecehkan konstitusi dan menurunkan martabat bangsa. Namun sebelum pengadilan berlangsung, D&R sudah terlebih dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin redaksi D&R selama dua tahun. Kasus D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada penyelesaiannya.
2.2 Periode 1998: Reformasi dan Kebebasan Pers Gerakan reformasi yang menyebabkan jatuhnya Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru-nya juga memberikan semangat kebangkitan kepada pers di Indonesia. Seperti ungkapan salah satu wartawan di Malang, reformasi dan kebebasan pers digambarkan seperti sebuah pesta. Era reformasi ditandai dengan terbukanya kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998 proses perolehan SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet B.J. Habibie, dikurangi menjadi tiga tahap. Di samping itu pada bulan September 1999, pemerintahan B.J. Habibie mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
10 BAB 2 Pembahasan Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1967 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 1982 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1966, yang diakui sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Gambar 3 SIUPP Nomor 40 tahun 1999
Pengakuan ketidaksesuaian dalam perundang-undangan Republik Indonesia tersebut merupakan sejenis kemenangan untuk pers Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, antara lain menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling hakiki. Pasal 2 menyebutkan kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang bedasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang pers tersebut juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan dewan pers. Mudahnya mendapatkan SIUPP, hampir 1000 SIUPP yang baru telah disetujui Menteri Informasi dalam jangka waktu dari bulan Juni 1998 sampai Desember 2000. Lagi pula, angka tersebut tidak termasuk sekitar 250 SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi. Sebagaian besar dari meledaknya terbitan itu merupakan tabloid mingguan yang berorientasi
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
11 BAB 2 Pembahasan politik yang dimiliki oleh konglomerat media, misalnya Bangkit (Kompas Gramedia Grup) dan Oposisi (Jawa Pos Grup). Dengan berkembangnya terbitan tersebut, tidak perlu lagi mengartikan ungkapan yang berbunyi atau read between the lines seperti ketika Orde Baru. Namun, sekarang yang diperlukan adalah sikap skeptis dalam memperoleh informasi berita sehingga media dapat menghasilkan berita yang dipercaya, bukan hanya sekeda bersifat sensasional saja. Tahun ketiga sejak jatuhnya Soeharto dan pergantian rezimnya, muncul kecenderungan baru dalam pers Indonesia, yaitu lokalisasi. Proses itu melibatkan banyak terbitan yang muncul di daerah-daerah untuk melayani informasi warga daerah ini. berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut, yakni: 1. Tahun 1945-an, pers Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan. 2. Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi periode pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya. 3. Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periodepers komersial dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi. 4. Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisi. 5. Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan B.J.Habibie yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Seokarnoputri. 2.3 Perkembangan Pers Reformasi Berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dengan pembebasan pers. Adanya gejala pembaharuan politik hukum kebebasan pers pada masa reformasi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gejala awal kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945 yang berlaku UUD Sementara 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, adanya
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
12 BAB 2 Pembahasan kesamaan semangat mereformasi hukum tentang kebebasan pers. Padaawal transisi suatu konfigurasi politik di Indonesia, kesamaan tersebut terletak pada: 1
1. Keinginan untuk menghapus dan menggantikan segala produk pers yang represif ke arah produk yang responsif 2. Mengelu-elukan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi 3. Sistem pers yang berlaku cenderung liberal 4. Sistem pers yang berlaku cenderung demokratis Dalam sistem politik yang relatif terbuka pada masa reformasi, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi kebebasan pers jugasering kali terekploitasi oleh sebagain industri mediaa untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan dungsinya sebagai instrumen pendidikan masyarakat. Dengan bergulirnya reformasi tahun 1998, pers Indonesia mengalami peubahan luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru baik cetak maupun elektronik, dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. bentuk dari perubahan tentang pers Indonesia pada masa reformasi dengan dikeluarkannya produk hukum pers yang lebih responsif, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999, adapun yang melatar belakangi undang-undang ini yaitu: 2
1. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan unsur penting dalam kehidupan demokrasi sesuai dengan amanat pasal 28 UUD 1945 2. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan dari kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan merupakan hak asasi manusia. 3. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan. 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP harus dicabut karena menghambat kemerdekaan pers. Ada beberapa persamaan antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1966 Ketentuan-
1 Lisa Fajriati, Peranan Pers Terhadap Demokratisasi di Indonesia Tahun 1999-2007, (skripsi S1 Ilmu Pemerintahan FISIP UR 2010), hlm 37. 2 Ibid,. hlm 38
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
13 BAB 2 Pembahasan Ketentuan Pokok Pers. Kedua undnag-undang tersebut lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Namun, produk hukum era reformasi ini memberikan kemerdekaan pers tanpa syarat yang harus dipenuhi seperti masa Orde Baru. Sehingga, setiap warga negara bebas menerbitkan pers tanpa hambatan apapun. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers merupakan pendorong kebebasan pers di Indonesia, hal itu dikarenakan undang- undang ini menghapus semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada masa Orde Baru, seperti: 3
1. Pasal 9 ayat 2 UU No. 40 tahun 1999 : meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers 2. Pasal 4 ayat 2 No. 40 tahun 1999 : menghilangkan ketentuan sensor dan pemberedelan pers 3. Pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 : melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum podana dua tahun penjara atau denda Rp. 500.000 juta,- bagi yang menghambat kemerdekaan pers. Selain menghapus berbagai kendala kebebasan pers tersebut, UU No. 40 tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut: 4
1. Pasal 2 UU No. 40 tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. 2. Pasal 4 ayat1 UU No. 40 tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa. Dengan adanya perubahan politik sejak runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, telah merubah pola pemberitaan media massa Indonesia. secara mendasar, media massa baik cetak maupun elektronik mengalami sedikitnya tiga perubahan, yakni: 5
3 Ibid,. hlm. 39 4 Ibid,.hlm 40 5 Ibid,.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
14 BAB 2 Pembahasan 1. Terjadi pelompatan kekuasaan media dari hegemoni negara menjadi subjek yang memperkuat perubahan sosio-ekonomi dan kultur yang sedang terjadi. Headline koran, tabloid, dan majalah mengcover informasi dari pemerintahan sangat terbatas. Kecuali statemen pejabat negara dalam konotasi kontroversial atau disengaja dikontroversialkan dengan pihak lain yang berseberangan dengan pemerintah. Sikap krtits semacam ini dilakukan terhadap presiden hingga tokoh idola masyarakat.
2. Media massa baik cetak maupun elektronik sacara cepat berubah menjadi kekuatan politik penting di era reformasi. Media massa menjadi preasure group yang efektif untuk membatasi kekuasaan yang absolut, meyerang kekuatan status quo, dan mengembangkan kekuatan reformasi.
3. Media massa saat itu ada kecenderungan kurang terkontrol. Ada kesejajaran psikologis dengan masyarakat dan tokoh reformasi yang emosional dalam memahami keadaan, refleksi psikologis masyarakat itu menyebar ke wajah pers Indonesia. Jatuhnya Soeharto, Mei 1998, segera memberi ruang terbuka bagi sesak nafas yang diderita Pers Indonesia hampir selama tiga dasawarsa. Sesaat kemudian, serbuan demam kebebasan mewabah. Suara-suara cemas terhadap anarkhi--dipicu oleh pers yang tak terkontrol-- demikian kata sejumlah kalanganramai disuarakan. Tuntutan dikembalikannya era normal muncul dari sejumlah wakil rakyat, pejabat pemerintah dan segolongan masyarakat: Pers Indonesia sudah kebablasan, kontrol dan tindakan tegas harus kembali diterapkan.
Namun, yang tersisa dari jatuhnya kekuasaan tiran adalah kevakuman otoritas. Gagasan mengontrol kebebasan (pers) yang baru didapat, tidak mendapat tempat. Justru Departemen Penerangan, lembaga kontrol yang dua dasawarsa lebih menjadi hantu pencabut nyawa bagi pers, dibredel oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pada Oktober 1999. Presiden Wahid yang baru terpilih itu menegaskan, informasi adalah urusan masyarakat, bukan lagi menjadi urusan pemerintah. Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Masyarakat, tentunya. Itu sebabnya dua tahun terakhir ini (kelompok tertentu) masyarakat aktif mengontrol pers, dengan menduduki kantor redaksi, mengintimidasi wartawan dan memaksakan agar versi mereka dimuat di pers. Babak baru perkembangan pers Indonesia sedang berlangsung, belum ketahuan ke mana arahnya..
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
15 BAB 2 Pembahasan Yang sudah diketahui, catatan sejarah pers di Indonesia tidak lain adalah rekaman tekanan, intimidasi dan pemberangusan. Pers Indonesia terperangkap dalam ranjau-ranjau peraturan dan sensor yang dipasang pemerintah. Pengalaman di Indonesia, kebebasan itu seakan-akan merupakan berkah atau hadiah dari penguasa baruyang muncul menggantikan penguasa otoriter sebelumnya. Periode kebebasan pers pernah dinikmati media di Indonesia pada tahun 1945-1949, ketika merdeka dari penguasa kolonial Belanda dan Jepang; kemudian tahun 1966-1972, setelah tumbangnya Soekarno, dan paska tumbangnya Soeharto.
Jatuhnya Soeharto ternyata tidak dengan sendirinya mengakhiri berbagai persoalan. Periode transisi, di era Presiden Habibie berlanjut ke Presiden Abdurrahman Wahid, suasana keterbukaan justru memunculkan berbagai persoalan baru yang lebih kompleks, tidak sekadar hitam-putih. Rezim Habibie, tidak punya pilihan lain, selain harus melakukan liberalisasi dan itu pun bukan tanpa ancaman. Era Abdurrahman Wahid memperlihatkan kesungguhan untuk mengadopsi kebebasan pers, namun masih harus ditunggu sejauh mana keseriusan rezim Gus Dur-Megawati menegakkan kebebasan pers, mengingat basis pendukung dua pemimpin ini (Banser NU dan Satgas PDI Perjuangan) kini terbukti cenderung merongrong kebebasan pers melalui aksi-aksi intimidasi terhadap pers. Ancaman terhadap kebebasan pers yang semula datang dari pemerintah melalui berbagai aturan represif, beralih wujud melalui tekanan massa serta ancaman internal: tumbuhnya penerbitan pers yang sensational dan tidak mengindahkan etika.
2.4 Pasca Soeharto: Pers Bebas Tanpa Etika Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi. Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.
Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
16 BAB 2 Pembahasan merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan. Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPPyang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998 - Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999 6 . Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya.
Gambar 4 Junus Josfiah Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain- lain, yang jumlahnya mencapai 40. IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), suatu asosiasi yang menghimpun para jurnalis televise, didirikan pada era reformasi, yakni pada bulan Agustus 1998, menyusul pengunduran diri Presiden Soeharto. Pada saat itu, ratusan jurnalis televisi dari RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV berkumpul di Jakarta untuk melakukan kongres pertama dan sepakat mendirikan IJTI dan memilih pengurus pertama organisasi ini.
6 Luwarso, Lukas. (n.d.). Pers Indonesia, Pergulatan untuk Kebebasan, from www.mail-archive.com: http://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg07768.html diakses 03 September 2011
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
17 BAB 2 Pembahasan
Gambar 5 ITJI
Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru. Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108 partai-dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Banyak pengusaha dadakan menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: Trial By The Press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan berhenti terbit.
Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang berafiliasi dengan partai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar. Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
18 BAB 2 Pembahasan Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah orang-orang Soeharto juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bisa digagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi).
Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam Negeri, Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI). Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional. Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagain sahamnya diambil oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalam manajerial.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
19 BAB 2 Pembahasan
Gambar 6 Koran Merdeka
Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan persaingan mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai kelewat batas dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid- tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (media watch). Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers.
Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersamayang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
20 BAB 2 Pembahasan Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.
Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998 membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.
Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.
2.5 Pers Era Reformasi dan Ancaman Massa Pers Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpuruk dalam cengkeraman kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujud melalui ancaman publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektif meskipun tidak langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik, sehingga lebih nyata. Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancam pers melalui pencabutan SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukan ancaman nyata, sementara ancaman kekerasan dan teror massa jauh lebih konkrit dampaknya.
Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media, bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan kejengkelan terhadap
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
21 BAB 2 Pembahasan kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka publik kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri.
Era reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat soal- soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan (hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang dan membungkam pihak lawan.
Media massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bisa diinformasikan, asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim kebenaran sebagai milik mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan mengancamyang ternyata memang terbukti sangat efektif.
Kasus pendudukan Jawa Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa pers tidak berdaya manakala gerombolan orang (massa Banser NU) memaksakan pendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos bertekuk lutut dan tergopoh meminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah. Tidak ada pengujian secara adil dan logis menyangkut kesalahan atau ketidaksalahan Jawa Pos terhadap berita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid atau NU.
Sebelumnya sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror dengan perangai kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telah mengancam, melakukan kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliput kegiatannya. Selain mengancam secara fisik maupun teror psikologi, laskar yang gemar mengacungkan pedang itu juga diskriminatif terhadap wartawan perempuan dan wartawan non muslim. Tiga wartawan sempat disekap
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
22 BAB 2 Pembahasan dan dianiaya di lokasi kamp latihan mereka di Desa Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor (9 April).
Tabloid Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar oleh Laskar Jihad karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskar ini merasa tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenai NII. Laskar Jihad menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf dan mengklarifikasi. Ancaman serupa menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada 9 April, didatangi satu truk anggota Laskar Jihad dengan membawa senjata pedang dan pisau komando. Mereka marah karena Radar Bogor dinilai telah menyebarkan berita yang mengadu domba antara laskar jihad dengan masyarakat Kayumanis (lokasi latihan) dan aparat keamanan setempat. Tekanan massa Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap Radio PTPN Rasitania, Solo, sempat menghentikan siaran radio tersebut selama 27 jam. Sekitar 300 anggota FPIS protes atas siaran dialog interaktif berjudul Usaha Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama pada 24 Februari.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
23 BAB 2 Pembahasan BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 1. Pers reformasi tahun 1998 merupakan tonggak sejarah pers pejuang Indonesia 2. Media massa muncul bagaikan cendawan. Surat kabar dan majalah dibiarkan tumbuh dan menjamur, begitu juga media-media lainnya: televisi dan radio. Tanpa tekanan; tanpa batasan. 3. Lahir 10 organisasi profesi pers baru: SWII, KWRI, HIPWI, HIWAMI, HIPSI, SPKI, IJTI, HIPPI, dan LWI, di samping AJI. 4. SIUPP tidak perlu lagi rekomendasi maupun birokrasi. Kemudian lembaga SIUPP dihapuskan sama sekali. 5. Kebebasan pers lahirkan budaya hujat menghujat, fitnah, adu-domba rakyat, dan sering vulgar, kasar, dan lupa kode etik. 6. Kehidupan pers menjadi rawan: merebaknya ancaman, teror, main hakim sendiri, dan tindakan massa begitu brutal dan emosional terhadap pers. 7. Jumlah penerbitan meledak dari 283 di masa ORBA, menjadi hampir 1000 di masa Reformasi.
3.2 Saran 1. Diharap aktualisasi kebebasan pers nasional, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
2. Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
24 BAB 2 Pembahasan 3. Surat kabar di Indonesia harus berkualitas. Menyajikan berita-berita fakta, menarik, membangun, dan memberikan solusi, bukan fiksi, isu, menjatuhkan, menyebar aib, dan provokatif, terlebih dengan kondisi negara kita saat ini yang masih menuju kebaikan.
Novia Faradila : Sejarah Pers Nasional 2011
25 BAB 2 Pembahasan Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan. (2005). Menerobos Mitos Seabad Pers Riau. Pekanbaru: PWI RIAU. Fajriati, Lisa. Peranan Pers Terhadap Demokratisasi di Indonesia Tahun 1999-2007. Luwarso, Lukas. (n.d.). Pers Indonesia, Pergulatan untuk Kebebasan. from www.mail- archive.com: http://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg07768.html diakses pada 09 Maret 2011 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/M TAHUN 2000 TENTANG PENGANGKATAN KEANGGOTAAN DEWAN PERS PERIODE TAHUN 2000-2003 http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/KEPPRES/KEPPRES_2000_96M_PENGANGK ATAN%20KEANGGOTAAN%20DEWAN%20PERS%20PERIODE%20TAHUN%202000 -2003.pdf diakses pada 29 Maret 2011 Perlawanan Itu Akan Terus Berlanjut http://www.tempo.co.id/ang/min/02/17/nas2.htm diakses pada 29 Maret 2011 http://namasayayuana.blogspot.com/2010/01/peran-pers-dan-media-cetak-koran-dalam.html