Anda di halaman 1dari 3

Kisah Burung Punai

Tersebutlah seorang pemuda bernama Andin. Ia adalah seorang pengembara. Andin


seorang diri kerap menjelajahi desa-desa dan juga berbagai negeri.

Pada suatu hari Andin tiba di sebuah desa yang bersungai dan berawa-rawa. Desa
Pakan Dalam namanya. Pekerjaan penduduk desa itu kebanyakan menangkap atau
menjerat burung dengan getah. Karena Andin juga piawai menangkap burung dengan
getah dan burung-burung di desa itu sangat banyak jumlahnya, Andin lantas
memutuskan untuk menetap di desa tersebut.

Kedatangan Andin diterima warga Pakan Dalam. Setelah bermukim, setiap hari Andin
menjerat burung dengan getah. Pagi-pagi ia telah berangkat dan baru pulang ke
rumahnya pada waktu sore. Kadang, hingga senja ia baru pulang. Karena
kebiasaannya itu, warga pun akhirnya memanggilnya Andin Pulutan. Kepiawaiannya
dalam memulut atau menjerat burung dengan getah serasa tiada tandingannya
hingga sebagian besar warga juga menyebutnya Datu Pulut. Orang yang piawai
memulut makna namanya.

Pada suatu pagi Datu Pulut berangkat memulut. Ia menaiki jukungnya menuju hilir
sungai. Dibawanya keranjang kecilnya. Setelah menemukan tempat yang sesuai
baginya untuk memulut, Datu Pulut lantas menghentikan laju jukungnya. la kemudian
memasang getah-getah di beberapa tempat. Ia menunggu seraya tiduran di atas
jukungnya. Mendadak turun hujan. Datu Pulut lalu berteduh di bawah pohon besar
lagi rindang. Tak jauh dari tempatnya berteduh terdapat sebuah telaga yang sangat
jernih airnya.

Dongeng Dan Cerita Anak Asal Mula Burung Punai

Hujan pun reda, berganti dengan gerimis. Datu Pulut lantas berniat melihat getah-
getah yang dipasangnya. Namun, diurungkannya niatnya itu ketika ia mendengar
suara-suara yang mencurigakannya. Suara-suara perempuan yang tengah bersenda
gurau. Datu Pulut mencari sumber suara itu. Terperanjatlah Datu Pulut ketika melihat
tujuh bidadari terbang dari langit menuju telaga. Seketika tujuh bidadari itu tiba di
telaga, seketika itu pula di langit terlihat sebuah pelangi yang sangat indah. Datu Pulut
segera bersembunyi di balik pohon untuk mengintip apa yang akan dilakukan tujuh
bidadari itu.

Tujuh bidadari itu rupanya hendak mandi. Mereka melepaskan selendang yang semula
digunakan untuk terbang dan meletakkannya di atas bebatuan. Mereka lantas mandi
sambil bercengkerama.

Dari tempat persembunyiannya, Datu Pulut melihat tujuh bidadari yang tengah mandi
itu. Ia amat terpesona mendapati kecantikan para bidadari itu. Tergerak hatinya untuk
memperistri salah satu bidadari itu. Maka, ia pun segera mengambil salah satu
selendang dan menyembunyikannya di dalam keranjang kecil yang dibawanya.
Hari pun beranjak sore. Matahari telah condong di langit barat. Tujuh bidadari itu
menghentikan mandi mereka. Salah seorang bidadari tidak dapat menemukan
selendangnya. Enam sudaranya telah berusaha turut mencari, selendang itu tidak juga
mereka temukan. Tidak ada yang bisa dilakukan enam bidadari itu selain
meninggalkan bidadari yang malang itu ketika

hari menjelang senja.

Si bidadari malang menangis sepeninggal enam saudaranya. Ia sangat ketakutan hidup


di bumi yang sangat asing baginya. Ia terus menangis dan memanggil ayah dan
bundanya agar bersedia menolongnya.

Ketika waktu malam tiba, Datu Pulut mendekati dan menyapa bidadari malang itu.
Keduanya lantas berkenalan. Kata Datu Pulut kemudian, "Jika engkau tidak
mempunyai sanak saudara atau siapa punjuga di bumi ini, engkau dapat tinggal
bersamaku."

Si bidadari setuju dengan ajakan Datu Pulut. Tidak berapa lama setelah tinggal
bersama, Datu Pulut melamar si bidadari. Keduanya lantas menikah dan tetap tinggal
di desa Pakan Dalam itu. Setelah menikah, Datu Pulut kian rajin mencari burung.
Pagi-pagi sekali ia telah berangkat dan baru pulang ketika waktu malam hampir tiba.
Burung-burung yang berhasil dijeratnya dijualnya dan hasil penjualan itu
digunakannya untuk mencukupi kebutuhan hidup ia dan istrinya. Kebahagiaan Datu
Pulut kian lengkap setelah istrinya melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik.
Pada suatu hari si bidadari hendak menanak nasi. Dilihatnya beras di Padaringan
(Tempat untuk menyimpan beras) telah habis. Ia pun menuju lumbung padi untuk
mengambil padi. Selama ia hidup bersama suaminya, si bidadari belum pernah
sekalipun memasuki lumbung padi itu karena suaminya telah melarangnya. Namun, ia
terpaksa melanggar larangan suaminya mengingat ia harus menanak nasi.

Ketika berada di dalam lumbung padi, si bidadari menemukan keranjang kecil yang
terbuat dari bambu. Terperanjat bukan alang kepalang ia ketika mendapati
selendangnya di dalam keranjang kecil itu. Mengertilah ia, suaminya itulah ternyata
yang menyembunyikan selendangnya. Ia lantas mengambil selendang itu dan bersiap
untuk kembali ke Kahyangan.

Datu Pulut sangat terkejut ketika pulang dari mencari burung. Dilihatnya istrinya telah
mengenakan selendangnya dan tengah mendekap anak perempuannya. "Istriku,
hendak ke mana engkau?" tanyanya was-was.

"Suamiku, aku hendak kembali ke Kahyangan," jawab si bidadari.

"Lantas, bagaimana dengan anak perempuan kita? Apakah engkau tega


meninggalkannya? Bukankah ia masih menyusu?"

"Hendaknya engkau memelihara anak kita itu baik-baik," kata si bidadari. "Jika ia
menangis karena hendak menyusu, buatkanlah ayunan di pohon berunai. Ketika itu
aku dan saudara-saudaraku akan datang dan aku akan menyusui anak kita. Hanya
pesanku, janganlah sekali-kali engkau berani mendekati tempatku menyusui itu. Itu
pantangan! Camkan baik-baik pesanku ini dan jangan engkau berani melanggar
pantanganku itu;'

Setelah memberikan pesannya, si bidadari lantas terbang kembali ke Kahyangan.

Datu Pulut mengingat pesan istrinya. Ketika anak perempuannya menangis karena
hendak menyusu, ia segera membuatkan ayunan pada pohon berunai.
Ditinggalkannya bayi perempuannya itu di dalam ayunan. Sama sekali ia tidak berani
mendekat karena itu pantangan dari istrinya. Datu Pulut hanya bisa menyaksikannya
dari kejauhan.

Waktu terus berlalu. Datu Pulut sangat rindu untuk bertemu dengan istrinya.
Berulang-ulang ditahannya rasa rindunya itu, namun serasa kian membesar saja
kerinduannya untuk bertemu. Datu Pulut tidak lagi bisa memendam rasa rindunya.
Maka, ketika istrinya dengan kawalan enam saudaranya tengah menyusui anak
perempuannya, Datu Pulut melanggar pantangan istrinya. Ia mendekati ayunan di
pohon berunai. Dengan hati tak sabar karena diamuk perasaan rindu, hendak
dipegangnya istri tercintanya yang tengah menyusui anaknya itu.

Keanehan pun terjadi. Seketika tangan Datu Pulut hendak menyentuh tubuh istrinya,
istrinya dan enam saudaranya seketika itu berubah wujud menjadi tujuh ekor burung
punai!

Tujuh ekor burung punai itu langsung terbang ke alam bebas.

Datu Pulut sangat menyesali perbuatannya. Ia hanya bisa memandangi tujuh ekor
burung punai yang terbang itu dengan perasaan menyesal. Ketika anaknya menangis,
ia meletakkannya di dalam ayunan di pohon berunai. Namun, istrinya yang telah
berubah wujud menjadi burung punai itu tidak juga datang. Istrinya tidak pernah lagi
datang.

Pesan moral dari dongeng dan cerita anak : asal mula


burung punai adalah hendaklah kita tidak berani melanggar
pantangan yang diberikan orang lain. Jika kita
melanggarnya, kita bisa jadi akan mendapatkan kerugian
dan merasa menyesal di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai