Anda di halaman 1dari 1

Rr.

Irdina Masturina (29/XII MIPA 3)

Ronggeng Dukuh Paruk

Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari bagian pertama ini menceritakan
tentang sebuah desa kecil yang menyendiri dan kondisi sosial budaya penduduknya. Dari
atas, Dukuh Paruk hanyalah sebuah gerumbul kecil di tengah padang luas. Hanya
dihubungkan dengan pematang sawah dengan pemukiman terdekat. Terpencil dan
menyendiri. Desa ini hanya dihuni oleh orang-orang keturunan Ki Secamenggala yang ingin
menghabiskan hidupnya di tempat yang sunyi.
Cerita ini berawal dari gambaran suasana Dukuh Paruk yang kering kerontang. Desa
ini telah dilanda kemarau tujuh bulan lamanya. Hewan-hewan kesulitan mencari makan,
segala jenis rumput mati, daun kuning serta ranting kering jatuh. Buah randu menggugurkan
gumpalan-gumpalan kapuk yang mengandung biji. Kemudian tertiup angin, bergerak
menjauh dari biangnya. Sama seperti pohon dadap yang menggunakan polongnya untuk
terbang sebagai baling-baling. Agar biji dadap itu tumbuh jauh dari induknya.
Dalam novel ini, digambarkan kondisi masyarakat Dukuh Paruk yang sedang
terpuruk. Pada dua bulan terakhir, tidak ada lagi padi yang tersimpan di rumah orang Dukuh
Paruk. Mereka hanya makan geplek. Nutrisi yang terkandung dalam singkong kering itu tak
mencukupi kebutuhan anak-anak untuk bermain siang malam. Jadi saat malam, tak ada anak
Dukuh Paruk keluar halaman. Padahal, mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang.
Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang.
Orang-orang dewasa telah bekerja keras di siang hari. Bila malam tiba, mereka hanya ingin
beristirahat dan segera tidur sehingga mustahil ada perempuan Dukuh Paruk hamil pada
kemarau panjang itu.
Selain itu, kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk dapat dilihat dari gumpalan abu
kemenyan di nisan kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah
Dukuh Paruk. Hal ini membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di
sana. Di pedukuhan itu, ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil
pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh
indang telah merasuk tubuhnya. Mereka juga masih sangat mempercayai pengaruh dukun. Di
sana, penari ronggeng akan diasuh dan diberi 'rangkap' oleh dukun, yakni guna-guna,
pekasih, susuk, dan tetek bengek lainnya yang membuat seorang ronggeng laris.
Srintil, potret seorang gadis berusia 11 tahun di Dukuh Paruk. Ia bukan gadis biasa.
Kelihaiannya menari ronggeng di hadapan teman-temannya dapat memukau laki-laki dewasa
manapun yang melihatnya walaupun tidak pernah ada yang mengajari. Ia juga belum pernah
menonton pentas ronggeng. Namun, ia dapat menirukan mimik yang selalu ditampilkan
penari ronggeng sebenarnya. Tanpa mereka sadari, Sakarya, kakek Srintil, melihat kejadian
tersebut. Ia yang masih memiliki kepercayaan yang sangat kuat pada roh indang, sangat yakin
bahwa cucunya adalah calon ronggeng. Ia ingin sekali mengembalikan tradisi yang sudah
lama hilang. Ia ingin membawa kembali citra Dukuh Paruk yang khas akan ronggengnya. Ia
berusaha meyakinkan Kartareja, seorang dukun turun-temurun di Dukuh Paruk, untuk
mengasuh Srintil. Setelah melihat cara Srintil menari, Kartareja percaya dengan ucapan
Sakarya.

Anda mungkin juga menyukai