Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Monica Glorianthi Duka

NIM : 21720401

FAKULTAS/JURUSAN : FHIS/ILKOM

MATA KULIAH : Manajemen Media Massa

PERS BELANDA

Perkembangan sejarah pers Belanda sampai akhir abad ke-19 di Hindia Belanda bertalian erat
dengan suasana masyarakat kolonial. Sebagai daerah jajahan, penduduk yang dipentingkan ialah
pendudul Belanda. Para pejabat kompeni Belanda memerintah dengan otoriter dan
mempertahankan sistem kasta, sebagai ciri masyarakat kolonial, dalam mengatur kehidupan dan
penghidupan di Hindia Belanda. Media massa yang kemungkinan dapat untuk pengeluaran
pendapat umum terhadap kebijaksanaan pemerintah, tidak mendapat izin untuk terbit.

Percobaan pertama untuk memulai dengan media massa resmi ialah pada masa Gubernur
Jenderal Van Imhoff yang pada tahun 1744 menerbitkan Bataviasche Nouvelles yang hanya
hidup 2 tahun saja, lalu terbitlah pers yang menyusul yaitu Het Vendu Nieuws yang merupakan
satu langkah maju menuju kebebasan yang lebih luas.

Pada awal abad ke-19 muncul Bataviasche Kolonial Courant, kemudian pada zaman
pemerintah Inggris digant dengan surat kabar berbahasa Inggris Java Government Gazette.
Setelah daerah koloni Inggris dikembalikan kepada Belanda, surat kabar itu diteruskan dengan
nama Javasche Courant yang tetap membawa suara pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1848, Pendeta Van Hoevell membuat pejabat-pejabat pemerintah terperanjat,
karena dalam usahanya mengadakan pembaruan ia mencantumkan kebebasan pers sebagai hal
pertama dan penting dalam programnya. Ada seorang yang membawa alat percetakan Indoesia
W. Bruining dari Rotterdam yang diperlakukan sebagai seorang pengidap penyakit berbahaya.
Kecuali alat cetaknya tidak diizinkan untuk dipakai, ia ditawari ganti rugi untuk segera kembali
ke Netherland. Namun Bruining menolak tawaran itu dan pada tahun 1851 ia berhasil
menerbitkan surat kabar mingguan Het Bataviasch Advertentie Blad, sesuai dengan namanya
mingguan ini hanya berisi iklan dan berita-berita umum lainnya yang dikutip dari penerbitan
resmi yang terbit di Neterland (staatscourant) dan untuk berita di daerah jajahan dari Javasche
Courant.
Contoh tindakan penekanan yang dilakukan oleh pemerintah ialah terhadap Javasche Courant
sendiri. Dr. H. Van der Chijs, seorang yang memiliki naluri kewartawanan menjadi redaktur
penerbitan resmi itu, mengusahakan berita-berita dari Neterland langsung dikirim melalui pos
kepadanya sehingga para pembaca di Betawi sering kali mengetahui berita-berita dari Neterland
itu lebih dulu dari Gubernur Jenderal di Bogor. Hal ini menimbulkan kegusaran Gubernur
Jenderal yang member peringatan keras kepada redektur Van der Chijs. Di samping itu,
dikeluarkan agar surat-surat pos dari Nederland untuk selanjutnya harus dikirim dulu ke Bogor
untuk kemudian dipilih berita-berita yang cocok untuk dimuat dalam Javasche Courant.

Pada tahun 1852, Java Bode di Betawi muncul sebagai pengganti Het Advertentie Blad
pendirinya adalah W. Bruining dengan bantuan H.M van Dorp, van Hazen Noman dan Kolff.
Yang mula-mula merupakan dua mingguan dengan harga langganan 25 gulden setahun.

Pada tahun 1857, seluruh perusahaan diambil alih oleh van Dorp yang mengusahakan edisi
istimewa untuk diedarkan di Nederland. Pada akhir tahun 1869, Java Bode menjadi harian. Isi
surat kabar itu sudah barang tentu berada di bawah sensor pemerintah. Dalam hal itu, residen
Betawi mendapat tugas mengawasi perkembangannya.

Redaktur pertama Java Bode ialah sarjana hokum L.J.A Tollens dan sastrawan W.L. Ritter.
Keduanya mengedit tengah bulanan Biang lala dan majalah Warnasarie dan kemudian
Nederlansch Indische Muzenalmanak. Saingan Java Bode yang pertama ialah Het Algemeen
Dagblad voor Nederlandsch Indie, yang didirikan oleh Coenraad Busken Huet, bekas pegawai
yang habiss kontraknya dengan Java Bode. Busken Huet adalah seorang yang pandai menulis
dan penulis yang mahir namun segera mendapat saingan dari Bataviaasch Handelsblad, surat
kabar harian yang diterbitkan oleh firma Ogilvie & Co dan di bawah pimpinan J.A. Haakman
seorang sarjana hukum. Akan tetapi dengan meninggalnya J.A. Haakman surat kabarnya tidak
dapat bertahan lama.

Di Semarang pada tahun 1851, E. Herman de Groot menerbitkan mingguan De Locomotief


yang dalam waktu singkat dapat terbit dua kali seminggu dan kemudian menjadi harian. Pada
tahun 1866, surat kabar itu tidak mendapat saingan surat kabar lain di sekitar Semarang sehingga
makin berkembang. Ia merupakan surat kabar yang besar pengaruhnya bagi pembaruan politik
kolonial.
Di Surabaya pada tahun 1852, terbit Soerabajaasch Handelsblad yang bersaing dengan
Soerabaja Courant. Surat kabar pertama mengalami pasang surut, karena pemiliknya yang silih
berganti dan baru di bawah redaksi Van Geuns surat kabar itu bertahan mutunya, terutama karena
tunjang keuangannya oleh industi-industri besar di Jawa Timur. Pada tahun 1871 di Surakarta
muncul Vorstenlanden. Begitu pula di Semarang, beberapa surat kabar baru muncul. Namun,
kalah bersaing dan akhirnya malah dibeli oleh Locomotief.

Sekitar tahun 1880, kegiatan penerbitan pers makin menaik. Kota kecil Cirebon pada tahun
1883 menyaksikan kelahiran surat kabar Tjiremai yang dapat mempertahankan hidupnya sampai
awal abad ke-20. Di Betawi lahir dua surat kabar yang untuk pertama kali harga langganannya
sangat murah, sehingga menyingkirkan Bataviaasch Handelsblad. Surat kabar Java Bode dengan
tergesa-gesa menurunkan harga langganan untuk dapat bersaing dengan dua surat kabar tersebut,
yaitu Bataviaasch Nieuwsblad Hendelsblad dan Thiemes Adverstentieblad.

Pada tahun 1895 di Bandung muncul De Preanger Bode di bawah redaksi R.J de Vries yang
makin lama makin maju berkat kerja sama dengan firma Kolff & Co. di Yogyakarta terbitan
pertama harian Mataram muncul pada tahun1903 yang tampaknya dapat memenuhi kebutuhan
setempat untuk mendapatkan berita. Di Sumatera dengan mengikuti jejak perkembangan pers di
Jawa, muncul pertama-tama Deli Courant pada tahun 1884 yang dibiayai oleh “raja tembakau”
dan milioner, Deen. Lima tahun kemudian saingannya Sumatra Post muncul di Deli pula,
keduanya bersaing untuk merebut pembaca dengan jalan menurunkan harga langganan.

Di Padang, lahir Sumatra Bode (1893) disusul oleh De Padanger enam tahun kemudian. Di
Palembang pada tahun 1898 muncul Nieuws en Advertentie blad voor de Rasidentie Palembang,
Djambi en Banka yang terbit dua kali seminggu untuk kepentingan perusahaan minyak di sekitar
tempat itu. Tepat pada tahun pertama abad ke-20 Nieuws en Advertentie blad voor atjeh en
Onderhoorigheden muncul di Kota Raja. Di luar Jawa dan Sumatera surat kabar pertama muncul
pada tahun 1894 di Makassar (Ujungpandang) yang merupakan ibu kota Sulawesi waktu itu,
bernama Makassaarsche Courant. Pada tahun 1902 juga lahir surat kabar dua mingguanyang
mencatat kejadian-kejadian di Kalimantan Selatan dan Timur bernama Bandjarmasingsch
Nieuwsblad.
Sejalan dengan perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi semua penerbitan merupakan
usaha- usaha awal suatu masyarakat colonial dalam proses penyesuaian dengan perkembangan
dunia modern. Pada mulanya pers terbit sebagai bagian usaha orang Belanda dan kemudian
menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan industry minyak. Pers Belanda
sendiri sejak semula merupakan “Pers Resmi” karena isinya yang harus disetujui pemerintah.
Baru kemudian ada penerbitan pers yang dapat digolongkan dalam kelompok “ Pers Tidak
Resmi”.

Secara umum dapat dikatakan isi surat kabar dan majalah Hindia Belanda berhaluan politik
netral. Namun, sejak akhir abad ke-19 mulai kelihatan adanya mingguan yang bercorak dan
berdasar suatu program politik. Karangan-karangan di dalam surat kabarpun mulai bersikap kritis
terhadap politik colonial Belanda di Indonesia. Dan pada awal abad ke-20 terbit satu per satu
surat kabar berbahasa Inggris di Hindia Belanda, Java Times di bawah pimpinan H.M Rankilor.

Keadaan Pada Awal Abad Ke-20

Batavia Nieuwsblad, surat kabar ketiga di Jakarata. Pemimpin redaksinya F.K.H. Zaalberg,
seorang indo-belanda. Zallberg merupakan juru bicara kaum Indo yang sedang dilanda
kemelaratan dan kehilangan banyak kesempatan, terutama setelah mengalir banyak Belanda
totok ke Indonesia.

Kota kedua yang penting bagi perkembangan pers Belanda ialah Surabaya, tempat terbit Het
Soerabajaasch Handlsblad, yang terutama didukung oleh kaum pengusaha pabrik gula Belanda di
Jawa Timur. Pemimpin redaksinya adalah Van Geuns, disebut sebagai orang liberal dari aliran
kuno.

Kota ketiga yang penting bagi kelahiran pers Belanda ialah Semarang. Pada awal abad ke-
20, kehidupan orang-orang Belanda terpusat pada masalah bagaimana membangun kota
Semarang. Kota Semarang di dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai tempat lahirnya gagasan
sosialisme. Para pendukungnya adalah guru-guru Hoogere Burger School (HBS, Sekolah
Menengah Belanda) dan beberapa insinyur. Semarang juga merupakan kota kehidupan politik
yang penting dimana Indische Partij dan Sarekat Islam mempunyai banyak pengikut. Penduduk
Tionghoa juga menunjukkan kesadaran politik setelah tumbangnya Dinasti Manchu pada tahun
1911. Iklim kehidupan politik di kota itu memberi warna wajah surat kabar dikota itu, baik surat
kabar Belanda, Melayu-Tionghoa, maupun Indonesia.

Tiras Surat Kabar Belanda

Kedudukan pers Belanda walaupun makin meningkat dalam jumlah dan mutu tetap dipandang
oleh pihak pers Indonesia sebagai pers colonial. Sebaliknya pers Indonesia yang menganggap
dirinya sebagai pers nasional, dipandang oleh penguasa Hindia Belanda sebagai pers oposisi
yang berorientasi tidak di Eropa tetapi ke Amerika dalam segi teknis dan mengolah isinya sesuai
dengan suasana dan keperluan bangsa Indonesia sendiri.
Kantor Berita “ANETA”

Salah satu segi kegiatan penting yang berhubungan dengan surat kabar ialah kedudukan
lalu lintas telegram. Surat-surat kabar Belanda makin lama makin banyak berisi berita-berita
yang berasal dari telegram. ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita atau
biro pers yang besar dan modern sebagai pusat pengirim dan penerima berita dari berbagai
penjuru dunia. Terakhir tahun 1920 ANETA telah mempunyai kantor bertingkat tiga (kini
ditempati Kantor Berita Antara) dan pada tahun 1924 membuka sendiri stasiun radionya.

Anda mungkin juga menyukai