Anda di halaman 1dari 83

BAHASA

JURNALISTIK
Ari Ambarwati

1
BAB I

KILAS SEJARAH JURNALISTIK

Sejarah Pers Dunia

Praktik jurnalistik pertama kali terjadi di Romawi (Yunani) pada 69 SM. Julius Caesar-

penguasa yang paling berpengaruh- menerbitkan sebuah media yang menjadi jembatan antara

pemerintah dengan rakyat. Media itu bernama Acta Diurna yang kemudian dijadikan asal kata

jurnalistik. Julius Caesar membentuk actuarii (reporter/orang yang membuat berita) yang

terdiri atas 4 orang. Mereka diarahkan ke bagian barat, timur, utara, dan selatan dengan

menaiki seekor kuda dan harus pulang sebelum matahari tenggelam. Tugas mereka adalah

menuliskan peristiwa yang terjadi pada selembar papan dengan menggunakan arang.

Kelemahan acta diurna adalah tidak bisa dibawa karena hanya ada satu yang dibaca

oleh semua orang. Setelah dibaca, tulisan-tulisan di atas papan tersebut dihapus agar bisa

dituliskan berita-berita selanjutnya. Ketika berita selesai ditulis, orang-orang datang berduyun-

duyun untuk membacanya. Melihat minat baca rakyat yang cukup tinggi, Julius Caesar

menambahkan 8 orang actuarii ke berbagai penjuru.

Acta diurna dibuat karena Julius Caesar menyadari bahwa praktik jurnalistik

memainkan peranan dalam diseminasi informasi (penyebarluasan informasi) dan

pembentukan opini publik. Sebagai pucuk pimpinan bangsa yang besar, ia membutuhkan

kedua hal itu demi tersebarnya informasi kepada publik, pencitraan yang baik, dan demi

legitimasi kekuasaannya yang berbasiskan partisipatori rakyat. Dengan demikian, Julius

Caesar sangat menyadari bahwa jurnalisme yang dipraktikkan di kerajaan di bawah

pengendalian dan kontrolnya tersebut mengemban misi informatif, edukatif, dan juga politis.

Acta diurna berisi pemberitaan yang berkaitan dengan insiden-insiden yang bersifat

alami di berbagai penjuru, peristiwa seputar kehidupan istana seperti pernikahan pangeran,

kelahiran keturunan raja dan orang-orang penting dalam kerajaan, berita kematian, dan

2
perceraian. Selain itu juga memuat kebijakan-kebijakan pemerintah (konstituante). Acta

Diurna saat itu berfungsi sebagai alat untuk mengomunikasikan dan menyebarluaskan

informasi baik dari pemerintahan maupun dari berbagai penjuru wilayah kekuasaan Julius

Caesar.

Lompatan besar dalam praktik jurnalistik berbasis cetak terjadi di Cina pada 868 SM

setelah ditemukan teknik cetak Gazetta. Gazetta adalah lempeng-lempeng logam berbentuk

kubus dan lingkaran. Setiap lempeng tertulis satu huruf. Kemudian disusun satu persatu seperti

kerja mesin ketik. Berbeda dengan Yunani, di Cina hanya menerbitkan buku, bukan karya

jurnalistik. Salah satu contohnya, Kitab Sutra Intan- cerita tentang pengobatan, senam, dan bela

diri- yang dicetak pada masa Dinasti Tang Xiantong.

Teknologi Gazetta menginspirasi banyak orang, sehingga muncullah mesin cetak di

Jerman. Johannes Guttenberg menemukan mesin cetak pada 1440 M. Italia membeli mesin

tersebut pada tahun 1562 M. Pada tahun yang sama, terbit koran bulanan setelah sebuah

perusahaan yang bernama Venice membeli mesin cetak yang masih berbasis Gazetta. Pada

tahun 1631, terbit jurnal pertama yang bernama Gazetta de France di Perancis. Pada tahun

1620, terbit koran harian pertama berbahasa Inggris di Belanda dengan nama English Puritans,

dipasarkan hingga ke Mayflower, Boston, USA. Kemudian disusul oleh Amerika pada tahun

1702 dengan terbitnya koran berbahasa Inggris, Daily Courant.

Perkembangan jurnalistik menceritakan bahwa pemerintah monarki kuno telah

mengembangkan cara-cara menyampaikan laporan tertulis. Pada zaman kekaisaran Romawi

sejak Julius Caesar dan seterusnya catatan harian mengenai politik dan kejadian di koloni

Romawi direkam dan didistribusikan. Setelah kekaisaran runtuh, penyebaran berita tergantung

pada kisah-kisah peziarah, lagu, surat, dan kiriman pemerintah.

Penemuan mesin cetak disematkan pada Johannes Gutenberg pada 1456, melahirkan

penyebaran Alkitab yang luas dan buku cetak lainnya. Yang pertama dicetak berkala adalah

3
Mercurius Gallobelgicus, pertama muncul di Cologne, Jerman, pada 1594 dan ditulis dalam

bahasa Latin dan didistribusikan secara luas sampai ke Inggris.

Surat kabar pertama kali muncul di Eropa pada abad ketujuh belas. Surat kabar secara

teratur diterbitkan pertama dalam bahasa Inggris merupakan Oxford Gazette (kemudian

menjadi London Gazette, dan diterbitkan terus menerus sejak saat itu), pertama muncul pada

1665. Hal Ini mulai publikasi ketika pengadilan kerajaan Inggris berada di Oxford untuk

menghindari wabah penyakit di London, dan terbit dua kali seminggu. Ketika pengadilan

kembali ke London, harian tersebut ikut pindah ke sana.

Surat kabar pertama yang terbit setiap hari, muncul pada 1702 dan terus terbit selama

lebih dari 30 tahun. Editor pertamanya merupakan perempuan pertama dalam jurnalisme,

meskipun ia diganti setelah beberapa minggu. Pada saat itu, Inggris telah mengadopsi Press

Restriction Act, yang mengharuskan bahwa nama tempat percetakan dan publikasi harus

disertakan pada setiap dokumen yang dicetak. Surat kabar pertama yang sesuai dengan definisi

modern sebagai sebuah koran adalah New York Herald, didirikan pada 1835 dan diterbitkan

oleh James Gordon Bennett. Ini adalah koran pertama yang memiliki staf yang untuk meliput

setiap kegiatan rutin kota dan spot berita, bersama dengan liputan rutin bisnis dan Wall Street.

Sejarah Jurnalistik di Amerika Serikat

Perang saudara memiliki efek mendalam pada jurnalisme Amerika Serikat. Koran besar

disewa koresponden perang untuk meliput di medan perang, dengan kebebasan lebih lebih dari

yang wartawan nikmati hari ini. Wartawan ini menggunakan mesin telegraf baru dan membuat

berita menjadi lebih cepat untuk surat kabar mereka. Biaya pengiriman pesan telegraf yang

mahal membantu menciptakan gaya penulisan “ringkas” yang menjadi standar untuk

jurnalisme abad berikutnya. Permintaan yang terus tumbuh akan surat kabar perkotaan untuk

menyediakan berita mengarahkan perusahaan pertama layanan kawat, kerja sama antara enam

4
surat kabar besar di kota New York yang dipimpin oleh David Hale, penerbit Journal of

Commerce, dan James Gordon Bennett, untuk menyediakan layanan mencakup seluruh Eropa

bagi semua surat kabar. Inilah yang menjadi Associated Press yang menyampaikan transmisi

kabel pertama bagi berita Eropa melalui kabel trans-Atlantik pada tahun 1858.

Harian The New York Times terus-menerus mendefinisikan jurnalisme. James Bennett

Herald, misalnya, tidak hanya menulis tentang hilangnya David Livingstone di Afrika, mereka

mengirimkan Henry Stanley untuk menemukannya di Uganda. Keberhasilan kisah Stanley

mendorong Bennett untuk menjadi jurnalis investigasi. Dia juga penerbit pertama Amerika

yang membawa surat kabar Amerika ke Eropa dengan mendirikan Herald Paris, cikal bakal

International Herald Tribune hari ini. Charles Anderson Dana dari New York Sun

mengembangkan ide human interest dan definisi yang lebih baik mengenai nilai berita, yang

memasukkan keunikan dari sebuah cerita.

Sejarah Perkembangan Jurnalistik di Indonesia

Berbicara mengenai sejarah jurnalistik Indonesia, semua itu tidak bisa lepas dari

pengaruh sejarah jurnalistik yang ada di berbagai negara, khususnya negara-negara yang ada

di kawasan Eropa. Pengaruh-pengaruh tersebut menyebar tentu saja melalui beberapa cara.

Salah satunya yang memungkinkan masuknya istilah jurnalistik ke Indonesia adalah melalui

penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara yang ada di Eropa seperti Belanda.

Sejarah jurnalistik dalam Indonesia sendiri sudah diperoleh saat Indonesia masih belum

merdeka. Sejarah perkembangan Jurnalistik di Indonesia menjadi tonggak berkembangnya

dunia pers Indonesia hingga sekarang ini masih terus mendunia. Perkembangan jurnalistik di

Indonesia mulai tumbuh pesart sejak Indonesia meraih kemerdekaan.

5
Sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia digolongkan menjadi beberapa periode.

Periode pertama adalah jurnalistik atau pers sebagai alat perjuangan. Pada masa kemerdekaan

(1945-1950), pers menjadi alat perjuangan pemberi informasi. Selain itu, pers pun menjadi alat

provokasi untuk mengajak rakyat agar berjuang bersama-sama melawan penjajahan.

Periode kedua sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia terjadi pada era 1950-

1960. Pada era ini, pergolakan politik di Indonesia mulai terjadi. Pada masa ini, pers mulai

terjebak menjadi media politik. Pers, khususnya surat kabar menjadi media propaganda partai

politik. Periode ini menjadi periode dramatis untuk sejarah perkembangan jurnalistik di

Indonesia karena pers menjadi alat untuk menjatuhkan citra partai politik lain.

Periode ketiga dari sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia adalah pembredelan

pers pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pers dibatasi kegiatannya karena sebelumnya

sering mengkritik pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Pada masa itu, setiap

pers atau unsur jurnalistik yang menetang atau mengkritik pemerintahan akan mengalami

pembredelan atau dibekukan dan tidak boleh terbit lagi.

Periode keempat dari sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia terjadi setelah

rezim Orde baru runtuh. Setelah rezim Soeharto turun, pers mendapatkan kebebasan dalam

melakukan tugas jurnalistik. Bahkan, sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia mulai

bangkit dengan adanya kebebasan pers yang bertanggung jawab. Dalam periode ini, pers

menjadi alat pengawas pemerintahan.

Sejarah Pers Mahasiswa

6
Selain pers umum, Indonesia juga memiliki pers mahasiswa (Persma) yang juga

berkembang secara dinamis. Ikatan Pers Mahasiswa (IPM) dibentuk pada 16-19 Juli 1958,

dapat dikatakan sebagai cikal bakal organisasi pers mahasiswa Indonesia. IPMI yang terbentuk

setelah Indonesia merdeka mengiringi berbagai perubahan situasi nasional. Negara yang masih

muda dan baru merdeka tersebut. IPMI hadir di tengah suasana politik yang sangat dinamis,

sehingga IPMI cukup matang secara politis (Fathoni, 2012:3).

Dinamika IPMI tidak dapat dilepaskan dari dinamika perjalanan dan perkembangan

politik Indonesia. Ada masa pasang dan surut. Persma mengambil model jurnalisme alternatif

sebagai bentuk perjuangan (Supriyanto, 1998). Perjuangan Persma berawal dari kebijakan

redaksi kemudian berpindah ke pelatihan-pelatihan (baca: Pendidikan dan pelatihan/Diklat),

forum temu dan diskusi nasional hingga meneriakkan perlawanan melalui gerakan mahasiswa.

Pemerintahan Orde Baru (Orba) yang berkuasa saat itu mengontrol dengan ketat

kegiatan Persma, sehingga diberlakukan UU 1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus-

Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang diberlakukan pada 1979.

Pemberlakukan UU tersebut didasari berbagai gerakan mahasiswa yang merespon kondisi

Negara mulai saat peristiwa 30 September (G30S/PKI) 1965 hingga peristiwa Malari

(Malapetaka lima belas Januari) 1974. Pemberlakuan NKK/BKK dipandang perlu oleh

penyelenggara Negara saat itu agar kehidupan mahasiswa di kampus kembali pada ‘jalur’

semula yakni sebagai intelektual yang ‘seharusnya’ bergelut dengan bidang keilmuan dan

penalaran dan tidak terlibat pada politik praktis.

Tetapi faktanya, pemberlakuan NKK/BKK menimbulkan kontroversi karena dianggap

emmasung kebebasan mahasiswa dalam berekspresi. Mahasiswa menganggap NKK/BKK

adalah produk yang diciptakan untuk membungkam kekritisan dan kebebasan berpendapat

mahasiswa. Mengingat IPMI sebagai wadah Persma tidak lagi dapat menyuarakan

7
pendapatnya, maka aktivis Persma saat itu sepakat membentuk Perhimpunan Pers Mahasiswa

Indonesia (PPMI). Pada 15 Oktober 1992 PPMI resmi dibentuk.

Pada perkembangannya, Persma Indonesia juga mengalami pasang surut, termasuk

mengalami pembreidelan oleh pihak kampus, seperti yang menimpa Tabloid SAS yang

dibreidel pada 1993, selepas menurunkan wawancara dengan almarhum Pramoedya Ananta

Toer, sastrawan yang sempat menjadi tahanan politik (tapol) dan dibuang ke pulau Buru,

Ambon, oleh penguasa Orba. Persma sebagai sebuah gerakan yang mewadahi mahasiswa

pegiat pers sampai saat ini masih eksis meski sudah mulai surut. Kebebasan pers yang

merupakan buah reformasi dan perubahan dinamika kehidupan mahasiswa di kampus menjadi

sebab tidak bergairahnya kehidupan persma. Tetapi sebagai sebuah gerakan yang

memungkinkan mahasiswa pegiat pers ‘mencecap’ dunia pers sesungguhnya, persma dapat

melakukannya. Persma Indonesia dulu sempat menjadi pers alternatif di saat pers umum tidak

mampu melaksanakan fungsi kontrol terhadap pemerintah.

BAB II

HAKIKAT JURNALISTIK DAN KARAKTERISTIK MEDIA MASSA

8
Hakikat Jurnalistik

Secara etimologi (asal-usul kata), jurnalistik berasal dari bahasa Prancis yakni journal

yang berarti catatan harian, sementara istik diambil dari kata aesthetic yang bermakna

keindahan. Journal juga dekat dengan kata yang berasal dari bahasa Latin Diurna yang berarti

hari ini.

Ada banyak pengertian yang dirumuskan para ahli berkaitan dengan kata jurnalistik.

Haris Sumadiria dalam bukunya “Jurnalistik Indonesia” (2005) menyatakan bahwa jurnalistik

adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan

menyebarkan berita melalui media berkala. Jurnalistik merupakan kerja yang melibatkan

banyak pihak dan melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kecepatan.Apalagi di era yang

membutuhkan kecepatan informasi seperti saat ini.

Pada saat ini jurnalistik juga dihubungkan dengan terma media massa atau pers. Media

menurut KBBI (2012) adalah (1) alat, dan (2) alat atau sarana komunikasi seperti majalah,

radio, televise, film, poster, dan spanduk. Menurut Tamburaka (2013) Association For

Education And Communication Technology (AECT) menyatakan bahwa media adalah segala

bentuk yang digunakan dalam proses penyaluran informasi. Sementara Education Association

mendefinisikan sebagai benda yang dapat dimanipulasikan, dilihat, didengar, dibaca atau

dibicarakan beserta instrument yang digunakan dengan baik. Maka dapat dinyatakan bahwa

media merupakan perantara suatu proses komunikasi seperti ketika seseorang menulis surat

maka media yang digunakan adalah kertas, kalau ia menulis surat elekronik maka medianya

adalah alamat elektronik, ketika seseorang menelpon maka media yang digunakan adalah

telepon atau telepon genggam.

9
Bagaimana dengan media massa? Tamburaka (2013) menyatakan bahwa media massa

adalah media yang digunakan dalam komunikasi di ruang pers. Media massa juga disebut

dengan pers merupakan istilah yang digunakan pada 1920an untuk memperkenalkan jenis

media yang secara khusus dirancang untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas. Pers dalam

arti sempit menurut Oemar Seno Adji adalah penyiaran-penyiran pikiran, gagasan, atau berita-

berita dengan kata tertulis. Sedangkan pers dalam arti luas yaitu memasukkan di dalamnya

semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik

dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.

Sejarah dan Karakteristik Media Cetak

Penting bagi semua pihak untuk mengidentifikasi karakteristik atau ciri khusus dari

media massa, baik cetak, elektronik maupun media yang saat ini telah booming yaitu media

daring (on line). Mengapa penting? Sebab masing-masing media memiliki kekhususan yang

berbeda. Perbedaan dan kekhususan tersebut membawa implikasi luas, mulai dari format

pemberitaan, alat atau sarana yang digunakan, penyebarluasan, cara berinteraksi dengan

khalayak (baca: pembaca, pendengar atau pemirsa), hingga format iklan baik komersial

maupun layanan masyarakat yang muncul.

Media cetak adalah media (massa) yang menggunakan tulisan cetak yang mengikuti

kaidah jurnalistik dan berbentuk koran (surat kabar), majalah, tabloid, dan sejenisnya. Koran

atau surat kabar adalah bentuk media cetak ‘modern’ yang muncul mendahului majalah dan

tabloid. Jika pada masa Romawi, Julius Caesar menggunakan Acta Diurna sebagai sarana

untuk mempublikasikan pengumuman terkait peraturan atau perundang-undangan yang dibuat

oleh Senat atau dirinya selaku kaisar, kejadian gempa bumi, kebakaran, atau musibah lain,

bahkan juga aksi peperangan, yang ditulis pada batang kayu atau batu. Acta Diurna yang juga

berarti ‘aksi hari ini’ditempel di dinding sehingga dapat dibaca oleh para pencari informasi

10
yang disebut Diurnarius (tunggal) atau Diurnarii (jamak). Para pencari informasi tersebut

adalah para budak belian yang kemudian menyebarkan informasi tersebut ke seluruh penjuru

negeri. Bisa jadi kata jurnalis yang digunakan saat ini berasal juga dari kata Diurnarii.

John Guttenberg pada 1450 menemukan mesin cetak yang dapat digunakan untuk

memperbanyak berita dan informasi yang mulanya hanya diperbanyak secara manual.

Awalnya mesin cetak temuannya tersebut hanya digunakan untuk mencetak kitab suci, buku

tentang agama dan ilmu pengetahuan, kemudian lembaran-lembaran seperti brochure,

pamphlet dan newsletter mulai dicetak. Lembaran-lembaran itulah yang menjadi cikal bakal

berkembangnya surat kabar atau koran. Surat kabar pertama yang terbit di Eropa adalah Aviso

yang terbit di kota Wofenbuttel, Jerman pada 1609 (Tamburaka, 2013:43). Pecahnya Revolusi

Prancis membuat surat kabar di Eropa berkembang lebih cepat, termasuk konten surat kabar

yang mengritisi Pemerintah yang berkuasa, sehingga Napoleon Bonaparte memerintahkan

untuk menutup beberapa surat kabar yang isi pemberitaannya dianggap tidak menguntungkan

dirinya.

Menurut Tamburaka (2013:44) surat kabar masuk ke Indonesia sekitar tahun 1615.

Koran tersebut adalah Memorie des Nouvelles yang ditujukan khusus untuk pegawai Belanda

yang kala itu bekerja di Indonesia. Surat kabar berbahasa Belanda yang terbit pertamakali di

Hindia Belanda (Indonesia) adalah Bataviaise Nouvelles en Politiquie Raisoven Mensen

(1744), Vendu Nieuws (1978), Bataviasche Koloniale Courant (1810). Pada 1885 terbitlah

surat kabar berbahasa Melayu seperti Hindia Nederland, Dinihari, Bintang Djohar yang

diterbitkan di Bogor dan Slompret Melaju yang terbit di Semarang. Tidak hanya di Jawa, surat

kabar berbahasa Belanda juga terbit di Sumatera dan Sulawesi. Di Sumatera ada Soematra

Courant, Bentara Melajoe dan Padang Handelsbland, sementara di Sulawesi ada Celebes

Courant dan Makassarsch Handelsbland dan Celebes Courant. Mengingat Hindia Belanda

11
saat itu masih dalam cengkeraman kekuasaan Belanda, maka koran berbahasa Belanda masih

dominan dan hanya dapat dibaca kalangan terdidik, terpelajar, dan bangsawan saja.

Ketika semangat kemerdekaan mulai menggelora pada masa revolusi kemerdekaan,

Soekarno pada 1926 menjadi pemimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka.

Koran tersebut, sesuai dengan semangat kemerdekaan mulai menggugat keberadaan

pemerintah colonial Belanda dan menggelorakan semangat untuk merdeka. Ketika Jepang

menjajah Indonesia, pemerintah Jepang menyatukan beberapa koran dengan alasan efisiensi,

tetapi alasan sebenarnya adalah agar mempermudah pegontrolan terhadap isi pemberitaan surat

kabar. Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945) terbit surat kabar Tjahaja yang terbit di

Bandung. Penamaan Tjahaja ini tentu memiliki muatan politis, sebab saat itu berlaku slogan

Jepang Cahaya Asia yang ditujukan untuk propaganda eksistensi Jepang di Indonesia. Surat

kabar Tjahaja berisikan berita-berita tentang Jepang meski berbahasa Indonesia.

Pada masa itu juga bermunculan koran-koran yang diterbitkan untuk melawan

hegemoni Jepang seperti Berita Indonesia, Merdeka, Soeara Indonesia, Pedoman Harian dan

beberapa surat kabar lainnya. Pada masa itu beberapa koran juga mengalami pembreidelan

oleh pemerintah jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang di Indonesia.

Selepas Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, suasana

demokrasi Indonesia meredup. Dekrit tersebut juga berdampak pada kehidupan pers Indonesia.

Persyaratan untuk mendapatkan Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak juga diperketat. Pada

masa itu juga berlangsung surat kabar sebagai kepanjangan tangan partai atau politik tertentu,

seperti kontra dan pro Partai Komunis Indonesia (PKI). Selepas peristiwa G 30 S PKI, media

cetak khususnya koran mengalami masa-masa sulit sebab perizinan penerbitan berlangsung

ketat. Selanjutnya pada 1974, setelah peristiwa 15 Januari (Malari) ada 12 koran yang dibredel

atau dilarang terbit, termasuk harian Indonesia Raya. Pembredelen juga kembali terjadi pada

12
1978 yang menimpa tujuh surat kabar yakni Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The

Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore, namun melalui proses yang cukup panjang

akhirnya tujuh koran tersebut diizinkan kembali terbit (Tamburaka, 2013:45).

Di masa Orba, ketidakbebasan wartawan untuk menulis mengakibatkan surat kabar

kehilangan daya kritisnya terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini jelas tidak sehat, sebab

bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan pers yakni kebebasan mengemukakan

pendapat secara bertanggungjawab dan sesuai dengan fakta. Menurut Rosmawati (2010:144)

tiga faktor utama yang menghambat kebebasan pers saat itu adalah sistem perizinan berupa

Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), hanya ada satu wadah untuk organisasi pers, yakni

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan praktik intimidasi serta sensor pada pers.

Faktor-faktor tersebut membuat insan pers tidak bisa bergerak leluasa dengan menulis

secara bebas pada saat pemerintahan Orba berlangsung. Bahkan saat itu juga terjadi

pembreidelan terhadap majalah Tempo, Editor, dan Detik. Pada 2 April 1982, majalah Tempo

dibredel oleh Menteri Penerangan saat itu, Ali Murtopo. Uniknya, ide untuk membredel Tempo

justru datang dari PWI yang saat itu diketuai oleh Harmoko, wartawan Pos Kota. Saat itu

Tempo dibredel karena dianggap melanggar kode etik jurnalistik (yang dibuat oleh PWI dan

pemerintah) karena memberitakan kampanye partai Golkar yang berakhir rusuh di Lapangan

Banteng, Jakarta. Partai Golkar adalah partai yang disokong penuh oleh pemerintah yang

berkuasa saat itu. Setelah menandatangani surat permintaan maaf dan mengizinkan pemerintah

membina Tempo, maka majalah tersebut kembali terbit. Selanjutnya pada 1994, tepatnya 21

Juni, kembali majalah Tempo bersama dengan Editor dan Detik dibredel.

Ketika era Orba tumbang dan berganti dengan orde reformasi, persyaratan tentang

SIUPP dicabut dan digantikan dengan UU NO 4 tahun 1999 tentang Pers yang di dalamnya

memuat penerbitan surat kabar (Tamburaka, 2013:45). Orde reformasi memungkinkan

13
industry pers muncul dan menjamur dengan cepat. Tak jarang muncul koran-koran ‘kuning’

yang berisi sensasi semata tanpa mempertimbangkan kaidah jurnalistik.

Media cetak merupakan media penyebaran informasi paling tua. Media cetak juga

mensyaratkan pembacanya melek huruf (literate). Ini adalah kekhususan media cetak yang

tidak dimiliki oleh media radio (audio) maupun media televisi. Bisa jadi karena kekhususan

inilah, media cetak kemudian identik dengan kalangan menengah ke atas atau kalangan

terpelajar dan terdidik. Karena untuk menikmati sajiannya, pembaca harus memahami tulisan

dalam media cetak tersebut.

Karakteristik berikutnya dari media cetak adalah mudah diarsipkan atau dikliping

sebagai bahan dokumentasi jika sewaktu-waktu diperlukan. Cangara (2010:127) membagi

surat kabar berdasarkan periode terbit: pagi dan sore, ukuran: plano dan tabloid, dan sifat

pemberitaannya: nasional dan lokal. Untuk periode, saat ini rata-rata harian di Indonesia terbit

pada pagi hari. Surabaya Post, harian berwibawa yang terbit di Surabaya pernah berjaya

sebagai harian sore, tetapi saat ini harian itu sudah tidak lagi terbit.

Menurut Supadiyanto (2015) pada periode reformasi, pers benar-benar mengalami

kemajuan pesat. Merger dan akuisisi ditempuh sejumlah perusahaan sebagai strategi bisnis

media untuk tumbuh dan berkembang. Dari tahun 1998-2000 tercatat hampir 1.000 perusahaan

media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media

yang bisa bertahan sebab kompetisi bisnis pers sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal

tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah. Akhir tahun 2010,

jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat

kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh Kompas dengan 600.000 eksemplar per hari, Jawa

Pos 450.000 eksemplar per hari, Suara Pembaruan 350.000 per hari, Republika 325.000

14
eksemplar per hari, Media Indonesia 250.000 eksemplar per hari dan Koran Tempo dengan

oplah 240.000 eksemplar per hari.

Menurut Tamburaka (2013:46) sesuai dengan data statistik Serikat Penerbit Surat

kabar (SPS) pada 2007, jumlah oplah koran yang beredar di seluruh Indonesia adalah 6,026

juta eksemplar dari total oplah seluruh media cetak yang berjumlah 17,374 juta. Jumlah

tersebut jika dibandingkan dengan jumlah populasi Indonesia, maka rasio menjadi 1:38.

Artinya bahwa satu koran dibaca 38 orang Indonesia, padahal rasio keterbacaan ideal yang

distandarkan oleh UNESCO adalah sebesar 1:10. Di satu sisi hal ini dapat dimaknai bahwa

partisipasi membaca koran orang Indonesia terhitung rendah, tetapi bisa jadi juga hal ini

disebabkan migrasi pembaca media cetak ke media elektronik yang sifat pemberitaannya lebih

cepat dan up to date. Faktor lainnya juga adalah migrasi pembaca koran ke media lain seperti

radio dan televisi yang dianggap beberapa kalangan lebih praktis karena tidak memerlukan

penalaran lebih lanjut seperti saat seseorang membaca media cetak. Hal lain juga adalah tingkat

kepraktisan. Membaca media cetak tidak bisa dilakukan sambil lalu atau tidak bisa dilakukan

dengan mengerjakan pekerjaan lainnya, berbeda dengan mendengarkan radio yang bisa

dilakukan sembari berkendara atau menyimak TV sembari mengerjakan tugas dengan laptop,

misalnya.

Meski demikian, media cetak di Indonesia masih berkembang dengan baik. Terbukti

beberapa majalah terbit sesuai dengan segmentasi pembaca yang beragam dan terbit dalam

jangka waktu yang cukup lama, seperti majalah Femina, Kartini, Intisari, Bobo, Gadis. Begitu

juga dengan eksistensi tabloid seperti Nova dan tabloid yang mengambil segmen kesehatan,

pertanian, fesyen, dan lainnya. Segmentasi yang kuat bagi majalah dan tabloid sangat penting

untuk menjaga dan menarik keterikatan pembaca. Tidak seperti koran yang bersifat lebih

umum, majalah dan tabloid berbagi segmentasi pembaca yang lebih khusus lagi.

15
Sejarah dan Karakteristik Radio

Radio pertamakali diciptakan oleh Guglielmo Marconi. Pada 1897, Marconi berhasil

menghubungkan dua tempat terpisah dari selat Bristol yang lebarnya 9 km melalui

gelombang radio (Tamburaka, 2013:54). Berikutnya Marconi yang berasal dari Bologna,

Italia, pada 1901 berhasil mengirim berita radio melintasi Samudera Atlantik, dari Inggris ke

Newfoundland.

Makna penting dari penemuan baru Marconi secara dramatis dilukiskan pada tahun

1909 tatkala kapal S.S. Republic rusak akibat tabrakan dan tenggelam ke dasar laut. Berita

radio amat membantu, semua penumpang bisa diselamatkan kecuali enam orang. Pada tahun

yang sama Marconi berhasil meraih Hadiah Nobel untuk penemuannya. Pada tahun

berikutnya ia berhasil mengirim berita radio dari Irlandia ke Argentina, suatu jarak yang lebih

dari 6000 mil. Semua berita ini dikirim lewat tanda-tanda sistem kode Marconi. Sebagaimana

diketahui, suara itu dapat dikirim lewat radio, tetapi hal ini baru bisa terlaksana sekitar tahun

1915. Sejak saat itu radio mulai tumbuh dan berkembang secara luas di dunia.

Sejarah perkembangan radio di Indonesia dimulai ketika berdirinya Radio Republik

Indonesia (RRI) pada tanggal 11 September 1945 (Tamburaka, 2013:55). Pemimpin umum

RRI pertama adalah Dr. Abdulrahman Saleh. Sejak saat itu RRI menjadi corong pemerintah

Republik Indonesia untuk menyiarkan kebijakan, informasi serta berita-berita ke segenap

penjuru tanah air. RRI berdiri di bawah Departemen Penerangan. Pada era reformasi,

tepatnya saat Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa, pemerintah membubarkan Departemen

Penerangan. Kebijakan ini awalnya memicu kontroversi banyak pihak karena dianggap tidak

tepat, termasuk bagaimana nasib ribuan karyawan Departemen Penerangan. Tetapi Gus Dur

(sapaan akrab alm Presiden Abdurrahman Wahid) menjelaskan argumentasinya bahwa

sebaiknya pemerintah tidak memonopoli peran institusi penerangan yang bertindak sebagai

pemberi informasi. Pemerintah tidak seharusnya memonopoli informasi, maka biarkan

16
masyarakat yang mengelola informasi secara bertanggung jawab. RRI kemudian berubah

menjadi badan publik. UU penyiaran kemudian mengatur lembaga penyiaran radio menjadi

tiga, yaitu lembaga penyiaran radio publik RRI, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga

penyiaran komunitas.

Pada masa revolusi, RRI berperan penting menggelorakan semangat Negara Indonesia

yang baru merdeka ke seluruh pelosok negeri. Bahkan pada 10 November 1945, Bung Tomo

menggunakan RRI Surabaya sebagai sarana untuk menggemakan perlawanan kepada tentara

sekutu yang ingin menduduki wilayah Indonesia, khususnya Surabaya. Pidato yang heroik

tersebut mampu menggugah semangat perlawanan arek-arek Surabaya dalam menghadapi

serangan tentara sekutu dan berhasil mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Perkembangan radio komunitas melaju cukup cepat, data bank Dunia yang dikutip

oleh Tamburaka (2013:55) menyatakan pada 2005 terdapat 630 radio komunitas yang

tersebar dari Naggroe Aceh Darusalam hingga Papua. Fakta ini menunjukkan bahwa

kebutuhan masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi melalui sarana radio dapat terwadahi

dengan baik melalui radio komunitas. Radio komunitas merupakan radio yang dimiliki

sekelompok masyarakat tertentu yang lepas dari pengaruh dan kepentingan pemilik modal

(kapitalisme). Tidak seperti radio swasta yang digerakkan pemilik modal, radio komunitas

bebas menyiarkan kontennya sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki oleh komunitas

tersebut.

Menurut laman resmi Kementerian Informasi dan Komunikasi RI, jumlah radio

swasta di seluruh Indonesia mencapai 2590 pada tahun 2011. Undang-Undang Penyiaran No.

32/2002 semakin memperbesar peluang pendirian lembaga penyiaran baru. Regulasi baru

memberi legitimasi bagi pendirian lembaga penyiaran swasta, publik dan komunitas. Angin

segar itu tentu melebarkan peluang semua pihak yang ingin terjun ke bidang penyiaran

khususnya radio.

17
Salah satu karakteristik radio yang juga menjadi keunggulan adalah dapat disimak

saat mengerjakan tugas lain. Ketika orang berkendara menggunakan mobil, ia dapat

mendengarkan siaran radio tanpa harus terganggu aktivitas berkendaranya. Relasi personal

yang terbangun antara pendengar dan radio memungkinkan setiap orang dapat mengerjakan

aktivitas lain sembari menyimak siaran radio. Apalagi saat ini radio dapat dinikmati

siarannya secara streaming melalui internet. Siaran radio juga dapat dipantau dari telepon

pintar (smart phone) tidak lagi harus menghadirkan bentuk radio yang tidak praktis, seperti

dulu. Sebelum internet hadir, jangkauan radio terbatas hanya di wilayah tertentu, sehingga

orang yang tinggal di Surabaya tidak dapat menikmati siaran radio dari Jakarta atau Bandung

misalnya. Kini, dengan teknologi streaming, jangkauan siar radio menjadi lebih luas.

Karakteristik lain dari siaran radio adalah media massa elektronik yang mengandalkan

siaran pada frekwensi sinyal radio yang berada pada FM (Frequency Modulation) atau AM

(Amplitudo Modulation) (Tamburaka, 2013:56). Radio FM lebih stereo, tepat dan tajam

dibandingkan radio AM. Untuk siaran berita, olahraga, atau informasi, frekwensi AM lebih

unggul karena jangkauan sinyal lebih luas dibandingkan frekwensi FM. Maka untuk

mendengarkan siaran musik, radio FM lebih bagus.

Radio juga sangat segmented pasar dan pendengarnya. Ada radio khusus remaja,

perempuan, atau radio yang menahbiskan dirinya sebagai radio berita. Teknologi internet

memungkinkan radio menjangkau pasar yang lebih luas dan mengikat kesamaan

antarpendengar meski mereka saling berjauhan. Hal itu memungkinkan pendengar merasa

dekat dengan objek-objek informasi atau tempat-tempat yang belum dijangkaunya melalui

siaran radio.

18
Keberadaan internet dalam dunia penyiaran radio di satu sisi membawa dampak

positif bagi pengguna karena kualitas dan kemudahannya (Tamburaka, 2013:59). Tetapi di

sisi lain, hal itu membawa dampak buruk terkait pembajakan hak cipta. Kaset dan Compact

Disk (CD atau cakram padat) dapat dijual dalam bentuk fisik, tidak demikian dengan format

MP4 (multi player) yang dalam bentuk digital. Saat ini mudah sekali mengunduh lagu-lagu di

internet tanpa harus membeli. Industri rekaman musik cukup terpukul dengan realitas ini.

Sejarah dan Karakteristik Televisi

Sejarah televisi dimulai ketika Paul Nipkow yang berkebangsaan Jerman menemukan

tabung kaca ajaib tersebut di tahun 1884, yang dilanjutkan oleh Charles F Jenkins di AS pada

1890 (Tamburaka, 2013:65). Meski percobaan awal pesawat TV lebih banyak dilakukan di

Eropa, tetapi penelitian selanjutnya justru lebih banyak dilakukan di Amerika Serikat (AS).

Perang Dunia II yang berkecamuk membuat penyiaran TV menjadi terhambat. Pabrik

elektronok di Eropa lebih banyak memproduksi senjata untuk keperluan perang dibandingkan

memproduksi TV. Momentum utama penyiaran TV bangkit kembali saat calon presiden AS,

Richard Nixon dan JF Kennedy melakukan debat pada 1960 dan keuksesan pendaratan

Apollo di bulan yang disaksikan sekitar 500 juta orang seantero dunia di tahun 1969

(Tamburaka, 2013:66). Mulai saat itu penduduk dunia memiliki alternatif memperoleh

informasi, berita serta hiburan melalui TV.

Siaran TV pertama di Indonesia secara resmi ditayangkan di Televisi Republik

Indonesia (TVRI) pada tanggal 17 Agustus 1962, bertepatan dengan peringatan Hari

Kemerdekaan RI pulul 07.30-11.02 di Istana Negara (Tamburaka, 2013:66). Hampir dua

puluh tahun TVRI memainkan peran sebagai stasiun TV satu-satunya yang ada di Indonesia.

Selanjutnya pada 1989 muncul stasiun TV swasta seperti RCTI, SCTV (1990), TPI (1991),

19
ANTeve (1993), Indosiar (1995), Metro TV (2000), dan banyak stasiun TV lainnya. Pilihan

untuk mendapatkan tayangan yang beragam di TV semakin mudah, meski tidak sedikit pula

masyarakat yang mengecam dan protes dengan beberapa tayangan TV yang dianggap tidak

mendidik seperti siaran infotainment yang berisi rumor, sinetron yang jalan ceritanya tidak

masuk akal dan cenderung membodohi penonton, hingga tayangan reality show yang

dianggap mengesampingkan rasa kemanusiaan dan mengandung unsur kekerasan verbal

maupun fisik.

Sama seperti radio, TV juga mulai membentuk segmentasi pasar dan pemirsanya

sendiri. Industri penyiaran Indonesia berkembang dengan pesat melalui eksistensi beberapa

stasiun TV swasta. TV swasta mampu bergerak menjangkau daerah-daerah yang terpencil

secara geografis, sehingga masyarakat merasa diuntungkan untuk mendapatkan informasi dan

berita secara cepat. Teknologi audiovisual TV yang mampu menghadirkan gambar dan suara

membuat tabung kaca ajaib ini disukai banyak kalangan. Hingga saat ini, TV masih memiliki

pengaruh besar bagi masyarakat Indonesia, mengingat TV merupakan media yang mudah

diakses dan diangga murah untuk mengakses informasi, berita, dan hiburan.

Kemudahan yang diberikan internet juga membuat TV melakukan digitalisasi. Saat

ini dengan mudah kita mengunduh berita, informasi, atau tayangan lain yang ditayangkan

satu stasiun TV yang sebelumnya kita lewatkan tayangannya. Internet memberi kemudahan

stasiun TV untuk menjangkau pemirsanya lebih luas. Bahkan saat ini beberapa tayangan TV

juga memberikan layanan pada pemirsa untuk dapat mengomentri secara langsung

tayangannya.

20
Sejarah dan Karakteristik Media Daring (Online)

Eksistensi media daring (online) tidak dapat dilepaskan dari internet. Internet awalnya

muncul di AS sebagai jaringan komputer yang dibentuk oleh Depertemen AS pada 1969

untuk mengetahui informasi terkait serangan nuklir Uni Sovyet (Tamburaka, 2013:75).

Internet saat itu hadir sebagai produk pertahanan AS dalam menghadapi situasi perang dingin

antara kubu Barat (AS dan sekutunya) dan kubu Timur (Uni Sovyet dan Negara-negara Eropa

Timur). Internet adalah jaringan (network) yang menghubungkan setiap komputer yang ada

dunia dan membentuk komunitas maya yang dikenal dengan desa global (small village)

(Tamburaka, 2013:75). Dunia maya bisa saling menghubungkan penggunanya untuk

berinteraksi, berkomunikasi, bertukar pesan dan data, meski tidak saling kenal.

Keberadaan internet memungkinkan orang mengirimkan pesan, berita, dan informasi

kepada orang lain di belahan bumi manapun, selama terkoneksi dengan internet, secara real

time (pada saat yang sama). Kecepatan dan kelebihan internet yang mampu menggabungkan

tulisan, gambar, suara dalam satu wadah, menjadikannya sebagai new media yang mengubah

perilaku pembaca media cetak, pendengar radio, serta pemirsa TV dalam memperoleh

informasi. Pendeknya semua karakteristik media cetak, radio maupun TV (old media) dapat

digabungkan dalam new media tersebut.

Keberadaan new media yang berbasis internet membuat pengguna dapat mengakses

informasi, data, dan berita yang mereka butuhkan tanpa bergantung pada batasan waktu.

Selama mereka terkoneksi dengan internet, maka selama 24 jam mereka dapat mengakses

apapun yang mereka perlukan. Media baru (new media) benar-benar membuat media lama

(old media) harus menemukan bentuk baru yang memungkinkannya terus beinteraksi dengan

penggunanya. Maka saat ini hampir semua koran nasional maupun daerah memiliki versi

21
digital atau e paper (koran elektronik). Stasiun radio dan TV juga terkoneksi dengan internet

sehingga dapat diakses secara streaming, kapan dan di mana saja tanpa terkendala waktu, asal

tersedia jaringan internet dan komputer.

22
BAB III

BAHASA JURNALISTIK

Prinsip-prinsip Bahasa Jurnalistik

Apa yang dimaksud dengan bahasa Jurnalistik/pers? Bahasa Jurnalistik adalah bahasa yang
mempunyai karakteristik tertentu yang digunakan untuk kepentingan jurnalistik. Jus Badudu
(1988) menyatakan bahwa karakteristik bahasa Jurnalistik adalah singkat, padat, sederhana,
jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Prinsip-prinsip bahasa jurnalistik dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Singkat
Bahasa jurnalistik hendaknya singkat. Yang dimaksud dengan singkat adalah
menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
2. Padat
Bahasa jurnalistik meski singkat tetapi hendaknya mencakup informasi yang lengkap.
Informasi lengkap tersebut kerap disebut sebagai 5W+1H yang berarti What, Who,
When, Where, Why dan How.
3. Sederhana
Bahasa jurnalistik hendaknya sederhana maksudnya adalah menggunakan kalimat
efektif dan bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit maupun kompleks.
4. Jelas
Struktur kalimat jurnalistik hendaknya dapat dipahami oleh pembaca, pemirsa atau
pendengar. Sebaiknya bahasa jurnalistik menggunakan makna kata denotative dan tidak
bersifat ambigu.
5. Lugas
Hendaknya bahasa jurnalistik menggunakan bahasa yang informatif dan tidak
menggunakan bahasa yang berbunga-bunga.

6. Menarik
Bahasa jurnalistik harus mampu menimbulkan keinginan pembaca, pendengar atau
pemirsa untuk mengikuti berita tersebut dan menghindari kata-kata yang tidak lazim
digunakan.

23
Prinsip-prinsip Retorika Jurnalistik
Dilihat dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan manifestasi dua ragam bahasa

yakni fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau referensial yang menyajikan fakta (Halliday,

1978). Masalahnya kemudian adalah bagaimana mengonstruksi bahasa jurnalistik agar mampu

menggambarkan fakta yang sesungguhnya. Oleh Leech (1993) masalah ini disebut sebagai

retorika tekstual yaitu kekhususan pemakaian bahasa sebagai alat mengonstruksi teks. Prinsip

yang sama juga berlaku di dunia jurnalistik.Terdapat empat prinsip retorikal tekstual yang

dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosebilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip

ekspresifitas.

1. Prinsip Prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga

mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam memahami pesan

penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan-satuan;

(b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masings atuan, dan

(c) bagaimana mengurutkan satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berklaitan

satu sama lain. Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia,

yang menjadi fakta-fakta harus dipahami oleh pembaca dalam kondisi apapun agar

tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa Jurnalistik Indonesia disusun dengan

struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting.

Perhatikan contoh:

(1) Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal

Suhardi Alius, yang dihubungi melalui telepon dari Jakarta, Sabtu (23/7)

mengatakan, dengan tertangkapnya istri pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia

Timur (MIT) Santoso, Umi Delima, maka pengikutnya yang masih tersisa

diperkirakan tinggal 18 orang lagi. Pemerintah dan aparat keamanan terus

mengimbau mereka segera menyerahkan diri agar mendapat pengampunan

(Kompas, 24/7/2016)

24
Contoh kalimat (1) terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat pertama menyatakan pesan penting

dan kalimat kedua menerangkan pesan kalimat pertama.

2. Prinsip Kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip itu menganjurkan agar

bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguitas). Teks yang tidak megandung

ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.

3. Prinsip Ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus

merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang

menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh

ruang, wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini.

4. Prinsip Ekspresifitas. Prinsip ini dapat diseut prinsip ikonisitas. Prinsip ini

menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana

jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab

dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya.

Pada hakikatnya tidak ada bahasa pers atau jurnalistik. Bahasa yang digunakan dalam

pers sama dengan bahasa yang digunakan dalam tulisan ilmiah. Ada dua hal yang bisa

dipertimbangkan untuk menyebut bahasa jurnalistik, yaitu:

1. Bahasa yang hanya digunakan para wartawan dalam menghasilkan karya

jurnalistiknya. Biasanya karya jurnalistik ini hasil dari liputan yang bernama berita.

2. Bahasa yang digunakan di dalam penerbitan pers. Hal ini ridak melulu pada berita,

tetapi seluruh materi penerbitan, dengan alasan bahwa seluruh materi itu jelas-jelas

mengalami proses penyuntingan ala jurnalistik yang dengan sendirinya

menyesuaikan dengan pasar jurnalistik.

Bahasa jurnalistik memiliki prinsip kelugasan, kesederhanaan, singkat, padat, efektif,

efisien karena masyarakat pembaca merupakan seulurh konsumen yang mempunyai latar

25
belakang beragam. Latar belakang yang beragam ini menyebabkan bahasa pers harus secara

luwes menyesuaikan dengan karakter pembacanya. Serta tidak semua pembaca dan penikmat

karya jurnalistik mempunyai waktu yang banyak untuk berlama-lama dengan kalimat-kalimat

yang bertele-tele, sukar dimengerti, apalagi menyesatkan.

Artikel, Opini, Kolom, dan Esai

Artikel, opini, esai dan kolom adalah bentuk tulisan yang kerap ditemukan dalam

media surat kabar. Artikel berarti: 1) bagian dari undang-undang atau peraturan yang berisi

ketentuan; pasal, 2) karya tulis lengkap dalam majalah, surat kabar, dsb. 3) kata sandang,

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Opini berarti pendapat, pikiran, pendirian. Esai adalah

karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi

penulisnya. Kolom adalah 1) ruang antara dua garis vertikal pada lembar kertas atau halaman

buku; lajur, 2) bagian-bagian vertikal pada halaman cetak yang dipisahkan oleh garis tebal atau

ruang kosong (seperti dalam surat kabar), 3) bagian khusus utama dalam surat kabar atau

majalah, 4) pilar atau penyangga (biasanya dari beton yang bertulang besi) (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 2012). Pengertian kolom yang dekat dengan dunia jurnalistik tentu adalah

pengertian poin ketiga.

Dari sudut jurnalistik secara umum semua tulisan di media cetak bisa disebut artikel.

Esai adalah tulisan yang lebih spesifik lagi, karena tulisan jenis ini adalah artikel yang berisi

muatan pendapat dan pikiran penulisnya tentang suatu masalah tertentu ( yang disyaratkan

harus masih baru dan tengah menjadi trending topic) dan dibahas dalam bentuk tulisan yang

sudah jadi. Sedangkan opini sebenarnya bukanlah suatu model karya jurnalistik (seperti

pengertian dalam kamus) tetapi argumentasi atau pendirian penulis. Kemudian istilah opini

sangat akrab dengan pers, karena kata itu dijadikan nama rubrik bagi yang memuat esai: yaitu

para penulis tamu pada suatu penerbitan pers. Maka populerlah rubrik yang menampung tulisan

dari luar itu sebagai rubrik opini.

26
Beberapa bentuk tulisan esai diantaranya TAJUK yaitu karya tulis yang dikerjakan

pemimpin redaksi berisi sikap, pendirian, dan pendapat medianya tentang suatu masalah

tertentu. Istilah tajuk yang lain: tajuk rencana, editorial, dan versi lain terdapat pula jati diri;

OPINI yaitu kapling khusus untuk para penulis tamu (luar) dengan kriteria yang ditetapkan

redaksi; SURAT PEMBACA yaitu artikel yang dikirim oleh pembaca untuk mengomentari

berita yang sudah pernah dimuat atau memberikan informasi tambahan tentang berbagai

masalah tertentu; FEATURE adalah karya jurnalistik yang menekankan penulisan pada segi

human interest (ditulis wartawan atau penyumbang dari luar); RESENSI adalah artikel kritis

mengenai buku kaset, film, sinetron, dsb. Dalam karya ini penulisannya mengevaluasi produk

tertentu, menyatakan kelebihan dan sekaligus kekurangannya. Artikel atau tulisan-tulisan yang

terbit di media cetak tersebut kerap disebut sebagai produk jurnalisme yang ilmiah dan populer.

Karakteristik karya tulis ilmiah populer ini adalah sebagai berikut:

a. Logis

b. Argumentatif

c. Ada ide/gagasan baru

d. Ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar.

Teknik Penulisan

Artikel jurnalistik berbeda dari segi penyajian dengan artikel ilmiah di lingkungan

akademik. Sistematika penyajian artikel dalam surat kabar sangat sederhana tidak melalui

bagian dan persyaratan tertentu (pendahuluan, isi, dan penutup tidak dicantumkan/ditulis

secara eksplisit). Dari segi bahasa, artikel jurnalistik berada dalam ragam bahasa populer. Hal

ini disadari bahwa pembaca media cetak berasal dari lingkungan yang beragam dan heterogen.

Bahasa jurnalistik harus dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, karena tidak semua

27
pembaca mempunyai waktu yang cukup untuk memahami seluruh kaidah kebahasaan dalam

surat kabar.

Naskah opini merupakan tulisan yang datang dari penulis luar/tamu. Para penulis ini

disebut kontributor atau penyumbang. Umumnya penulis opini adalah para pakar atau ahli di

bidang masing-masing. Masing-masing penulis opini memiliki spesialisasi tersendiri, seperti

misalnya Alfan Afian adalah penulis opini politik, Iwan Pranoto yang guru besar ITB adalah

penulis opini yang banyak mengangkat masalah pendidikan, sementara Radhar Panca Dahana

adalah penulis opini yang kerap mengangkat masalah sosial budaya. Para penulis opini juga

sering diberi label sebagai kolumnis, atau penulis kolom.

Cara penulisan Opini dan kolom sebenarnya tidak beda dengan penulisan features

berita. Karya ini terikat dengan kaidah-kaidah dasar jurnalistik 5 W + H. Selain kaidah dasar

itu ada hal yang lebih penting yaitu daya tarik (magnitude), lengkap, akurat, informatif,

eksklusif (belum pernah ditlis sebelumnya), angle (sudut penulisan), orisinal dan argumentatif.

Tetapi harus diingat bahwa masing-masing media cetak memiliki gaya atau style penulisan

yang berbeda-beda. Gaya penulisan tersebut harus dipahami oleh para kolumnis (khususnya

penulis pemula) yang ingin tulisannya dimuat di media cetak tersebut.

28
BAB IV

MEMPERTANYAKAN FUNGSI DAN POSISI PERS

Memasuki abad 21, tugas pokok pers sebagai lembaga kontrol tengah dipertanyakan.

Benarkah pers masih menjadi pilar keempat dalam kehidupan bernegara di luar eksekutif,

legislatif, dan Judikatif? Benakah pers masih menjadi anjing penjaga (watch dog) yang mampu

terus ‘menggonggong’ untuk mengingatkan penyelenggara Negara agar dapat melaksanakan

tugas dengan maksimal. Teknologi informasi yang kian berkembang membuat media cetak,

media radio, dan media televisi bukan lagi menjadi sumber utama penyaji informasi.

Saat ini media dalam jaringan (daring) atau media online mampu memposisikan dirinya

sebagai media terdepan dalam update informasi dan berita. Karena sifatnya yang bisa diakses

di mana saja dan kapan saja, selama pengakses terkoneksi dengan internet maka informasi dan

berita apapun bisa didapatkan (dibaca) saat itu juga (real time). Kasus terorisme yang

mengguncang belahan bumi manapun dapat diakses saat itu juga. Maka tidak heran ketika

Ignatius Haryanto (2014) menyatakan bahwa definisi berita yang sebelumnya bermakna

“melaporkan peristiwa yang telah terjadi”, berganti makna menjadi “melaporkan peristiwa

yang tengah terjadi”.

Banyak orang kemudian menjadi pembaca yang ‘suka selingkuh’ alias tidak setia.

Awalnya orang terbiasa membaca surat kabar tertentu, tetapi kini mereka beralih menjadi

pembaca ‘setia’ media daring dengan alasan kecepatan berita dan informasi yang disajikan.

Media cetak, media radio, dan media televisi kini harus bersaing ketat dengan media daring

untuk menggaet pembaca ‘setia’.

Di satu sisi fenomena ini membuat awak media saling berkompetisi menyajikan

informasi dan berita secepat mungkin. Tetapi benarkah kecepatan menjadi keutamaan

signifikan saat ini? Atas nama kecepatan lalu keakurasian berita dan informasi ditinggalkan?

29
Tugas penting media daring memang menyajikan kecepatan berita tetapi seharusnya

keakurasian berita dan kehati-hatian dalam menyajikan fakta tidak boleh terkalahkan. Bahkan

Ignatius Haryanto juga mengajukan pertanyaan menggelitik, sebenarnya media daring dikelola

oleh wartawan atau mereka yang pakar teknologi informasi? Hal ini menunjukkan betapa

kecepatan dan ketepatan berita seharusnya saling bersanding layaknya dua sisi sekeping koin.

Di sisi lain, kebutuhan masalah informasi kiranya tak dapat dilepaskan dari dinamika

kehidupan masyarakat modern. Tidak berlebihan jika abad ini tidak lagi disebut sebagai abad

informasi, tetapi abad ‘banjir informasi’. Informasi begitu melimpah dan kita dapatkan di mana

saja. Melimpahnya informasi dan berita tidak lagi disajikan oleh pers ‘konvensional’ seperti

media cetak, radio, televisi, tetapi juga media daring dan media sosial (social media) seperti

Facebook, twitter dan sejenisnya. Banjir informasi sebagai sebuah fakta sosial menjadikan

awak media harus lebih berhati-hati menyajikan berita. Para jurnalis media daring harus

mampu menyaring informasi yang didapatkan di lapangan dengan baik, sebelum mengolah dan

menyajkannya (baca: mempostingnya) untuk kemudian menjadi konsumsi masyarakat luas.

Karena kecenderungan saat ini informasi dan berita tersebar lebih dulu di media daring dan

jangkauannya lebih luas dibandingkan media konvensional.

John Naisbitt, seorang futurulog terkenal membagi globalisasi menjadi tiga bagian.

Pertama masyarakat pertanian (agriculture society), kedua masyarakat industri (industrial

society) dan ketiga adalah masyarakat informasi (information society). Masyarakat Indonesia

saat ini memasuki masyarakat sebagai bagian dari information society tadi, menjadi unsur yang

sangat strategis dalam tatanan masyarakat.

Dalam konteks tersebut inilah peran jurnalis juga dipertanyakan. Jika mereka

mendapatkan informasi dan data lapangan dari internet dan tidak lagi terjun ke lapangan,

apakah mereka tidak mencederai nilai-nilai jurnalistik? Apakah mereka tidak kehilangan

30
konteks terjadinya peristiwa, akurasi, verifikasi serta makna informasi dan data itu sendiri?

Seharusnya apapun medianya, nilai-nilai jurnalistik tersebut tetap harus dijaga.

Eksistensi wartawan secara yuridis dilindungi Undang-undang (UU) yang mengikat

profesi mereka. Pengertian jurnalistik dan aspek-aspeknya menjadi jelas setelah ditinjau dari

sisi fungsi pers itu sendiri. Lazimnya para pakar jurnalisme menyebut, bahwa pers mempunyai

tiga fungsi utama, yakni: 1) memberikan informasi, 2) memberikan pengetahuan, 3)

memberikan hiburan dan 4) melaksanakan kontrol sosial.

Sebenarnya dari keempat fungsi tersebut, fungsi terakhirlah yang membuat posisi pers

dianggap sebagai kekuatan keempat atau pilar keempat yakni yang menjalankan fungsi kontrol

masyarakat. Yang disebut sebagai watch dog atau anjing penjaga. Apa yang dijaga? Tentu

adalah demokrasi. Dalam Undang-undang No 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan

pokok pers misalnya, disebutkan dan diakui fungsi-fungsi tadi secara jelas dalam bab II pasal

2 sampai 5, dicantumkan pula hak-hak dan kewajiban pers nasional. Hak dan kewajiban pers

adalah sebagai berikut.

1. Memperjuangkan amanat penderitaan rakyat berlandaskan demokrasi Pancasila

2. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan

3. Membina persatuan dan kesatuan bangsa

4. Menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif

Dengan mengutip Undang-undang Pokok pers ingin ditunjukkan, bahwa “kebebasan

pers” diakui, demikian pula hak kritik meskipun untuk itu dikenal pula pembatasan-

pembatasan yang lazim disebut dalam konsep teori pers dengan istilah pers bebas dengan

pertanggungjawaban sosial (a social responsible press). Ketetapan MPR No.

XXXII/MPRS/4/1966 dalam pasal 2, dengan tegas menyatakan pengakuan terhadap kebebasan

pers dengan dasar pertanggungjawaban sosial, yang disebutkan: “Kebebasan Pers”

berhubungan erat dengan keharusan adanya pertanggungjawaban kepada:

31
1. Tuhan yang Maha Esa

2. Kepentingan Rakyat dan Keselamatan Negara

3. Kelangsungan dan Penyelesaian Revolusi

4. Moral dan Tata susila

5. Kepribadian bangsa

Dari sinilah bahwa wartawan Indonesia di dalam menjalankan profesinya menikmati

keebasan pers, dan bagi seorang wartawan, iklim kebebasan ini penting untuk menumbhukan

“kreativitas” di dalam pekerjaannya dalam mengabdi kepada publik. Di samping itu pers

nasional adalah alat perjuangan bersifat aktif dan kreatif yang salam perkembangan merupakan

pelopor pelaksanaan ideologi Pancasila. Tujuan utama dari Undang-undang tentang ketentuan-

ketentuan adalah untuk memberikan jaminan hukum dengan sebaik-baiknya dan dapat

melaksanakan tugas kewajiban serta menggunakan hak-haknya.

Landasan hukum penyusunannya adalah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945,

pasal 45 jo, pasal 20 Undang undang Dasar 1945, pasal 28 dan 33 Undang undang 1945.

Keputusan sidang pleno komite nasional Pusat tanggal 15 Desember 1949 tentang

perlindungan kepada pers, ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang pembinaan pers.

Di dalam Undang-undang ini menyatakan tentang kebebasan pers, yang menyatakan

dan menegakkan kebenaran dan keadilan yang berhubungan erat dengan keharusan adanya

pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepentingan rakyat dan keselamatan

negara, kelangsungan dan penyelesaian perjuangan nasional hingga terwujudnya tujuan

nasional, moral dan tata susila pertanggungjawaban kepada kepribadian bangsa. Sesuai dengan

ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 lampiran A tentang Peranan Massa dan ketetapan MPRS

No. XXXII/MPRS/1966 tentang pembinaan pers. Maka pembinaan tersebut dilakukan oleh

pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers dalam bentuk Dewan Pers.

32
Jurnalis dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya, juga dilandasi oleh kode etik

jurnalistiknya, yakni aturan-aturan yang mengikat profesi kerja setiap wartawan Indonesia.

Kemerdakaan Pers merupakan salah satu ciri negara hukum yang dikehendaki oleh penjelasan

Undang-undang Dasar 1945. Sudah tentu kemerdekaan pers itu harus dilaksanakan dengan

tanggung jawab sosial serta jiwa Pancasila dengan kesejahteraan dan keselamatan bangsa dan

negara. Karena itulah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan kode etik jurnalistik

untuk melestarikan atas kemerdekaan pers yang bertanggung jawab. Saat ini PWI bukan lagi

menjadi satu-satunya organisasi pers di Indonesia, karena sejak 7 Agustus 2004 di Sirnagalih,

Bogor, 100 aktivis pers Indonesia mendeklarasikan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen

(AJI). Sama seperti PWI, AJI juga memiliki Aturan Dasar dan Aturan Rumah Tangga yang

berfungsi mengatur dan menjalankan kode etik para jurnalis.

Akan tetapi, dalam praktiknya ada jurnalis yang melaksanakan tugasnya melampaui

batas-batas yang sudah diatur secara hukum. Bukan saja pelanggaran terhadap kode etik

jurnalistik saja, yang antara lain menjurus pada kejahatan pers yang disebut dengan istilah

“delik pers”.

Adapun dimaksud dengan delik pers adalah, semua kejahatan dan pelanggaran yang

dilakukan oleh media pers sebagai alatnya. Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Indonesia ada

delik, yaitu:

1. Delik terhadap ketertiban umum;

2. Delik penghasutan;

3. Delik penyiaran kabar bohong;

4. Delik terhadap kesusilaan;

5. Delik Penghinaan

6. Delik penerbitan atau penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme dan Leninisme.

33
Dalam rangkaiannya dengan jurnalis tersebut, maka pelanggaran terhadap undang-

undang dan peraturan seperti disebutkan diatas, akan mengakibatkan timbulnya perkara delik

pers ini. Oleh sebab itu, segala hal yang disiarkan di dalam media, pada dasarnya harus siap

dipertanggungjawabkan segala resiko dan akibatnya. Sebab tidak menutup kemungkinan,

berita yang disiarkan dalam suatu media cetak (walaupun mungkin sudah melalui suatu

prosedur filterasi ketat) tidak akan dituntut atau digugat pembacanya. Bila pembaca merasa

dirugikan atau dihina atau dicemarkan oleh pemberitaan itu.

Gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan wartawan dalam

penulisan berita kategori “membawa kerugian pihak lain “dapat didasarkan pada pasal 1365

KUH Perdata yang menyatakan:

“Tiap-tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian pada orang lain,

mewajibkan seorang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian

tersebut”.

Sedangkan masalah yang mengandung unsur penghinaan gugatan ganti kerugian, dapatlah

didasarkan pasal 1372 KUH perdata. Dimana dalam pasal itu telah ditegaskan, bahwa tuntutan

perdata untuk mendapat ganti kerugian serta pemulihan kehormatan nama baik.

Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan cara diatas diperhatikan pula pokok-pokok

dalam melakukan upaya yuridis untuk mengajukan gugatan ganti rugi, yaitu ketentuan-

ketentuan sebagaiamana telah digariskan dalam hukum acara pidana. Dengan mendasarkan apa

yang telah ditentukan itu, tentu akan sangat menentukan upaya yuridis untuk mengajukan

gugatan ganti rugi melalui pengadilan yang berkompeten Dalam rangka mewujudkan negara

hukum seperti dimaksudkan penjelasan Undang-undang Dasar 1945, maka upaya hukum yang

didiambakan setiap pencari keadilan sangatlah diperlukan. Semua ini tentunya tidak terlepas

dari partisipasi aktif para penegak hukum itu sendiri.

34
Adapun yang menjadi permasalahan dalam konteks kebebasan yang di era reformasi ini

semakin terbuka bagi pers nasional untuk melakukan kontrol sosial, adalah:

a. Bagaiamana batas tanggung jawab yuridis wartawan media cetak terhadap berita yang

disiarkan

b. Bagaimana upaya hukum pihak ketiga bila sampai terjadi pelanggaran hukum (delik pers)

yang menyangkut misalnya penghinaan, pencemaran nama baik yang dilakukan wartawan

media cetak.

Kebebasan Pers dan Dampak Sosial yang Ditimbulkan

Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid terjadi sebuah revolusi luar biasa di bidang

komunikasi massa yang secara substansial hal itu bersumber dari seorang pendekar demokrasi

yakni Gus Dur (panggilan akrab dari almarhum Presiden keempat RI tersebut). Pada periode

itu 1998, Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk besar di dunia mulai

diperhitungkan kiprahnya dalam hal kebebasan pers. Dapat dibayangkan negara Indonesia

yang sebelumnya, tepatnya pada masa orde baru(termasuk pada saat pemerintahan Habibie

sekalipun) adalah sebuah tempat penjagalan” kebebasan terutama pada media massa, menjadi

berbalik keadaannya dengan indikator utamanya pada dunia pers; Pers Bebas – Kebebasan Pers

atau Kebablasan Pers?

Awal dihembuskannya kebebasan pers dimulai ketika Mempen Yunus Yosfiah mencabut

Permenpen (Peraturan Menteri Penerangan) yang mengatur soal pembredelan. Bukan hanya

itu, Yosfiah juga memperkenalkan institusi baru yang mengejutkan dimana Departemen

Penerangan tidak lagi menjadi lembaga pengatur SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).

Akar peristiwanya dimulai dari Reformasi Mei 1998 yang mengubah wajah negara-bangsa

Indonesia. Selama 32 tahun pers dikontrol ketat oleh pemerintah yang berkuasa.

35
Dampak Kebebasan Pers

Pembicaraan tentang kebebasan berpendapat ini layaknya kiranya merujuk sikap dan juga

pemikiran-pemikiran Gus Dur yang selama ini sosoknya dikenal sebagi simbol demokrasi yang

sebagian (besar) orang mencapnya orang “nyeleneh”. Kita ingat peristiwa pemberedelan

tabloid Monitor yang dikomandani Arswendo Atmowiloto. Pada Monitor edisi 15 Oktober

1990, Wendo memuat hasil angket yang menempatkan Nabi Muhammad SAW di peringkat

ke-11 dibawah sejumlah artis pejabat dan politikus. Waktu itu Presiden Suharto berada pada

urutan paling puncak, dan nama Arswendo sendiri menempati urutan ke-10. Tak pelak berbagai

kecaman dan kritikan dari umat Islam datang bertubi-tubi. Tokoh-tokoh Islam hampir senada

mengutuk pemuatan hasil angket tersebut. Amien Rais, misalnya berpendapat bahwa apa yang

dilakukan Monitor adalah suatu pukulan telak, yang sangat menghina Islam dan sekaligus

menghancurkan seluruh usaha pemerintah untuk membangun kerukunan umat beragama.

Kecaman juga keluar dari Lukman Harun yang menganggap kesalahan Arwendo lebih

besar daripada Salman Rusdhi (penulis buku Ayat-ayat Setan). Reaksi yang sama juga muncul

dari Nurcholis Madjid ( Cak Nur), tokoh Islam yang dikenal liberal mengatakan bahwa

pemuatan angket itu keterlaluan. Hal itu menunjukkan kesombongan... Karena itu monitor

harus dihukum seberat-beratnya.

Akan tetapi inilah kontroversi yang dibuat Gus Dur. Bila semua tokoh mengecam

Arswendo, tampaknya dialah satu-satunya tokoh Islam yang malah membelanya. Menurut Gus

Dur, sikap sekelompok umat Islam itu perlu disesalkan karena tidak lagi menggunakan akal

pikiran dalam menghadapi cobaan. Dia menilai, kepekaan umat Islam dalam menghadapi kasus

itu berlebihan dan merupakan bentuk lain dari kerendahdirian, Namun pada akhirnya menurut

banyak pengamat kebebasan pers yang dikembangkan Gus Dur justru menyeret presiden ke-4

RI ini ke dalam kancah pertempuran yang hebat dimana pikiran-pikiran yang dimuat pers baik

yang bernada masukan, kritik, bahkan perlawanan dan penghujatan terhadap Gus Dur dapat

36
mengalir dan membajiri media-media massa baik cetak maupun elektronik. Dan celakanya

(kalau bukan hebatnya si Gus ini) Gus Dur tidak bergeming dengan deram pemberitaan yang

dialamatkan padanya. Mungkin si tokoh Semar ini lebih melihat sisi lain dari kebebasan

persnya yang sudah berani membongkar mitos bahwa lembaga kepresidenan itu bukan lagi

tempat angker yang tak (boleh) tersentuh oleh kritik.

Bahkan salah satu televisi swasta sempat menayangkan peristiwa sebelumnya dianggap

“haram” yakni pentas Bagito yang walaupun secara eksplisit memperagakan seorang yang buta

sedang menerima telepon. Secara tersirat hal itu ditujukan pada sang Presiden. Umat Islam

marah, terutama kalangan Nahdliyin. Tetapi ketika Bagito “sowan” ke Gus Dur dan

menyatakan penyesalan dan permintaan maafnya, Gus Dur dengan enteng menjawa tidak apa-

apa. Malah dia mengatakan bahwa Bagito adalah grup lawak kesukaannya.

Peristiwa Monitor terjadi tahun 90-an. Saat itu kontrol pemerintah terhadap pers sangat

ketat sehingga insan pers benar-benar mempertimbangkan segala unsur pemberitaan: check

and recheck, profesionalisme, cover booth side, dan balancing reporting. Inilah pers Pancasila

yang dikembangkan di Indonesia yang merupakan antitesa dari pers otoritarian dan libertanian.

Lenguasa dan pejabat orde baru saat itu benar-benar “aman” dengan konsep pers tersebut

disamping ada kaidah aman bila disiarkan/dipublikasikan. Pemberitaan pada masa tersebut

kalau bukan karena ketakutan pada penguasa, pertimbangan utamanya adalah keamanan,

stabilitas nasional, dan menjaga persatuan dan kesatuan. Sedangkan SARA merupakan hal

paling sensitif dan sakral untuk tidak disentuh oleh pemberitaan.

Dahaga kebebasan-berpendapat (juga dalam pers) yang selama ini sudah nebjadi bisul

hanya menunggu waktu saja untuk pecah. Sehingga begiu Gus Dur meresponnya orang

berlomba-lomba mmembuat berbagai pemberitaan. Perlu sebagai catatan, hingga awal

Desember 1998 (saja) telah ada 1.600 SIUPP di Indonesia. Tentu saja hal ini membingungkan

sebab perlombaan justru terjadi saat ekonomi mengalami krisis dan semua overhead

37
operasional keredaksian menngkat sebesar 300% lebih. Ada banyak analisis berspekulasi

bahwa maraknya berbagai penerbitan baru merupakan bagian dari bermunculannya banyak

partai dan money politic yang dimainkan sejumlah orang yang mengilusikan dan sekaligus

mengidentifikasi penguasaan pers sebagai sebuah upaya mendapatkan kekuasaan.

Dampak kebebasan pers ini juga dirasakan kalangan masyarakat. Perlombaan untuk

membuat berita banyak memunculkan koran murahan terutama tabloid. Orang yang datang ke

kios koran kebingungan karena terlalu banyak dan sama membingungkannya, semua berlomba

membuat liputan yang paling keras, seolah kian keras kian menarik. Hal itu cenderung

membuat pers belakangan mengalami penurunan kualitas. Berbagai pelanggaran kaidah

jurnalistik dibuat sebagai akibat unjuk keberanian yang tak sehat.

Ada yang mengatakan bahwa masyarakat kita sat ini ibarat primata yang baru dilepas

penutup mulutnya setelah disekap berhari-hari. “Mereka berteriak-teriak seperti orang gila,”

ujar seorang tokoh pers, “Demikian juga dengan media massa, lebih banyak yang berteriak

daripada yang menulis.”

Berita Provokasi

Pers Indonesia yang “baru lahir” ini sangat rentan terhadap kepentingan-kepentingan.

Kaidah pers komersial yang menganut azas “kehangatan, magnitude, promenence,

kontroversial, spektakuler ekslusif,” dan lain-lain sangat membantu lahirnya pemberitaan yang

sensaional. Begitu fakta kecil dibesarkan dan fakta besar dikecilkan, hal inilah yang

menyimpang dari kaidah dasar jurnalisme. Pers hanya mengandalkan konsep berita jelek

adalah berita bagus, nama besar adalah berita besar yang pada akhirnya menyeret pers pada

praktik talking jurnalism atau jurnalisme adu jangkrik, atau pemuatan berita yang hanya

memuat kutipan percakapan narasumber atau objek berita saja.

38
Dalam pers terdapat dua kutub yang saling tarik menarik yaitu kutub idealisme dan kutub

komersial. Di satu sisi tugas mulia pers adalah menyampaikan informasi dan fakta kepada

masyarakat dan di sisi lain pers dituntut untuk dapat menghidupi dirinya sendiri. Semakin

banyak pembaca dan konsumen sebuah media massa semakin tinggi pula pendapatan sebuah

perusahaan penerbitan pers. Hal inilah (profit) yang menyebabkan sebagian (besar?) pers

bertualang untukmengeruk keuntungan dengan membuat berita-berita sensasional, berita

murahan, malahan untuk kepentingan tertentu media itu rela memprovokasi kelompok tertentu

untuk kepentingan kelompoknya atau kelompok lain. Keadaan ini sungguh tidak sehat.

Menurut Gus Due pers kita hanya sensasional dan banyak “pemelintiran”nya sehingga

masyarakat sulit membedakan mana berita yang objektif dan mana berita yang hanya

mementingkan sensasi

Berkah Terselubung (Blessing in Disguise)

Disadari atau tidak membanjirnya pers dengan segala ragam pemberitaan dan pertanyaan

akan akurasi faktanya, masyarakat telah belajar banyak dari peristiwa itu yakni munculnya

kesadaran masyarakat secara tidak langsung untuk “melek” membaca. Masyarakat

berbondong-bondong membaca dan memburu berita, baik yang faktual maupun fiktif (mereka

kesulitan memisahkannya). Akhirnya masayarakat mulai berpikir bahwa keadaan yang selama

ini sangat semrawut, kacau balau justru telah mendewasakan masyarakat.

Gambar-gambar murahan di media massa yang semula dianggap daya tarik awal untuk

membeli lama kelamaan dianggap provokasi visual belaka yang dibalik itu isinya tak

memberitakan apa-apa. Apakah hal ini proses pembelajaran ataukah hanya sekedar kejenuhan

masyarakat, tampaknya perlu dikaji lagi karena salah satu indikasi menarik patut kita cermati

bahwa salah satu koran terkemuka ibu kota yang tingkat independensi dan akurasinya cukup

tinggi kini telah mulai banyak diminati. Ini suatu pelajaran yang sangat berharga baik bagi

39
insan pers maupun masyarakat pembaca. Kata lain dari semua itu ialah masyarakat mendaat

berkah terselubung dari hiruk pikuknya kebebasan pers yang kebablasan. Masyarakat sudah

mulai kritis. Semakin disadari bahwa membanjirnya pemberitaan tak lebih dari sekedar mode

temporal, apa dan siapa yang murahan akan segera tergusur, dan sebaliknya apa dan siapa yang

profesional akan bertahan.

Pers dan Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat dewasa ini memengaruhi

industri pers kita. Jika generasi yang lahir tahun 60 dan 70an adalah generasi peralihan yang

mengalami bagaimana kecepatan perkembangan teknologi informasi memengaruhi cara

mereka mendapatkan informasi dan berita. Surat kabar atau koran pada era 90 an hingga awal

2000 masih menjadi santapan utama bagi generasi yang lahir tahun 60, 70an dan sebelumnya,

yang menemani sarapan pagi mereka. Sarapan pagi dengan membaca koran. Tetapi teknologi

informasi yang memungkinkan dunia dalam genggaman membuat informasi dan berita di

koran bukan lagi satu-satunya ‘teman sarapan pagi’.

Informasi dan berita yang membanjir di dunia maya yang diantarkan melalui telepon

genggam, telepon pintar, computer personal, ataupun computer jinjing (laptop) membuat orang

lebih mudah dan praktis terhubung dengan dunia luar. Apa yang terjadi di belahan dunia lain

dapat diketahui dengan lebih cepat karena media daring dengan segala keunggulan yang

dimiliki menyajikan peristiwa yang tengah terjadi. Peristiwa penembakan di pusat perbelanjaan

di Munich, Jerman, misalnya, dengan cepat bisa ketahui bahkan dari menit ke menit.

Menurut Ignatius Haryanto (2014) alat-alat komunikasi ketika ditemukan oleh para

ahlinya, ataupun teori-teori komunikasi ketika ditumuskan oleh para ahlinya, mengandaikan

komunikasi dilakukan untuk menolong manusia untuk mampu menyintas (survive) dengan

40
mengetahui informasi di sekitar dirinya, di samping untuk menghibur. Tetapi harus diingat

bahwa alat yang sama dapat diselewengkan untuk kepentingan politik tertentu.

Manusia yang kerap dilabeli sebagai audiens, khalayak, pemirsa, penonton, pembaca,

ataupun pendengar bukanlah entitas yang pasif (Haryanto, 2014). Manusia memiliki

kecerdasannya sendiri untuk merespon pelbagai banjir informasi yang menyerbu dan bisa jadi

mengandung bias tersebut. Kecerdasan audiens seharusnya menjadi pertimbangan bagi awak

media untuk memproduksi dan menyajikan informasi yang lebih akurat dan selalu memegang

prinsip coverage both sides (tidak berat sebelah).

Jurnalisme dan Media Sosial

Ada pertanyaan yang menggelitik, benarkah kehadiran dan kemunculan media sosial

akan ‘menghabisi’ jurnalisme? Apakah media sosial juga akan membunuh eksistensi jurnalis?

Wajah jurnalisme Indonesia saat ini memang dihiasi oleh hadirnya media sosial seperti

facebook, twitter, Instagram, LinkedIn, dan sebagainya. Menurut Haryanto (2014) sudah jamak

terjadi saat ini, media sosial tersebut terlibat dalam proses pengumpulan, pembuatan, serta

penyebaran berita. Di satu sisi fenomena ini menguntungkan jurnalis dan awak pers lainnya

untuk mendapatkan informasi lebih banyak, tetapi di sisi lain cukupkah informasi tersebut

digunakan sebagai data atau informasi awal untuk menggali berita atau peristiwa tertentu?

Dalam proses pengumpulan beritam sudah menjadi rahasia umum bahwa status yang

diposting orang terpandang (selebtwit, selebgram, selebfb, dll) atau orang yang biasa menjadi

narasumber di media massa, dapat menjadi bahan berita di media mainstream. Sementara itu,

pelbagai informasi yang tersebar dalam jejaring media sosial yang kemudian menjadi informasi

disebarkan oleh media massa mainstream. Bahkan warga dapat langsung memberi komentar

terkait berita yang diposting oleh media daring, sehingga media daring memberi ruang lebih

untuk berkembangnya jurnalisme warga. Fenomena ini ditangkap oleh media mainstream

41
dengan menyediakan ruang khusus seperti blog bernama Kompasiana, dan rubrik yang

memungkinkan warga mengirimkan rekaman video terkait peristiwa atau berita tertentu.

Jurnalisme warga juga diberi wadah untuk berkembang di media mainstream. Pelibatan warga

masyarakat tersebut adalah strategi unttuk ‘mengikat’ kesetiaan audiens.

Dengan berubahnya wajah jurnalisme Indonesia (juga dunia) dewasa ini maka yang

menjadi pertanyaan krusial adalah apakah konten yang berseliweran di media sosial dapat

disebut sebagai produk jurnalistik? Atau pertanyaannya bisa disederhanakan sebagai berikut,

jika kita suatu kali mendapat broadcast messages dari orang lain, bagaimana kita

menanggapinya? Meneruskan dan memperlakukan itu sebagai sebuah informasi akurat yang

langsung kita teruskan ke orang lain atau kita harus mengecek keauratannya terlebih dahulu ke

sumber-sumber media massa yang lain?

Untuk menjawab pertanyaan ini, audiens harus benar-benar literat dengan media sosial.

Tahu dan paham bagaimana menanggapi sebuah informasi atau pesan. Literasi media sosial

dibutuhkan ketika era banjir informasi terjadi seperti saat ini. Mana pesan atau informasi yang

harus kita teruskan ke orang lain atau hanya berhenti sebagai hoax. Menurut Jenkins dalam

Convergence Culture: Where Old and New Media Collide (2006) dalam proses penyebaran

berita, kita melihat media mainstream maupun para pembacanya meneruskan berita yang telah

diproduksi, maka kita berhadapan dengan pembaca atau konsumen media yang memiliki

perilaku senang berbagi dalam suasana media yang kian terkonvergensi. Masalahnya adalah

aneka pesan dan informasi yang muncul di media sosial kemudian tanpa diverifikasi langsung

disebar begitu saja, mulai dari pesan keagamaan, informasi peristiwa kecelakaan, musibah,

konflik, dan sebagainya. Bukankah perilaku tersebut justru berkontribusi dalam menciptakan

kehebohan atau kecemasan massal? Padahal kita belum memverifikasi kebenaran dan

keakuratan informasi atau pesan tersebut.

42
BAB V

KERJA PERS

Catatan ini bukan teori jurnalistik dan prinsip-prinsip dasar pers yang memadai. Tetapi

masih berupa rangkuman pengalaman praktis sebagai insan pers media cetak. Dari catatan ini

bisa dinyatakan, bahwa pengalaman lapangan adalah guru terbaik.

Pelukis kondang S. Soedjojono pernah ditanya tentang teori yang dipakainya dalam

melukis. Ia menjawab: “Apa Anda tahu ada teorinya orang naik sepeda?” Barangkali

sumbangsih pengalaman ‘orang lapangan’ ini bermanfaat untuk ditrnasfer disini, dalam rangka

memberikan alternatif kepada mahasiswa dari sekedar memenuhi cita-cita sebagai seorang

guru. Atau siapa tahu, disamping sebagai pendidik mereka dapat sekaligus menjadi wartawan

dan penulis. Profesi terakhir. Kendatipun dapat dikerjakan secar part-timer (freelancer alias

“kerja sambilan”. Agaknya bisa juga menghasilkan inkam tambahan yang lumayan didapatkan

dari honorarium.

Memang tak dapat dipungkiri, bahwa pers di era Globalisasi informasi ini telah menduduki

peranan yang amat strategis. Pers sebagai public opinon leader dengan teori jarum suntiknya

dapat menggiring opini publik yang dikehendaki media informasi yang menyiarkan. Dalam

mewujudkan informasi yang menarik seiring dengan perkembangan sains dan teknologi. Dari

segi teknik penyajian berita “terikat” dengan kaidah-kaidah yang lazim ditaati sebagai asas

dalam penulisan berita.

Kaidah jurnalistik yang paling populer kita kenal selama ini adalah 5W 1H. Yakni

pemenuhan unsur What (apa), where (dimana), when (bilamana), who (siapa), why (mengapa)

dan How (bagaimana) dalam peliputan berita.

Seiring dengan perkembangan metodologi pengetahuan yang dialami masyarakat, unsur-

unsur yang elementer tadi berkembang sedemikian rupa sehingga mengharuskan tambahan.

43
Maka wartawan dan penulis berita tak saja menjadikan 5W 1H itu semata-mata sebagai rumus

yang harus dipenuhi.

Untuk menentukan pertanyaan-pertanyaan apa saja yang paling penting untuk sebuah

cerita suatu peristiwa yang perlu anda tulis, perhatikanlah hal-hal berikut ini:

1. Informasi apakah yang paling penting -- apa tema atau topik cerita?

2. Apakah yang telah dikatakan atau dilakukan mengenai topik itu – apakah yang terjadi

atau tindakan apa yang telah diambil?

3. Apa perkembangan-perkembangan paling baru – apakah yang terjadi hari ini dan

kemarin?

4. Fakta-fakta apakah yang luar biasa?

Dan yang paling penting menentukan kelancaran struktur bangunan suatu berita atau

laporan adalah lead (paragraf atau alinea pertama dalam tulisan itu). Setiap lead di bawah ini

menekankan jawaban hanya pada satu dari keenam pertanyaan dasar. Pertanyaan yang

tampaknya lebih penting bagi suatu cerita tertentu. Contoh rinciannya:

WHAT: Telah terjadi kolusi di Mahkamah Agung yang melibatkan petinggi dan pejabat

penting. Itulah pengamatan Artidjo Alkostar – salah satu hakim MA kepada pers pekan silam.

WHERE: Di pusat perbelanjaan Olympia, di daerah pinggiran Moosach, Munich, pelaku

beraksi memberondongkan tembakan.

WHEN: Banjir bandang yang tiba-tiba menyerbu warga kecamatan Pujiharjo, Malang selatan,

datang sekira pukul 4.20 sesaat selepas adzan Subuh berkumandang.

WHY: Dihadapkan pada masalah rumah tangga yang pelik, akhirnya petani itu mengakhiri

hidupnya.

44
HOW: Dengan cara menyaru menjadi perempuan saat keluarganya berkunjung, terpidana

kasus kekerasan seksual dan pembunuhan anak di bawah umur itu, melarikan diri dari LP

Cipinang.

WHO: Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, menghadiri Peringatan Maulid Nabi

Muhammad SAW di Masjid Istiqlal. Tampak juga beberapa Menteri dan para Duta besar

negara sahabat.

Juga disamping itu, suatu hal yang perlu diperhatikan terutama untuk model berita news

in depth adalah unsur-unsur lain seperti dibawah ini:

Aktualitas: Kehangatan berita. Bagi surat kabar harian, kejadian hari ini adalah liputan

hari ini. Terlambat sehari berarti basi. Wartawan selalu berpacu dengan waktu. Kejadian-

kejadian yang basi pasti tidak diturunkan sebagai laporan kecuali berita itu mempunyai nilai

magnitude (daya tarik yang berdampak) cukup besar.

Akurat: Kecermatan. Laporan harus disusun secara cermat terutama yang menyangkut

angka-angka. Juga nama sumber berita, kalau perlu seorang reporter mengulang wawancara

dan check and rechek untuk mendapatkan data yang akurat. Seorang reporter harus jeli

pengamatannya agar dapat mendeskripsikan objek berita dengan baik.

Angle: ini adalah segi yang dipilih. Misalnya ledakan di Borobudur. Agar laporan

eksklusif wartawan yang baik pasti memilih segi ledakan itu sendiri. Justru yang ditekuni

adalah mengapa Borobudur diledakkan. Dan angle ini sudah tentu akan sebagai picu (newspeg)

menurunkan laporan.

Kelengakapan: artinya berita yang diturunkan harus ditulis secara lengkap dan utuh. Itu

tidak berarti reporter harus mengirimkan laporan sepanjang-panjangnya, tapi yang penting

bagaimana laporan itu disusun secara padat dan utuh.

45
Kronologis: laporan sebaiknya disusun berdasarkan urut-urutan waktu. Supaya bahan

yang didapat mengalir lancar.

Color: artinya warna. Dalam hal ini kita mereportasekan suatu kejadian. Misalnya

peristiwa kebakaran, tentu yang dilihat orang hanya kepanikan korban, tetapi jarang sekali

orang memperhatikan bagaimana uniknya pemadam kebakaran menyelesaikan tugas.

Magnitude: daya tarik. Tidak semua berita mempunyai keunikan untuk diturunkan. Berita

kecil di koran mungkin mempunyai magnitude untuk dikembangkan. Misalnya ekspor kelapa

Hybryda ke Saudi Arabia yang diberitakan harian Surabaya Post sebesar 1 kolom 8 baris

bagaikan iklam mini. Tapi majalah Tempo misalnya mengembangkan sebagai berita Ekonomi

Bisnis yang menarik.

Berimbang: Laporan yang turun harus berimbang. Artinya kita tidak boleh menghubungi

secara sepihak. Kita dilarang “menembak dari belakang”. Artinya memberitakan tentang kasus

seseorang tanpa menghubungi terlebih dahulu.

Komposisi: penulisan berita terutama depth news hendaknya dengan gaya seperti orang

bercerita, bagian yang terpenting atau inti, p eristiwa itu hendaknya dilukiskan di bagian depan

tulisan (lead)

Sedangkan batang tubuh tulisan untuk memperjelas masalah kemudian dalam ending kita

pilihkan kalimat-kalimat yang berkesan. Misalnya yang membuat pembaca tetawa geli sembari

menggigit bibir sendiri, lalu memuka lembara berikutnya. Atau greget kesal seraya menahan

kemarahannya.

Misi: ini adalah opini yang masuk dalam laporan. Misi yang baik ini adalah dengan metode

‘meminjam mulut orang lain’.

Anekdot: ialah kata atau kalimat kocak dan segar yang kita sisipkan pada potongan-

potongan paragraf laporan. Jangan terlalu banyak, niscaya akan menjemukan. Humor penting

dalam hal kita mengetengahkan laporan yang hangat.

46
Outline: ialah perencanaan ini penting sekali bagi reporter maupun penanggung jawab

rubrik (Redaktur). Penggarapan laporan yang direncanakan dengan cara tertulis dan kronologis

akan memudahkan pekerjaan. Seorang reporter kalau perlu mencatat seluruh pertanyaan yang

akan diajukan pada sumber berita. Dan kemudian merekam jawabannya didalam alat ataupun

tulisan di notebook. Demikian juga catatan tentang pengamatannya, sementara penanggung

jawab rubrik menyiapkan penulisan yang baik diatas kertas.

Foto: ini adalah pendukung penyajian berita. Tidak saja harus jelas dari segi teknis, tetapi

juga harus memenuhi persyaratan jurnalistik. Misalnya sebagaimana tanpa membaca caption

(keterangan foto) orang sudah bisa menangkap isinya.

Latihan:

1. Apa yang Anda ketahui tentang sejarah pers dunia?

2. Galilah informasi terkait sejarah pers Indonesia dan tulislah.

3. Apakah pers konvensional/old media akan meredup dengan hadirnya pers daring?

Jelaskan pendapat Anda

4. Bagaimana teknologi informasi memengaruhi perilaku manusia dalam mendapatkan

informasi dan berita?

5. Perlukah literasi media bagi audiens? Jelaskan.

6. Apakah ciri-ciri bahasa jurnalistik?

7. Mengapa disebut bahasa jurnalistik atau ragam pers?

8. Apakah yang dimaksud 5 W + 1 H?

9. Apakah kebebasan pers?

10. Apakah yang dimaksud dengan pers bebas?

47
BAB VI

PRINSIP DAN DASAR JURNALISTIK

Kaidah dasar jurnalistik yang paling populer kita kenali selama ini adalah 5W + 1H yakni

pemenuhan unsur-unsur What (apa), where (dimana), where (dimana), when (kapan), dan how

(bagaimana) dalam peliputan berita.

Seiring dengan perkembangan sains dan teknologi yang dialami masyarakat, unsur-unsur

yang elementer tadi berkembang sedemikian rupa, hingga mengharuskan tambahan. Maka

wartawan dan penulis berita tak sengaja menjadikan 5W + 1H itu semata-mata sebagai rumus

yang harus dipenuhi. Unsur-unsur lain seperti dibawah ini juga harus dipertimbangkan.

Aktualitas: Kehangatan berita. Bagi surat kabar harian, kejadian hari ini adalah liputan

hari ini. Terlambat sehari berarti basi. Wartawan selalu berpacu dengan waktu. Kejadian-

kejadian yang basi pasti tidak diturunkan sebagai laporan kecuali berita itu mempunyai nilai

magnitude (daya tarik yang berdampak) cukup besar.

Akurat: Kecermatan. Laporan harus disusun secara cermat terutama yang menyangkut

angka-angka. Juga nama sumber berita, kalau perlu seorang reporter mengulang wawancara

dan check and rechek untuk mendapatkan data yang akurat. Seorang reporter harus jeli

pengamatannya agar dapat mendeskripsikan objek berita dengan baik.

Angle: ini adalah segi yang dipilih. Misalnya ledakan di Bororbudur. Agar laporan

eksklusif wartawan yang baik pasti memilih segi ledakan itu sendiri. Justru yang ditekuni

adalah mengapa Borobudur diledakkan. Dan angle ini sudah tentu akan sebagai picu (newspeg)

menurunkan laporan.

48
Kelengakapan: artinya berita yang diturunkan harus ditulis secara lengkap dan utuh. Itu

tidak berarti reporter harus mengirimkan laporan sepanjang-panjangnya, tapi yang penting

bagaimana laporan itu disusun secara padat dan utuh.

Kronologis: laporan sebaiknya disusun berdasarkan urut-urutan waktu. Supaya bahan

yang didapat mengalir lancar.

Color: artinya warna. Dalam hal ini kita mereportasekan suatu kejadian. Misalnya

peristiwa kebakaran, tentu yang dilihat orang hanya kepanikan korban, tetapi jarang sekali

orang memperhatikan bagaimana uniknya pemadam kebakaran menyelesaikan tugas.

Magnitude: daya tarik. Tidak semua berita mempunyai keunikan untuk diturunkan. Berita

kecil di koran mungkin mempunyai magnitude untuk dikembangkan. Misalnya ekspor kelapa

Hybryda ke Saudi Arabia yang diberitakan harian Surabaya Post sebesar 1 kolom 8 baris

bagaikan iklam mini. Tapi majalah Tempo misalnya mengembangkan sebagai berita Ekonomi

Bisnis yang menarik.

Berimbang: Laporan yang turun harus berimbang. Artinya kita tidak boleh menghubungi

secara sepihak. Kita dilarang “menembak dari belakang”. Artinya memberitakan tentang kasus

seseorang tanpa menghubungi terlebih dahulu pihak yang akan ditulis.

Komposisi: penulisan berita terutama depth news hendaknya dengan gaya seperti orang

bercerita, bagian yang terpenting atau inti, peristiwa itu hendaknya dilukiskan di bagian depan

tulisan (lead). Sedangkan batang tubuh tulisan untuk memperjelas masalah kemudian dalam

ending kita pilihkan kalimat-kalimat yang berkesan. Misalnya yang membuat pembaca tetawa

49
geli sembari menggigit bibir atau bisa-bisa merah padam menahan kemarahan karena tulisan

berita tersebut.

Missi: ini adalah opini yang masuk dalam laporan. Missi yang baik ini adalah dengan

metode ‘meminjam mulut orang lain’. Artinya masukan opini yang datangnya bukan dari

penulis berita melainkan dari narasumber (sumber berita) yang diwawancarai (dan kebetulan

pas dengan selera misi institusi penerbit berita)

Humor : ialah kata atau kalimat kocak dan segar yang kita sisipkan pada potongan-

potongan paragraf laporan. Jangan terlalu banyak, niscaya akan menjemukan. Humor penting

dalam hal kita mengetengahkan laporan yang berat.

Outline: ialah perencanaan ini penting sekali bagi reporter maupun penanggung jawab

rubrik (Redaktur). Penggarapan laporan yang direncanakan dengan cara tertulis dan kronologis

akan memudahkan pekerjaan. Seorang reporter kalau perlu mencatat seluruh pertanyaan yang

akan diajukan pada sumber berita. Dan kemudian merekam jawabannya didalam alat ataupun

tulisan di notebook. Demikian juga catatan tentang pengamatannya, sementara penanggung

jawab rubrik menyiapkan penulisan yang baik diatas kertas.

Wawancara

TUJUAN pokok wawancara dalam dunia pers adalah mengumpulkan informasi. Karena

itu maka wawancara adalah bagian penting yang harus dikerjakan oleh seorang wartawan untuk

melengkapi laporan yang akan disusunnya. Laporan atau berita tanpa wawancara ibarat lukisan

setengah badan. Tidak lengkap dan tidak bisa ditangkap profilnya secara utuh.

50
Wawancara tidak saja dikenal dalam dunia jurnalisme, melainkan dalam dunia niaga dan

kedokteran, wawancara menjadi bagian penting seperti dalam dunia pers. Seorang kepala

bagian penting seperti dalam dunia pers. Seorang kepala bagian personalia perusahaan,

tentunya menyelenggarakan wawancara khusus terhadap pasiennya sebelum melakukan

diagnosis dan pengobatan. Kepala bagian personalia (SDM) melakukan wawancara bila

membuka rekrutmen tenaga baru. Semua itu dikerjakan untuk mendapatkan data-data yang

akurat dan lengkap tentang sesuatu yang diperlukan. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan

wartawan itu adalah data tentang sesuatu peristiwa yang akan ditulisnya.

Hasil wawancara seorang wartawan biasanya mencerminkan baik tidak sebuah laporan.

Seorang wartawan yang cektan, tentunya mengerti kaidah-kaidah yang menghasilkan

wawancara yang bagus untuk disusun dalam sebuah laporan. Dibawah ini beberapa kaidah

yang layaknya diperhatikan sebelum melakukan wawancara:

1. Sebelum menemui sumber berita (yang akan diwawancarai) wartawan telah

menyiapkan lebih dulu ahan-bahan pertanyaan yang akan ditanyakannya, (tentunya

sang wartawan sudah tahu dan bahkan telah menguasai masalah yang akan

ditanyakannya terlebih dahulu).

2. Selama wawancara, wartawan perlu mendorong sumber diwawancara agar terus bicara

mengenai masalah yang ditanyakannya. (Catatan: Bila sumber ngelantur, wartawan

boleh memotongnya dengan sopan sehingga sumber tak merasa; jika percakapannya

dipotong. Misalnya dengan mengalihkan pada pertanyaan berikutnya).

3. Jangan segan-segan mencatat semua jawaban yang diwawancara. Dan menanyakan

kembali hal-hal yang dirasa kurang jelas. Ini untuk menghindari kesalahan dalam

menulis laporan nantinya).

4. Banyak wartawan tidak menulis apapun sselama wawancara. Tetapi ia segera membuat

catatan yang terinci begitu wawancara selesai.

51
5. Jangan mengajukan pertanyaan yang memojokkan, kecuali jika wartawan punya ‘ide’

tertentu agar yang diwawancara menjawab dengan nada lain yang diharapkan bisa

untuk mendukung dalam laporan.

6. Selama wawancara, wartawan yang profesional, matanya jadi jeli sekali untuk

merekam semua sifat dan gerak-gerik yang diwawancara, sehingga dalam laporan yang

dibuatnya – sumber atau tokoh itu menjadi ‘hidup’

Sebelum menemui tokoh untuk diwawancara, biasanya wartawan melakukan riset terlebih

dahulu, mengamati subjek dari berbagai sisi, berbicara dengan subjek di rumahnya, sambil

mencatat. Terutama, ini wawancara khusus untuk penulisan features profil seorang tokoh,

misalnya.

Selama wawancara jangan lupa menciptakan suasana yang santai dn informal, kalau perlu

dengan sedikit menyelipkan kelakar dan lelucon yang membuat subjek tidak terasa hingga

mengeluarkan semua isi hatinya pada wartawan karena merasa sudah akrab. (Waetawan

memang harus dekat sumber berita denan menjaga jarak). Selama wawancara, manfaatkanlah

waktu yang sedikit itu untuk mencapai target wartawan menggali riwayat hidup dan gerak-

gerik sang tokoh, dengan cara: pertanyaan jangan sampai menyebal keluar dari angle yang

sudah ditentukan.

Feature

Feature dalam media cetak belum didefinisikan secara pasti (Nugraha, 2013). Menurutnya,

feature adalah semua bentuk tulisan selain artikel (kolom) dalam media cetak khususnya koran

yang bukan berita (news). Ada juga yang menyatakan feature sebagai softnews sebagai ‘lawan’

dari hard news.

Dapat dikatakan bahwa feature adalah karangan khas yang lebih mengulas sosok atau

cerita di balik peristiwa. Dalam penerbitan koran harian, biasanya feature muncul dalam bentuk

laporan human interest menyangkut orang ataupun peristiwa itu sendiri. Dalam arti luas,

52
sesungguhnya feature itu adalah karangan khas termasuk tajuk rencna dan opini. Semua jenis

karangan khas termasuk bagi penerbitan harian – penulisannya dikaitkan dengan kehangatan

yang sedang terjadi. Oleh karena tu, maka feature pun mempunyai kaidah-kaidah jurnalistik

yang tak eda dengan prinsip penulisan berita biasa.

Berita biasa disebut straight-news, sedangkan feature kerapkali disebut sebagai news in

depth. Yang satu merupakan berita langsung – biasa ditulis dengan komposisi kronologis

faktual. Sedangkan yang kedua disajikan dalam bentuk bertutur, bagaikan seorang

pendongeng. Pada dasarnya, titik berat feature pada gaya penulisan, yang tidak jarang terkesan

sebagai sebuah karya sastra. Isinya lebih berat pada human interest. Adapun tema yang sering

digarap tidak selalu menekankan pada aktualitas.

Ada kalanya feature itu merupakan follow-up dari suatu peristiwa yang beruntun di

halaman tertentu, kemudian segi lain dari kejadian ditulis dalam ‘kliping’ tersendiri secara

terpisah karena tidak mempunyai hubungan erat dan mata rantai langsung dengan jiwa

peristiwanya itu sendiri.

Misalnya bila terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas persis di palang pintu Kereta api.

Kejadian ini tak saja menarik untuk diliput, dan kemudian ditulis sebagai berita straight-news.

Melainkan sekaligus ada sisi lain yang bisa diangkat sebagai feature , dan punya magnitude

kuat lantara terkait dengan musibah itu, yakni profil penjaga pintu.

Dan akhirnya, wartawan yang jeli, sudah pasti tidak selamanya menunggu untuk menulis

feature. Ia terampil memilih tema-tema yang hangat dengan mengkaitkan peristiwa yang terjadi

– di luar sasaran yang akan dibidiknya. Misalkan di Madura terjadi kasus Waduk Nipah yang

menewaskan warga. Di Malang Anda dapat menulis sebuah feature tentang waduk

Karangkates misalnya, dikaitkan dengan sediminetasi yang mengancam usia bendungan itu.

Memilih angle (sisi) lain, namun tema tentang waduk yang tengah ramai dan hangat

dibicarakan masyarakat luas, niscaya akan menarik perhatian pembaca. Jangan lupa, menarik

53
minat baca masyarakat itu adalah tentu saja menjadi dambaan setiap penerbitan pers – baik

koran maupun majalahnya.

Akan hal bahasa feature dalam konteks ini dapat diibarkan sebuah kendaraan.

Penumpangnya adalah isi (bobot) tulisan. Teknik penyajiannya adalah bagaimana mengendarai

kendaraan tersebut. Isi laporan atau tulisan pada umumnya – tidak akan sampai ke tujuan

(diterima khalayak) bila kendaraan tak laik-jalan. Meskipun tampak luarnya bagus, akan tetapi

tanpa mengikuti aturan yang lazim, sebuah karangan khas dapat dipastikan gagal dama

mencapai tujuan.

Pada dasarnya bahasa pers (termasuk feature) adalah alat komunikasi yang mengikuti

kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia yang benar dan sudah baku. Selain itu, bahasa

jurnalistik ini harus tegas dan lugas serta menghindari banyak kalimat majemuk, jernih (mudah

ditangkap), segar dan menarik.

Walaupun demikian, objek, fokus, dan sumber bahan berita feature sama dengan berita

yang lain. Dan nilai feature seperti halnya pada nilai berita yakni terikat: magnitude (bahan

berita yang bernilai besar), timeless (tidak basi/abadi), proximility (kedekatan), dan

prominence (keterkemukaan). Satu lagi karakteristik penulisan feature yang tidak boleh

diabaikan menurut Nugraha (2013) adalah uniqueness (keunikan). Contohnya adalah saat

Pepih Nugraha menulis sosok di Kompas tentang Aep Suharto, seniman Bandung pembuat

boneka (manikin) seukuran aslinya. Ia melihat Aep kemana-mana selalu menenteng manikin

dirinya sendiri, sehingga terlihat seperti seseorang yang menggendong kembarannya. Bahkan

suatu kali, Aep kesulitan memperoleh taxi karena tak satupun taxi mau membawa Aep dan

manekin kembarannya.

Bagi Pepih, menulis sosok adalah menulis kehidupan seseorang atau menulis tentang

perjalanan hidup seseorang. Lebih jauh ia berpendapat bahwamenulis sosok adalah upaya

menganalisis dan menafsirkan sejumlah peristiwa dalam dalam kehidupan seseorang serta

54
peristiwa luar biasa yang menimpa seseorang. Ada tips menarik dari Pepih sebelum

menentukan seseorang layak ditulis atau tidak adalah dengan mengajukan pertanyaan

sederhana: Apa yang membuat orang tersebut spesial atau menarik untuk ditulis, atau apakah

yang dilakukan orang itu bermanfaat buat orang lain sehingga mengguncang dunia bahkan

mengubah tatanan dunia sebagaimana yang dilakukan Timothy Berners-Lee, si pencipta

internet.

Lead Berita

Paragraf pertama dalam sebuah berita disebut “lead”. Lead ini bagian terpenting dari

keseluruhan cerita berita dan bagian paling sulit menuliskannya. Secara tradisional, lead

merupakan ringkasan keseluruhan serita sehingga pembaca dapat segera memutuskan apakah

dia masih ingin membacanya.

Dalam hal ini pembaca tidak perlu kehilangan waktu dan upaya secara sia-sia. Dan

meskipun hanya membaca mereka dapat memperoleh sebjumlah besar isi sleuruh cerita. Pada

redaktur koran mengutamakan penggunaan lead-lead ringkasan karena pembaca lebih suka

membaca sekilas satu cerita ke cerita yang lain, dan hanya membaca yang dianggap penting.

Jika sebuah lead gagal menunjukkan pentingnya berita pada oembaca atau lead itu kacau dan

membingungkan mereka akan segera pindah ke cerita lain daripada membaca paragraf-pargraf

berikutnya.

Sebelum para reporter bisa menulis lead yang efektif , mereka pertama-tama harus belajar

memahami apa itu berita. Lead yang gagal menekankan berita detil-detil paling penting dan

membuat enak baca harus dicampakkan, betapa pun baiknya lead itu ditulis.

Setelah menemukan fakta-fakta apa saja yang patut dijadikan berita, seorang reporter

kemudian harus meringkas fakta-fakta itu dalam kalimat tajam dan jelas sederhana, langsung

mengungkap apa yang terjadi. Penyajiannya adalah bagaimana mengendarai tersebut. Isi

laporan atau tulisan pada umumnya tidak akan sampai ke tujuan (diterima khalayak) bila

55
kendaraannya tak layak jalan. Meskipun tampak lurusnya bagus, akan tetapi tanpa mengikuti

aturan yang lazim, sebuah karangan khas dapat dipastikan gagal dalam mencapai tujuan.

Pada dasarnya bahasa pers (termasuk feature) adalah alat komunikasi yang mengikuti

kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia yang benar dan sudah baku. Selain itu, bahasa

jurnalisitik ini harus tegas dan lugas serta menghindari banyak kalimat majemuk, jernih (mudah

ditangkap), segar dan menarik.

Baik buruknya sebuah tulisan atau karya jurnalistik dinilai dari tiga aspek: bobot, bahasa

dan teknik sajian (sistematika dan komposisi). Dan nilai feature seperti halnya pada nilai berita,

yakni terikat: magnitude (bahan berita yang bernilai besar), timeliness (tidak basi), proximity

(kedekatan), prominence (ketermuakaan) human interest dan berdampak. Di malam Abraham

Lincoln tertembak, koresponden The Associated Press menulis lead berikut ini, yang ringkas

dan langsung ke persoalan.

WASHINGTON, JUMAT, 14 APRIL 1865

Presiden tertembak di sebuah teater semalam, dan meninggal akibat luka parah.

Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam sebuah lead.

Dulu setiap lead selalu dibuat untuk menjawab enam pertanyaan: Who? How? Where?

Why? When? Dan What?. (Siapa, Bagaimana, Dimana, Mengapa, Kapan dan Apa). Koran-

koran sudah meninggalkan gaya penulisan yang kaku itu karena lead yang menjawab, keenam

pertanyaan itu menjadi terlalu panjang dan kompleks.

Lagipula jawab terhadap seluruh pertanyaan itu tidak selalu penting. Karena hanya

sebagian pembaca yang tinggal di kota-kota besar mengetahui orang-orang yang tercakup

didalam cerita rutin, nama-nama dari mereka yang tak muncul di lead. Penulisan waktu dan

56
tempat terjadinya peristiwa secara persis barangkali juga tidak penting. Kini, lead hanya

menekankan jawaban atas pertanyaan yang paling penting di antara yang enam tadi, yang

berebda-beda dari satu cerita ke cerita lainnya. Contoh berikut adalah lead tradisional yang

berusaha menjawab keenam pertanyaan sekaligus. Revisinya, yang mengikuti style yang

diutamakan saat ini, hanya menjawab pertanyan-pertanyaan terpenting.

Kartono, 18 tahun, mahasisswa Universitas Indonesia dan puteri Mohammad dan Nyonya

Farida, meninggal dunia sekitar pukul 03.00 Rabu saat mobilnya menabrak tiang listrik di Jalan

Merdeka 12.

REVISI: Seorang mahasiswa berumur 18 tahun tewas Rabu saat mobilnya menubruk tiang

listrik sepulang sekolah.

Untuk menentukan pertanyaan-pertanyaan apa saja yang paling penting untuk sebuah

cerita yang perlu anda tulis, perhatikanlah hal-hal berikut ini:

1. Informasi apakah yang paling penting – apa tema atau topik utama cerita?

2. Apakah yang telah dikatakan atau dilakukan mengenai topik itu – apakah yang terjadi

atau tindakan apa saja yang telah diambil.

3. Apa perkembangan-perkembangan paling baru – apakah yang terjadi hari ini dan

kemarin?

4. Fakta-fakta apakah yang luar biasa?

Setiap lead di bawah ini menekankan jawaban hanya pada satu dari keenam pertanyaan dasar

pertanyaan yang tampaknya lebih penting bagi suatu cerita tertentu.

WHO: Tiga lelaki berumur antara 16-21 tahun, hari ini dijatuhi hukuman 20 tahun terbukti

melakukan pembunuhan.

57
WHERE: Angin kencang 35 ribu kaki diatas Selat Malaka menghantam jatuh pesawat MH370

sehingga menewaskan seluruh awak dan penumpangnya.

WHY: Dihadapkan pada masalah dan kesulitan keuangan, AR membunuh majikannya.

WHAT: Detik-detik setelah dua orang gadis meninggalkan toko emas Ahad sore, penjual toko

menemukan bahwa 50 kalung emas senilai hampit Rp 1 milyar lenyap dari etalase yang

dibukakan untuk mereka.

WHAT: SURABAYA Satu dari tiga lelaki menyeleweng, ungkap penelitian yang dilakukan

seorang sosiolog Universitas Gadjah Mada.

Struktur Kalimat untuk Lead

Lead umumnya terdiri dari kalimat tunggal (bukan kalimat majemuk), dan kalimat itu

sendiri harus mengikuti seluruh aturan tata bahasa, tanda baca, penggunaan kata dn kata kerja

masa lalu, bukan kini.

Selain itu lead harus merupakan kalimat lengkap. Reporter yang belum teraltih sering

menggunakan kalimat tak lengkap.

Manusia di atas rel kereta api.

REVISI: Seorang lelaki asal Bekasi tewas Senin pagi, ditabrak kereta api saat melintas rel

stasiun Tugu.

Pesta berakhir jadi tragedi karena dua wanita meninggal dunia.

REVISI: Dua gadis berumur 7 tahun yang menghadiri pesta ulangtahun tewas ketika

memanjat tong dalam permainan ciluk ba.

58
Sebagian besar lead hanya terdiri dari dari satu kalimat. Lead yang terdiri dari dua tiga

kalimat seringkali bersifat pengulangan dan obral kata, khususnya ketika semua kalimat sangat

pendek.

Seperti kebanyakan lead multikalimat, contoh berikut ini sebenarnya dapat digabungkan

lebih ringkas menjadi kalimat tunggal.

Pemuda Jakarta mengeluarkan laporan tentang penerima hadiah kebersihan kelurahan hari

ini. Laporan itu menyebutkan, jumlah kelurahan yang kotor lebih banyak dari yang bersih.

REVISI: Pemuda Jakarta melaporkan hari ini, jumlah kelurahan kotor lebih banyak dari

yang bersih.

Para reporter masih menggunakan lead yang terdiri dari dua kalimat jika memang benar-

benar terpaksa. Seringkali, kalimat kedua dipergunakan untuk menekankan fakta menarik atau

unik tetapi dilihat dari kepentingannya berada pada tingkat kedua. Bisa juga itu dilakukan

karena kemustahilan meringkas seluruh informasi penting tentang suatu tema yang kompleks

di dalam sebuah kalimat tunggal. Contoh berikut, yang diambil dari The Associated Press,

mempergunakan kalimat kedua untuk meringkas hal yang penting yang unik dan sifatnya

sekunder.

Para reporter menghadapi persoalan struktur kalimat karena, sebagai pemula, mereka

mencampur adauk antar lead cerita dengan headlinenya. Lead adalah paragraf pertama dari

sebuah cerita berita. Sedangkan headline merupakan ringkasan singkat yang muncul dalam

bentuk luas diatas cerita itu. Sebagian besar headline ditulis oleh redaktur, bukan reporter.

Untuk menajaga ruang, para redaktur hanya mempergunakan kata kunci di tiap headline.

Namun, gaya penulisan seperti itu tidak layak untuk lead.

59
Saat menulis lead, reporter mempergunakan kalimat yang relatif sederhana. Sebagian

besar kalimat lead dimulai dengan subjek, yang selanjutnya diikuti kata kerja aktif, kemudian

oleh objeknya. Para reporter hanya mau menyimpang dari gaya penulisan ini bila mereka ingin

menegaskan unsur lain sebuah cerita.

Lead yang dimulai dengan klausa dan frase yang panjang mengurangi kejelasan kalimat-

kalimat sederhana dan langsung. Klausa-klausa pengantar yang panjang juga mengacaukan

lead, menenggelamkan berita di dalam setumpulan detil-detil yang kurang berarti.

Karena dimulai dengan klausa, lead dalam contoh berikut ini gagal dalam menegaskan

fakta yang lebih penting dan gagal. Melaporkan fakta itu secara jelas dan langsung.

Ketika sedang dalam patroli rutin, seorang petugas polisi berhasil mengungkap, bahwa

beberapa penjahat telah mencongkel pintu belakang toko minuman di Blok M dan mencuri 100

krat minuman merk Coca Cola Ahad malam.

Penulisan Artikel

Artikel, esai dan opini mempunyai makna yang berbeda-beda. Artikel berarti karya tulis

lengkap dalam majalah atau surat kabar. Sedangkan esai adalah karangan prosa yang

membahas suatu masalah secara sepintas lalu, dari sudut pandang pribadi penulisnya. Adapun

opini ialah pendapat, pikiran, dan atau pendirian.

Jelaskan ketiga kosakata punya makna yang tidak sama. Yang pertama mengena pada

jurnalistik, karena pada dasarnya setiap karya tulis di media massa itu dapat dikatakan sebagai

artikel, ini pengertian secara umum. Kemudian esai, lebih menukik, karena karya ini

merupakan artikel yang berisi muatan-muatan pendapat dan pikiran penulisannya tentang suatu

masalah tertentu (yang disyaratkan harus masih hangat) dibahas dalam bentuk suatu tulisan

jadi.

60
Sedangkan opini, sebenarnya bukanlah suatu model karya jurnalistik (lihat kamus)

melainkan berarti pendapat atau pendirian. Dan kata opini kemudian melekat dalam pers,

karena itu dijadikan nama rubrik bagi yang membuat esai: para penulis tamu pada suatu

penerbitan pers. Maka populerlah disebut rubrik yang menampung tulisan luar itu sebagai

Rubrik Opini.

Berikut diketengahkan beberapa contoh bentuk tulisan esai:

1. Tajuk, hanya karya tulis yang dikerjakan pemimpi redaksi suatu penerbitan pers atau

tim redaksinya. Berisi sikap, pendirian dan pendapat medianya tentang suatu masalah

tertentu.

2. Opini ‘kapling’ khusus untuk para penulis luar dengan kriteria yang ditetapkan oleh

redaksi. Setiap media cetak memiliki kriteria berbeda dengan media lainnya (ini

tergantung misi yang diembannya masing-masing).

3. Surat Pembaca, artikel yang dikirim oleh pembaca demi mengomentari berita yang

pernah dimuat atau memberikan informasi tambahan tentang berbagai masalah tertentu.

(Kriteria SP ini lebih sederhana ketimbang kriteria Rubrik Opini).

4. Feature, tak lain adalah karya jurnalistik yang menekankan penulisan segi-segi human

interest (ditulis wartawan atau penyumbang dari luar). Dibanding dengan berita biasa

(depthnews), karya ini dapat diawetkan (tak mudah basi). Dan gaya penulisannya

seperti menuajikan berita.

5. Resensi, ini sebuah artikel kritis mengenai buku, kaset, film, sinetron dan sebagainya.

Dalam karya ini penulisnya mengevaluasi produk tertentu, menyatakan kelebihan dan

sekaligus kekurangannya.

6. Sketsa, karya ini merupakan tulisan ringan tentang sesuatu fakta berupa anekdot

biasanya muncul disertai gambar kariatur. Di TEMPO (almarhum-pen) artikel ini

ditampung dalam Rubrik Indonesia.

61
Diantara kelima artikel itu, yang paling ‘seratus’ adalah Opini. Kriteria khusus karya tulis

‘ilmiah populer’ ini adalah sebagai berikut:

1. Nalar, logis dan argumentatif

2. Ada ide/gagasan baru.

3. Ditulis dalam bahasa Indonesia yang benar, baik dan baku.

Bagaimana teknik menulis artikel? Pertanyaan ini gampang-gampang susah dijawab.

Gampang, sebab saya percaya bahwa setiap orang niscaya bisa menulis, minimal menulis surat

– paling tidak artikel tak sama dengan menulis ‘karya bebas’ seperti ‘surat keluarga’ itu.

Penulisnya perlu pengalaman praktis dan harus bersedia melakukan semacam ‘uji coba’ dengan

cara seperti orang naik sepeda. Sekali dua kali mungkin ia terjatuh karena menabrak pagar

sampai runtuh, toh lama-lama bisa juga seperti lainnya. Bukanlah kata pepatah ‘mengaji dari

alif’.

Anda harus berlatih untuk mencoba dan mendiskusikanya dengan mereka yang lebih

senior dalam dan berpengalaman bidang ini. Dan satu lagi yang tak boleh ditinggalkan bagi

yang berminat menulis artikel (apa saja bentuk karya tulisannya) adalah meningkatkan

intensitas kebiasaan membaca buku, terutama pada bidng studi yang diminati atau menjadi

keahliannya. Dan teknik yang mau Anda gunakan dalam menulis bahan yang ada, tergantung

pilihan: banyak penulis kondang dapat Anda jadikan sebagai acuan untuk mempola khas Anda

sendiri.

Berhubung fungsinya tak lain adalah memberitahukan kepada khalayak ramai, maka

tulisan artikel harus mudah dicerna dan dipahami oleh strata masyarakat kelas bahwa hingga

kelas atas. Artinya, boleh anda menulis masalah statistika yang ruwet dengan angka-angka itu,

tapi karena penyajiannya dengan gaya bahasa populer, maka orang awam pun dapat mengerti

62
dengan baik pesan-pesan yang sampaikan. Maka darisitu kemudian timbul istilah Artikel

Ilmiah Poupuler.

Disamping penulisannya bersifat poupuler, sebuah karya tulis artikel opini juga dituntut

harus memenuhi kriteria sebagai berikut.

1. Bersifat eksplanatif

2. Bersifat argumentatif

3. Bersifat interpretatif.

Bersifat eksplanatif

Ekspalanatif artinya menjelaskan atau menerangkan. Dari pengertian ini memberikan

makna, bahwa sebuah tulisan artikel opini harus mampu memberikan penjelasan yang

mendalam tentang suatu fakta peristiwa. Dalam hal ini tentu penulisnya dituntut memiliki

pengetahuan yang cukup tentang hal-hal yang menjadi pokok bahasnya. Tanpa pemahaman ini

wujudnya artikel tidak hanya dangkal, namun juga dapat menimbulkan salah pengertian.

Kesalahpahaman dalam opini (di tenah para pembaca atau masyarakat) sebagai akibat salah

memberikan pengertian, hingga dapat menimbulkan kerawanan sosial dalam bidang politik,

ekonomi maupun stabilitas keamanan.

Sebab itulah untuk menjadi seseorang kolomnis, seseorang dituntut memilki wawasan

keilmuan yang luas, dan yang terpenting harus punya ‘nyali’ dan keberanian untuk

mempertanggungjawabkan tulisannya.

63
Bersifat argumentatif

Seperti dikemukakan di atas, selain memhami akar permasalahannya, sebuah artikel opini

harus mengandung unsur argumentasi. Dengan demikian, penjelasan-penjelasan yang

dikemukannya bukan didasarkan pada pokok-pokok pikiran dan atau ide yang irrasional.

Misalnya, kita meramalkan sesuatu yang tanpa dasar referensial.

Untuk memperoleh argumentasi yang kuat dan valid, seorang penulis dapat mengambil

data dari berbagai sumber, baik dari BPS (Badan Pusat dan Stattistik), lembaga-lembaga

penelitian, maupun melalui penelitian sendiri data ini dapat berwujud angka maupun

penjelasan-penjelasan teknis, selain data, argumentasi tulisan dapat bersumber dari pendapat-

pendapat pakar.

Bersifat Interpretatatif

Selain bersifat eksplanatif dan argumentatif, karya artikel opini juga harus bersifat

interpretatif. Dan yang terakhir ini ternyata paling sulit, dibandingkan dengan dua kriteria

sebelumnya.

Artikel pada hakikatnya adalah karya jurnalistik, yang boleh jadi didahului survei dan

penelitian terhadap salah satu masalah tertentu. Teknik penulisan karya ini jelas tidak terlepas

dari kaidah yang paling elementer dalam jurnalistik, yaitu tteori 5 w plus 1H ( 5 = What, When,

Where, Who, dan Why + 1H = How) atau Apa, bilamana, dimana, siapa dan mengapa +

bagaimana.

64
Artikel Yang Layak Muat

Setiap artikel atau tulisan yang layak muat, selain harus memenuhi kriteria yng paling

elementer dalam kaidah jurnalistik, yaitu 5 W + 1_H – juga seyogyanya harus mengindahkan

beberapa hal sebagai berikut.

1. Newspeg: yaitu centelan berita. Layak Muat tidak akan pernah menurunkan laporan

tanpa alasan teknis dan ada unsur pendukung yang jelas. Artinya, harus ada trend

kehangatan. Misalkan ada laporan soal presiden RI, Ir. Joko Widodo, tetapi ia tidak

mengadakan kegiatan ‘magnitude’ karena hanya sedang meresmikan Masjid Jami’

Jawa Timur, maka berita ini tidak layak dimuat kecuali ada pernyataan yang signifikan.

Misalnya lewat peresmian berjanji akan memberantas KKN di dalam kabinet reformasi

yang dibentuknya. Maka momentum kunjungnya ke Jawa Timur jadi peristiwa yang

spektakuler.

2. Angle: sisi yang kita pilih dari suatu rencana penulisan. Misalnya bila terjadi suatu

peristiwa, boleh jadi kita tampil berbeda dengan tabloid atau majalah berita yang lain,

karena kesengajaan memilih angle (segi) yang lain.

3. Kritis: yang menjadikan setiap tulisan nanti tampil beda dari berita-berita harian,

adalah karena kita tampil dengan sajian yang kritis. “Jangan percaya hanya pada satu

sumber,” itulah pesan wartawan senior AS, Pulitzer kepada reporter lapangan. Karena

memang pada umumnya , sumber berita umumnya, sumber berita itu berupaya

menutupi hakikat peristiwa yang merugikan diri dan pihaknya. Sebaliknya, jika

menguntungkan, ia akan mengungkap secara berlebihan. Karena itu untuk mengatasi

ini, setiap waratwan “LAYAK MUAT” harus menguji dengan melakukan “check and

recheck” pada setiap informasi yang didapat dan segera akan diolahnya.

4. Relevansi: ini menyangkut hubungan berita itu dengan khalayak pembaca. LAYAK

MUAT dapat menurunkan laporan masalah suksesnya pengusaha asal Jawa Timur di

65
Jakarta. Bagi standar Indonesia tulisan profil ini jadi menarik, karena ada relevansi

dengan masyarakat Jawa Timur, dengan mayoritas sasaran pembaca LAYAK MUAT.

5. Berimbang: artinya setiap berita harus diliput secara balance (berimbang) apapun

tanggapan pihak yang barangkali dirugikan dalam berita itu, kita beri kesempatan

untuk membela. Ingat, wartawan bukan hakim yang dapat memvonis terdakwa. Maka

hendaknya wartawan mengkonfirmasikannya setiap temuan di lapangan yang didapat

kepada pihak yang terkait dengan berita dan sumbernya.

6. Lengkap: seperti layaknya laporan features, tulisan yang dimuat LAYAK MUAT

harus lengkap dan utuh. Laporan dimaksud bukan model berita stright-news. Lengkap

dan utuh disini bukan berarti panjang dan bertele-tele.

7. Komposisi: naskah yang ditulis harus menggunkana Bahasa Indonesia yang baik dan

benar. Cara penyampaian halus dan etis. Kalimat-kalimatnya pendek. Sesekali disisipi

humor segar yang enak dan kocak, walaupun kita sedang menulis sesuatu yang serius.

Tulisan yang kocak akan menyegarkan pembaca, jangan lupa fungsi pers juga sebagai

sarana hiburan selain memberikan informasi yang akurat. Hindari pemakaian istilah

asing yang tidak mudah dimengerti. Kalau toh terpaksa, hendaknya diartikan dengan

bahasa yang sejuk meskipun Anda sedang menulis laporan yang “panas”. Alam setiap

tulisan seyogyanya wartawan menyisipkan pesan-pesan moral dan etika. Sehingga

pembaya LAYAK MUAT tidak sekedar mendapat informasi, tetapi juga “sesuatu yang

berkesan”, Tetapi penyampaiannya seperti orang sedang berkhutbah.

8. Foto: semua tulisan sedapat mungkin disertai foto-foto ‘action’ yang menarik dan

relevan dengan isi tulisan. Kalau ada juga karikatur/sketsa/vignet dan sejenisnya.

Semua foto dan sketsa (karikatur) harus tetap kritis dan etis.

66
9. Riset dan redaksi: setiap naskah yang akan diturunkan sedapatnya dilengkapi riset

kepustakaan dan dokumentasi yang memadai. Dari lapangan kita tak mendapatkan

angka-angka yang pasti, kecuali dari riset redaksi.

10. Outline: sebelum melaksanakan peliputan dan atau penulisan naskah, setiap wartawan

harus mempersiapkan outline yang jelas (disiapkan redaktur/redpel)menyangkut apa

saja yang akan diliputnya (juga daftar wawancara tetulis). Bagi penulis naskah

(redaktur), hendaknya memuat outline serta peunulisan sebelum memulai

pekerjaannya.

Penulisan Opini Dan Kolom

Naskah Opini, ialah suatu bentuk karangan merupakan sumbangan penulis luar kepada

penerbitan pers surat kabar harian ataupun majalah.

Penulis opini di media massa, biasanya disebut Kontributor atau penyumbang. Dan sudah

tentu, tulisan opini berisi opini (pendapat), komentar, ide dan gagasan penulisnya mengenai

sesuatu masalah (yang ditulis semata-mata berdasarkan keahlian/spesialisasinya atau lantaran

ia menguasai masalah itu dengan baik.

Contoh nama-nama penulis (kontributor) berbagai media massa berdasarkan spesialisasinya:

- Zuhairi Misrawi (Timur Tengah)

- Alfan Alfian (Politik)

- Rhenald Kasali (Pendidikan dan Manajemen)

- Emha Ainun Najib (Budaya)

- Iwan Pranoto (Pendidikan)

- Quraish Shihab (Agama) dan seterusnya.

67
Opini, belakangan ini (bagi koran maupun majalah) menjadi nama rubrik di beberapa

penerbitan pers. Namun dalam menyusun rubrikasi, ada juga media massa yang lebih suka

memakai nama rubrik KOLOM. Pada hakikatnya kolom ini adalah suatu artikel pendek yang

berisi suatu topik aktual dalam satu halaman tuntas (selesai) dalam satu’kapling’ tersedia.

Penulis kolom lazim misalnya disebut kolomnis. Tetapi, sebutan yang populer adalah

kontributor (penyumbang naskah)

Jenis-jenis naskah OPINI atau KOLOM itu:

a. Artikel (Umum) # Agama

# Budaya

# Ekonomi & bisnis (termasuk manajemen)

# Pemerintahan

# Politik

b. Resensi

- Buku

- Film ( bioskop & video)

- Kaset lagu-lagu

- Karya seni, misalkan: tari, lukisan dan kerajinan lainnya.

Cara penulisan naskah, OPINI pada dasar tak ubah seperti penulisan sebuah “feature”

berita. Karya ini terikat kaidah-kaidah dasar (elementer) jurnalistik.

5W + 1H (yakni: What + apa, Who + siapa, Where = dimana, when = kapan, why= mengapa

& How = bagaimana.

68
Setiap media massa, tentu sudah sudah mempunyai kriteria kelayakan naskah sumbangan

dari luar. Ini penting diberikan pada para kontributor, untuk memudahkan para penulis agar

karyanya lebih ‘kena’.

Selain yang tersebut dalam kriteria, sebenarnya ada beberapa bagian kriteria yang perlu

diindahkan:

1. Magnitude, yaitu daya tarik (kalau yang menyangkut materi: biasanya menentang arus,

dan dapat menimbulkan polemik. Sedangkan penyajiannya, bisa dalam komposisi

lincah dan sanggup membuat ‘greget’ pembacanya).

2. Lengkap, artinya tulisan itu dibuat utuh dan padat.

3. Akurat, yaitu cermat dalam penyebutan berbagai istilah dan angka-angka . Juga cermat

dalam pemilihan kata-kata.

4. Informatif, artinya punya nilai informasi tinggi (misalnya: pemberitahuan soal-soal

yang tak mungkin akan disiarkan oleh umum)

5. Ekslusif. Yakni masalah yang diangkatnya belum jamak atau sudah diketahui. Artinya

topik dan tema yang diketengahkan baru pertama kali dan satu-satunya hanya

didapatkan penulis itu.

6. Angle: artinya sisi atau segi yang dipilih oleh penulis. Kalau semua orang sama menulis

soal ramalan Pemilu 2014, maka segi apa yang kita pilih harus jelas, agar terhindar dari

kemajemukan tulisan yang ada. Sehingga benar-benar tulisan kita bisa kena dana pas

(juga tidak sama dengan tulisan orang lain).

7. Orisinal, tulisan itu harus asli dan bukan merupakan transfer dari pikiran orang lain.

8. Argumentatif, disertai argumen dari sumber yang layak untuk dikutip.

69
Perbedaan tulisan/naskah OPINI dengan asala atau artikel ‘features’ ialah:

- OPINI, ialah tulisan mengulas permasalahan yang hangat di kalangan masyarakat

dan mengandung ide atau gagasan baru penulisnya. Dan tanggung jawab tulisan ada

pada penulis yang tercantum namanya itu.

- FEATURES, pada hakikatnya adalah sebuah lapora berita (depth news) yang diulas

secara mendalam berdasarkan fakta-fakta dalam suatu peristiwa yang menarik

(misalnya human interest), tanpa dominasi opini penulisnya. Tanggung jawab

tulisan pada tim redaksi.

Tempat (Pos) Wartawan

Setiap penerbitan pers, baik yang terbit dari ibukota maupun di daerah-daerah telah

mengorganisasikan wartawan di tempat-tempat tertentu atau pos masing-masing. Penempatan

pada pos ini biasanya dijabat oleh koordinator Reportase (Koordinator Liputan)

Tujuan pos tersebut agar peristiwa yang terjadi di bawah pantauan itu tidak terlepas. Di

samping sistem pos ini dianggap sebagai saran yang ampuh untuk membangun lobby bagi para

wartawan. Di samping ada segi positifnya, sistem itu memiliki kelemahan-kelemahan. Antara

lain, pihak yang dijadikan pos tak jarang memanfaatkan wartawan untuk kepentingan

lembanganya, sehingga karena tarikan kepentingan itu maka tak jarang sistem ini merugikan

lembaga penerbitan di satu pihak, dan menguntungkan pihka yang punya pos dilain pihak.

Apa saja yang termasuk pos-pos itu dan bagaimana ketentuannya dapat dijelaskan sebagai

berikut.

1. Yang dimaksud dengan departemen atau atau lembaga negara disini adalah instansi

pemerintah, termasuk jajaran dibawahnya, Departemen Keuangan, misalnya disini

temasuk juga Dirjen Moneter, pajak, Bea dan cukai dan sebagainya. Kecuali kalau ada

yang disebut secara khusus.

70
2. Segala peristiwa yang terjadi di departemen tersebut adalah tanggung jawa reporter

yang nge-pos di instansi itu.

3. Monitor kegiatan di Instansi tersebut harus dilakukan setiap hari. Bahkan setiap empat

jam sekali. Ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya berita lolos atau tiba-tiba

ada pemberitahuan off the record (tak boleh disiarkan) dan sebagainya.

4. Dalam hal ada informasi oenting dan menarik yang diperolah secara beramai-ramai

dengan wartawan media lain, reporter harus berinisiatif untuk mendapatkan informasi

tambahan yang eksklusif atau pengembangan dari informasi yang lolos itu.

5. Dalam hal reporter berhalangan masuk atau mendapatkan giliran waktu liburan secara

dini ia harus melaporkan ke kepala biro (jika di daerah) atau langsung ke koordinator

Reportase untuk dicarikan penggantinya guna memonitor posnya.

6. Karena dalam pembagian pos ini, sebagian reporter harus merangkap beberapa pos,

maka apabila satu reporter menemui banyaj acara secepatnya ia harus memberitahukan

kepada kepala biro. Selanjutnya akan dicari penggantinya.

7. Apabila reporter memeperoleh berita yang perlu dikembangkan, diharapkan

secepatnya ia mengontak kepala biro, dengan memberitahukan persoalan di berita itu.

8. Khusus untuk pos DPR, apabila ada Raker antara DPR dengan salah satu

departemen/Instansi, maka yang bertugas adalah reporter Departemen keuangan.

Meski demikian, reporter DPR harus bertanggungjawab atas semua peristiwa di DPR,

minimal dia harus tahu dan memberitahukan ke kepala biro.

9. Bila reporter tidak memperoleh berita dari lapangan, diharapkan segera kembali ke

kantor atau mengontak ke Kepala Biro.

71
Mengumpulkan Bahan Tulisan (Data)

Cara mencari bahan atau informasi untuk dijadikan berita, yang terpenting diantara nya

adalah wawancara, selain menyaksikan dengan mata sendiri dan mencarinya di dokumentasi.

Sumber yang dihubungi haruslah sumber yang berwenang, baik itu lembaga, badan ataupun

orang. Bahan yang dicari semaksimal mungkin harus eksklusif, yang tidak atau belum

diperoleh wartawan media lain.

Kelengkapan berita seperti ditunjukkan oleh unsur 5W + 1H harus dipenuhi. Pada

dasarnya, ada dua jenis wawancara. Pertama wawwancara sekilas, yaitu untuk memperoleh

data yang tidak banyak. Kedua wawancara eksklusif. Jenis wawancara pertama, misalnya

dimintakan kepada sumber-sumber tokoh yang dimintai pendapatnya, seperti anggotta DPR,

menteri atau saksi peristiwa. Wawancara jenis kedua, berupa wawancara untuk menampilkan

sosok seorang sumber secara utuh.

Sebelum kita melakukan wawancara, sebaiknya kita sudah ‘menguasai’ persoalan.

Penguasa ini penting karena agar dalam wawancara terjadi dialog. Artinya sumber akan

menghargai pewawancara tahu persoalan. Jika pewawancara tidak tahu persoalan maka terjadi

monolog, sumber saja yang berbicara sehingga bukan tidak mungkin sumber menjadi bosan.

Pengetahuan akan pribadi sumber juga penting. Usahakan agar sumber merasa senang,

misalnya dengan memberi lelucon, menyinggung kesenangannya. Pokoknya, suasana yang

dibangun diharapkan bisa memperlancar wawancara.

Dalam mengajukan pertanyaan, jangan menyudutkan sumber. Jika kita mendesaknya,

bisa-bisa sumber merasakan dirinya diperlakukan sebagai ‘pesakitan’. Pertanyaan yang

interogatif membuat posisi sumber berada dibawah pewawancara. Kenyataan yang diharapkan,

sumber dalam posisi diatas karena dia yang akan kita mintai bahannya, dia yang memberi.

Maksimal posisi adalah sederajat.

72
Jika berhadapan dengan sumber yang pelit, jangan segan-segan melakukan tawar-

menawar. Akan tetapi, jika sumber kemudian memutuskan bahwa bahan yang diberikan adalah

off the record adalah salah satu etika jurnalistik yang harus dipegang oleh pewawancara.

Karena itu adalah kode etik yang harus dilaksanakan oleh jurnalis.

Segala informasi yang diperoleh dari wawancara sebaiknya direkam. Jangan

mengandalkan diri pada ingatan saja. Rekaman dapat dilakukan catatan tertulis bisa juga

dengan merekam suara.

Menjelang selesainya wawancara jika waktu ukup, usahakan melakukan pengecekan ulang

atas hasilnya. Simpulan-simpulan terpenting dibacakan, apakah salah atau sudah betul. Tutup

wawancara dengan ucapan terimakasih.

Wartawan secara umum harus mengetahui etiket. Sopan santun perlu diterapkan. Jam

bertamu, bagaimana cara makan yang baik, bagaimana dudu,k, bagaimana mengajukan

pertanyaan, dan lain-lain harus dilakukan dengan sopan. Rapikan diri (pakaian, rambut)

sebelum menemui sumber. Bau keringat yang tidak harum supaya dihindarkan. Pegang waktu-

janji-kencan dengan sebaik-baiknya.

JUMPA PERS: Kegiatan pemberian informasi oleh lembaga atau pribadi kepada banyak

wartawan. Sebaiknya wartawan mengajukan pertanyaan sebagai tanda bahwa medianya eksis.

Jika ada pertanyaan kunci, ajukan pada waktu jumpa pers sudah selesai, supaya memperoleh

jawaban yang eksklusif, artinya, tidak banyak didengar oleh wartawan lain.

Editing

Pengertian

Editing adalah proses menilai atau mempertimbangkan serta mengolah bahan-bahan yang

disiaplkan untuk

73
E

editing · 73
publikasi (artikel, foto, dan materi publikasi lainnya) sampai mencapai bentuk final yang

dipandang layak untuk disiarkan.

Editor (penyunting) haruslah wartawan yang telah memilikipengalaman lapangan yang

cukup, menguasai suatu atau beberapa bidang masalah dengan baik, memiliki kemampuan

kreatif dalam perencanaan laporan, menguasai teknik penulisan setiap artikel jurnalistik,

paham akan etika jurnalistik dan aspek hukum pemberitaan, arif dalam menyeleksi bahan

publikasi untuk khalayak, cermat, pandai mempergunakan bahasa secara efektif, dan harus

memiliki kemampuan dalam menuntun serta mendidik reporter yang menajdi bawahannya.

Dalam diri seorang editor harus ada kemampuan berpikir seperti intelektual dan

kemampuan bekerja yang terampil seperti tukang.

Menilai dan mempertimbangkan artikel

Aspek nonteknis

1. Manfaat (informatif, mendidik, menghibur) artikel, foto, dan maetri publikasi lainnya

jika disiarkan untuk publik

2. Kebaruan fakta atau ide pada artikel, foto, dan materi publikasi lainnya dibandingkan

dengan yang pernah disiarkan.

3. Hal-hal yang ebrsifat berbahaya yang dikandung artikel, foto, dan materi publikasi

lainnya diapandang dari segi hukum.

4. Etika jurnalisme

5. Resiko politis artikel, foto, dan matri publikasi lainnya.

6. Hal-hal yang tidak layak dilihat dari aspek pendidikan publik dalam artikel, foto, dan

materi

74
publikasi lainnya.

7. Angle yang dipilih (tajam atau tidak tajam; baru atau pengulangan)

Aspek Teknis

1. Dukungan fakta yang cukup untuk suatu artikel dalam menyajikan masalah.

2. Fakta yang sebenarnya tidak deiperlukan yang ada dalam aritkel.

3. Tepat tidaknya jenis artikel yang dipilih untuk mengurangi masalah.

4. Lead (kuat atau lemah)

5. Struktur artikel (baik atau tidak)

6. Akurasi

7. Bahasa yang dipakai (baik atau buruk)

8. Bagian isi artikel yang perlu divisualisasikan (ada dan perlu atau tidak)

9. Foto (foto berita; foto ilustratif) yang sebaiknya menyertai artikel.

Headlining Berita (Penulisan Judul)

Berita (hard news dan soft news)

1. Judul berita harus telling the story dan karenanya judul tidak boleh berbentuk

kalimat tanya dan jangan sampai berupa label head.

2. Kalimat juga harus pendek, padat.

3. Tidak boleh menyesatkan (misleadning)

4. Tidak boleh bermakna ganda.

5. Jangan sampai melanggar etika jurnalisme.

75
6. Jangan sampai mengandung soal yang memungkinkan diperkarakan pihak lain

(aspek hukum)

7. Sebaiknya (disarankan) tidak dipenggal oleh koma.

8. Lebih baik kalimatnya aktif dibandingkan dengan kalimat pasif.

9. Lebih baik kalimat positif dibandingkan dengan kalimat negatif.

Headlining (penulisan judul)

Teknik dan Style penulisan Judul Feature, Indepth Report dan Opinion Article

Diilhami atau mirip dengan judul novel, sajak, film atau drama yang populer (dikenal luas oleh

masyarakat)

Menggunakan ungkapan atau istilah yang tengah populer di masyarakat, baik istilah atau

ungkapan hasil kreasi masyarakat sendiri atau istilah dan ungkapan yang berasal dari iklan

(yang tengah populer di masyarakat)

Penyuntingan (Editing)

Editing adalah proses mempertimbangkan dan menyempurnakan suatu bahan publikasi hingga

layak disiarkan.

Baca seluruh tulisan

Pertimbangkan news value

Perhatikan bentuk artikel sudah tepat atau belum

Pertimbangkan angle tulisan

Lihat lead:kuat atau perlu disempurnakan

Periksa struktur tulisan: sudah jernih atau belum

Periksa kelengkapan fakta 5W + 1H + Perhatikan akurasi fakta

Perhatikan paragraphing

76
Perhatikan hal-hal yang menyangkut etika jurnalisme dan aspek hukum pemberitaan

Periksa pemakaian bahasa

Lihat, dimana colour diperlukan

Lihat ending artikel

Setting Dan Layout

(Proses Pencetak)

Diagram proses Pembuatan Majalah/Koran/Tabloid dan sejenisnya.

BERITA
Prediksi (Proses
Editing Berita dan
Gambar (foto)

GAMBAR/FOTO

Artistik atau Setting & Lay


Cetak
ilustratif Out

DAMI

DAMI merupakan kumpulan beberapa lembar kertas yang ersusun hampir mirip betul dengan

majalah/koran/tabloid dan sejenisnya yang susunan kertasnya terdiri dari:

1. Sket/kerangka cover

2. Jumlah halaman

3. Sket/kerangka Letak Berita & Gambar/Foto

4. Assesoris lain

SETTING adalah Proses pengetikan berita dalam suatu media komputer sedemikian rupa hasil

pengetikan dan penataan serta bentuk sesuai dengan yang diinginkan.

77
LAYOUT adalah proses penyusunan antara gambar dan isi berita yang dilakukan secara

manual yang pada akhirnya terbentuk hasil yang diinginkan.

DIAGRAM PROSES SETTING & LAY OUT SAMPAI PROSES CETAK

BERITA
Hasil Cetak
Komputer Proses Koreksi
Printer sbg
Setting (edit)
Contoh (Proof)

GAMBAR/FOTO

Hasil Cetak
Hasil Cetakan Printer
1. Letak gambar/foto Printer dari
dari kalkir sebagai
2.Ukuran gamabr/ft Kertas sbg
Master I (film negatif)
3. Lit/ket. Gbr/foto Master I

1. Cet. Film Plastik 2. Master I di filmkan menjadi


Cet. Film kalkir Film plastik (Mika) sebagai
3. Cet. Film kertas Master film II (film negatif)

Film Color LAYOUT


(Sparation) 4 film
warna:
1. Hitam
2.Merah
3. Biru Plat Film Paper Film
4. Kuning

Pecah Warna CETAK

Film B/W 1 Film


Warna Hitam

Berita/News

78
Berita/News adalah laporan tentang peristiwa dan atau pendapat yang memiliki nilai

penting, menarik bagi sebagian besar khalayak, masih baru/aktual dan dipublikasikan secara

luas melalui media massa periodik.

Peristiwa dan pendapat tidak akan menjadi berita apabila tidak dipublikasikan melalui

media massa periodik. Orang yang pekerjaannya mencari, mengumpulkan dan

menyebarluaskan berita melalui media massa periodik disebut wartawan, reporter yang

keduanya dapat disebut journalist.

Mengenai kata menarik/penting – interesting adalah salah satu hal yang menarik perhatian

orang, yaitu orang itu sendiri. Yang besar, kecil, penting dan tidak penting/remeh. Peristiwa

yang dapat menyentuh rasa insani, atau human interest selalu akan menarik perhatian banyak

orang/insan.

Berita dalam referensi Barat:

The unusual is news --- berita adalah sesuatu yang tidak biasa

Berita adalah sesuatu yang lain adanya. Sesuatu yang lain adanya atau sesuatu yang tidak biasa,

selalu menarik, mengagetkan, mempesona bagi banyak orang (khalayak).

Harus selalu diingat bahwa sesuatu menjadi berita bila sesuatu (peristiwa dan pendapat)

itu dipublikasikan/disiarkan. News is timely, concise, accurate report of an event, not the event

itself – Berita adalah laporan yang hangat, padat, cermat tentang suatu kejadian, bukan kejadian

itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa berita di dunia jurnalistik diartikan sebagai laporan

tentang fakta dan pendapat, penting, menarik bagi sebagian besar khalayak, dan harus

dipublikasikan secepatnya kepada khalayak luas.

Persyaratan Berita

Berita berasal dari sumber berita. Sumber berita adalah asal mula terjadinya berita itu.

Disini yang dimaksud dengan sumber berita adalah: Peristiwa/event dan Manusia. Bila ada

79
peristiwa dan atau pendapat, maka peristiwa dan atau pendapat itu harus dinilai, apakah

peristiwa dan atau pendapat itu: MENARIK, PENTING, dan MASIH BARU.

Jenis Berita

(Menurut Waktu Penyajian)

a. News Bulletin

News buletin, terdiri dari kata News yang berarti berita dan Bulletin yang berarti surat

selebaran atau secara kilat. Dengan demikian, news bulletin berarti: Berits ysng disebarluaskan

secara kilat atau cepat. Batasan dari news bulletin, adalah: “Berita-berita yang bersifat hangat,

relatif singkat, tidak mendetail, aktual dan penyajiannya sangat terikat waktu atau “timeconcern

– timeness”.

Termasuk dalam jenis news bulletin:

Hard news adalah berita-berita yang biasanya “kurang menyenangkan”, misalnya tentang

kekerasan, kesengsaraaan, bencana alam, dll.

Soft news adalah berita-berita yang menyenangkan

Straight news adalah berita-berita yang karena memilki nilai berita yang tinggi penyajiannya

secara langsung pada inti beritanya saja.

Spot news adalah berita berita yang sangat penting dan menarik dan pada saat berita disiarkan

masih menjadi topik pembicaraan khalayak.

Stop press adalah berita dan magazine berarti majalah. Majalah adalah peneribitan berkala dan

teratur. Misalnya mingguan, bulanan, atau tengah bulanan. Berkala dalam pengertian media

massa dibedakan untuk media cetak dan elektronik. Media cetak mungkin harian, mingguan,

bulanan. Media elektronik: jam, hari, atau bulan.

80
Teknik Pembuatan Naskah Dan Penyajian Berita

a. Piramida Terbalik

Teknik/cara piramida terbalik adalah hanya untuk penajian berita-berita yang memiliki

nilai berita yang tinggi dan penyajiannya harus secepatnya atau dengan kata lain penyajiannya

sangat terikat waktu. Cara penyajiannya dimulai dari yang terpenting menuju yang kurang

penting. Berita yang termasuk dalam struktur piramida terbalik ini adalah News Bulletin:

hard/soft news, straight news, spot news, human interest dan stop press.

b. Piramida

Teknik/cara penyajian piramida, diawali dengan hal-hal yang kurang penting menuju ke

yang penting. Isi berita penyajiannya tidak terikat pada waktu atau timeless, karena kapan saja

berita itu disampaikan akan tetap menarik. Setidaknya uraian berita semacam ini masih

memiliki nilai aktualitas karena masih terkait dengan peristiwa/pendapat pokok.

Termasuk dalam penyajian piramida ini adalah News Magazine, Feature, berita ringan dan

human interest yang tidak memiliki nilai berita tinggi, tetapi sangat menarik.

c. Kronologis

Penyajian berita secara kronologis, tidak melandasi diri pada mana yang penting dan

kurang penting, karena setiap kalimat yang dituangkan memiliki bobot yang sama. Uraian

berita yang disajikan dengan cara ini biasanya termasuk News Magazine seperti feature/laporan

pendek, berita ringan atau human interest. Penyajian tidak terikat pada waktu. (Halliday, 1978)

d. Voice Over

Medium radio dan televisi, isi pesan disampaikan oleh penyaji, misalnya pembicara,

penyiar berita atau dapat juga oleh reporter/redaktur yang memilki volume suara memenuhi

persyaratan. Bila pembaca berita atau news reader fungsinya hanya membaca berita yang

naskahnya dibuat oleh tim redaksi, maka untuk newscaster naskahnya dibuat sendiri dan

81
disampaikan sendiri. Bila tidak disampaikan sendiri, teetapi dibacakan orang lain dengan

merekam suaranya terlebih dahulu atau dubbing sound, maka cara ini disebut Voice Over.

e. Sistem “ROS”

Cara ini digunakan khusus di radio. “ROS” singkatan dari “Reporting on the Spot” atau

On the Spot Reporting”. Di sini reporter radio yang berada pada salah satu event merekam

laporannya dan menyajikannya sebagai salah satu item berita dalam siaran berita.

f. Sistem “ROSS”

Sistem ROSS adalah teknik penyajian berita audio visual, dalam hal ini adalah media televisi.

ROSS:

REPORTER ON THE SPOT ON THE SCREEN

REPORTER ON THE SPOT OFF THE SCREEN

REPORTER OFF THE SPOT ON THE SCREEN

REPORTER OFF THE SPOT OFF THE SCREEN

Keterangan:

REPORTER ON THE SPOT: reporter di tempat kejadian

REPORTER OFF THE SPOT: reporter tidak berada di tempat kejadian

REPORTER ON THE SCREEN: reporter dalam menyajikan muncul di layar

REPORTER OFF THE SCREEN: reporter dalam menyajikan tidak muncul di layar

Latihan

1. Apakah yang dimaksud wawasan jurnalisme? Jelaskan

2. Apakah perbedaan opini dan feature? Jelaskan

3. Sebutkan langkah-langkah wawancara efektif?

4. Apakah yang dimaksud dengan pemberitaan berimbang?

82
5. Tulislah sebuah berita dengan LEAD yang tepat.

6. Buatlah feature dengan memperhatikan kekhasan tulisan feature.

DAFTAR RUJUKAN

Cangara, Hafied. 1998. Lintasan Sejarah Ilmu Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional.
Fathoni, Mohammad. 2012. Menapak jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia.
Komodo Books: Depok.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotics. London: Edward Arnold Publishing.
Haryanto, Ignatius. 2014. Jurnalisme Era Digital. Kompas: Jakarta
Jenkins, H. 2006. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York:
NYU Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012. Jakarta:Pusat Bahasa-Kompas.
Kompas. 29/7/2016. Jakarta: Harian Kompas.
Leech, G. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta. Universitas Indonesia.
Nugraha, P. 2013. Menulis Sosok secara Inspiratif, Menarik, Unik. Jakarta: Kompas.
Rosmawaty, 2010.Mengenal Ilmu Komunikasi. Bandung:Widya Padjajaran
(Halliday, 1978)Serikat Pekerja Suratkabar. 2011. www.spsindonesia.org.
Sumadiria, H. 2005. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis
Jurnalisme Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Supadiyanto. 2015. Eksploitasi Wartawan di Era Konvergensi Multimedia Massa.
ISKI ISBN: 978-602-1054-01-7. Halaman 119-148.
Supriyanto, D. 1998. Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK.
Jakarta: Pustaka Harapan.
Tamburaka, A. 2013. Literasi Media. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bibliography
Halliday. (1978). Language As Social Semiotics. London: Edward Arnold Publishing.

Haryanto, I. (2014). Jurnalisme Era Digital. Jakarta: Kompas.

83

Anda mungkin juga menyukai