Septiawan Santana (2000) mengutip Alexsander Rozhkov mengatakan bahwa dalam sejarah
jurnalisme merupakan aktivitas memasok kebutuhan orang dalam berkomunikasi. Komunikasi
sebagai sarana penting bagi manusia untuk bertukar informasi. Sejak masa prasejarah,
komunikasi dilakukan melalui aneka cara: segala jenis informasi disebar melalui para dukun,
peramal, orang bijak, dan sebagainya.
Dengan demikian komunikasi banyak berubah bentuk dari sejak awal kehidupan
bermasyarakat, manusia mempergunakan berbagai medium untuk berkomunikasi. Orang-orang
kemudian memindahkan bahasa, sebagai alat mengantarkan pikiran dan perasaan itu, ke dalam
catatan-catatan yang bersifat kronikal, riwayat, biografis, sejarah, perjalanan, dan berbagai
bentuk surat menyurat dari yang bersifat pribadi sampai pesan-pesan kerja, dari yang menyajikan
khotbah sampai kerjaan omong kosong, mereka ulang cerita dan selebaran.
3. Profesi jurnalisme
Jurnalisme di abad ke 20 telah menamcapkan merek yang cukup berpengaruh sebagai sebuah
profesi. Ada empat faktor penting yang dipegangnya perkembangan keorganisasian dari
pekerjaan kewartawanan kekhususan pendidikan wartawan, pertumbuhan keilmuan sejarah,
permasalahan dan berbagai teknik komunikasi massa dan perhatian yang sungguh-sungguh dari
tanggung jawab social kerja kewartawanan.
Sebelum memasuki abad ke 19 banyak jurnalisme mengembangkan karir keterampilan dengan
pola asuhan, dimulai dengan menjadi copyboys atau pembantu reporter. Universitas pertama
yang mengajarkan jurnalisme adalah Columbia University of Missouri (Columbia) pada tahun
1879-84. Pada tahun 1912, Columbia University di New York City, mengembangkan program
pendidikan tahunan untuk jurnalisme. Dengan bantuan editor dan pemilik the New York City,
Yoseph Pulitzer. Kerjasama itu telah menyusun rangkaian pembelajaran proses pencarian berita
dan pengurusan surat kabar, dalam proses pendidikan yang khusus.
4. Jurnalisme kontemporer
Bersamaan dengan itu, tumbuh pertanggung jawaban sosial jurnalisme yang lebih luas pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Berbagai Koran dan jurnal awalnya mengambil posisi
politik partisan dan menganggap dirinya akan lebih memiliki tanggung jawab sosial di hadapan
partai-partai yang berkuasa dan Koran-koran melebarkan sayap usahanya dan mengukuhkan
kemandiriannya.
Urusan tanggung jawab sosial, sebagai pertanggungjawaban pers, akhirnya menjadi catatan-
catatan dari diskusi-diskusi akademis, buku-buku dan terbitan-terbitan periodik dan pertemuan-
pertemuan asosiasi kewartawanan. Seperti dilaporkan oleh Royal Commission on the Press
(1949) di Inggris dan A Free and Responsible Press (19470) yang disusun Commission on the
Freedom of the Responsible.
Berbagai studi di awal abad ke-20 memperlihatkan para wartawan, sebagai kelompok idealis
yang bertugas menyampaikan kepada masyarakat, punya banyak cacat ketidakseimbangan
pemberitaan. Banyak komunitas kewartawanan menyatakan pentingnya soal-soal etik
diperhatikan
C. Paradigma Jurnalisme
Jurnalisme memiliki tiga paradigma yang harus dipahami secara menyeluruh. Hal tersebut
perlu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman. Jurnalisme bisa dilihat dari tiga konsep
yang berbeda-beda, yakni jurnalisme sebagai ilmu pengetahuan, jurnalisme sebagai profesi dan
jurnalisme sebagai keterampilan.
1.Jurnalisme sebagai Ilmu Pengetahuan.
Jurnalisme itu sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan, yakni disusun secara sistematis, rasional,
obyektif dan universal. Pada dasarnya bahwa jurnalisme itu bisa dipelajari dan bisa diajarkan
seperti ilmu pengetahuan lainnya.
2.Jurnalisme sebagai profesi
Jurnalisme merupakan sebuah aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan secara profesional,
yakni aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik
melalui media massa.
3.Jurnalisme sebagai skill/keterampilan
Bahwa jurnalisme itu sebuah keahlian dalam bidang tulis menulis, baik tulis menulis dalam
media massa atau aktivitas tulis menulis pada umumnya. Kalau dalam media massa,
keterampilannya adalah mencari, mengolah, menyebarkan informasi. Jurnalisme bukan hasil dari
bakat seseorang, melainkan sebuah kemampuan yang didapatkan dari melatih diri. Karena
jurnalisme adalah sebuah keterampilan, jadi jurnalisme bisa diasah atau dikembangkan oleh
seseorang.
D. Aliran-Aliran Jurnalisme.
Dalam melaksanakan aktivitas jurnalisme, pers atau media massa memiliki karakteristik atau
ciri khas dalam menyampaikan berita. Dengan memahami ragamnya aliran dalam jurnalisme,
diharapkan kita bisa menerima ketika kita mengkonsumsi informasi dari media massa. Dengan
kata lain, ketika kita menanyakan, "Kenapa media ini seperti itu?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus perhatikan media tersebut 'beraliran apa'.
Dengan demikian, maka sangat wajar kalau media tersebut memberitakan sesuatu itu dengan
cara seperti itu. Di antara aliran-aliran jurnalisme tersebut adalah:
1. Yellow Journalism
Menurut Nurudin (2009) yellow journalism atau jurnalisme kuning adalah jurnalisme
pemburukan makna. Ini disebabkan karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada
berita-berita sensasional dari pada substansi isinya. Jurnalismen jenis ini muncul sekitar awal
abad XVII atau saat surat kabar mulai dicetak dengan mesin cetak. Dengan dukungan mesin
cetak tersebut, gambar atau jenis warna huruf yang digunakan dalam media menjadi lebih
variatif. Penggunaan warna-warna yang mencolok digunakan sebagai strategi untuk memikat
calon pembaca.
2. Investigative Journalism.
Jurnalisme investigasi atau investigative journalism merupakan satu bentuk jurnalisme yang
memiliki akurasi dan faktualitas berita sangat tinggi. Jurnalisme investigasi tidak hanya sekedar
meliput, mencatat jawaban who, what, where, when, why dan how (5W+ IH), kemudian
merekamnya dan membuatnya menjadi berita. Jurnalisme jenis ini selalu melakukan verifikasi,
cek dan ricek atas suatu peristiwa atau fakta yang dijadikan berita.
3. Literary Journalisme.
Disebut juga sebagai jurnalisme sastra. Sebagai upaya untuk mengurangi kejenuhan pembaca
dengan berita yang disajikan dengan bahasa yang lugas. Pemberitaan disajikan dengan bahasa
dan gaya yang cenderung disebut sebagai gaya sastra yakni dengan memanfaatkan metafora,
majas, dan personifikasi dalam pilihan frasenya. Biasanya gaya jurnalisme ini digunakan dalam
berita jenis feature. Di Indonesia jurnalisme gaya ini sering digunakan harian Kompas. Kompas
menggunakan diksi-diksi yang 'halus' dalam setiap pemberitaannya. Selain itu, Kompas juga
menulis judul berita dengan kidmat yang 'menyejukan', meskipun isinya sangat mendalam dan
kritis terhadap fenomena yang terjadi.
4. Peace and War Journalism.
Konsep peace and war journalisme (jurnalisme perang dan damai) ini dikembangkan oleh
Johan Galtung pada tahun 1997 yang dilatarbelakangi adanya kekhawatiran akan pemberitaan
tentang konflik. Pemberitaan konflik yang tidak disertai dengan evaluasi dan solusi alternatif.
Pemberitaan konflik yang justru menyulut adanya konflik baru akibat dari pemberitaan yang
tidak cover both sides dan berita yang misleading. Konsep ini juga lahir karena banyaknya berita
kekerasan dalam media massa.
5. Citizen Journalism.
Jurnalisme jenis ini merupakan era baru dalam dunia tebar informasi di jagad raya ini.
Perkembangannya beriringan dengan lompatan refolusi teknologi komunikasi massa yang
berkembang pesat sekarang ini. Secara umum, citizen journalism dipahami sebagai kegiatan
warga masyarakat yang bukan jurnalis menginformasikan suatu peristiwa melalui media internet.
6.Good Journalism.
Menurut Leonard Downie JR. dan Robert G. Kaiser, good journalism atau jurnalisme baik
adalah kegiatan dan produk jurnalistik yang dapat mengajak kebersamaan masyarakat di saat
krisis. Berbagai informasi dan gambaran krisis, yang terjadi dan disampaikan, mesti menjadi
pengalaman bersama. Ketika sebuah kejadian yang merugikan masyarakat terjadi, sebuah media
memberi sesuatu yang dapat dipegang oleh masyarakat. Sesuatu itu ialah fakta-fakta, juga
penjelasan dan ruang diskusi, yang menolong banyak orang terhadap sesuatu yang tak terduga
kejadiannya.
Masyarakat diajak agresif pada sesuatu yang penting terjadi. Dari soal pendidikan, jalanan
berlubang, perumahan kebanjiran, pelayanan pemerintah dan keadilan dan lain-lain, masyarakat
diajak paham dan terlibat. Pemberitaan ketidakbecusan dan korupsi di pemerintah dan parlemen
dapat mengubah kebijakan yang semula merugikan rakyat, menyelamatkan uang para nelayan
dan wakil rakyat. Pemberitaan pratis bisnis kotor menyelamatkan uang para pembayar pajak dan
APBD, serta mengakiri kebejatan para pelayan dan wakil rakyat.
Pemberitaan praktik bisnis kotor menyelamatkan konsumen dan keamanan rakyat.
Pemberitaan lingkungan, kesehatan, makanan dan produk-produk yang berbahaya
menyelamatkan kehidupan rakyat. Peliputan soal kemiskinan, gelandangan, ketidakadilan,
penderitaan, dan seharusnya, memberi “suara” pada pihak yang tak bisa “bersuara’.
7.Bad Journalism.
Jurnalisme buruk terjadi pada atau dilakukan oleh media yang kurang cakap melaporkan
pemberitaan yang penting diketahui masyarakat. Media yang memberitakan suatu peristiwa
secara dangkal, semberono, dan tidak lengkap, sering disebut tidak akurat dan tidak cover both
sides. Ini berbahaya bagi masyarakat karena ketidaklengkapan informasi yang didapatkan.
Ketidakcakapan pemberitaan manipulasi dan korupsi perbankan telah mengakibat pingsannya
industri serta merugikan para depositor dan pembayaran pajak dalam hitungan ratusan miliyar
rupiah.
Semua dikarenakan kemalasan meliput dan kedangkalan pelaporan, kerja media cuma mengisi
kolom demi hal-hal yang “halus dan sepele” enggan berurusan dengan hal-hal “penting dan
penuh pertempuran”. Lebih banyak menimba fakta-fakta yang sudah “siap edar” dari nara
sumber yang sudah rutin dan formal dan “siap wawancara’. Lalu bersama-sama kameramen teve,
membuat dramatisasi penangkapan yang penuh dengan teriakkan dan letusan senjata. Atau
kesana kemari di ruang pengadilan, mencari peristiwa yang sudah siap di nilai beritakan.
Semua itu, menurut Downie J.R. dan Kaiser “bukanlah hal yang baru atau faktual atau
interesting atau penting untuk diberi label news”. Dari sinilah, terjadi bias berita yang diterima
masyarakat. Entah itu terkait dengan ketidakcakapan wartawan, entah dengan visi redaksi, entah
pula dengan kesejahteraan dan keselamatan bisnis media. Meski berbagai asumsi itu tidak sahih
benar, setidaknya masih melogikakan cacatnya pemberitaan. Buruknya pemberitaan media
menyebabkan ketidaktahuan masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat mengakibatkan kerugian,
kerugian itu harus dihindari.