Anda di halaman 1dari 10

I.KONSEP DASAR JURNALISME-JURNALISTIK.

A. Jurnalistik dan Jurnalisme


Ada dua istilah yang digunakan dalam masyarakat, termasuk kalangan pers sendiri, untuk
menjelaskan aktivitas mencari, mengolah dan menyebarkan informasi melalui media massa,
yakni jurnalistik dan jurnalisme. Secara umum, kedua istilah tersebut memiliki makna yang
sama. Tapi dalam perspektif keilmuan, kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda.
Konsep dasar dari jurnalistik adalah sesuatu yang berhubungan dengan dunia tulis menulis.
Semua aktivitas tulis menulis, baik itu menulis untuk media massa, menulis dalam catatan
harian, menulis buku, menulis naskah pidato dan lainnya, merupakan aktivitas jurnalistik. Hal
tersebut sesuai dengan pengertian kata dasar dari jurnalistik itu sendiri, yakni acta diurnal
(Romawi) yang memiliki arti catatan harian. Sedang jurnalisme adalah pekerjaan menulis,
mengedit, menerbitkan tulisan tersebut dalam atau melalui surat kabar, majalah, dan sebagainya
1 Jurnalisme dari perspektif sejarah
Istilah jurnalisme dapat ditelusuri pada zama kejayaan bangsa Romawi, khususnya tentang
asal-usul surat kabar yang disebut dengan Acta Diurna. Pada zaman itu, para senator Romawi
mulai menuliskan peraturan yang mereka buat dalam bentuk lembaran-lembaran dan
menempatkannya di tempat-tempat strategis yang mudah dilihat dan dibaca masyrakat.
Lembaran-lembaran yang berisi peraturan-peraturan ini disebut Acta Diurna.
Isi yang terdapat dalam lembaran acta diurna disebut diurnal. Tempat-tempat pemasangan
lembaran itu disebut dengan Forum Romanum. Istilah Acta Diurna merupakan istilah yang
dimiliki dan dimasyarakatkan Julius Caesar (13 Juli 100 SM – 15 Maret 44 SM) dalam Forum
Romanum.
2.Jurnalisme dari Segi Tata Bahasa
Jurnalisme berasal dari bahasa Prancis journ atau do jour. Jour berarti hari (day) atau catatan
harian (diary), dalam bahasa Inggris disebut journal, bahasa Yunani jurnee dan bahasa Belanda
journalistiek. Journal, journ, do jour, jurnee dan journalistiek artinya sama, yakni laporan harian
atau catatan harian.
Dalam konsep tata Bahasa Indonesia, istilah jurnalisme merupakan bahasa serapan dari bahasa
asing terutama bahasa Inggris dan Belanda. Untuk memahami jurnalisme secara tata Bahasa
Indonesia, dapat disimak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI,
dijelaskan bahwa jurnalisme adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan
memberitakan berita di surat kabar (media massa).
3.Jurnalisme dari Perspektif Undang-undang
Dalam konsep hukum, istilah jurnalisme terantum dalam UU Nomor: 40 Tahun 1999, tentang
Pers. Dalam Pasal 1 UU tersebut dijelaskan bahwa, jurnalisme/jurnalistik adalah aktivitas yang
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia.
Dari ketiga penjelasan jurnalisme tersebut, dapat disimpulkan bahwa jurnalisme adalah
serangkaian aktivitas seseorang atau sekelompok orang dalam hal mencari dan mengolah
informasi yang terjadi dalam suatu masyarakat, kemudian menyebarkannya dalam bentuk tulisan
atau gambar kepada masyarakat melalui media massa.
B. Cikal Bakal Lahirnya Jurnalisme
1.Zaman Romawi Kuno
Pada zaman Romawi kuno dikenal istilah acta yang dimaknai sebagai catatan harian. Acta
ditempelkan pada dinding atau tiang bangunan. Bahan atau media yang digunakan untuk menulis
acta berupa gibs putih (seperti ornamen rumah sekarang), kulit binatang, kemudian berkembang
menjadi kertas. Teknis penulisannya menggunakan tulisan tangan.
Ada dua bentuk acta, pertama Acta Senatus berisikan tindakan-tindakan senat dan peraturan
pemerintah. Kedua, Acta Diurna, berisikan berita kelahiran, kematian, jual beli, dengan kata lain
acta diurna merupakan acta yang berasal dari rakyat. Aktivitas menyampaikan Acta Diurna
berkembang menjadi budaya atau kebiasaan dalam masyarakat dan selanjutnya menjadi kegiatan
dalam kehidupan sehari-hari.
2.Era Masyarakat Eropa
Sejak hilangnya Acta Diurna hingga kira-kira tahun 1000 SM, para ahli sejarah Eropa
mengenal praktik pemberitaan berupa kirim mengirim surat, antar biara, istana dengan perantara
kurir. Sedangkan untuk kalangan rakyat biasa dikenal adanya minstrel (penyanyi keliling) yang
membawakan nyanyian dalam bentuk lagu atau syair rakyat yang berisi informasi tentang
peristiwa yang terjadi di tempat lain.
Tabel di bawah ini memberi penjelasan tentang terjadinya berbagai peristiwa jurnalisme.
Tahun Peristiwa Jurnalisme Tempat
Kejadian
Surat kabar pertama lahir di daerah Peking, dengan nama Tiongkok
1351 Kung Pao dan terbit setiap minggu. Isinya tentang putusan (China)
dewan penasehat atau kabar keluarga raja (sumanang;1950).

Laurens Jan’szoon Coster dan Johan Guttenberg di Jerman,


dalam waktu yang hampir bersamaan, menciptakan alat
percetakan. Disinilah awal dari surat kabar yang dicetak dan
berakhirnya surat kabar tulis tangan. Alat cetak tersebut
1440
awalnya banyak digunakan oleh pemerintah dan pihak
Jerman
gereja (mencetak buku-buku karya para filsuf dan
cendekiawan, serta al-Kitab). Baru sekitar tahun 1450-an
mulai dipergunakan untuk mencetak surat kabar.

Ada jurnal dan buletin yang dijual di jalan-jalan dengan Paris-Prancis,


1495 nama “Journal a un sou” dan “bulletin de la grande armee Inggris
d’Italie”, yang berisikan expedisi tantara ke Napels,
(Sumanang; 1950).

Ditemukan surat kabar yang paling tua di museum di Den


Haag Belanda. Surat kabar tersebut tidak memakai nama dan
terdiri dari lembaran kecil-kecil (Sumanang; 1950). Dalam
beberapa literatur menyebutkan juga pada tahun 1906 di
1609 Belanda
Jerman sudah ada Avisa Relationoder Zeitung; 1618-1650 di
Amsterdam Belanda ada Courante Uyt Italien Duytshlandt
Ec; 1622 di London Inggris ada Weekly News “Oxford
Gazette dan yang pertama menggunakan istilah news paper.

Pada tahun ini sudah terbit surat kabar yang memenuhi


syarat pers. Berkala yang khusus diterbitkan untuk public
pertama kalinya beredar di Amerika Serikat, Inggris, dan
Eropa Barat. Penerbitan berkala atau jurnal seperti itu secara
1700-
teratur ketika bangsa Eropa mulai gemar membaca, seiring
an dengan merebaknya revolusi industri. Ketika itulah berkala Amerika
atau jurnal mulai maju selangkah setelah ditemukannya Serikat, Inggris,
mesin cetak tenaga uap. Adapun nama-nama surat kabar dan Eropa Barat
tersebut diantaranya; The Boston News Letter, 1704 di
Amerika Serikat; Daily Courant. 1702 di Inggris;
Rotterdamsche Courant, 1717 di Belanda; Tagblatt dr Stadt
Zurich, 1730 di Swiss; Journal de Paris, 1777 di Perancis;
Pennsylvania Packet, 1784 di Amerika Serikat.

Lonjakan terbesar di bidang jurnalisme pada tahun 1791 saat


Revolusi Prancis berkobar. Surat kabar yang muncul bersifat
selebaran yang dikeluarkan oleh tokoh politik, namun
penguasa negara merasa khawatir dengan adanya surat Prancis
1791
kabar, akhirnya kebebasan pers ditentang, ribuan wartawan dan Eropa
masuk penjara, sementara 70 orang lainnya mengalami
hukuman guillotine (hukum pancung).
Seiring dengan kemajuan masyarakat industri, kegiatan
jurnalisme pun berkembang, yang berdampak pada
terjadinya “perdagangan” berita. Munculnya istilah yellow
1800- journalism (jurnalisme kuning). Ciri khas jurnalisme kuning
an adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan
pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik.
Eropa
Tujuannya hanya satu, meningkatkan penjualan. Jurnalisme
kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya
kesadaran jurnalisme sebagai profesi. Namun belakangan
jurnalisme jenis ini marak lagi.

Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di


Inggris. Wartawan memiliki kesadaran bahwa berita yang
1883 mereka tulis untuk public haruslah memiliki
pertanggugjawaban sosial dan muncul kesadaran untuk Eropa dan AS
mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak mereka
sebagai karyawan. Sejak itulah mereka mendirikan asosiasi
wartawan, yang diikuti oleh para wartawan di negara-negara
Eropa lainnya dan Amerika. Sejak itu pula lahirlah cabang
bayi jurnalisme professional.
Untuk sampai menjadi ilmu pngetahuan yang bersifat
akademis, jurnalisme berkembang dengan munculnya materi
kuliah tentang persuratkabaran yang disebut Zeitungskunde
1884 di Universitas Bazel (Swiss) tahun 1884 oleh Karl Bucher. Swiss
Kemudian istilah tersebut di Indonesia dikenal dengan dan Eropa
publisistik, ilmu tentang persuratkabaran.
Adanya pers – dalam arti kata suratkabar – tidak bisa lagi
mengklaim sebagai satu-satunya “raja berita”. Kala itu
muncul radio yang menyiarkan berita sebagai saingan bagi
1920- surat kabar. Meski begitu, pers cetak masih mampu bertahan,
an terutama lantaran dapat menyajikan berita lebih panjang dan
Hampir seluruh
lengkap ketimbang berita radio yang singkat. Saingan kedua,
negara di dunia
yaitu televisi, muncul pada tahun 1950-an. Seperti halnya
terhadap radio, pers cetak juga masih mampu bertahan
menghadapi televisi. Surat kabar, misalnya, dapat dibawa
kemana-mana dengan ringan dan dapat disimpan sebagai
arsip, sedangkan radio dan televisi tidak.

Septiawan Santana (2000) mengutip Alexsander Rozhkov mengatakan bahwa dalam sejarah
jurnalisme merupakan aktivitas memasok kebutuhan orang dalam berkomunikasi. Komunikasi
sebagai sarana penting bagi manusia untuk bertukar informasi. Sejak masa prasejarah,
komunikasi dilakukan melalui aneka cara: segala jenis informasi disebar melalui para dukun,
peramal, orang bijak, dan sebagainya.
Dengan demikian komunikasi banyak berubah bentuk dari sejak awal kehidupan
bermasyarakat, manusia mempergunakan berbagai medium untuk berkomunikasi. Orang-orang
kemudian memindahkan bahasa, sebagai alat mengantarkan pikiran dan perasaan itu, ke dalam
catatan-catatan yang bersifat kronikal, riwayat, biografis, sejarah, perjalanan, dan berbagai
bentuk surat menyurat dari yang bersifat pribadi sampai pesan-pesan kerja, dari yang menyajikan
khotbah sampai kerjaan omong kosong, mereka ulang cerita dan selebaran.
3. Profesi jurnalisme
Jurnalisme di abad ke 20 telah menamcapkan merek yang cukup berpengaruh sebagai sebuah
profesi. Ada empat faktor penting yang dipegangnya perkembangan keorganisasian dari
pekerjaan kewartawanan kekhususan pendidikan wartawan, pertumbuhan keilmuan sejarah,
permasalahan dan berbagai teknik komunikasi massa dan perhatian yang sungguh-sungguh dari
tanggung jawab social kerja kewartawanan.
Sebelum memasuki abad ke 19 banyak jurnalisme mengembangkan karir keterampilan dengan
pola asuhan, dimulai dengan menjadi copyboys atau pembantu reporter. Universitas pertama
yang mengajarkan jurnalisme adalah Columbia University of Missouri (Columbia) pada tahun
1879-84. Pada tahun 1912, Columbia University di New York City, mengembangkan program
pendidikan tahunan untuk jurnalisme. Dengan bantuan editor dan pemilik the New York City,
Yoseph Pulitzer. Kerjasama itu telah menyusun rangkaian pembelajaran proses pencarian berita
dan pengurusan surat kabar, dalam proses pendidikan yang khusus.
4. Jurnalisme kontemporer
Bersamaan dengan itu, tumbuh pertanggung jawaban sosial jurnalisme yang lebih luas pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Berbagai Koran dan jurnal awalnya mengambil posisi
politik partisan dan menganggap dirinya akan lebih memiliki tanggung jawab sosial di hadapan
partai-partai yang berkuasa dan Koran-koran melebarkan sayap usahanya dan mengukuhkan
kemandiriannya.
Urusan tanggung jawab sosial, sebagai pertanggungjawaban pers, akhirnya menjadi catatan-
catatan dari diskusi-diskusi akademis, buku-buku dan terbitan-terbitan periodik dan pertemuan-
pertemuan asosiasi kewartawanan. Seperti dilaporkan oleh Royal Commission on the Press
(1949) di Inggris dan A Free and Responsible Press (19470) yang disusun Commission on the
Freedom of the Responsible.
Berbagai studi di awal abad ke-20 memperlihatkan para wartawan, sebagai kelompok idealis
yang bertugas menyampaikan kepada masyarakat, punya banyak cacat ketidakseimbangan
pemberitaan. Banyak komunitas kewartawanan menyatakan pentingnya soal-soal etik
diperhatikan

C. Paradigma Jurnalisme
Jurnalisme memiliki tiga paradigma yang harus dipahami secara menyeluruh. Hal tersebut
perlu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman. Jurnalisme bisa dilihat dari tiga konsep
yang berbeda-beda, yakni jurnalisme sebagai ilmu pengetahuan, jurnalisme sebagai profesi dan
jurnalisme sebagai keterampilan.
1.Jurnalisme sebagai Ilmu Pengetahuan.
Jurnalisme itu sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan, yakni disusun secara sistematis, rasional,
obyektif dan universal. Pada dasarnya bahwa jurnalisme itu bisa dipelajari dan bisa diajarkan
seperti ilmu pengetahuan lainnya.
2.Jurnalisme sebagai profesi
Jurnalisme merupakan sebuah aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan secara profesional,
yakni aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik
melalui media massa.
3.Jurnalisme sebagai skill/keterampilan
Bahwa jurnalisme itu sebuah keahlian dalam bidang tulis menulis, baik tulis menulis dalam
media massa atau aktivitas tulis menulis pada umumnya. Kalau dalam media massa,
keterampilannya adalah mencari, mengolah, menyebarkan informasi. Jurnalisme bukan hasil dari
bakat seseorang, melainkan sebuah kemampuan yang didapatkan dari melatih diri. Karena
jurnalisme adalah sebuah keterampilan, jadi jurnalisme bisa diasah atau dikembangkan oleh
seseorang.
D. Aliran-Aliran Jurnalisme.
Dalam melaksanakan aktivitas jurnalisme, pers atau media massa memiliki karakteristik atau
ciri khas dalam menyampaikan berita. Dengan memahami ragamnya aliran dalam jurnalisme,
diharapkan kita bisa menerima ketika kita mengkonsumsi informasi dari media massa. Dengan
kata lain, ketika kita menanyakan, "Kenapa media ini seperti itu?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus perhatikan media tersebut 'beraliran apa'.
Dengan demikian, maka sangat wajar kalau media tersebut memberitakan sesuatu itu dengan
cara seperti itu. Di antara aliran-aliran jurnalisme tersebut adalah:
1. Yellow Journalism
Menurut Nurudin (2009) yellow journalism atau jurnalisme kuning adalah jurnalisme
pemburukan makna. Ini disebabkan karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada
berita-berita sensasional dari pada substansi isinya. Jurnalismen jenis ini muncul sekitar awal
abad XVII atau saat surat kabar mulai dicetak dengan mesin cetak. Dengan dukungan mesin
cetak tersebut, gambar atau jenis warna huruf yang digunakan dalam media menjadi lebih
variatif. Penggunaan warna-warna yang mencolok digunakan sebagai strategi untuk memikat
calon pembaca.
2. Investigative Journalism.
Jurnalisme investigasi atau investigative journalism merupakan satu bentuk jurnalisme yang
memiliki akurasi dan faktualitas berita sangat tinggi. Jurnalisme investigasi tidak hanya sekedar
meliput, mencatat jawaban who, what, where, when, why dan how (5W+ IH), kemudian
merekamnya dan membuatnya menjadi berita. Jurnalisme jenis ini selalu melakukan verifikasi,
cek dan ricek atas suatu peristiwa atau fakta yang dijadikan berita.
3. Literary Journalisme.
Disebut juga sebagai jurnalisme sastra. Sebagai upaya untuk mengurangi kejenuhan pembaca
dengan berita yang disajikan dengan bahasa yang lugas. Pemberitaan disajikan dengan bahasa
dan gaya yang cenderung disebut sebagai gaya sastra yakni dengan memanfaatkan metafora,
majas, dan personifikasi dalam pilihan frasenya. Biasanya gaya jurnalisme ini digunakan dalam
berita jenis feature. Di Indonesia jurnalisme gaya ini sering digunakan harian Kompas. Kompas
menggunakan diksi-diksi yang 'halus' dalam setiap pemberitaannya. Selain itu, Kompas juga
menulis judul berita dengan kidmat yang 'menyejukan', meskipun isinya sangat mendalam dan
kritis terhadap fenomena yang terjadi.
4. Peace and War Journalism.
Konsep peace and war journalisme (jurnalisme perang dan damai) ini dikembangkan oleh
Johan Galtung pada tahun 1997 yang dilatarbelakangi adanya kekhawatiran akan pemberitaan
tentang konflik. Pemberitaan konflik yang tidak disertai dengan evaluasi dan solusi alternatif.
Pemberitaan konflik yang justru menyulut adanya konflik baru akibat dari pemberitaan yang
tidak cover both sides dan berita yang misleading. Konsep ini juga lahir karena banyaknya berita
kekerasan dalam media massa.
5. Citizen Journalism.
Jurnalisme jenis ini merupakan era baru dalam dunia tebar informasi di jagad raya ini.
Perkembangannya beriringan dengan lompatan refolusi teknologi komunikasi massa yang
berkembang pesat sekarang ini. Secara umum, citizen journalism dipahami sebagai kegiatan
warga masyarakat yang bukan jurnalis menginformasikan suatu peristiwa melalui media internet.

6.Good Journalism.
Menurut Leonard Downie JR. dan Robert G. Kaiser, good journalism atau jurnalisme baik
adalah kegiatan dan produk jurnalistik yang dapat mengajak kebersamaan masyarakat di saat
krisis. Berbagai informasi dan gambaran krisis, yang terjadi dan disampaikan, mesti menjadi
pengalaman bersama. Ketika sebuah kejadian yang merugikan masyarakat terjadi, sebuah media
memberi sesuatu yang dapat dipegang oleh masyarakat. Sesuatu itu ialah fakta-fakta, juga
penjelasan dan ruang diskusi, yang menolong banyak orang terhadap sesuatu yang tak terduga
kejadiannya.
Masyarakat diajak agresif pada sesuatu yang penting terjadi. Dari soal pendidikan, jalanan
berlubang, perumahan kebanjiran, pelayanan pemerintah dan keadilan dan lain-lain, masyarakat
diajak paham dan terlibat. Pemberitaan ketidakbecusan dan korupsi di pemerintah dan parlemen
dapat mengubah kebijakan yang semula merugikan rakyat, menyelamatkan uang para nelayan
dan wakil rakyat. Pemberitaan pratis bisnis kotor menyelamatkan uang para pembayar pajak dan
APBD, serta mengakiri kebejatan para pelayan dan wakil rakyat.
Pemberitaan praktik bisnis kotor menyelamatkan konsumen dan keamanan rakyat.
Pemberitaan lingkungan, kesehatan, makanan dan produk-produk yang berbahaya
menyelamatkan kehidupan rakyat. Peliputan soal kemiskinan, gelandangan, ketidakadilan,
penderitaan, dan seharusnya, memberi “suara” pada pihak yang tak bisa “bersuara’.
7.Bad Journalism.
Jurnalisme buruk terjadi pada atau dilakukan oleh media yang kurang cakap melaporkan
pemberitaan yang penting diketahui masyarakat. Media yang memberitakan suatu peristiwa
secara dangkal, semberono, dan tidak lengkap, sering disebut tidak akurat dan tidak cover both
sides. Ini berbahaya bagi masyarakat karena ketidaklengkapan informasi yang didapatkan.
Ketidakcakapan pemberitaan manipulasi dan korupsi perbankan telah mengakibat pingsannya
industri serta merugikan para depositor dan pembayaran pajak dalam hitungan ratusan miliyar
rupiah.
Semua dikarenakan kemalasan meliput dan kedangkalan pelaporan, kerja media cuma mengisi
kolom demi hal-hal yang “halus dan sepele” enggan berurusan dengan hal-hal “penting dan
penuh pertempuran”. Lebih banyak menimba fakta-fakta yang sudah “siap edar” dari nara
sumber yang sudah rutin dan formal dan “siap wawancara’. Lalu bersama-sama kameramen teve,
membuat dramatisasi penangkapan yang penuh dengan teriakkan dan letusan senjata. Atau
kesana kemari di ruang pengadilan, mencari peristiwa yang sudah siap di nilai beritakan.
Semua itu, menurut Downie J.R. dan Kaiser “bukanlah hal yang baru atau faktual atau
interesting atau penting untuk diberi label news”. Dari sinilah, terjadi bias berita yang diterima
masyarakat. Entah itu terkait dengan ketidakcakapan wartawan, entah dengan visi redaksi, entah
pula dengan kesejahteraan dan keselamatan bisnis media. Meski berbagai asumsi itu tidak sahih
benar, setidaknya masih melogikakan cacatnya pemberitaan. Buruknya pemberitaan media
menyebabkan ketidaktahuan masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat mengakibatkan kerugian,
kerugian itu harus dihindari.

Anda mungkin juga menyukai