Anda di halaman 1dari 10

Guru Masih Sebatas Memberi Soal

Cara mengajar konvensional dengan sebatas meminta siswa mengerjakan soal


masih jamak ditemukan selama praktik pembelajaran jarak jauh.
Oleh
Mediana
27 November 2020 07:00 WIB
TEKS

JAKARTA, KOMPAS — Cara pembelajaran konvensional masih dominan dilakukan oleh


guru dalam kegiatan belajar dari rumah akibat pandemi Covid-19. Hal itu menyebabkan
proses belajar siswa tidak efektif.

Berdasarkan hasil survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ”Belajar dari Rumah
Tahun Ajaran 2020/2021, Perubahan dalam Proses Kegiatan Belajar-Mengajar (Agustus
2020)”, pemberian tugas melalui soal-soal masih dominan dipakai guru jenjang dasar-
menengah pada semester gasal tahun ajaran 2020/2021. Sebanyak 92,3 persen responden
guru yang disurvei menyebutkan hal itu.

Pada semester sebelumnya yang juga sudah terjadi pandemi Covid-19, pemberian tugas
berupa soal dominan dipakai. Sebanyak 80,7 persen responden guru jenjang dasar hingga
menengah menyampaikannya saat disurvei.

Dari sisi siswa yang disurvei, mereka menyebutkan cara belajar selama semester gasal tahun
ajaran 2020/2021 lebih beragam meskipun aktivitas mengerjakan tugas melalui soal-soal
masih dominan. Sebanyak 79,9 persen responden siswa yang disurvei menyebutkan semester
sekarang dominan mengerjakan tugas dari guru berupa soal-soal.

Pada semester sebelumnya yang juga masuk masa pandemi Covid-19, cara belajar dengan
mengerjakan tugas guru berupa soal-soal dipilih 86,6 persen responden siswa.

Survei tersebut dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan
Pengembangan dan Perbukuan dan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
Kemedikbud. Survei ini mengambil sampel 384 guru dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK
dan 384 siswa SD hingga SMA/SMK. Survei dilakukan dengan cara wawancara via telepon
dan daring pada 8-15 Agustus 2020.

Koordinator Peneliti Pendidikan di Pusat Penelitian Kebijakan Balitbangbuk


Kemendikbud Nur Berlian mengatakan, setelah memberikan tugas berupa soal, cara mengajar
dominan yang dipakai guru pada semester gasal 2020/2021 yaitu meminta siswa belajar
menggunakan buku teks. Lalu, meminta siswa belajar menggunakan sumber elektronik,
diikuti pemberian materi interaktif melalui media daring, baca buku pengayaan, dan terakhir
membuat proyek kreativitas. Kondisi tersebut mirip dengan semester sebelumnya.

”Media sosial masih menjadi saluran komunikasi paling populer yang guru gunakan untuk
berinteraksi dengan siswa,” ujar Nur saat menghadiri acara Temu Inovasi #10 ”Kreativitas
Guru dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ): Bagaimana Mengembangkan Keterampilan
Berpikir Tingkat Tinggi di Masa Pandemi Covid-19?”, Kamis (26/11/2020), di Jakarta.Selain
media sosial, responden guru yang mengaku tinggal di daerah tertinggal berkomunikasi
dengan siswa melalui kunjungan ke rumah dan tatap muka di sekolah. Sementara di daerah
nontertinggal, responden guru mengaku memanfaatkan aplikasi kelas daring dan video
konferensi untuk berkomunikasi.

Lama belajar

Secara nasional, rata-rata lama interaksi guru dan siswa sedikit mengalami penurunan
dibandingkan semester lalu. Nur mengatakan, rata-rata lama interaksi guru ke siswa
mencapai 8,1 jam per minggu pada semester gasal 2020/2021. Pada semester sebelumnya,
rata-rata lama interaksi mencapai 9,3 jam per minggu.

Dari sisi cara penilaian kepada siswa, dia menyebutkan lebih dari setengah dari responden
guru mengombinasikan pendekatan kualitatif-kuantitatif pada semester gasal 2020/2021.
Kondisi ini berbeda dibandingkan semester sebelumnya.

Berdasarkan frekuensi belajar dalam seminggu, saat semester gasal tahun ajaran 2020/2021,
sebanyak 59,9 persen responden siswa menyebut setiap hari belajar. Sementara semester
sebelumnya, 44,4 persen responden guru belajar 2-4 hari seminggu.

Zikro, guru taman kanak-kanak, mengajar siswa didiknya melalui pembelajaran jarak
jauh dengan memanfaatkan telepon seluler di ruang kelas TK Kartini, Kebon Jeruk,
Jakarta Barat, Senin (10/8/2020). Pandemi Covid-19 memaksa para guru dan siswa
belajar dengan sistem daring, tak terkecuali bagi siswa TK. Pandemi Covid-19 juga
berdampak pada menurunnya jumlah siswa baru untuk jenjang TK karena banyak
orangtua siswa yang menunda memasukkan anak mereka ke sekolah.

Menurut dia, secara umum, sebagian besar siswa merasa proses belajar dari rumah cukup
efektif meskipun tidak sedikit siswa yang ragu-ragu atau berpendapat sebaliknya.

Nur menambahkan, temuan survei merekomendasikan agar Kemendikbud memberikan


pendampingan guru sehingga pembelajaran konvensional yang membebani siswa dapat
diminimalkan. ”Pendampingan yang sama juga diperlukan agar lebih banyak guru dapat
melakukan asesmen diagnostik sehingga variasi kemampuan siswa dapat dipetakan terlebih
dulu. Tujuannya agar proses belajar efektif sesuai kebutuhan dan tingkat kemampuan siswa,”
kata Nur.

Guru Besar Pendidikan Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Anita Lie,
mengatakan, dirinya percaya guru beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19. Dari
pengamatannya, sejumlah guru mau mengubah cara mengajar konvensional menuju terpusat
pada kebutuhan siswa dan mengadopsi teknologi digital.

”Teknologi digital tidak akan mengubah peran guru, yakni memfasilitasi pembelajaran
kolaboratif dan berpikir kritis. Kondisi siswa dan keluarganya berbeda-beda. Guru tidak
boleh menyerah menghadirkan cara-cara belajar sesuai kondisi,” katanya.

Guru kelas 4 SD Negeri Repok Puyung, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Yulia
Hidayati, menceritakan, selama masa praktik PJJ akibat pandemi Covid-19, dia memilih
metode guru kunjung. Cara pembelajaran yang diambil adalah interaktif sesuai kebutuhan
siswa, Misalnya pembuatan media peraga berhitung yang berbahan kain.
Dia memilih mengadopsi kurikulum darurat yang dibuat oleh Kemendikbud karena
kompetensi isi dan dasar sudah disederhanakan. Apabila masih ada siswa mengalami
kesulitan, dia memutuskan akan tinggal lebih lama untuk mengajar anak bersangkutan.

”Kebanyakan siswa saya adalah anak dari orangtua pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Kalau sebatas memberikan tugas soal, saya tidak tega. Saya memilih tetap berkunjung dan
menerapkan cara belajar interaktif agar mereka senang dan dapat perhatian,” ujar Yulia.

Guru Fisika SMA Negeri 1 Kendari, Sulawesi Tenggara, Nafarudin, menceritakan, sebelum
tahun ajaran 2020/2021, interaksi guru dan siswa berkutat di media sosial. Dia mengajar
sampai memberikan tugas melalui aplikasi itu.

Dia mengajar tujuh kelas dengan total siswa sebanyak 250 orang. Akibatnya, cara
pembelajaran melalui aplikasi media sosial dirasa kurang efektif. Setelah itu, dia coba
memakai beberapa platform edukasi, seperti Google Classroom. Dengan cara ini, dia
berkreasi membuat soal yang bisa memancing kemampuan berpikir kritis siswa.
Siswa Alami Dampak Psikologis
Pembelajaran Jarak Jauh Paling Nyata
Dari semua subyek satuan pendidikan, siswa ternyata paling terdampak selama
proses pembelajaran jarak jauh. Mereka harus melakukan penyesuaian akademik,
membatasi interaksi sosial, dan mengalami perasaan negatif.
Oleh
MEDIANA
13 Juli 2020 10:00 WIB·6 menit baca
TEKS
KOMPAS/PRIYOMBODO

Siswa kelas II SD Islam Al Bayan mengerjakan soal penilaian akhir tahun secara
daring dengan pengawasan orangtua di Kota Tangerang, Banten, Rabu (29/4/2020).

JAKARTA, KOMPAS — Penerapan pembelajaran jarak jauh ataupun tatap muka di era
normal baru pendidikan memiliki implikasi psikologis kepada siswa. Diperlukan dukungan
orangtua, guru, dan sesama teman pergaulan agar siswa tidak stres.

Sejumlah dosen di Departemen Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas


Padjadjaran (Unpad), Bandung, menyurvei 1.403 responden siswa dari 21 provinsi di
Indonesia. Penelitian menggunakan kuesioner daring yang disebar secara acak melalui
jejaring media sosial selama 6-12 Mei 2020. Dari sisi jenjang pendidikan, responden SMP
mencapai 753 orang, SMA 351 orang, dan perguruan tinggi 299 orang.

Penelitian itu salah satunya bertujuan melihat penyesuaian akademik siswa atau kemampuan
pelajar dalam menyesuaikan dan menyikapi beragam permasalahan untuk beradaptasi dengan
kondisi akademik. Analisis profil itu memakai tiga domain penyesuaian akademik, yaitu gaya
hidup, prestasi, dan motivasi.

Domain gaya hidup menganalisis pelajar bisa menyesuaikan diri dengan perannya sebagai
pelajar dan kemampuan mereka beradaptasi dengan pola pembelajaran daring. Domain
prestasi akademik menyasar pada proses adaptasi pelajar sehingga bisa mencapai performa
maksimal akademiknya. Adapun motivasi akademik melihat seberapa jauh adaptasi pelajar
untuk melanjutkan dan menyelesaikan semua aktivitas akademik.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan profil kemampuan penyesuaian akademik


dari responden SMP dengan kelompok SMA dan mahasiswa. Menurut responden kelompok
SMA dan mahasiswa, selama instruksi jelas, mereka tahu apa yang harus dikerjakan dan
menunjang kemampuan akademik.

Kelompok SMP memiliki rentetan faktor pendorong penyesuaian, mulai dari ada tidaknya
panduan yang jelas, ketersediaan sarana prasarana, sampai tingkat beban tugas. Selain itu,
psikologis anak SMP masih berada pada transisi di antara peralihan dari pembelajaran dasar
ke tingkat menengah.
Cemas dan khawatir

Dosen di Fakultas Psikologi Unpad, Anissa Lestari Kadiyono, saat dihubungi, Minggu
(12/7/2020), dari Jakarta, mengatakan, pihaknya bersama ketiga dosen lain melakukan
penelitian lebih spesifik menyasar ke 867 orangtua, siswa, dan guru di Kota Bandung. Survei
ini menindaklanjuti penelitian sebelumnya. Rentang waktu survei adalah 8-14 Juni 2020.

Sebanyak 19,6 persen dari total responden mengaku cemas dan khawatir, 12,5 persen merasa
bosan, 9 persen merasa akan kehilangan kemampuan penguasaan materi, dan 8,3 persen
merasa akan butuh liburan jika pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) diperpanjang.

Siswa, khususnya, paling terdampak selama pembelajaran jarak jauh.

Secara psikologis, hal yang membuat peserta survei merasakan hal yang negatif adalah
adanya pengurangan penguasaan materi selama PJJ. Siswa, khususnya, paling terdampak
selama PJJ. Mereka harus penyesuaian akademis, interaksi sosial terbatas, dan kemungkinan
perasaan negatif.

Aspek-aspek psikologis yang timbul seperti itu tidak bisa dibiarkan. Ketidakteraturan dan
ketiadaan alat ukur PJJ, seperti belum terbitnya kurikulum dan penyederhanaan kompetensi
dasar, semakin membawa dampak negatif kepada siswa. Misalnya, kemampuan akademik
mereka turun.

Dari sisi keyakinan terhadap protokol kesehatan di sekolah, 47,7 persen responden tidak
yakin, 36,2 ragu-ragu, dan 16,10 yakin. Annisa menduga, pertanyaan survei seperti itu jika
diterapkan secara nasional akan menghasilkan jawaban yang mirip.

Menurut dia, penanganan stres kepada siswa diperlukan. Siswa perlu dibekali kemampuan
untuk mengenali emosi diri guna menjamin kesejahteraan psikologisnya selama menjalani
PJJ. Program konseling teman sebaya (peer counseling ) perlu dikembangkan untuk
membantu siswa yang membutuhkan sehingga mereka bisa bersama-sama melewati stres
selama PJJ.

”Sebelum ada PJJ karena pandemi Covid-19, tidak semua guru piawai memahami kebutuhan
setiap siswa. Ketika PJJ seolah jadi satu-satunya cara, guru bisa stres karena mau tidak mau
harus memahami spesifik kondisi siswa. Ditambah lagi, belum semua di antara guru cakap
menggunakan teknologi,” kata Annisa.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad, saat
menghadiri webinar ”Pengenalan Lingkungan Sekolah secara Virtual: Menyambut Tahun
Ajaran di Kenormalan Baru, Semua Terlibat Semua Hebat”, Sabtu (11/7/2020),
menyebutkan, per 5 Juli 2020 terdapat 104 kabupaten/kota masuk zona hijau Covid-19.
Sekitar 43 kabupaten/kota di antaranya tidak mengalami penambahan kasus.

Pemerintah daerah yang memutuskan membuka kembali sekolah harus melalui asesmen
sesuai dengan arahan daftar periksa di surat keputusan bersama empat menteri. Dia
mengingatkan bahwa prinsip PJJ adalah memberikan pengalaman belajar yang bermakna
bagi peserta didik, fokus pada pendidikan kecakapan hidup yang bersifat inklusif dan
kontekstual, serta penugasan yang bervariasi sesuai dengan minat dan kondisi setempat
peserta didik. Pendidik harus memberikan umpan balik yang bersifat kualitatif dan
mengedepankan pola interaksi yang positif dengan siswa dan orangtuanya.

Apabila persyaratan PJJ metode daring tidak terpenuhi, guru menyelenggarakan metode
luring. Misalnya, menggunakan modul, buku, serta konten pembelajaran di TVRI dan RRI.

”Saya minta setiap satuan pendidikan harus menyiapkan rencana pembelajaran selama satu
semester. Kemendikbud juga mendorong sesama guru saling berbagi rencana pembelajaran,”
ujarnya.

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca
%2Fdikbud%2F2020%2F07%2F13%2Fsiswa-alami-dampak-psikologis-pembelajaran-jarak-
jauh-paling-
nyata&psig=AOvVaw188YyWn7ddCPKLUIPWa9jP&ust=1710341254516000&source=ima
ges&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CAgQrpoMahcKEwjoqtLq--
6EAxUAAAAAHQAAAAAQBg
Kesehatan Mental Siswa Tetap Terjaga
meski Belajar dari Rumah
Studi Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan, asumsi belajar dari rumah
selama pandemi itu buruk karena menimbulkan banyak persoalan mental siswa tak
sepenuhnya terbukti.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
24 Desember 2020 20:47 WIB
TEKS

Gladis, siswa kelas IV sekolah MI Hayatul Islam, menyelesaikan soal penilaian akhir
semester (PAS) ganjil tahun pelajaran 2020/2021 melalui daring di depan rumah
warga di perkampungan padat di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, Senin
(30/11/2020). Agar dapat megikuti ujian daring, Gladis harus menumpang belajar di
depan rumah warga untuk dapat mengakses jaringan internet gratis.

Belajar dari rumah secara daring merupakan hal baru bagi siswa. Hambatan dan tantangan
tentu ada hingga dikhawatirkan memengaruhi kesejahteraan siswa. Nyatanya, studi Ikatan
Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan kondisi siswa yang belajar dari rumah selama
pandemi tidak lebih buruk dibandingkan yang tetap mengikuti pembelajaran tatap muka atau
campuran.

Rencana pemerintah membuka sekolah dan mengaktifkan pembelajaran tatap muka mulai
Januari 2021 menimbulkan pro dan kontra. Kekhawatiran atas keselamatan dan kesehatan
seluruh warga belajar, baik siswa, guru, maupun wali murid jadi alasan penolakan sebagian
kalangan. Namun, mereka yang takut atas hilangnya pembelajaran (learning loss) dan
dampak psikologis yang dialami warga belajar menyambut positif usulan tersebut.

Selama pandemi, sebagian besar sekolah di Indonesia memang menyelenggarakan


pembelajaran jarak jauh. Namun, tetap ada sekolah yang mengadakan pembelajaran tatap
muka, khususnya sekolah di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Sebagian sekolah di
daerah dengan akses internet terbatas, termasuk di Jawa, membuat sistem belajar campuran
yang memadukan belajar daring dan tatap muka secara terbatas.

Sejak awal dilakukan, pembelajaran daring menimbulkan persoalan pelik, mulai dari beban
pulsa, terbatasnya akses internet, kelelahan siswa akibat tugas menumpuk dan sulitnya
mempelajari materi secara daring, hingga stresnya orangtua mendampingi anak belajar jadi
keluhan umum. Segala masalah itu meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga
dengan anak dan perempuan yang paling banyak jadi korban.

Guru pun dinilai tak siap dengan metode pembelajaran baru hingga kerap jadi sasaran kritik
pedas pendamping belajar siswa. Ketidaktegasan pemerintah terkait pengaturan pembelajaran
daring dan target kurikulum menambah tekanan pada pendidik. Semua pihak menuntut dan
dituntut bisa cepat beradaptasi dengan pola pembelajaran baru itu meski nyatanya semuanya
masih gagap.

Berbagai persoalan itu membuat sebagian pihak mendorong segera dibukanya sekolah.
Terlebih, siswa di negara lain pun sudah masuk sekolah, bahkan sejak beberapa bulan lalu.
Desakan ini sudah muncul saat awal tahun ajaran baru 2020-2021 pada Juni dan Juli 2020
dan terulang kembali saat ini menjelang dimulainya semester genap 2020-2021 pada Januari
nanti.

Namun, studi dampak belajar dari rumah yang dilakukan Ikatan Psikolog Klinis (IPK)
Indonesia terhadap 15.304 siswa kelas IV hingga kelas XII dari 32 provinsi pada November
2020 menunjukkan tingkat stres siswa yang belajar dari rumah sama dengan siswa yang
belajar tatap muka atau campuran. Bahkan, kondisi psikologis siswa yang belajar dari rumah
relatif lebih baik dibandingkan siswa yang memakai metode pembelajaran lain.

Dari seluruh responden, 75 persen di antaranya belajar dari rumah, 3 persen menggunakan
pembelajaran tatap muka dan sisanya belajar campuran. Namun, sebaran siswa dalam studi
memang tidak merata karena hampir dua pertiganya berasal dari lima provinsi saja, yaitu
Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. Selain itu, dua
pertiga responden adalah siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah
kejuruan (SMK).

”Kondisi psikologis siswa saat ini tidak berbeda dengan kondisi mereka sebelum pandemi,”
kata Ketua Satuan Tugas Covid-19 IPK Indonesia Annelia Sari Sani, Jumat (18/12/2020).
Berbagai persoalan psikologis yang dialami warga belajar selama pandemi, seperti stres,
kelelahan, hingga trauma, sejatinya juga sudah terjadi jauh sebelum pandemi berlangsung.

Berdasarkan studi tersebut, IPK Indonesia meminta pemerintah dan seluruh pemangku
pendidikan untuk menunda pembelajaran tatap muka dan meneruskan metode belajar dari
rumah. Dampak buruk belajar dari rumah yang muncul tidak bisa serta-merta dijadikan
alasan membuka kembali sekolah karena studi IPK menunjukkan asumsi dampak buruk
belajar dari rumah itu tidak selamanya valid.
Berita

Interaksi Guru Dan Siswa Penting Dalam Proses Belajar Mengajar

Agustus 30, 2010

Proses Belajar Mengajar Yang Dilakukan Di Kelas Selama Ini Seringkali Satu Arah Dimana
Siswa Hanya Mendengarkan Apa Yang Disampaikan Guru.

Proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas selama ini seringkali satu arah dimana siswa
hanya mendengarkan apa yang disampaikan guru. Oleh karenanya, siswa lebih dilibatkan
secara aktif untuk berinteraksi dengan guru atau antar siswa. Prosentase kemampuan siswa
dalam memahami dan mengingat materi apa yang telah dipelajari sebelumnya hanya 5% jika
mereka sekadar mendengarkan penjelasan guru.

Demikian disampaikan trainer dari TU/e University , Harry van de Wouw, dalam Workshop
“Teaching and Learning in for Vocational High School (SMK) Teachers”, di Kampus
Terpadu, Sabtu (27/8). Kegiatan ini diikuti oleh 15 guru SMK Muhammadiyah
Bambanglipuro dan SMK Muhammadiyah 1 Bantul.

Menurutnya, hubungan yang saat ini terjadi antara guru dan siswa seringkali satu arah dimana
siswa hanya sekadar mendengarkan apa yang disampaikan guru. “Jika dilihat dari piramida
pembelajaran, siswa akan mudah lupa dengan apa yang dipelajari sebelumnya ketika mereka
hanya mendengarkan penjelasan guru karena prosentasenya hanya sekitar 5%,”urai Harry.

Ia menambahkan, siswa akan mampu mengingat dan memahami materi lebih dalam dan lama
jika mereka mampu menjelaskan isi materi kepada orang lain. “Pemahaman dan daya ingat
siswa dalam menjelaskan isi materi kepada orang lain mencapai 90%,” imbuh Harry

Interaksi juga menjadi poin penting dalam kegiatan belajar mengajar karena tak hanya siswa
saja yang mendapatkan manfaat, namun juga para guru juga memperoleh umpan balik
(feedback) apakah materi yang disampaikan dapat diterima murid dengan baik. “Untuk itu,
mendengar pengalaman para siswa dapat diaplikasikan dalam metode pembelajaran sebelum
guru masuk ke dalam penjelasan teori dan setelah perkenalan,” jelasnya.

Untuk itu, Harry memaparkan, ketika merancang dan melakukan revisi materi pembelajaran
yang akan disampaikan kepada para siswa, guru sebaiknya selalu memulai dengan merancang
hasil akhir (outcome) apa yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar mengajar itu. Seorang
guru hanya bisa memilih isi materi dan tugas pembelajaran setelah ia menyadari benar apa
yang dibutuhkan oleh siswanya dalam memahami keseluruhan materi yang disampaikan.

“Namun, dalam prakteknya para guru sering memulai dengan materi atau tugas dan berlari
dengan cepat pada hasil akhir pembelajaran setelahnya. Akibatnya materi dan hasil
pembelajaran pun menjadi tak lagi cocok dengan tingkat pembelajaran secara keseluruhan
Jangan menganggap bahwa semua siswa menyukai isi materi yang akan disampaikan
seketika itu juga,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ia menguraikan empat karakteristik siswa yang terdiri dari siswa yang
termotivasi oleh profesi, balasan, sosial, dan siswa yang memang memiliki minat besar dalam
bidangnya. “Sayangnya, karakteristik siswa terakhir ini bisa dibilang jumlahnya sedikit dan
menjadi minoritas diantara karakteristik yang lain. Oleh karenanya, pada awal studi tersebut,
para siswa perlu didorong dan diberikan semangat untuk mempelajari materi yang diberikan,”
urai Harry.

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.umy.ac.id%2Finteraksi
guru-dan-siswa-penting-dalam-proses-belajar
mengajar&psig=AOvVaw188YyWn7ddCPKLUIPWa9jP&ust=1710341254516000&source=
images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CAgQrpoMahcKEwjoqtLq--
6EAxUAAAAAHQAAAAAQBA

Anda mungkin juga menyukai