Oleh :
Kelompok 4
1. Muh. Adhanul Akbar A (19)
2. Muhammad Aldi Parawansa (20)
3. Muhammad Farid Zaqy Fakhruddin (21)
4. Muhammad Rais Arifin (22)
5. Nabila Ghaisani Hasyyati D (23)
6. Nabila Putri Maharani (24)
Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul
Khalwati Al-Makasari Al-Bantani
Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3
Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (“tuan guru penyelamat
kita dari Gowa”) oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.
Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad
Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin (Berkuasa sejak 1593 – wafat 15 Juni 1639,
penguasa Gowa pertama yang muslim), raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru
kerajaan Gowa.
Syekh kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18
tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya
(Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf
berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.
Pada tahun 1644, Syech Yusuf menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk beberapa
lama, dimana Ia belajar kepada ulama terkemuka di Mekkah dan Madina Syekh Yusuf juga sempat
mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke
Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-
Quraisyi. Syech Yusuf mempelajari Islam sekitar 20 tahun di Timur Tengah.
Ketika Kesultanan Gowa mengalami kekalahan dari Belanda, Syekh Yusuf pindah ke Banten dan
diangkat menjadi mufti disana. Pada periode ini kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan
agama Islam, dan beliau memiliki banyak murid. Termasuk didalamnya dari Makassar yang dipimpin
oleh Ali Karaeng Bisai. Ketika pasukan Sutan Ageng dikalahkan oleh Belanda tahun 1682, Syech
Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilangka pada September 1684.
Seiring berjalannya waktu Syech Yusuf terus berdakwah dan memiliki banyak murid, sehingga
bbeliau diasingkan kembali ke lokasi yang lebih jauh yaitu Afrika Selatan, Sampai wafat pada 23 Mei
1699, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan,menyebutnya sebagai “Salah Seorang Putra
Afrika Terbaik”.
Andi Djemma - Raja (Datu) Luwu
Andi Djemma lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, 15 Januari1901 – meninggal di Makassar, Sulawesi
Selatan, 23 Februari1965 pada umur 64 tahun. Beliau adalah Raja (Datu) Luwu seorang tokoh Indonesia
yang berjuang di wilayahnya untuk mempertahankan NKRI.
Kedatuan Luwu adalah kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menyatakan bergabung ke dalam
pangkuan republik dan dengan mengusulkan kepada presiden RI satu permintaan yaitu Daerah Istimewa
Luwu. Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus1945, Andi Djemma bahkan memimpin
'Gerakan Soekarno Muda' dan memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada 23 Januari1946.
Tanggal itu sekarang diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Semesta. Beliau memimpin rakyat luwu
(palopo) untuk berperang angkat senjata melawan tentara sekutu yang di boncengi oleh tentara NICA
(Nedelans Indiscehe Company Administration).
Pada 5 Oktober 1945, Andi Djemma sempat mengultimatum pihak Sekutu agar segera melucuti
tentaranya dan kembali ke tangsinya di Palopo. Ultimatum itu dibalas Gubernur Jenderal Belanda, Van
Mook, dengan mengirim puluhan bom kedalam kota Palopo.
Datu Luwu Andi Djemma bersama rakyatnya tidak gentar dengan serangan dari laut itu,
Persembahan jiwa dan raga dari Bumi Sawerigading (julukan tanah Luwu) yang tidak rela di jajah oleh
pihak sekututerus berkobar sehingga Perang pun pecah di hampir semua wilayah Luwu raya. Kota
Palopo di kuasi pemuda. Untuk beberapa jam sekutu mundur ke selatan. Sebelum bantuan yang besar
datang dan menguasi kembali pusat kota Palopo.
Perlawanan semesta rakyat Luwu punya nilai historis sendiri ini karena perlawanan itu termasuk
paling luas. Perang meletus sepanjang tidak kurang 200 km. Perang dengan lokasi yang panjang itu
menyulitkan sekutu.
Efek dari perang tersebut, Belanda sangat murka dan mengirim Raymond Wasterling. Merasa
dipermalukan Wasterling mengamuk dengan membantai kurang lebih 40.000 jiwa rakyat tak berdosa
sepanjang Sulawesi Selatan. Walau angka korban 40.000 jiwa itu masih diperdebatkan mengingat angka
40.000 jiwa terlalu besar.
Karena tekanan yang disebabkan oleh kekuatan yang tidak seimbang, hingga beliau terpaksa
meninggalkan istana bersama permaisyurinya, memimpin rakyatnya ber GERILYA di dalam wilayah
kerajaannya, yang mengakibatkan tertangkapnya ANDI DJEMMA oleh tentara NICA. Andi Djemma yang
mempunyai lima putera itu baru tertangkap pada 3 Juli 1946 dan diasingkan ke Ternate. Ia akhirnya
meninggal di Makassar pada 23 Februari 1965.
Atas jasa-jasa beliau ini , sehingga Andi djemma di anugrahibintang kehormatan , lencana “ Bintang
Gerilya “ pada tanggal 10 november 1958dengan nomor36.822 yang di tanda tangani langsung oleh
Presiden Republik Indonesia Soekarno. Sebagai daerah paling sebentar di jajah Belanda sekitar 30
tahun, Inilah persembahan wija to Luwu (rakyat Luwu) untuk republik ini.
Dikarenakan pada saat itu di wilayah luwu sedang bergejolak pemberontakan DI/TII yang di pimpin
oleh Abdul Kahhar Mudzakkar. Sehingga SampaiAndi djemma wafat, permintaan beliau kepada
Soekarno untuk membentuk Daerah Istimewa Luwu yang telah di setujui tidak pernah kunjung dalam
wujud nyata sebagaimana di harapkan Andi djemma dan masyarakat luwu.
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Gowa, Sulawesi
Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia
yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape
sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad
Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah
gurunya, termasuk guru tarekat dari Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki Takhta, ia digelar Sultan
Hasanuddin, setelah meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia
dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia dimakamkan di
Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden
No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng
Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa mulai tahun 1653
sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di Wilayah Timur Indonesia yang
menguasai jalur perdagangan.
Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Maluku setelah berhasil mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol dan
Portugis. Kompeni Belanda memaksa orang-orang negeri menjual dengan harga yang ditetapkan oleh
mereka, selain itu Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan cengkih di beberapa tempat, supaya
rempah-rempah jangan terlalu banyak. Maka Sultan Hasanuddin menolak keras kehendak itu, sebab
yang demikian adalah bertentangan dengan kehendak Allah katanya. Untuk itu Sultan Hasanuddin
pernah mengucapkan kepada Kompeni "marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk dengan serba
kegiatan". Tetapi Kompeni tidak mau, sebab dia telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini, sedang
Sultan Hasanuddin memandang bahwa cara yang demikian itu adalah kezaliman.
Pada tahun 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi belum berhasil menundukkan Kerajaan
Gowa. Tahun 1667, VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman beserta sekutunya kembali
menyerang Makassar. Pertempuran berlangsung di mana-mana, hingga pada akhirnya Kerajaan Gowa
terdesak dan semakin lemah, sehingga dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani
Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya. Gowa yang merasa dirugikan,
mengadakan perlawanan lagi. Pertempuran kembali pecah pada Tahun 1669. Kompeni berhasil
menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 24 Juni 1669. Sultan
Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Namanya kini diabadikan untuk Universitas Hasanuddin, Kodam XIV/Hasanuddin dan Bandar Udara
Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar.
Pong Tiku
Pong Tiku (atau Pontiku dan Pongtiku; 1846 – 10 Juli 1907), dikenal dengan nama Ne' Baso, adalah
pemimpin dan gerilyawan Toraja yang beroperasi di Sulawesi bagian selatan, sekarang bagian dari
Indonesia.
Tiku adalah putra penguasa Pangala'. Setelah Tiku menduduki kerajaan Baruppu', ia menjadi raja,
lalu menguasai Pangala' setelah ayahnya meninggal dunia. Lewat perdagangan kopi dan persekutuan
dengan Suku Bugis di dataran rendah, Tiku mendapatkan kekayaan, tanah, dan kekuasaan yang besar.
Semasa Perang Kopi (1889–1890), kota Tondon diserang oleh penguasa lain, tetapi direbut kembali pada
hari yang sama. Ketika pasukan Belanda menyerbu Sulawesi pada awal 1900-an, Tiku dan pasukannya
melancarkan serangan dari benteng. Ia ditangkap pada bulan Oktober 1906. Bulan Januari 1907, ia kabur
dan menjadi buronan sampai Juni tahun itu. Ia dieksekusi mati beberapa hari setelah tertangkap.
Tiku merupakan pemimpin pemberontakan terlama di Sulawesi. Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz
menganggap Tiku sebagai ancaman bagi kestabilan pemerintahan Belanda di kawasan itu. Van Heutsz
mengutus Gubernur Sulawesi untuk memimpin penangkapannya. Sejak kematiannya, Tiku menjadi
simbol pemberontakan Toraja. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2002.
Tiku lahir di dekat Rantepao di dataran tinggi Sulawesi (sekarang Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi
Selatan) pada tahun 1846. Waktu itu, Sulawesi Selatan merupakan pusat perdagangan kopi dan dikuasai
oleh beberapa panglima perang. Tiku adalah anak terakhir dari enam bersaudara yang lahir dari salah
satu keluarga panglima perang tersebut. Ia merupakan putra dari Siambe' Karaeng, penguasa Pangala',
dan istrinya, Leb'ok. Sebagai pemuda yang atletis, Tiku sangat ramah terhadap pedagang kopi yang
mengunjungi desanya.
Pada tahun 1880, pecah perang antara Pangala' dan Baruppu', negara tetangga yang dikuasai
Pasusu. Tiku pun memimpin serangan ke negara tetangganya. Setelah Pasusu dikalahkan, Tiku
menggantikannya sebagai penguasa Baruppu'. Kerajaan yang baru dicaplok ini memiliki sawah yang luas
dan aman sehingga Tiku memiliki kekuasaan yang besar. Meski suku Toraja umumnya lebih menghargai
tenaga manusia dan membunuh orang secukupnya saja, sejarah lisan Baruppu' mendeskripsikan Tiku
sebagai sosok pembunuh yang tidak memandang pria, wanita, atau anak-anak.
Tak lama kemudian, ayah Tiku meninggal dunia. Tiku naik sebagai penguasa Pangala'. Sebagai
pemimpin, Tiku berusaha memperkuat ekonomi setempat dengan meningkatkan perdagangan kopi dan
persekutuan strategis dengan suku-suku Bugis di dataran rendah. Kesuksesan ekonomi ini membuat
para penguasa di sekitarnya menghormati dan mengagumi Tiku.
Andi Mappayukki
Andi Mappanyukki (lahir 1885 - meninggal 18 April 1967)[1] adalah salah tokoh pejuang dan seorang
bangsawan tertinggi di Sulawesi Selatan. Ia adalah Putra dari Raja Gowa ke XXXIV yaitu I'Makkulau
Daeng Serang Karaengta Lembang Parang Sultan Husain Tu Ilang ri Bundu’na (Somba Ilang) dan I Cella
We'tenripadang Arung Alita, putri tertua dari La Parenrengi Paduka Sri Sultan Ahmad, Arumpone Bone
(Raja Bone). Ia pulalah yang memimpin raja raja di Sulawesi Selatan untuk bersatu dan bergabung
dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1950.
Ia sejak berusia 20 tahun sudah mengangkat senjata untuk berperang mengusir kolonial Belanda,
perang yang dilakoni dimasa muda itu takala mempertahankan pos pertahanan kerajaan Gowa di
daerah Gunung Sari.
Pada tahun 1931 Kamis tanggal 12 April, atau 13 Syawal 1349H. atas usulan dewan adat ia diangkat
menjadi Raja Bone ke-32 dengan gelar Sultan Ibrahim, sehingga ia bernama lengkap Andi Mappanyukki
Sultan Ibrahim. Gelar Sultan Ibrahim sendiri merupakan gelar yang diberikan kepadanya manakala
menjabat Raja Bone kala itu (mangkauE Ri Bone). Pada masanyalah Kompeni Belanda di Celebes Selatan
bernama Tuan L.J.J. Karon serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff[2].
Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh
negara-negara besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina melarikan
diri bersama seluruh keluarganya ke Inggris untuk minta perlindungan.
La Mappanyukki (Penyebutan La merupakan gelar bangsawan Bugis, sedangkan I Mappanyukki
merupakan gelar dari bangsawan Gowa) diangkat menjadi Arung MangkauE’ (Untuk istilah raja di
Kerajaan Bone bernama Arung MangkauE') di Kerajaan Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu
kali ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia merupakan turunan La Tenri
Tappu MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih dalam
menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai Mangkau’ di Kerajaan Bone.
Karena menolak bersekutu dengan Belanda Ia pun “di turunkan” dari sebagai raja Bone oleh
kekuatan dan kekuasaan Belanda, kemudian di asingkan bersama Istri (permaisuri) nya I' Mane'ne
Karaengta Ballasari" dan Putra Putrinya selama 3,5 tahun di Rantepao, Tana Toraja. Ia pernah diangkat
memimpin kerajaan suppa tahun 1902 s/d 1906.
Andi Mappanyukki memiliki permaisuri bernama I Mane'ne Karaengta Balla Sari & juga memiliki
beberapa istri diantaranya I Batasai Daeng Taco, Besse Bulo (I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi).
Ia juga mempunyai beberapa anak antara lain :
• Andi Bau Tenri Padang Opu Datu (P) Istri dari Andi Djemma Datu Luwu
• Andi Bau Datu Cella Bone (P)
• Andi Bau Tenri Datu Bau (p)
• Andi Bau Parenrengi Datu Lolo (L)
• Andi Bau To'Appo Datu Appo (L)
• Andi Bau Datu Sawa (L).
• Andi Abdullah Bau Massepe(L) dari Pernikahannya dengan Besse Bulo (Putri La Sadapotto
Addatuang Sidenreng XVI)
• Andi Pangerang Petta Rani (L) dari Pernikahannya dengan I Batasi Daeng Taco
Ia Mangkat pada tanggal 18 April 1967 di Jongaya (Jl. Kumala no.160 Makassar dan masih terjaga
dan terawat sampai sekarang sebagai Rumah Ex. Raja Bone Andi Mappanyukki), di mana daerah ia juga
dilahirkan. Makamnya tidak diletakkan di pemakaman raja-raja Gowa atau Bone lazimnya, tetapi oleh
masyarakat dan pemerintah Republik Indonesia Makamnya di letakkan di Taman makam Pahlawan
Panaikang Makassar (Ujung Pandang) dengan upacara kenegaraan.
La Madukelleng
Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu
Gowa-Tallo) pada aliansi Bone dan VOC dalam Perang Makassar. Penindasan yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi
merantau ke Makassar, Kalimantan, Nusa Tenggara, kawasan Selat Melaka, serta bagian Nusantara
lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan
jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.
La Maddukelleng sendiri lahir pada sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo.. Menurut
sumber lontaraʼ yang ditelusuri oleh Andi Zainal Abidin (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La
Maddukelleng yang bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan Arung (penguasa) Peneki,
sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan Arung Singkang yang
juga merangkap jabatan sebagai Patola (salah satu dari tiga panglima besar Wajo)
Sedikit sekali detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber
Wajo. Sebuah riwayat dari Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ (Sejarah Lengkap Wajo) menyebutkan bahwa ia
pernah menjadi pembawa puan (tempat sirih) bagi Arung Matoa (pemimpin tertinggi Wajo) La
Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri Arumpone (penguasa Bone)
La Patauʼ di Cenrana, Bone. Ketika itu La Maddukelleng kemungkinan masih remaja (usia 13–14 menurut
perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai dikhitan.
Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam. Saat pertandingan
sabung ayam sedang berlangsung, seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga
mengenai kepala Arung Matoa Wajo. La Maddukelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian
ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan
15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar
menyusuri sungai kembali ke Wajo. Sesampainya di Tosora (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone
yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili,
tetapi sang arung matoa melindungi La Maddukelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak
ada di Wajo. Meski begitu, La Maddukelleng tetap khawatir Bone akan menyerang Wajo hanya demi
mencari dirinya, sehingga ia pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo. Melemahnya hegemoni Bone
di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-18 membuat Wajo mampu memperluas jaringan
perdagangannya tanpa halangan yang berarti. Hubungan antara komunitas rantau Wajo dan tanah
airnya pun tumbuh semakin erat, dan mencapai puncaknya sewaktu La Maddukelleng pulang kembali ke
Wajo pada tahun 1730-an Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ secara khusus menyebut bahwa Arung Matoa La
Salewangeng mengirimkan utusan ke Paser pada 1735 untuk meminta La Maddukelleng pulang, karena
Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer bila mesti menghadapi Bone. Walaupun begitu,
beberapa riwayat menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.
La Maddukelleng berangkat menuju Sulawesi beserta sejumlah besar pasukan dari Paser. Pada
Desember 1735, ia tiba di perairan Majene disertai armada 40 kapal dan terlibat konflik dengan Arung
Lipukasiʼ (dari Tanete) serta Maraʼdia Balanipa. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa pasukan La
Maddukelleng pimpinan To Assa berhasil dipukul mundur. Ia kemudian merampas perahu milik seorang
dari Mangngarancang (Tanete) dan berlayar menuju Binuang, tetapi pada Februari 1736 ia disergap dan
12 pengikutnya terbunuh, sehingga ia mundur lagi ke selatan menuju Puteanging Riwayat lain menyebut
bahwa La Maddukelleng memenangkan pertempuran di Mandar setelah pengepungan selama 75 hari.
Sebagai pembalasan atas penyerangan terhadap To Assa, La Maddukelleng pun merampas harta orang-
orang Binuang serta menyerang pemukiman-pemukiman di sana.
Setelah itu, La Maddukelleng menuju Sabutung dan menyerang dua pulau di sekitar Makassar pada
bulan Maret. Kemudian ia meneruskan perjalanan hingga tiba di Bone. Pada awalnya, ia hendak menuju
pusat Wajo melalui muara Sungai Cenrana (yang dikuasai oleh Bone), tetapi karena armadanya tidak
diperbolehkan masuk, ia melanjutkan perjalanan ke utara menuju Doping di pesisir timur Wajo. Di sana
ia menunggu selama 40 hari, sebelum diperbolehkan turun dari kapal bersama 40 orang pasukannya
pada Mei 1736. La Maddukelleng kemudian berangkat menuju Sengkang, dan mendapatkan banyak
pengikut baru dalam perjalanannya, sehingga jumlah pasukannya mencapai 500 orang ketika sampai di
Sengkang. Persekutuan Tellumpoccoe kemudian mengadakan sidang di Tosora untuk membahas
tuduhan-tuduhan kejahatan yang diajukan oleh Bone terhadap La Maddukelleng, tetapi ia kemudian
dibebaskan dari segala tuduhan setelah menyampaikan pembelaannya. Menurut Wellen, terbebasnya
La Maddukelleng dari tuduhan kemungkinan juga dipengaruhi oleh kekuatan yang ia miliki saat itu.
Sultan Alauddin
Sultan Ala'uddin merupakan raja keempat belas Gowa dan raja pertama yang masuk Islam ketika
memerintah. Ia merupakan anak dari raja kedua belas Tunijalloq. Ala'uddin dilahirkan dengan nama I
Manngarangi, gelar bangsawannya I Daeng Manraqbia. Setelah kekuasaan saudaranya Tunipasuluq
ditumbangkan, I Manngarangi yang saat itu masih berusia tujuh tahun diangkat menjadi Karaeng Gowa
oleh tumabicara butta Makassar Karaeng Matoaya.
Datuk ri Bandang, seorang pendakwah Minangkabau yang berasal dari Koto Tangah, mengislamkan I
Manngarangi pada tanggal 22 September 1605. Semenjak itu, I Manngarangi memimpin dengan gelar
Sultan Ala'uddin. Pada masa pemerintahannya dan Karaeng Matoaya, Kesultanan Makassar melakukan
ekspansi besar-besaran. Pada tanggal 10 Juni 1639, Ala'uddin jatuh sakit ketika berada di Cikkoang; lima
hari kemudian ia meninggal di Somba Opu.
Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639. Ia diberi gelar “Tumenanga ri Gaukanna” atau yang
mangkat dalam kebesaran ke kua saannya. Sedangkan, sumber lainnya menya takan, Sultan Alaud din di
beri gelar “Tumenanga ri Agamana” atau yang mangkat dalam aga manya.
Lasinrang merupakan salah satu pejuang bugis asal pinrang yang memimpin para pemuda di tanah
addatuang (kerajaan) Sawitto melawan penjajah Belanda. Lasinrang lahir di Desa Dolangan, Pinrang
pada tahun 1856 dan wafat di tahun 1936. Dalam lembaran sejarah, Lasinrang adalah salah seorang
pejuang yang tak bisa dikalahkan Belanda selama masa penjajahan. Taktik keji Belanda-lah yang
menahan ayahnya, Addatuang Sawitto, dan istrinya, I Makkanyuma, membuat Lasinrang menyerah.
Warga Pinrang mengabadikan nama Lasinrang di setiap sudut kota sebagai nama jalan, gedung
olahraga, rumah sakit dan lain-lain. Bahkan patung Lasinrang berbulu emas berdiri tegak di pusat Kota
Pinrang yang berjarak sekitar 185 kilometer dari Kota Makassar.