SULTAN HASANUDDIN
Biografi dan Profil Sultan Hasanuddin “Si Ayam Jantan Dari Timur” Tokoh Pahlawan
Pejuang Kemerdekaan Indonesia.
Sultan Hasanuddin merupakan Raja Gowa yang ke -16 dan juga pahlawan nasional
Indonesia. Sultan Hasannudin merupakan putra dari pasangan Sultan Malikussaid yang
merupakan raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To’mo Lakuntu. Sultan Hasanudin lahir di
Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 januari 1631 dan wafat pada 12 Juni 1670 di
Makassar, Sulawesi Selatan. Sultan Hasanuddin mendapat julukan De Haantjes van Het
Osten atau Ayam Jantan Dari Timur dari belanda karena keberaniannya melawan Belanda.
Biografi Singkat
Sultan Hasannudin merupakan anak kedua dari pasangan Sultan Malikussaid yang
merupakan raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To’mo Lakuntu yang merupakan putri
bangsawan Laikang. Sultan Hasanudin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12
januari 1631 dan wafat pada 12 Juni 1670 di Makassar, Sulawesi Selatan. Nama lahir Sultan
Hasanuddin adalah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangepe. Sultan Hasanuddin memiliki saudara perempuan bernama I Patimang Daeng
Nisaking Karaeng Bonto Je’ne.
Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah memperlihatkan jiwa kepemimpinan, selain itu Ia juga
memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar yang sangat menonjol dibanding dengan
saudaranya yang lain, serta pandai bergaul dengan banyak orang tidak hanya di lingkungan
istana tetapi juga dengan orang asing yang mendatangi Makassar untuk berdagang.
Pendidikan yang dijalaninya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Masjid Bontoala
membuatnya menjadi pemuda yang beragama, memiliki semangat juang, jujur, dan rendah
hati.
November 1653, pada usia 22 tahun, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe diangkat menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana. Pengangkatan tersebut merupakan pesan dari sang ayah
sebelum wafat dan karena sifat yang tegas, berani serta memiliki kemampuan dan
pengetahuan yang luas pesan tersebut disetujui mangkubumi kerajaan yaitu Karaeng
Pattingaloang.
Melawan VOC
Karena menentang usaha monopoli yang hendak dilakukan VOC dan juga Kerajaan Gowa
merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan, VOC berusaha
mengahncurkan Kerajaan Gowa.
Peperangan yang terjadi antara kedua belah pihak selalu diakhiri dengan perjanjian
perdamaian dan gencatan senjata namun VOC selalu melanggar dan hal tersebut
merugikan Kerajaan Gowa.
Belanda terus menambah pasukan selama peperangan sehingga Kerajaan Gowa semakin
lemah dan terdesak, lalu dengan pertimbangan pada 18 November 1667 Sultan Hasanuddin
bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya. Rakyat dan Kerajaan Gowa yang merasa
sangat dirugikan dengan adanya perjanjian tersebut, pada 12 April1668 akhirnya perang
kembali pecah.
Sultan Hasanuddin memberi perlawanan sengit. Namun karena pasukan Belanda yang
dibantu dengan tentara luar, pada 24 Juni 1969 mereka berhasil menerobos Benteng
Sombaopu yang merupakan benteng terkuat kerajaan Gowa. Belanda terus melancarkan
usahanya memecah belah Kerajaan Gowa, usaha yang dilakukan oleh mereka berhasil
dengan beberapa pembesar kerajaan yang menyerah seperti Karaeng Tallo dan Karaeng
Lengkese. Namun tidak dengan Sultan Hasanuddin yang telah bersumpah tidak akan
pernah sudi bekerja sama dengan Belanda.
Pada 29 Juni 1969, Sultan Hasanuddin turun tahta dan kemudian digantikan oleh putranya
yang bernama I Mappasomba Daeng Nguraga yang bergelar Sultan Amir Hamzah.
Pada 12 Juni 1670, pada usia 39 tahun Sultan Hasanuddin wafat. Kemudian beliau
dimakamkan di suatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di
Kampung Tamalate.
FRANS KEISEIPO
Frans Kaisiepo merupakan salah satu pahlawan nasional yang berasal dari tanah Papua. Ia
adalah seseorang yang berhasil menyatukan Irian Barat menjadi bagian dari negara
Republik Indonesia.
Pada masa yang bergejolak saat Irian Barat belum secara resmi masuk dalam bagian RI,
Frans Kaisiepo berjuang agar Papua tak jatuh ke tangan Belanda.
Frans Kaisiepo lahir pada 10 Oktober 1921 di Biak, pada masa kolonial Hindia Belanda. Ia
merupakan anak dari Albert Kaisiepo dan Albertina Maker.
Frans bertemu dengan Sugoro Atmoprasodjo pada tahun 1945 di Sekolah Kursus Pegawai.
Keduanya sama-sama memiliki nasionalisme yang tinggi. Frans pun mulai ikut pertemuan
rahasia yang membahas aneksasi Nugini Belanda oleh Republik Indonesia.
Frans Kaisiepo menjadi orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan
menyanyikan lagu Indonesia Raya di tanah Papua, tepatnya pada 31 Agustus 1945.
Kemudian pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nugini Belanda untuk ikut Konferensi
Malino di Sulawesi Selatan.
Bertindak sebagai juru bicara, ia menyarankan untuk menamai wilayahnya tersebut sebagai
'Irian' atau yang berarti 'tempat yang panas' dalam bahasa Biak. Setelahnya, pada Maret
1948, Frans terlibat dalam pemberontakan Biak, untuk memprotes pemerintahan Belanda.
Ia pun ditangkap dan dipenjara dari 1954 hingga 1961.
Jasanya mempersatukan Papua dengan Republik Indonesia
Setelah bebas pada 1961, Frans langsung mendirikan Partai Irian sebagai upaya dalam
menyatukan Irian Barat ke Indonesia.
Presiden Soekarno juga pada 19 Desember 1961 membentuk Trikora, sebagai bentuk
perlawanan dan menggagalkan terbentuknya Negara Papua. Aksi Trikora berujung pada
penandatanganan Belanda terhadap perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Hal itu membuat pengalihan penyelenggaraan pemerintahan ke UNTEA pada Oktober 1962.
Dan pengalihan Irian Barat ke Indonesia oleh PBB pada 1 Mei 1963. Kemudian posisi
gubernur dipegang oleh Elias Jan Bonai. Tapi ia mengundurkan diri dan membelot dengan
membentuk Organisasi Papua Merdeka.
Saat itulah Frans Kaisiepo menjabat menjadi gubernur, dan mempersatukan Papua dengan
Indonesia, awalnya sebagai Provinsi Irian jaya di tahun 1969.
Setelah kiprah dan jasanya untuk Papua serta Indonesia, Frans Kaisiepo wafat pada 10
April 1979, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak.
Atas jasanya yang besar terhadap bangsa, Frans dianugerahi Bintang Mahaputra
Adipradana Kelas Dua oleh Pemerintah Indonesia. Ia juga kemudian diangkat secara
anumerta sebagai Pahlawan Nasional, tepatnya pada peringatan 30 tahun penyerahan
Papua ke Indonesia, tahun 1993.
Frans Kaisiepo juga menjadi salah satu pahlawan nasional yang menghiasi mata uang
Rupiah, tepatnya pada nominal Rp10.000. Tentu rasa nasionalisme tinggi yang diperlihatkan
Frans Kaisiepo, bisa jadi teladan untuk seluruh rakyat Indonesia.
SUTOMO
Sutomo atau lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah
pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk
melawan Belanda melalui tentara NICA yang kembali untuk menjajah, yang berakhir dengan
pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Ia lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 3 Oktober 1920 dan meninggal di Padang Arafah,
Arab Saudi pada 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun. Ia dilahirkan di Kampung Blauran, di
pusat kota Surabaya.
Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia
pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan
swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-
impor Belanda.
Masa muda
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan
sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota
Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia.
Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika
pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan
dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang
habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-
seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.
Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat
sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan
Pada tahun 1950-an Sutomo sempat terjun dalam dunia politik, namun ia tidak merasa
bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa pemerintahan
Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali
muncul sebagai tokoh nasional.
Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah
menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri
Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai
Rakyat Indonesia.
Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru.
Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978
ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang
keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak
hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.
Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar
(FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.
Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari
Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi
dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November
2008 di Jakarta dengan Keppres No. 41/TK/2008
RADEN AJENG KARTINI
R.A Kartini memperoleh pendidikan lantaran mewarisi darah bangsawan dari ayahnya. Dia
disekolahkan di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun sembari mempelajari
berbagai hal, termasuk bahasa Belanda. Di masa itu, ada kebiasaan yang turun-temurun
dilakukan. Anak perempuan yang sudah berusia 12 tahun harus tinggal di rumah untuk
dipingit.
Dalam keadaan dipingit, keinginan belajar R.A Kartini tak serta-merta surut. Kemampuan
bahasa Belanda yang dimilikinya digunakan untuk membaca buku bahkan menulis surat
kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satu yang kerap
dijadikan kawan bercerita adalah Rosa Abendanon. Dari komunikasinya dengan
Abendanon, timbullah ketertarikan untuk berpikir maju seperti perempuan Eropa. Dia
hendak memajukan perempuan pribumi yang kala itu banyak dibatasi oleh adat istiadat
kuno. Pengetahuan Kartini terkait ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga cukup luas.
Pada 12 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang bernama KRM Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Setelah menikah, sang
suami mendukung penuh mimpi-mimpi Kartini, salah satunya untuk membangun sebuah
sekolah khusus wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten
Rembang.
Usai kematiannya, surat-surat Kartini dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku
berjudul 'Door Duisternis tot Licht' atau Habis Gelap Terbitlah Terang oleh salah satu
temanya di Belanda, Mr JH Abendanon, yang saat itu menjabat Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku ini diterbitkan pada 1911 dengan bahasa
Belanda sehingga tak banyak warga pribumi yang bisa membacanya.
Kemudian pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi terjemahan buku Habis Gelap
Terbitlah Terang. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964, pada
tanggal 2 Mei 1964, Presiden Sukarno menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional. Sukarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, diperingati sebagai Hari
Kartini.
Ir. SOEKARNO
Sosok Soekarno memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat Indonesia dan memberikan
banyak teladan bagi bangsa. Banyak tenaga, pemikiran, bahkan jiwa dipertaruhkan oleh
Soekarno untuk Indonesia, mulai dari melawan penjajahan sampai membangun bangsa ini
menjadi seperti sekarang. Soekarno menjadi tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang
akan terus terkenang jasa-jasanya.
Di Mojokerto itulah sang ayah ditugaskan sebagai kepala Eerste Inlandse School dan
Soekarno pun sekolah ditempat itu. Sejak tinggal kembali bersama orang tuanya, Soekarno
mengganti namanya dari Kusno menjadi Soekarno agar dirinya tidak sakit-sakitan lagi dan
dapat tumbuh dengan sehat. Sejak kecil Soekarno sudah menjadi anak yang berprestasi
bahkan mampu menguasai banyak bahasa. Itulah sebabnya kecerdasan Soekarno dikenal
oleh dunia.
Tahun 1911 Soekarno pindah lagi ke ELS yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) yang
khusus dipersiapkan untuk masuk Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Tahun 1915
Soekarno pun menamatkan sekolahnya di ELS dan kemudian tinggal di rumah sahabat
ayahnya, Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Cokroaminoto yang merupakan pendiri
Serikat Islam. Sejak itulah Soekarno mulia mengenal dunia perjuangan yang akhirnya
membuatnya sangat ingin berjuang bagi bangsa Indonesia.
Di Kediaman Cokroaminoto, Soekarno muda mulai banyak belajar politik dan banyak
berlatih pidato. Di sanalah Soekarno mulai kenal dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh hebat,
seperti Dr. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Merekalah
pemimpin organisasi National Indische Partij saat itu.
Bersekolah di HBS memberi banyak pengalaman dan pelajaran bagi Soekarno, hingga
akhirnya lulus dan tahun 1921. Setelah itu Soekarno pun kembali pindah tempat tinggal,
yakni ke Bandung dan tinggal bersama Haji Sanusi untuk melanjutkan pendidikannya di
Technische Hooge School (THS) jurusan teknik sipil atau kita kenal sekarang sebagai
kampus ITB. Disanalah Soekarno mendapatkan gelar insinyur-nya dengan lulus pada
tanggal 25 Mei 1926.
Soekarno diwisuda bersama dengan delapan belas unsur lainnya tepat saat Dies Natalis
ITB yang ke-61 pada 3 Juli 1926. Menurut Prof. Jacob Clay Sebagai ketua Fakultas di
kampus tersebut menyatakaan kebanggannya karena ada 3 orang insinyur orang Jawa,
Yakni Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, dan gelar insinyur dari daerah lainnya.
Di masa hidupnya, Soekarno telah menikahi sejumlah perempuan, yakni Fatmawati, Hartini,
Ratna Sari Dewi, Kartini Manopo, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar. Atas
pernikahannya tersebut, Soekarno dikarunia 11 orang anak. Sebagian keturunan Soekarno
pada akhirnya juga ada yang mengikuti jejak sang ayah di dunia politik Indonesia.
Yakni putrinya yang bernama Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai
presiden ke-5 RI, Rachmawati Soekarnoputri, dan Sukmawati Soekarnoputri. Putranya yang
pertama dengan Fatmawati, Guntur Soekarnoputra justru tidak terjun ke dunia politik seperti
dirinya dan adik-adik perempuannya.
Hal itulah yang membuat Soekarno perlu menjawab tantangan tersebut. Karena
kesedihannya tersebut Soekarno pun memberikan pidato menggunakan bahasa ngoko
(bahasa Jawa yang kasar) dalam rapat pleno tahunan Jong Java di Surabaya. Tak
berselang lama, setelah sebulan rapat tersebut, Soekarno mencetuskan gagasan untuk
membuat surat kabar Jong Java menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda.
Soekarno kemudian mendirikan Algemeene Studie (ASC) di Bandung pada tahun 1926
yang merupakan hasil inspirasi dari Dr. Soetomo di Indonesische Studie Club. Organisasi
ASC inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya partai besar di Indonesia, Partai Nasional
Indonesia yang lahir tahun 1927. Berkat aktif di organisasi PNI itulah Soekarno beberapa
ditangkap Belanda karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial.
Selama perjuangan yang panjang akhirnya Soekarno dan Moh. Hatta memproklamasikan
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 yang didesak oleh kaum muda dan sempat diculik
ke Rengasdengklok. Sejak itulah Soekarno diangkat menjadi Presiden pertama Indonesia
dan mulai dikenal sebagai Sang Proklamator yang didampingi Mohammad Hatta sebagai
wakilnya. Sebelumnya pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI Soekarno sudah
mengemukakan gagasan tentang dasar Negara, yakni Pancasila yang sekarang masih
menjadi dasar Negara kita.
Atas kejayaan perjuangannya untuk Indonesia, Ir Soekarno juga mengalami masa jatuh
dalam politiknya setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta akhirnya memutuskan untuk
mengundurkan diri dan memisahkan diri dari Soekrano tahun 1956. Selain itu banyak pula
pemberontakan separatis yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan
catatan sejarah, puncak pemberontakan tersebut adalah saat terjadinya pemberontakan
yang dikenal dengan G30S PKI yang meluluhlantakan masyarakat Indonesia Saat itu.
Karena peristiwa itulah Soekarno mendapat pengucilan dari presiden yang menggantikan
dirinya, yakni Soeharto. Karena usianya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan akhirnya
Soekarno wafat di Jakarta, tepatnya Wisma Yaso pada tanggal 21 Juni 1970. Kemudian
jasadnya dimakamkan di Blitar dan menjadi ikon kota Blitar hingga saat ini. Makam
Soekarno Pun selalu ramai peziarah dan wisatawan yang datang di hari-hari tertentu dan
sangat ramai saat haul Sang Proklamator tersebut.
MOHAMMAD HATTA
Sang ayah meninggal dunia saat usianya 7 bulan. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan
Agus Haji Ning, seorang pedagang asal Palembang. Pernikahan mereka dikaruniai 4 orang
anak perempuan.
Pria yang akrab disapa Bung Hatta ini pun mengenyam pendidikan pertama kali di Sekolah
Dasar Melayu Fort de kock. Namun, kemudian pindah ke Europeesche Lagere School
(ELS), Padang (Kini SMA Negeri 1 Padang) dan melanjutkan ke Meer Uirgebreid Lagere
School (MULO), Padang hingga tahun 1919. Sedangkan, sekolah tingginya sendiri ia
lanjutkan ke Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia.
Selain menyerap segala ilmu pengetahuan di pendidikan formal, Hatta juga mempelajari
ilmu-ilmu agama, berhubung keluarganya merupakan keluarga yang taat Agama. Ia pernah
belajar bersama Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.
Kiprahnya di dunia politik diawali dengan masuknya ia ke organisasi Jong Sumatranen Bond
region Padang dengan jabatan sebagai bendahara pada tahun 1916. Pengetahuanya di
bidang politik pun bertambah pesat karena rajin menghadiri berbagai pertemuan.
Pada tahun 1921, Hatta hijrah ke Belanda untuk melanjutkan studinya di Handels
Hogeschool (sekarang namanya Universitas Erasmus Rotterdam). Ia bergabung dengan
perkumpulan pelajar tanah air, Indische Vereeniging.
Pada awalnya Indische Vereeniging hanyalah komunitas biasa. Tapi, segalanya berubah
setelah pentolan Indische Partij, yaitu Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto
Mangunkusumo bergabung ke dalam komunitas tersebut. Geliat politik pun semakin
mencuat ke permukaan. Komunitas itu pun memiliki tujuan baru yaitu, mempersiapkan
kemerdekan Indonesia. Namanya pun berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada tahun 1922, Hatta kembali menduduki posisi bendahara di Perhimpunan Indonesia
dan 3 tahun kemudian ia terpilih sebagai ketua. Hatta juga sempat mengatur majalah Hindia
Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka di tahun 1924.
Aktivitasnya ini pula yang membuat Hatta ditangkap Belanda bersama Nazir St. Pamontjak,
Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat. Namun, akhirnya dibebaskan setelah ia
memberikan pidato pembelaan bertajuk Indonesie Vrij.
Pada tahun 1931, Hatta undur diri sebagai ketua Perhimpunan Indonesia karena ingin
menyelesaikan studinya. Perhimpunan Indonesia pun jatuh ke tangan komunis dan berbalik
menjadi mengecam Hatta sampai akhirnya Hatta dan rekannya Syahrir keluar dari partai.
Setelah kembali ke tanah air pada tahun 1932, Hatta bergabung dengan Club Pendidikan
Nasional Indonesia yang bertujuan untuk membuka mata masyarakat Indonesia tentang
dunia politik dengan mengadakan berbagai pelatihan. Bisa dikatakan, himpunan ini
merupakan tandingan dari Perhimpunan Indonesia.
Pengasingan aktivis Soekarno ke Flores di tahun berikutnya, menuai kritik keras Hatta. Di
berbagai media massa, ia mulai menulis artikel tentang pengasingan. Hal ini membuat
Belanda memusatkan perhatiannya pada Club Pendidikan Nasional Indonesia serta
menangkap Hatta dan Syahrir sebagai pentolan perhimpunan tersebut kemudian ikut
diasingkan ke Digul, Papua.
Bung Hatta tetap menulis di berbagai surat kabar saat diasingkan baik surat kabar Jakarta
maupun Medan. Selain itu, ia juga rajin membaca buku yang dibawanya dari Batavia lalu
mengajarkan kepada teman-temannya di sana.
Pada tahun 1937, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Sewaktu di
Banda Neira, Ia bercocok tanam dan menulis di surat kabar Sin Tit Po dan Nationale
Commantaren.
Pada tahun 1942, pria bedarah Minang ini pun dipindahkan ke Sukabumi, selang sebulan
kemudian Belanda menyerah kepada Jepang. Baru setelah itu, ia dibawa ke Jakarta.
Di Jakarta, Hatta bertemu dengan Mayor Jenderal Harada yang menawarkan kerja sama
dengannya. Jika Hatta mau, Ia akan mendapat posisi penting. Namun, Hatta menolak dan
memilih jadi penasehat dan berkantor di Pegangsaan Timur. Jepang berharap Hatta mampu
memberikan nasehat yang menguntungkan bagi mereka. Namun, Ia memanfaatkan
kesempatan itu untuk membela kepentingan rakyat Indonesia.
Terjadi perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda sehingga terjadilah
peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta dibawa ke
Rengasdengklok oleh para pemuda PETA di antaranya Soekarni, Wikana dan Chaerul
Saleh untuk dibujuk segera memproklamasikan kemerdekaan karena saat itu sedang terjadi
kevakuman pemerintah akibat Hiroshima-Nagasaki dibom oleh sekutu.
Soekarno berpendapat kalau lebih baik menunggu kemerdekaan yang katanya akan
diberikan Jepang. Namun, golongan muda menyarankan segera mengikrarkan
kemerdekaan secepat mungkin.
Tepat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00, Soekarno dan Hatta membacakan teks
proklamasi di kediaman Soekarno. Pada awalnya pembacaan teks proklamasi akan
dilaksanakan di Lapangan IKADA (sekarang Monas). Namun, karena sudah tersiar kabar di
tempat itu akan ada acara keesokan harinya, maka sudah ada tentara-tentara Jepang
berjaga-jaga. Akhirnya, teks proklamasi dibacakan di kediaman Soeakrno.
Keesokan harinya Hatta dalam usia 43 tahun resmi menjabat sebagai Wakil Presiden
Indonesia pertama mendampingi Presiden Soekarno.
Selang beberapa bulan tepatnya 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Rachim.
Mereka dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.
Pada Juli 1947, Hatta menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi untuk meminta
bantuan. Akhirnya permasalahan Indonesia pun terseret ke meja PBB. Hingga selanjutnya
pada 27 Desember 1949 Ratu Juliana memberikan pengakuan atas Kemerdekaan
Indonesia.
Selain mengurusi pemerintahan Indoensia, Hatta juga tetap aktif dalam tulis-menulis. Selain
itu, ia juga membimbing gerakan koperasi hingga tanggal 12 Juli 1951. Hatta berpidato di
radio mengenai hari koperasi. Selang lima hari kemudian dia diangkat sebagai Bapak
Koperasi Indonesia.
Dalam dunia pendidikan, ia sempat menjadi Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-
1961 dan Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959).
Pada 1956, beberapa kali Hatta mengirim surat ke DPR karena ingin mengundurkan diri
sebagai wakil presiden. Karena menurutnya, jika parlementer telah terbentuk kepala negara
hanyalah simbol sedangakan wakil sudah tidak diperlukan lagi.
Namun, DPR selalu menolaknya. Hingga pada November 1956 ia mengirim surat lagi ke
DPR yang berisi kalau pada tanggal 1 Desember 1956, ia ingin berhenti sebagai Wakil
Presiden. Akhirnya DPR menyetujuinya tanggal 30 November 1956. Sebelum mundur, dia
mendapatkan gelar doctor honouris causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Setelah pensiun sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta dan kelurganya pindah rumah dari
Jalan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57. Kesibukannya kala itu tentu saja tetap
menulis. Ia pun sempat diundang pemerintah RRC pada tahun 1957 karena dianggap
sebagai a Great Son of His Country.
Ketika Soekarno sedang ada di puncak pemerintahannya tahun 1963, Hatta pun jatuh sakit.
Ia harus dirawat di Swedia karena perlengkapan medis di Indonesia kurang memadai. Pada
tahun 1965, Hatta harus menjadi bulan-bulanan serangan PKI. Meski untungnya, Bung
Hatta selamat dari serangan tersebut.
Lima tahun kemudian, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang
bertugas mengusut masalah korupsi. Bung Hatta diminta untuk menjadi penasehat presiden
dalam menangani masalah tersebut.
Pada 15 Agustus 1972, Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari
Pemerintah Republik Indonesia. Ia juga diangkat sebagai warga utama ibukota dengan
berbagai fasiltias.
Tiga tahun kemudian, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr.
Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi
pemahaman mendalam mengenai butir-butir Pancasila.
Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat, dalam usia 77 tahun, di RSCM pukul 18.56 setelah
sehari dirawat di sana. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Hatta ditetapkan
sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto. (AC/DN)
KELUARGA
Orang Tua : Muhammad Djamil dan Siti Saleha
Istri : Rahmi Rachim
Anak : Meutia Farida Hatta Swasono,
Gemala Hatta, Halida Hatta
PENDIDIKAN
Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
Europeesche Lagere School (ELS), Padang (1916)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1916-1919)
Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1919-1921)
Handels Hhogeschool, Rotterdam, Belanda (1921-1932)
KARIER
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
Bendahara Indische Vereeniging (1922-1925)
Ketua Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
Wakil Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
Kepala Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
Wakil Ketua Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
Wakil Presiden Indonesia pertama (1945)
Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
Ketua delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
Wakil Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
Penasihat Presiden dan Penasehat Komisi IV (1970)
Ketua Panitia Lima (1975)
ACHMAD YANI
Jenderal TNI Anumerta Achmad Yani merupakan pahlawan revolusi Indonesia. Achmad
Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah dan meninggal dunia pada 1
Oktober 1965 (43 Tahun) di Lubang Buaya, Jakarta. Achmad Yani merupakan komandan
TNI Angkatan Darat ke-6 yang menjabat pada 23 Juni 1962 hingga 1 Oktober 1965. Beliau
meninggal karena dibunuh oleh Anggota Gerakan 30 September saat akan menculiknya dari
rumah.
Jabatan:
Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) (23 Juni 1962 – 1 Oktober 1965)
Achmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, Ia merupakan
anggota keluarga Wongsoredjo yaitu sebuah keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula
milik Belanda. Ia dan keluarganya pindah ke Batavia pada tahun 1927 karena sang ayah kini
bekerja pada General Belanda. Di Batavia, Ia bekerja dan juga menempuh pendidikannya di
HIS (setara SD) Bogor dan lulus pada tahun 1935, kemudian Ia melanjutkan pendidikanya
ke MULO (setara SMP) kelas B Afd. Bogor dan lulus pada tahun 1938. Setelah itu, Ia
melanjutkan ke AMS (setara SMA/SMU) bagian B Afd. Jakarta, namun pendidikannya di
AMS hanya sampai kelas 2 saja karena adanya misili yang diumumkan oleh Pemerintah
Hindia Belanda untuk menjalani wajib militer.
Ahmad Yani mengikuti pendidikan topografi militer di Malang, Jawa tengah dan lebih
mendalaminya di Bogor dan Ia mendapat pangkat Sersan. Pendidikan yang ia jalani
tersebut terganggu karena kedatangan Jepang pada tahun 1942 dan saat yang sama Ia dan
keluarganya pindah lagi ke Jawa Tengah. Pada tahun 1943, Ahmad Yani bergabung dan
mengikuti Pendidikan Heiho di Magelang dan setelah itu Ia bergabung dengan tentara Peta
di Bogor.
Pada tahun 1958, terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan Ahmad Yani yang
berpangkat Kolonel ditunjuk sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk
melawan pemberontakan tersebut dan berhasil menang. Karena pencapaiannya tersebut,
pada tahun 1962 Yani diangkat menjadi Panglima/ Menteri Angkatan Darat.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, para penculik datang ke rumah Yani dan mengaku bahwa
mereka akan menjemput Yani untuk dibawa bertemu presiden, Ia meminta waktu untuk
mandi dan berganti pakaian namun ditolak lalu ia marah dan menampar salah satu penculik
itu dan berusaha untuk menutup pintu rumahnya. Seorang penculik kemudian melepaskan
tembakan pada Yani, jasad Yani dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur bersama orang
yang terbunuh lainnya, lalu semua jasad tersebut disembunyikan dalam sebuah sumur
bekas.
Pada tanggal 4 oktober, jasad Achmad Yani dan semua korban ditemukan dan pada hari
berikutnya mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, bersamaan dengan itu dengan
Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 Achmad Yani beserta rekan diyatakan sebagai
Pahlawan Revolusi dan Achmad Yani dinaikan pangkatnya menjadi Jenderal Anumerta.
IMAM BONJOL
Tuanku Imam Bonjol merupakan pahlawan nasional dari Sumatera Barat berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 087/TK/ Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Tuanku Imam Bonjol
terkenal sebagai pejuang yang mempertahankan tanah air dari penjajah Belanda dalam
Perang Padri di tahun 1803-1838.
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol menjadi perjuangan yang dalam artinya bagi orang Minang
dan Mandailing.
Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama Muhammad Shabab. Tuanku Imam Bonjol lahir di
Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat pada 1 Januari 1772. Ibunya bernama dan Hamatun
Sementara ayahnya Khatib Bayanuddin Shahab adalah ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang. Muhammad Shahab kemudian memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif,
Malin Basa, dan Tuanku Imam. Kemudian Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam salah
satu pemimpin dari Harimau nan Salapan menunjuknya sebagai Imam bagi kaum Padri di
Bonjol.
Inilah yang membuat nama Muhammad Shabab akhirnya lebih dikenal dengan sebutan
Tuanku Imam Bonjol.
Pada 1803, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobangingin memperbaiki syariat Islam
yang belum sempurna yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Perseteruan
membawa penyerangan Pagaruyung oleh Tuanku Pasaman pada tahun 1815, dengan
pecahnya pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Kekuatan Kaum Padri
membuat Kaum Adat bersekutu dengan Belanda dan dimulailah campur tangan sekutu pada
peperangan ini.
Sebagai imbalan, Belanda meminta beberapa daerah untuk diberikan sebagai daerah
kekuasaan mereka. Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch kemudian membuat taktik
dengan mengadakan Perjanjian Masang pada 1824 dengan Tuanku Imam Bonjol untuk
berdamai.
Namun kemudian perang berubah di mana Kaum adat dan Kaum Padri bersatu dengan
dibuatnya Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Mereka bersatu untuk melawan Belanda
karena kenyataan bahwa keberadaan penjajah justru menyengsarakan Rakyat
Minangkabau.
Pengepungan terhadap Tuanku Imam Bonjol berlangsung sangat lama hingga
membutuhkan pasukan dari Batavia.
Pada akhirnya Tuanku Imam Bonjol menyerah dengan syarat agar sang anak Naali Sutan
Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.
PANGERAN DIPONEGORO
Biografi Pangeran Diponegoro diawali pada tanggal lahirnya yaitu 11 November 1785.
Pangeran Diponegoro lahir dari ibu bernama Raden Ayu Mangkorowati dan ayah Raden
Mas Surojo. Awalnya Pangeran Diponegoro memiliki nama Raden Mas Mustahar.
Sebelum menjadi Pangeran Diponegoro namanya sempat berubah menjadi Raden Mas
Ontowiryo, setelah ayahnya naik tahta ia memiliki gelar pangeran dan disebut sebagai
Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro tercatat menikahi delapan wanita. Pernikahan pertama, terjadi tahun
1803 dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyahi Gedhe Dadapan, dari desa
Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Yogyakarta. Kedua, tanggal 27
Februari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi (R.A. Retnakusuma), putri Raden
Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Ketiga, tahun 1808 dengan R.A.
Retnodewati.
Istri pertama dan ketiga Pangeran Diponegoro wafat saat dirinya berada di Tegalrejo. Dua
tahun setelah wafatnya kedua istri, Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah
timur kemudian menikah dengan Raden Ayu Citrowati.
Raden Ayu Citrowati meninggal setelah melahirkan anaknya dalam kerusuhan di Madiun.
Anak Pangeran Diponegoro tersebut kemudian dibawa oleh Ki Tembi seorang sahabat
Pangeran Diponegoro.
Bayi tersebut kemudian diberi nama Singlon yang berarti nama samaran sehingga bayi
tersebut dikenal dengan nama Raden Mas Singlon.
Pada tanggal 28 September 1814, Pangeran Diponegoro menikahi istri kelimanya yaitu R.A.
Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi
saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu.
Pada saat Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, Maduretno diangkat sebagai
permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l. Kemudian pada tanggal 18 Februari 1828,
Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Ketujuh, R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang
Kepadhangan, dan kedelapan, R.A. Retnakumala, putri Kyahi Guru Kasongan.
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Mustahar merupakan salah satu
pahlawan nasional. Namanya dikenang dalam buku-buku sejarah karena pernah memimpin
Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang berlangsung mulai 1825 sampai 1830.
Jejak Hidup Dalam sejarah, ia pernah memendam benci terhadap kolonialisme Belanda
yang menjajah Kerajaan Nusantara, dalam hal ini terkait Kesultanan Yogyakarta. Ketika
Sultan Hamengkubowono IV atau Raden Mas Ibnu Jarot naik tahta di usia 10 tahun,
Belanda ikut campur urusan politik kerajaan peninggalan ayahnya hingga membuat
Diponegoro naik pitam. Pangeran Diponegoro menyuarakan perlawanan karena Belanda
datang mengatur internal kerajaan dan juga menetapkan beban pajak kepada rakyat
dengan jumlah yang tidak sedikit. Selain benci Belanda, ia juga diklaim tidak suka dengan
bangsa Tionghoa yang ada di Jawa. Keterampilan orang-orang Tionghoa dalam mengatur
keuangan sering memeras masyarakat Kesultanan Yogyakarta. Mereka kerap memeras
dengan aturan pajak tol yang tidak masuk akal.
Akhir hayat Aksi yang dijalankan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya di Jawa
membuat Belanda kewalahan. Pada 28 Maret 1830, Belanda mengajak Diponegoro
melakukan gencatan senjata lalu mengadakan perundingan. Belanda ternyata hanya
memberi janji manis kepada Diponegoro ketika itu. Penjajah tersebut bukan mengadakan
perundingan, namun malah menangkap pangeran yang datang tanpa membawa senjata.
Saat itu, Perang Diponegoro pun dikatakan sudah sampai pada akhir perjuangannya karena
pemimpinnya berhasil ditahan di Batavia hingga 3 Mei 1830. Pangeran Diponegoro setelah
itu diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar. Tahun 1833 di Makassar, benteng
Rotterdam, Diponegoro hidup bersama istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya. Pada 8
Januari 1855, Pangeran Diponegoro meninggal dunia.
JENDERAL SUDIRMAN
Soedirman atau yang lebih dikenal dengan Jenderal Sudirman lahir pada 24 Januari 1916.
Beliau lahir dari keluarga yang sederhana, ayahnya yang hanya bekerja di pabrik gula dan
ibunya merupakan keturunan Wedana Rembang.
Paman dari Soedirman memiliki ekonomi yang lebih baik dari pada orang tuanya, yang pada
saat itu pamannya menjabat sebagai camat.
Setelah itu, Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor.
Pasca Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan
Jepang di Banyumas.
Jenderal Soedirman merupakan orang yang sangat perduli dengan Republik Indonesia,
hingga tidak perduli dengan keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia.
Setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan, kekuatan militer Jepang di
Indonesia mulai melemah. Pada saat itu posisi Jenderal Soedirman sedang ditahan di
Bogor, lalu beliau mulai memimpin kawan-kawannya untuk melakukan pelarian.
Setelah berhasil melarikan diri, Jenderal Soedirman pergi ke Jakarta dan bertemu dengan
Presiden Soekarno dan Wakil-nya Mohammad Hatta. Kedua Proklamator tersebut meminta
bantuan Jenderal Soedirman untuk memimpin pasukannya untuk melawan Jepang di
Jakarta pada saat itu. Ia memilih memimpin pasukannya di Kroya pada 19 Agustus 1945.
Tujuan dari perang gerilya sendiri yaitu untuk memecah konsentrasi Belanda pada saat
perang. Perang gerilya terjadi karena Agresi Militer II yang dilancarkan oleh Belanda.
Lalu pada tahun 1997, Jenderal Soedirman dianugerahi gelar sebagai Jenderal Besar
Anumerta dengan bintang lima, pangkat tersebut hanya dimiliki oleh beberapa orang saja di
Indonesia.
KI HAJAR DEWANTORO
Indonesia memiliki tokoh pendidikan yang jasa-jasanya terus dikenang hingga saat ini dalam
diri Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara merupakan Menteri Pendidikan Pertama di
Indonesia, yang tanggal lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889, dengan nama kecil Raden
Mas Soewardi Soerjaningrat. Soewardi lahir dari bangsawan Kadipaten Pakualaman,
Yogyakarta. Ayahnya bernama Soerjaningrat, sementara kakeknya GPH Sasraningrat atau
Paku Alam III.
Di antara surat kabar tempat Soewardi bekerja antara lain Sediotomo, de Express,
Oetoesan Hindia, Midden Java, Tjahaja Timoer, Kaoem Moeda, dan Poesara. Saat menjadi
jurnalis inilah Soewardi mulai lantang menyampaikan kritik-kritiknya terhadap pemerintahan
Hindia
Belanda yang terus menindas rakyat. Baca juga: Jasa-Jasa Ki Hajar Dewantara bagi
Bangsa Indonesia “Andai Aku Seorang Belanda” Selain bekerja, Soewardi juga aktif ikut
organisasi, salah satunya Budi Utomo yang didirikan oleh Dokter Sutomo.
Memasuki tahun 1912, tepatnya 25 Desember 1912, Soewardi mendirikan Indische Partij
yang menjadi partai politik nasionalis pertama di Indonesia. Indische Partij ini didirikan
Soewardi bersama dua orang rekannya, yaitu Dokter Ciptomangunkusumo dan Douwes
Dekker. Ketiga nama tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai. Namun,
Indische Partij tidak mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda.
Soewardi lantas mendirikan Komite Boemipoetra pada tahun 1913. Komite Boemipoetra ini
didirikan sebagai tandingan dari Komite Perayaan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda. Saat
itu, Belanda berniat menggelar perayaan besar-besaran untuk merayakan 100 tahun
kemerdekaan mereka dari Prancis.
Rencana tersebut ditolak oleh Soewardi. Dia bahkan mengkritik perayaan itu dengan
tulisannya yang berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was”, atau Andai Aku Seorang Belanda.
Dalam tulisan itu, Soewardi berandai-andai jika menjadi orang Belanda maka dia tidak akan
mengadakan perayaan kemerdekaan di negeri yang dijajah. Akibat dari tulisan itu, Soewardi
ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.
Taman Siswa didirikan pada tahun 3 Juli 1922. Pada tanggal tersebut pula Soewardi
mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Tak hanya mengubah nama, Ki Hajar
Dewantara juga menanggalkan gelar kebangsawanannya dengan tujuan agar bisa lebih
dekat dengan rakyat. Ki Hajar Dewantara juga mencetuskan semboyan pendidikan yang
masih diterapkan hingga saat ini. Semboyan itu berbahasa Jawa yang bunyinya “ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Arti semboyan tersebut: “Di
depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, sementara di belakang memberi
dukungan”.
Ki Hajar Dewantara wafat 26 April 1959, dan diimakamkan di pemakaman keluarga Taman
Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya dalam dunia pendidikan, Ki Hajar
Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan tanggal lahirnya diperingati
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional pada tanggal 28 November 1959.
DEWI SARTIKA
Orang tua Dewi Sartika bernama Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara, mereka
termasuk keluarga priyayi Sunda. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-
ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat,
Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh
pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara
wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen
berkebangsaan Belanda.
Bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan sudah ditunjukkan Dewi Sartika dari
kecil. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di
sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Saat Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun Cicalengka digemparkan oleh
kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan
oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi
anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak
perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah
dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh
pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski
keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat
mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat
pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang
tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan
mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau
memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang
Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah
ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan
anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca,
menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu.
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika
membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga
pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.
Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang
telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas
jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-
Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan
Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati
Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.