Anda di halaman 1dari 57

Accelerat ing t he world's research.

“Alexandre le Grand en Insulinde”, in


Chambert-Loir & Dagens (eds.),
Anamorphoses. Hommage à Jacques
Dumarçay, P...
Henri Chambert-loir

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

“Malay lit erat ure in t he 19t h cent ury: t he Fadli connect ion”, in J.J. Ras and S.O. Robson (eds.), …
Henri Chambert -loir

“Myt hes et archives: l’hist oriographie indonésienne vue de Bima”, BEFEO 87-1, 2000: 215-245. Indonesi…
Henri Chambert -loir

“Sebuah hikayat Melayu dipent askan”, in 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelit ian Arkeologi Nasional (Pu…
Henri Chambert -loir
“Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu”

oleh

Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku :


Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu,
Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima Belas Karangan
Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia), 2014.
Dalam buku tersebut terdapat satu bibliograi tunggal untuk
semua artikel sekaligus. Bibliograi tersebut dilampirkan pada
artikel ini.
LEGENDA ISKANDAR ZULKARNAIN
DI ALAM MELAYU

Jacques Dumarçay sudah sering berpapasan dengan igur Iskandar Zulkar­


nain, baik di lapangan maupun dalam bidang kesusatraan. Perjalanan-
perjalanannya dan penggalian arkeologi yang telah diikutinya telah mem-
bawanya ke beberapa situs yang pernah dikunjungi oleh Sang Penakluk dari
Macedonia itu, sementara perhatiannya yang terkenal pada kesusastraan,
baik sastra Prancis maupun Persia, telah memperkenalkannya pada
berbagai bentuk legenda yang menyangkut tokoh tersebut dalam beberapa
versi Barat dan Timur Tengah. Tema-tema lain, seni Gandhara atau mata
uang Asia Tengah misalnya, juga telah mengantarnya ke jalan yang
sama. Bahkan ia termasuk orang, yang tak banyak jumlahnya, yang telah
mengunjungi makam Iskandar di kaki bukit Seguntang, yakni lokasi mitis
kekaisaran Sriwijaya.
Makam tersebut (lihat gambar)1, seperti halnya banyak kuburan
semu dalam jaringan ziarah kubur di Indonesia, bertujuan memberikan
dimensi Islam pada tempat yang sudah dikeramatkan lama sebelumnya.
Makam Iskandar yang sebenarnya, yang diperkirakan berada di Alexandria,
tidak pernah ditemukan, dan sekali pandang, kenyataan bahwa orang Islam
yang tinggal begitu jauh dari pantai Laut Tengah ingin memilikinya dapat
dianggap sebagai lelucon. Sebenarnya, legenda Iskandar Zulkarnain sangat
tersohor di dunia Melayu, tetapi belum pernah diteliti selayaknya.2

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Prancis dengan judul “Alexandre
le Grand en Insulinde”, dalam H. Chambert-Loir & B. Dagens (eds.), Anamor-
phoses: Hommage à Jacques Dumarçay, Paris: Les Indes Savantes, tahun
2006. Oleh sebab itulah artikel mulai dengan rujukan pada Prof. Jacques
Dumarçay.
1 Terima kasih kepada Pierre-Yves Manguin atas izin mereproduksi foto tersebut.
2 Sebetulnya, Siti Chamamah Soeratno (1991, 1992) telah menyebut sebagian
besar teks dari Indonesia yang akan saya kutip di bawah ini. Cukup berarti jika
legenda Iskandar Zulkarnain versi Melayu sampai kini baru dibahas dalam
6 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Ciri pertama dari kemasyhuran tersebut adalah seringnya nama


Iskandar hadir dalam silsilah dinasti-dinasti Melayu. Biar dikutip dua
contoh saja. Yang pertama adalah Sultan Iskandar Syah (mem. sek. 1395-
1414), yang menurut kronik dinasti Malaka, Sulalat al Salatin (yang akan
dibahas lagi di bawah ini), merupakan pembangun kota Malaka. Yang
kedua adalah Sultan Aceh yang terkenal, Iskandar Muda (mem. 1606-
1637), yang telah dibahas dalam sebuah buku oleh Denys Lombard terbitan
EFEO (1967).

Hikayat Iskandar Zulkarnain


Fakta yang tentunya paling penting adalah adanya berbagai versi legenda
Alexander di Nusantara, mulai dengan versi Melayu yang kemudian disadur
ke dalam bahasa Bugis dan Jawa. Hikayat Iskandar Zulkarnain (“Kisah
Iskandar yang bertanduk dua”) dalam bahasa Melayu sampai kepada kita
dalam bentuk dua versi: yang panjang dan tertua berasal dari Semenanjung
Malaya, sedangkan yang pendek berasal dari Sumatra. Kedua versi itu
adalah hasil adaptasi sebuah karya yang tidak diketahui dalam bahasa Arab
atau Persia, dan telah ditunjukkan oleh P.J. van Leeuwen (1937) bahwa
kedua versi tersebut sangat mirip kata demi kata satu sama lain, sehingga
jelas tidak merupakan dua terjemahan independen, namun masing-masing
mengandung bagian yang tidak ada di versi yang lain, sehingga tidak
mungkin versi yang satu disadur dari yang lain. Kesimpulannya, kedua
versi itu berasal dari suatu versi Melayu lama yang sama, dan karena itu
boleh kita katakan bahwa Hikayat Iskandar Zulkarnain (HIZ) hanya satu,
yang terkandung dalam delapan belas naskah yang dikenal pada masa kini,
apa pun perbedaan yang terlihat di antara naskah-naskah tersebut.
Pernah ada versi Melayu lain dari legenda Iskandar Zulkarnain yang
kini sudah hilang. Ulama terkenal, Nuruddin al-Raniri, pengarang militan
dan produktif, menyatakan bahwa ia pernah “menulis” atau “mener-
jemahkan”3 kisah Iskandar, tetapi tidak ada bekasnya. Nuruddin, seorang
keturunan campuran Arab dan India yang lahir di Gujarat, melewatkan

dua disertasi (van Leeuwen, 1937; Soeratno, 1991, 1992), yang jauh dari
lengkap, dan jika legenda itu hanya mengisi beberapa halaman buku sejarah
kesusastraan Melayu: empat halaman dalam buku Winstedt (1970), enam
dalam Iskandar (1995), tiga dalam Braginsky (2004).
3 Tergantung cara menafsirkan ungkapannya: “sudahlah di-Jawikan fakir”.
Winstedt (1938a: 3-4) adalah pakar pertama yang mengungkapkan kutipan
Nuruddin yang bersangkutan.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 7

sekitar tujuh tahun di Aceh pada awal abad ke-17. Di situlah pada tahun
1938, sebagai kadi Sultan Iskandar Thani (mem. 1636-1641) dan atas
perintah Sultan tersebut, ia mulai menulis sebuah karya ensiklopedis ber-
judul Bustan-al-Salatin (“Taman para Sultan”). Dalam karya itu, ia dua
kali menyatakan bahwa ia telah menulis karya tentang Iskandar, yakni
pada tahun 1630-an. Karya yang hilang ini tidak mungkin sumber Hikayat
Iskandar Zulkarnain (anonim) yang kita kenal, oleh karena Hikayat itu,
seperti akan kita lihat, pada waktu itu sudah ada sejak dua abad. Namun,
tidak mustahil karya Nuruddin merupakan dasar legenda Iskandar yang
ditemukan dalam teks-teks lain, seperti misalnya versi dari kesultanan
Bima ataupun puisi berbahasa Jawa abad ke-18 (lihat di bawah).
Teks HIZ pernah menjadi pokok bahasan sebuah disertasi Belanda,
yang memuat edisi kritis banyak adegan hikayatnya (van Leeuwen
1937). Selanjutnya, versi pendek dan panjang telah diterbitkan masing-
masing di Malaysia (Khalid 1967) dan di Indonesia (Soeratno 1992).
Sayang sekali, kedua-duanya ditranskripsi dari satu naskah tunggal dan
tidak memperlihatkan varian-varian teksnya; lagipula diselenggarakan
dengan begitu ceroboh sehingga sukar dimanfaatkan. Namun demikian,
kedua edisi itu membolehkan kita mengenal isi HIZ dan mengapresiasi
kekayaannya dari berbagai segi.
Teks HIZ jelas terjemahan atau saduran dari sebuah teks asli dari
Timur Tengah, yang sayangnya tidak disebut di dalamnya. Teks yang
disunting oleh Soeratno mengutip dua kali al-Suri dan sekali Abdullah
bin Muqaffa’ sebagai sumbernya. Van Leeuwen (1937: 13-14), yang
mengandalkan bantuan seorang rekan untuk mengetahui isi versi Arab dan
Persia, menyatakan bahwa teks Melayu diterjemahkan dari teks Arab yang
sangat mirip versi al-Suri4 yang terkandung dalam sebuah naskah di Berlin.
Namun Winstedt (1938a: 2) segera mencatat bahwa dalam teks Melayu
terlihat keinginan untuk menyesuaikan versi-versi Arab yang bersumber
pada versi Pseudo-Callisthene (Iskandar menaklukkan wilayah-wilayah di
barat sebelum mengalahkan Raja Persia) dengan versi Persia yang dibuat
oleh Firdusi (Iskandar mengalahkan saudaranya sendiri lebih dahulu),
dan bahwa usaha penyesuaian itu semestinya dilakukan di India Mongol,
dengan siratan bahwa sumber dari versi Melayu berbahasa Persia, bukan
Arab. Kesimpulan itu tampaknya semakin masuk akal karena karya-karya
sastra pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah karya

4 Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mufarrij al-Sûrî.


8 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

berbahasa Persia, bukan Arab, sedangkan yang diterjemahkan dari bahasa


Arab adalah karya agama. Namun, teks HIZ mengandung kalimat kearab-
araban yang tidak mendukung hipotesis itu. Empat puluh tahun kemudian,
tanpa bukti nyata baru, L. Brakel (1979: 17-18) menyatakan bahwa HIZ
pernah diterjemahkan di Pasai, pada awal abad ke-15, dari “suatu saduran
berbahasa Arab yang dibuat di Asia Tengah dari sebuah karya Persia”.
Kesimpulan itu amat mengherankan karena Brakel mengandalkan van
Leeuwen tentang asal HIZ, padahal teks Arab oleh al-Suri sama sekali
bukan adaptasi yang dibuat di Asia Tengah dari sebuah karya Persia.5
Sebaliknya, Pasai sebagai tempat penerjemahan HIZ sesuai dengan suatu
hipotesis lain Windtedt (1969: 93), yakni bahwa HIZ telah dibawa dari
Pasai ke Melaka pada awal abad ke-15, ketika raja Melaka, Sultan Iskandar
Syah yang telah disebut di atas, memperistri seorang putri Pasai.6
Penerbitan sebuah disertasi berbahasa Belanda belakangan ini
(Douikar­Aerts 2004) memberi penyorotan baru atas masalah ini.
Penulisnya menyatakan (hlm. 248, 237) bahwa versi Melayu memang
diterjemahkan dari karya al-Suri berjudul Sirat al-Iskandar, yang berasal
dari periode abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-14, tetapi dari versi
yang terkandung dalam naskah Arab berjilid dua dari Istanbul (Aya
Sofya 3003-3004, tertanggal 1466 dan 1476), yang berbeda dari naskah
Berlin yang diacu sebelumnya oleh van Leeuwen. Ringkasan terperinci
jilid pertama oleh F. Douikar­Aerts cukup meyakinkan: isinya, sampai
beberapa detil (angka-angka misalnya) identik dengan isi versi Melayu.
Namun, ditemukan juga perbedaan penting: contohnya, cerita kelahiran
Iskandar dalam naskah Arab 3003 tidak ada hubungan dengan ceritanya
dalam versi Melayu. Maka masih diperlukan penelitian bandingan
yang lain untuk mencapai kepastian tentang hal ini, sesuatu yang tidak
mudah karena sampai kini teks al-Suri masih belum diterbitkan. Masalah
identiikasi ini semakin rumit karena baik Sirat al-Iskandar dalam bahasa
Arab maupun HIZ Melayu tidak boleh disebut sebuah “teks”, melainkan
sekumpulan versi-versi yang sedikit banyak berlainan satu sama lain. Teks

5 Menurut F. Douikar­Aerts (2004: 203), hanyalah bagian awal teks, sampai


kematian Dara dan perpindahan agama Iskandar, yang sebagian bersumber
pada dua teks Persia, sedangkan bagian lain berasal dari tradisi Arab. Adapun
mengenai Asia Tengah, tampaknya tidak diketahui apa pun tentang kehidupan
al-Suri, tetapi nisbatnya menunjukkan bahwa ia bertalian dengan kota Tyr.
6 Menurut Winstedt pernikahan itu terjadi pada tahun 1409, tetapi kemudian
Wolters (1970: 159-160) mengusulkan tahun 1436, yang kiranya lebih tepat.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 9

HIZ yang diedit oleh Soeratno bukan terjemahan dari naskah Berlin yang
diacu oleh van Leeuwen ataupun dari naskah Istanbul yang diacu oleh
Douikar­Aerts, tetapi boleh jadi sebuah versi Melayu sebelumnya pernah
diterjemahkan dari sebuah bentuk karya al-Suri yang lain dari kedua versi
yang terwakili oleh kedua naskah Arab tersebut. Kolofon naskah-naskah
Melayu yang sampai kepada kita tidak banyak membantu karena tak satu
pun lebih tua dari abad ke-18. Namun, menarik dicatat bahwa naskah yang
tertua, bertanggal 1713, pernah dimiliki oleh seorang Arab dari Indonesia
bernama Umar bin Sakhr Ba’abuj.7
Mengenai zaman dan tempat teks Melayu dilahirkan (Pasai pada abad
ke-15), hipotesis Brakel dapat diterima, pertama karena komunitas Persia
di Pasai rupanya pernah menyebabkan atau mendorong penerjemahan
beberapa karya Persia (a.l. Hikayat Muhammad Hanaiyah dan Hikayat
Amir Hamzah)8, kedua karena Hikayat Iskandar Zulkarnain pasti dikenal
di Melaka sedini abad ke-15. Hal ini tercatat dalam sebuah teks Melayu
lain, Sulalat al-Salatin, yakni sejarah Kesultanan Melaka, yang memuat
suatu adegan yang dipinjam dari HIZ, dan yang mengutip judul HIZ dalam
bagian lain. Jika masa penulisan Sulalat al-Salatin masih diperdebatkan,9
tampaknya rujukan pada Hikayat di dalamnya tidak diragukan lagi berasal
dari abad ke-15.

Epos Islam
Apa pun sumber langsungnya, versi Melayu legenda Iskandar, yang relatif
baru jika dibandingkan dengan puluhan versi lain yang telah dikenal di
seluruh dunia, merupakan hasil suatu evolusi panjang di alam Timur
Tengah.
Bagi para pujangga Persia, Iskandar mula-mula merupakan musuh
yang telah menghancurkan kitab-kitab suci dan kuil-kuil serta membantai
para pendeta. Pandangan tersebut, yang tersimpul dalam Khvadây-
nâmag berbahasa Pehlevi dari abad ke-7, “hidup terus dalam cerita rakyat
Zoroaster selama berabad-abad, sedang para sejarawan dan pengarang

7 Cf. van Leeuwen (1937: 28). Sayang naskah ini yang tersimpan di Leiden (Or.
1970) sudah rusak dan tak terbaca.
8 C. Guillot (2004) untuk pertama kali mengumpulkan data mengenai kontak
antara dunia Persia dan Melayu; lihat terutama pada hlm. 172-180 penjelasan
tentang komunitas Persia di Sumatra dan Melaka.
9 Perdebatan itu diringkaskan dalam Chambert-Loir (2005).
10 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Persia muslim mengembangkan citra yang sama sekali berbeda”10 tentang


tokoh tersebut. Titik perubahan terjadi pada abad ke-10, ketika tokoh
Zulkarnain dalam Surat Al-Kahf (al-Qur’an, Surat 18) disamakan dengan
Iskandar, dan para pengarang Islam mulai memperhatikan terjemahan Arab
dari Pseudo-Callisthene (melalui versi Pehlevi, lalu versi Syria). Tabari11
(w. 923), seorang pengarang berbahasa Arab yang terutama hidup di
Bagdad, mempunyai posisi kunci dalam mutasi tersebut. Dalam karyanya
Sejarah Nabi-Nabi dan Raja-Raja, Iskandar dikatakan berasal dari Iran
dan mendapat misi universal atas nama agama Islam. Di antara versi-versi
Arab lain yang penting, karya Dinawari (w. 896) dan Mubashshir (w.
1010)12 sangat dekat dengan versi Syria dari Pseudo-Callisthene. Adapun
versi-versi Persia, yang paling terkenal, yang juga merupakan mahakarya
dari kesusastraan ini, adalah versi Firdusi (1010), Nizami (sek. 1191) dan
Jami (1490)13, tetapi masih ada banyak yang lain. Sebuah versi populer
yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis adalah versi
Tarsusi14 (Gaillard 2005) patut juga menarik perhatian kita.
Dalam waktu beberapa abad, sang penakluk dari Barat yang
perampas dan perusak menjadi tokoh agama Islam sebagai hasil banyak
distorsi sejarah dan varian-varian yang tak terhitung jumlahnya dari satu
ke lain pengarang. Contohnya, Iskandar adalah orang Kristen dalam karya
Firdusi, tetapi orang Islam dalam karya Nizami. Sebaliknya, ia adalah
putra Raja Persia Darab dalam karya Firdusi dan anak Philippos dalam
karya Nizami.
Kalau kita membatasi diri pada versi yang terwakili oleh Hikayat
Iskandar Zulkarnain, transformasi tokoh itu adalah akibat empat rekaan
dasar. Pertama, asal-usul keluarga Iskandar dari Iran.15 Bagi para ahli
sejarah, tidak disangsikan lagi bahwa Iskandar adalah anak Philippos.
10 Southgate (1977: 278). Lihat juga Gaillard (2005: 14-17).
11 Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr bin Jazîd al-Tabari, 839-923.
12 Abû Hanîfa Ahmad ibn Dâwûd ibn Wânand al-Dinawari; Abû l- Wafa’
Mubashshir ibn Fâtik.
13 bû l-Qâsim Firdawsî; Jamal al-Dîn Abû Muhammad Ilyâs bin Yusûf bin Zakî
Mu’ayyad Nizâmî Ganjawî; Mawlânâ Nûr al-Dîl ‘Abd al-Rahmân Jâmî.
14 Abu Tâher-e Tarsusi.
15 Nama Iskandar langsung berasal dari Alexander, yang kedua huruf pertamanya
dianggap sebagai artikel Arab (“al”). Namun perbedaan antara kedua tokoh itu
begitu mendalam sehingga tampaknya nama Iskandar tidak boleh diterjemahkan
dengan “Alexandre”, seperti dilakukan misalnya oleh Zotenberg (al- Tha’alibi
1900) dan M. Gaillard (2005).
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 11

Arrian (1984: 17), orang pertama di antara mereka yang telah menyusun
sebuah biograi berdasarkan teks asli dari Aristobulus dan Ptolemaus,
tidak membicarakan kelahiran Iskandar berhubung kisahnya dimulai
dengan kematian Philippos, namun ia memperkenalkan Iskandar sebagai
“anak Philippos”. Arrian menulis pada abad ke-2 Masehi. Satu generasi
sebelumnya, Ploutarkhos (1993: 9-10) sudah menyuarakan suatu keraguan:
seraya mengutip kisah yang menceritakan bahwa Olympias ikut melakukan
ritus kemabukan16, ia mengatakan bahwa Philippos, karena terguncang,
“jarang sekali berbagi ranjang dengan istrinya” dan menerima berita bahwa
Olympias dihamili oleh Dewa Ammon. Tatkala Iskandar berangkat untuk
ekspedisi pertamanya, tambah Ploutarkhos, Olympias “di bawah empat
mata membukakan rahasia kelahirannya”. Berarti ada rahasia. Pseudo-
Callisthene pada abad ke-3 mengunakan misteri itu dengan lihay, dengan
menjadikan Iskandar putra Firaun terakhir, Nectanebo, dan dengan demikian
menjadi pewaris sah takhta Mesir. Muslihat itulah yang dipakai juga oleh
para pengarang Islam Timur Tengah, dengan menjadikan Iskandar putra
Raja Persia Darab (yakni Darius I atau Artaxerxès IV menurut dua tafsiran
berbeda). Dengan demikian ia menjadi pewaris sah takhta Persia dan
hanya merebut haknya yang sah bila mengalahan saudaranya Dara (Darius
III). Menurut versi sejarah yang disampaikan oleh Arrian, Quintus Curtius
dan lain-lain, Iskandar membalas dendam terhadap serangan-serangan
Persia melawan Macedonia dan Yunani. Menurut versi legenda Pseudo-
Callisthene, ia pun membalas dendam Mesir. Menurut versi Persia Islam,
Iskandar membebaskan Persia dari seorang tiran. Tentu ada maknanya
kalau banyak versi Timur-Tengah, dan selanjutnya versi Melayu, berawal
di Persia, dengan kelahiran Darab, dan bukan di Macedonia.
Rekaan kedua ialah Iskandar masuk Islam. Dalam versi Melayu, pada
usia lima tahun, Iskandar belajar agama Islam dari Aristoteles. Kemudian,
Iblis tampak di depannya dan memalingkannya dari agama Islam, dengan
menggelitik kesombongannya dengan mengatakan bahwa tidak ada raja
seagung dia. Sia-sia saja Aristoteles berusaha menyadarkannya. Pada
waktu itulah Allah mengutuskan Nabi Khidir kepada Iskandar untuk
memberitahukannya bahwa ia akan menjadi raja belahan dunia Barat dan
Timur. Dengan berjalan di atas laut, Khidir menghampiri Iskandar dan
mendengar ucapannya yang murtad. Ia menasehatinya tetapi dipenjarakan,

16 Yang dimaksud adala ritus berupa sejenis pesta tanpa aturan sebagai
persembahan pada Dewa Dionysos.
12 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

lalu dibebaskan oleh suatu malaikat. Setelah berbagai peristiwa, Khidir


membawa Iskandar kembali ke jalan yang benar. Ia memberitahukannya
bahwa ia akan menjadi raja seluruh dunia, ia akan membangun tembok
penghalang bangsa Yajuj wa Majuj, dan ia telah dinamakan Zulkarnain
oleh Tuhan karena ia akan dipuja di Timur seperti juga di Barat. Selama
dua puluh hari berturut-turut ia menceritakan kisah para nabi sejak masa
penciptaan alam. Ia memberitahukan Iskandar bahwa ia pengikut agama
Nabi Muhammad dan menyuruhnya mengucapkan kalimat syahadat (atas
nama Nabi Ibrahim). Jadi, benar-benar upacara masuk Islam. Khidir ingin
minta diri, tetapi malaikat Jibrail menyampaikan perintah untuk tetap
tinggal di samping Iskandar. Iskandar bergembira dan mengumpulkan
laskarnya; ia mengumumkan kepada mereka bahwa Allah telah menunjuk
Khidir untuk mendampinginya dan ia memerintahkan mereka semuanya
agar masuk Islam, “sehingga agama Islam berkembang dengan gilang-
gemilang di Macedonia”. Aristoteles mengirim surat ucapan selamat
kepada Iskandar.
Patut dipertanyakan mengapa Iskandar, yang telah mendapat pen-
didikan agama Islam dari Aristoteles, harus kehilangan imannya dan
diislamkan kembali oleh Nabi Khidir. Mungkin alasannya adalah bahwa
masuk Islam-nya dengan bimbingan seorang Nabi yang diutus Tuhan lebih
mulia bagi sang pahlawan daripada dengan pendidikan yang diperoleh
dari seorang ahli ilsafat Macedonia17, tetapi perbandingan dengan roman
Persia karya Tarsusi menimbulkankan hipotesis lain. Dalam karya Tarsusi
itu Iskandar semasa kecil mendapat pendidikan dari Aristoteles dan
menjadi sangat pandai, tetapi begitu naik takhta di Rum (Byzantium,
kini Istanbul), ia bertengkar dengan gurunya dan mendadak kehilangan
seluruh pengetahuan dan kearifannya (lih. Gaillard 2005: 32-35, 131-
135). Kemerosotan itu telah ditafsirkan sebagai kehilangan simbolis
dari keagungannya yang berasal dari Tuhan (Idem: 35); bagaimanapun,
akibatnya ialah sang tokoh menjadi setara dengan manusia biasa (bahkan
tidak bisa lagi membaca). Kesejajaran kedua versi itu sangat menonjol:
pada kedua-duanya Iskandar kehilangan manfaat pendidikan Aristoteles
dan, seperti akan kita lihat, seorang tokoh lain akan memegang peranan
menentukan atas dirinya.

17 Itulah justru yang diceritakan mitos tentang Pasai dan Malaka masuk Islam,
yang kedua Sultannya mendapat bimbingan langsung dari Nabi Muhammad
ketika masuk Islam.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 13

Rekaan ketiga adalah penugasan Iskandar untuk mengislamkan


seluruh muka bumi. Tugas tersebut tidak terdapat dalam semua versi
Islam. Ada dalam karya Tabari, tidak ada dalam karya Fidousi dan
Tarsusi. Sebaliknya, tugas itulah yang menjadi dasar versi Melayu.
Tidak ada tokoh sejarah di Barat (selain pencetus agama baru) yang telah
mencapai kemasyhuran dan dimensi kepahlawanan sebanding Alexander.
Sejak karya-karya pertama yang menyanjungnya, ia diangkat sebagai
tokoh mitos dari Barat yang menyusup ke Asia dan berusaha melebur
kedua dunia tersebut. Pengalamannya merupakan petualangan seorang
manusia yang memiliki ambisi berlebihan untuk menjadi penguasa
dunia, tetapi yang gagal bila berusaha mencapai keabadian. Ekspedisi
militernya berhasil dengan gilang-gemilang, tetapi usahanya melampaui
kemampuan manusia biasa gagal, dan inilah dialektika yang merupakan
dasar mitosnya. Tampaknya Alexander berhasrat melebur bangsa-bangsa,
sekalipun beberapa perkawinannya, caranya mengadopsi beberapa adat-
istiadat Persia dan penghormatannya terhadap hirarki dan agama setempat
juga memiliki motivasi strategis. Setelah kemenangannya atas Darius,
menurut Pseudo-Callisthene (2004: 71), ia menyuruh agar dicanangkan
kepada orang Persia: “Laksanakanlah adat-kebiasaanmu, perayaan
dan arak-arakanmu, pesta makan dan pengorbanan tradisionalmu tepat
seperti di bawah pemerintah Darius”. Ploutarkhos (1993 : 113-114) pun
memuji Alexander karena “berjasa” membudayakan, yaitu me-Yunani-
kan dunia: “Lihatlah upaya pendidikan Alexander: ia memperkenalkan
lembaga perkawinan kepada orang Hyrcania, ia mengajarkan pertanian
kepada orang Arachosia, ia meyakinkan orang Sogdia untuk menghidupi
ayah-ayah mereka bukan membunuh mereka, ia meyakinkan orang Persia
untuk menghormati ibu-ibu mereka bukan mengawini mereka. Alangkah
agung kekuasaan suatu ilsafat yang berhasil membuat orang India
menyembah dewa-dewa Yunani dan membuat orang Scythe mengubur
jenazah keluarga mereka, bukan memakannya.” Dan Ploutarkhos menarik
kesimpulan yang gemilang ini: “Mereka yang dikalahkan oleh Alexander
lebih berbahagia daripada mereka yang berhasil lolos dari penaklukannya,
karena yang lolos tidak bertemu dengan orang yang akan membebaskan
mereka dari suatu kehidupan sengsara, sementara yang kalah dikalahkan
sang penakluk itu demi kebahagian mereka.”
Yang dilaksanakan Iskandar dalam HIZ juga sebuah proyek
pembudayaan tetapi jenisnya berbeda. Iskandar telah menerima misi dari
14 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Tuhan untuk mengislamkan seluruh muka bumi. Maka ia pun berkelana


dari barat ke timur dan membuat semua bangsa yang masih kair memeluk
“agama Nabi Ibrahim”. Dari setiap bangsa, ia memungut pajak besar
dan menuntut agar namanya dicetak pada uang logam mereka, tetapi
corak utama penaklukan tetap islamisasi. Dari legenda Alexander, tradisi
Islam tetap mempertahankan aspek penjelajahan semua wilayah dunia
yang berpenghuni. Tradisi itu bahkan menegaskan perjalanannya dari
barat ke timur, yang terkandung dalam Surat Al-Kahf dalam al-Qur’an,
juga eksplorasi dasar laut, tetapi tidak merekam kenaikannya ke langit
(dalam sebuah keranjang yang diterbangkan burung), mungkin karena
adegan itu merupakan perbandingan yang terlalu berani dengan miraj Nabi
Muhammad.
Penugasan Iskandar untuk misi yang hebat itu pertama-tama
disebabkan oleh identiikasi Alexander sebagai Zulkarnain (“Bertanduk
dua”) dalam al-Qur’an. Tanduk Alexander adalah tanduk Dewa Zeus
Ammon, tetapi pada abad ke-10, Tabari menafsirkannya sebagai simbol
kedua ujung dunia. Tanduk-tanduk tersebut telah menimbulkan berbagai
bentuk adegan baru. Dalam versi Melayu, sementara ia menunju ke arah
matahari terbit, seraya membuat berbagai bangsa memeluk agama Islam, ia
tiba di pertambangan Raja Sulaiman. Para jin penjaganya mengizinkannya
untuk menggalinya. Ia mengeluarkan dua buah batu permata yang amat
besar (“sepanjang satu jengkal dan setebal tiga jari”) yang dijadikannya
tanduk. Dan dijelaskan: “Kata sahibul hikayat, dari karena itulah Raja
Iskandar dinamai gelarannya Zulkarnain karena tiada raja menaruh sebagai
manikam itu. Kata setengah riwayat, sebab ia melihat matahari terbit dan
masuk. Dan kata setengah ulama, sebab ia menaklukkan negeri Jabarsa
dan Jabarka” (Soeratno 1992: 145).
Versi Melayu (panjang) mengutip Surat 18 dalam pengantarnya18.
Surat ini, yang relatif pendek, mengandung antara lain dua kisah berikut:
yang satu tentang Nabi Musa yang berhadapan dengan seorang hamba
Allah (“seorang hamba di antara hamba-hamba Kami”, Q18:65) yang

18 Teks tersebut juga mengandung dua rujukan lain pada surat yang sama:
yang pertama merupakan alusi tersirat, ketika Nabi Khidir, dalam episode
mengislamkan Iskandar, menyebut ketidakpercayaan Nabi Musa; yang kedua
adalah kutipan langsung (“Seperti irman Allah Taala dalam surat al­Kahi”
(Soeratno 1992: 548) dalam adegan pembangunan tembok untuk membendung
Yajuj wa Majuj. Maka jelas betapa penulis teks yang merupakan sumber versi
Melayu menyadari asal-usul tokoh Iskandar dalam al-Qur‘an.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 15

kebijaksanaannya tidak mampu disadarinya; yang lain tentang Zulkarnain


yang melaksanakan tiga perbuatan: ia mengunjungi tempat matahari
terbenam, lalu tempat matahari terbit, kemudian mendirikan tembok
untuk membendung bangsa Yajuj wa Majuj. Menurut tradisi ilmu tafsir,
sang pelayan adalah Nabi Khidir dan Zulkarnain adalah Iskandar. Maka
mungkin kehadiran kedua tokoh tersebut dalam surat yang sama itulah
yang telah mendorong para pengarang Timur-Tengah untuk memberikan
Nabi Khidir peran utama dalam epos Iskandar – karena itulah rekaan yang
keempat.
Nabi Khidir adalah “tokoh populer yang menduduki tempat penting
dalam dongeng dan legenda”19. Keabadian merupakan salah satu sifat
utamanya: seperti Nabi Ilyas, Nabi Isa dan Nabi Idris, ia termasuk tokoh
yang tidak kena mati. Ia manusia dan sekaligus malaikat, hidup di bumi
dan di langit. Ia adalah seorang wali. Ia khalifah Tuhan di laut, ia dapat
tak kelihatan semaunya, ia terbang menembus udara dan ia menguasai
bahasa semua bangsa di dunia. Dalam versi Melayu, ia mengajak Iskandar
mengunjungi pulau tempat tinggalnya sebelum mengikutinya. Ia mampu
berjalan di atas air, dan sekali mengizinkan Iskandar melakukan hal yang
sama dengan mengikuti jejaknya tapak demi tapak. Ialah yang minum
air keabadian. Penampilannya seperti anak muda yang tampan walaupun
sudah tua sekali20. Ia membantu Iskandar sepanjang ekspedisinya dengan
melaksanakan keajaiban berkat bantuan Tuhan melalui malaikat Jibrail.
Dalam beberapa versi Arab dan Persia (Tabari, Tha’alibi, Firdusi,
Tarsusi, sekadar menyebut beberapa di antaranya) Nabi Khidir hanya
memiliki peran kecil sekali. Malah mungkin versi al-Suri saja yang
memberinya peran utama. Dalam versi Melayu, perannya sedemikian
penting sehingga melebihi peran Iskandar dalam banyak hal. Dialah yang
berjalan di depan tentara, dialah yang pertama menerima utusan, dia yang
menerjemahkan, dia yang menulis surat. Ia menasihati Iskandar bila ragu-
ragu dan menghiburnya bila kehilangan semangat. Ia mengajarinya, ia
mengambil keputusan, bahkan dalam urusan militer, dan ia mengungguli
Iskandar dalam kemenangan di medan laga. Musuh-musuh mereka tidak
terkecoh: mereka menganggap bahwa semua penaklukan dan keberhasilan
Iskandar adalah perbuatan Nabi Khidir. Demikianlah seorang menteri

19 Lihat Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, lemma Khidir.


20 Ia sendiri mengatakan bahwa usianya lebih dari 560 tahun (Soeratno 1992:
616).
16 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

kerajaan Khuz mengatakan kepada rajanya, “Barang diketahui oleh Raja


bahwa akan Raja Iskandar itu tiada dapat seorang jua pun mengalahkan
dia dengan sebab ada seorang menterinya, ialah yang membinasakan sega-
la seterunya, menghasilkan segala pekerjaannya” (Soeratno 1992: 368).
Ketika Iskandar mengatakan ingin melihat sumber segala air di dasar laut,
Nabi Khidir-lah yang membuat tabung kaca yang memungkinkannya
menyelam ke dasar laut, bahkan ia hanya membiarkan Iskandar menyelam
setelah mendapat kepastian dari suatu malaikat bahwa ia tidak menghadapi
bahaya. Perjalanan Alexander yang penuh khayalan dan bahaya itu berubah
menjadi wisata teratur.
Dalam kenyataan sejarah, Alexander didampingi sejumlah besar
pembantu (penasihat, pengawal, juru bicara dan sejumlah sahabat) yang
peranannya dicatat oleh para sejarawan: Nearchos, Ptolemaus, Lysimakhos,
Hephaistion, Kleitos dan beberapa yang lain. Mereka sangat dekat dengan
Raja. Mereka terlibat dalam proyeknya, duka dan sukanya, dan terkadang
mereka terang-terangan menentangnya. Dalam legenda, mereka merupakan
unsur naratif yang dimanfaatkan para pengarang sesuai dengan lingkungan
mereka masing-masing. Alexandre de Paris menyamakan mereka dengan
kedua belas teman Karel Agung (Charlemagne). Tokoh-tokoh tersebut
rupanya sudah hilang dalam kebanyakan versi Timur. Dalam versi Melayu,
Iskandar didampingi oleh sepuluhan orang raja, laki-laki dan perempuan,
yang bergabung dengan pasukannya setelah dibuat masuk Islam atau
dikalahkan (Raja Balminas Hakim dari Rumiyatul Kubra, Raja Nikmat
dari Andalus, kelima raja Habsyi, Ratu Radhiah, Raja Azhan dari Jabarsa,
dll.). Namun mereka tidak akrab dengan Iskandar dan tidak mengambil
inisiatif apa pun. Peran itu hanya milik Nabi Khidir seorang.
Kehadiran Nabi Khidir bukannya tidak terpantul pada gambaran
Iskandar. Epos Alexander di Barat pertama-tama mengagung-agungkan
kualitas pribadinya: keberanian, budi pekerti, ambisi, kehausan akan ke-
agungan, kedermawanan, keingintahuan, keberanian. Penaklukan dunia
merupakan pengalamannya pribadi, dan penjelajahannya didorong oleh
rasa ingin tahu tanpa batas. “Keinginan untuk mengenal dunia nyata,
menjelajahi batas-batasnya, menghadapi segala misteri alam raya yang
semakin jauh dari Yunani menjadi semakin aneh dan ajaib, pasti telah
memainkan peran yang sama pentingnya dengan keinginan menumpuk
harta kekayaan dan mengumpulkan kemenangan.”21 Roman Alexander de
Paris (1994: 289) mengemukakan dimensinya yang luar biasa, misalnya
21 Lacarrière (2000). Lihat juga artikel “Arétè et Photos” dalam kamus Battistini
& Charvet (2004: 548-549).
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 17

ketika ia menyatakan: “Satu-satunya penyesalanku adalah karena dunia


ini hanya sebatas cadas yang sempit ini: Tuhan menciptakan bumi terlalu
sedikit untuk seorang berbudi luhur!” Berbagai kemenangannya merupakan
sanjungan akan kecerdasan. Dalam karya Pseudo-Callisthene (2004:
107), Ratu Kandake (Ghidakah) mengatakan kepada Alexander: “Kau
menaklukkan berbagai musuh dan kota bukan dengan perang, melainkan
dengan kecerdasanmu.”
Apa yang tertinggal dalam versi Melayu dari semua ini? Iskandar
menjelajahi dunia dan mengislamkan bangsa-bangsa. Ia berani dan berbudi
luhur, tetapi praktis kehilangan semua inisiatif. Ia masih tetap bertempur,
bahkan dengan berani, tetapi tidak sebanyak sementara raja bawahannya,
antara lain Ratu Radhiah22. Penampilannya bukan lagi sebagai pahlawan
tetapi tokoh manusiawi dari suatu rencana Ilahi. Ia masih merupakan
simbol dari kerajaan yang tertinggi, dan atas namanyalah terjadi segala
penaklukan dan pengislaman, namun sebenarnya semuanya itu dilakukan
oleh sahabat-sahabatnya, terutama Nabi Khidir. Dengan penuh kerendahan
hati Nabi Khidir tidak menonjolkan diri, tetapi ia sering memberi kesan
seperti menempatkan Iskandar di tempat kedua.
Kesamaan yang menarik akan situasi itu terdapat dalam teks Tarsusi.
Di situ Iskandar tampil seperti karikatur pahlawan. M. Gaillard (2005: 37-
42) melukiskannya dengan menggunakan sejumlah kata sifat yang negatif:
tidak sabar, impulsif, pemarah, dangkal, bebal, kurang pintar menjawab,
bodoh, kekanak-kanakan, dungu, keras kepala, sombong, penakut. Di
sampingnya, istrinya, Buran-Dokht, justru merupakan tokoh luhur dan
berani tanpa tanding, dan ialah yang sebenarnya sering tampil sebagai tokoh
utama epos itu.23 Menurut M. Gaillard paradoks ini mungkin merupakan
sisa tradisi Iran pra-Islam dan mencatat bahwa sebuah naskah roman
Tarsusi disalin pada akhir abad ke-16, dalam sebuah lingkungan Parsi,
22 F. Douikar­Aerts (2004: 235­236) mengemukakan hipotesis bahwa ratu ini
dalam epos Iskandar mengambil model Ratu Delhi, Sultan al-Mu’azzam
Raziyat al-Dunya wa l-Din, yang meninggal pada tahun 1240.
23 Padahal kesan itu diperlunak karena M. Gaillard, berdasarkan alasan editorial,
hanya menerjemahkan bagian-bagian dari roman itu, sekitar dua pertiganya,
yang langsung menyangkut Iskandar, dan dengan demikian mengesampingkan
bab-bab lain yang menyanjung Buran-Dokht. Tokoh perempuan itu adalah
putri Darius. Ia juga bernama lain Rowshanak (Roxane dalam bahasa
Prancis). Dalam kenyataannya, Roxane adalah putri Raja Bactria Oxyartes,
yang dinikahi Alaexandre lama kemudian selama ekspedisi di Asia Tengah.
Kekeliruan dalam penamaan putri Darius sebagai Roxane sudah terdapat
dalam karya Pseudo-Callisthene.
18 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

yang sebagaimana diketahui masih menganut tradisi Sasanid. Gambaran


Iskandar dalam HIZ tentunya sama sekali lain dari tokoh Tarsusi, tetapi
pengurangan kehebatannya sebagai tokoh karena kehadiran Nabi Khidir
mungkin disebabkan oleh hal yang sama, andaikan model versi Melayu
pernah dipengaruhi sebuah versi Persia beraliran Sasanid.

Penjelajahan Dunia
Hikayat Iskandar Zulkarnain terdiri atas suatu rangkaian perjalanan yang
sering diulang-ulang, sejumlah peperangan, serta cobaan yang diatasi
dengan cara sedikit banyak gaib. Oleh sebab itu tidak ada struktur naratif
melainkan suatu rangkaian adegan yang kelihatan sebagai kemajuan
alami, yaitu berdasarkan geograi. Geograi bersifat faktual bagi para ahli
sejarah Alexander dan masih koheren dalam Roman Pseudo-Callisthene.
Kiranya masih realistis dalam terjemahan Roman itu dalam bahasa Arab
dan Parsi dan masih dapat ditelusuri dalam karya penulis seperti Firdusi
dan Tha’alibi.24
Namun dalam legenda, geograi berangsur­angsur menjadi ka­
bur, begitu para pengarang memperkenalkan wilayah-wilayah baru.
Roman Pseudo-Callisthene menambah Roma dan Inggris (Lacarrière
2000: 84-89). Roman Alexander de Paris (1994), pada akhir abad ke-12,
memasukkan Prancis, Paris, Normandia, Skotlandia dan Irlandia. Tha’alibi
menambahkan antara lain Tibet: Alexander “sangat menyukai negara itu dan
mengamati dengan mata kepala sendiri kekhasan yang pernah diceritakan
orang kepadanya, yaitu, ketika tiba di situ, orang berada dalam keadaan
penuh tawa dan gembira tanpa sebab jelas, yang berlangsung sampai
saat berangkat” (al-Tha’alibi 1900: 434-435). HIZ ditambahi wilayah-
wilayah yang dikenal di dunia Islam, baik wilayah muslim (Andalusia,
Hedjaz, Kairouan), maupun kair (Abyssinia, Srilangka, Tiongkok) yang
ditempatkan dengan cara seenaknya (Andalusia terletak tak jauh dari
Dardanella). Peta geograi menjadi kacau, apalagi karena nama­nama
tempat sering merupakan teka-teki.
Meskipun demikian, HIZ memperkenalkan gagasan penjelajahan
dunia, sesuatu yang sama sekali baru di alam Melayu. Pada masa itulah
justru, di bawah pengaruh “stimulus Islam”, terjadi perubahan dalam cara
berpikir dengan munculnya konsep baru tentang ruang. “Individu yang
sedikit demi sedikit belajar mengubah hubungannya dengan individu
lain, dengan menganggapnya sebagai ‘sesama’nya, juga mengubah
24 Abû Mansûr ‘Abd. Al-Malik ibn Muhammad ibn Ismâ’îl al- Tha’âlibî, 962-
1038.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 19

hubungannya dengan dunia. Ruang, yang hingga saat itu dipandang sebagai
suatu mandala, menurut bentuk sederhana sebuah skema geometrik yang
mendasari kosmologi, menjadi lebih rumit dan berbeda-beda sedemikian
rupa sehingga menjadi ruang geograis beraneka ragam, yang secara tersirat
merupakan wilayah masyarakat modern masa kini.”25 Iskandar menjelajahi
wilayah yang dihuni dari satu ujung ke ujung lain. Di Jabarsa, matahari
terbenam merupakan suatu ujung dunia; kehadiran malaikat menunjukkan
batas dengan dunia gaib. Tidak ada gejala sebanding di Jabarka (meskipun
Iskandar melihat matahari terbit), tetapi di ujung dunia yang lain, ia
membendung rakyat Yajuj wa Majuj, yaitu melepaskan sebagian dunia
untuk orang barbar. Mengenali tempat-tempat yang sebenarnya dan
membedakan trayek perjalanan otentik (Mesir, Transoxiana/Mawarannahr)
dari yang bersifat legenda (Abysinia, Andalusia), berarti mengidentiikasi
unit-unit naratif yang memungkinkan perbandingan berbagai versi cerita
dan penelitian transmisinya, tetapi ini bertentangan dengan geograi mitos
yang khas pada hikayatnya.
Geograi tersebut hanya realistis sejauh menyangkut alam (laut,
sungai, gurun pasir, dataran rendah, gunung) dan sama sekali tidak
mengacuhkan kebudayaan urban, padahal perjalanan itu mengantar
Iskandar dari suatu kerajaan ke kerajaan lain, artinya dari suatu pusat
kebudayaan ke pusat kebudayaan yang lain. Kota-kota, yang tidak lain
dari kota-kota di antara yang paling tersohor dalam sejarah: Alexandria,
Istanbul, Jerusalem, Babylonia, Persepolis, Samarkand antara lain,
secara sistematis digambarkan sebagai stereotip tanpa hubungan dengan
kenyataan. Gambarannya jauh dari deskripsi India oleh Arrian atau
Babylonia oleh Quintus Curtius26. Jadi HIZ bukan gambaran dunia yang
sebenarnya, melainkan serangkaian klise sastra dan anekdot yang ditimba
dari tradisi Islam. Dengan demikian secara paradoksal, hikayat itu untuk
pertama kali memperkenalkan peta dunia kepada alam Melayu dan
sekaligus menyelimuti peta itu dengan tirai mitos dan legenda.
Di samping itu, di dalam teks HIZ terlihat kekacauan ketika, sebagai
akibat kontaminasi antarversi, Iskandar diceritakan mengunjungi dua
kali tempat yang sama atau melaksanakan dua kali kegiatan yang sama.
Contohnya, ia dua kali mengunjungi Mesjid Sulaiman dan dua kali pula
tambang zamrud, ia dua kali menetralisasi robot penunggang kuda yang
25 Lombard (1990: 176); lihat juga hlm. 200-203. D. Lombard memberikan
ringkasan singkat dari Hikayat Melayu serta peta perjalanan Iskandar, yang
memperlihatkan betapa kacau trayeknya.
26 Lih. Arrian (1984: 253-268) dan (Battistini & Charvet 2004: 105-107).
20 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

dibuat oleh Yafet, dua kali menyaksikan matahari terbenam, dua kali
berkunjung kepada Ratu Ghidaqah (alias Zandaqah), dua kali menghadap
Darinus sebagai utusan, dua kali menaklukkan Raja India yang sama,
dua kali membuka taman ajaib yang ditelantarkan. Masih ada adegan
lain yang diulang dengan sedikit banyak bervariasi. Pengulangan serupa
juga terdapat dalam versi lain, misalnya dalam karya Tarsusi. Mungkin
Winstedt benar ketika berpendapat bahwa pengulangan jenis itu adalah
akibat usaha untuk mencocokkan kedua versi Pseudo-Callisthene dan
Firdusi. Hal itu mungkin terjadi ketika seorang penyalin teks yang kedua
kebetulan mengetahui teks pertama dan, karena tidak mengenali sejumlah
adegan, misalnya perang melawan Darius, menyadurnya untuk kedua
kalinya. Salah satu dampak utama dari versi baru itu, yang jauh lebih rumit
daripada cerita aslinya, adalah membenamkan Persia dalam lautan sebuah
dunia Islam yang berbagai bentuk, dan mengacau-balaukan peta dunia.
Kekacauan perjalanan Iskandar, penggandaan nama-nama tempat
dan bangsa yang jadi rancu dalam proses penyalinan, dan pemotongan teks
dalam berbagai adegan yang kelihatan terpisah-pisah, telah berakibat teks
HIZ dipandang sebagai sejumlah kisah, yang bagaimanapun juga terlalu
panjang untuk dibacakan sekali jadi.27 Aspek terulang-ulang dan terputus-
putus sesuai dengan pembacaan yang terpotong-potong. Kisah penaklukan
Jabarsa dan Ifriqiah, kisah kemenangan atas negeri Alwah, atau juga kisah
petualangan di Kasymir, menyerupai roman-roman kecil (masing-masing
sepanjang kira-kira 25 halaman) lengkap dengan kisah cinta, penghianatan,
pertempuran, sihir, sumpah, pindah agama, hadiah, ciptaan teknologi,
dan tipu muslihat, yang sepenuhnya mandiri. Tidak perlu, bahkan tidak
berguna, mengetahui adegan terdahulu untuk mengerti dan menikmati
setiap kisah itu. Apakah Iskandar sudah atau belum menaklukkan Darius,
apakah ia menuju timur atau barat, apakah ia telah mengalahkan satu
atau seratus musuh, sebenarnya sama saja. Satu-satunya hal yang penting
diketahui ialah bahwa ia telah menerima tugas suci untuk mengislamkan
seluruh muka bumi, dan ini diketahui umum hanya dengan mendengar
judul hikayatnya. Dalam hal itu, HIZ dapat dibandingkan dengan kumpulan
hikayat Melayu yang lain, seperti Hikayat Bakhtiar atau Hikayat Bayan
Budiman misalnya, yang disadur dari bahasa Parsi.
Kesimpulan ini dibenarkan oleh sebuah kejadian aneh dalam
transmisi naskah yang kita kenal. Edisi Khalid Hussain (1967) praktis
tak terbaca karena tak kurang dari lima belas bagian teks, yang bahkan
27 Teks yang diedit oleh Soeratno (1992) setebal 652 halaman cetak yang amat
padat.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 21

tidak merupakan adegan utuh, telah tertukar tempatnya, sehingga perlu


melompat dua belas kali dari satu halaman ke halaman lain, ke depan atau
ke belakang, untuk menyusun kembali alur kisah yang betul. Dalam kata
pengantar, editor memberitahukan bahwa beberapa adegan jadi terbalik
karena pengarang atau penyalin telah mencampuradukkan adegan-adegan
yang berasal dari versi-versi yang berbeda. Kenyataannya sama sekali
lain. H.H. Juynboll (1899: 194-195), dalam katalog naskah-naskah Leiden,
telah mencatat kekacauan naskah yang bersangkutan (Or. 1696), bahkan
van Leuuwen (1937: 22-23) telah mencatat dengan seksama tempat terjadi
setiap keterputusan. Kebanyakan pertukaran adegan di atas disebabkan
oleh pertukaran kuras (yang berbeda-beda tebalnya) dalam naskah yang
menjadi model, sedangkan yang lainnya terjadi berangsur-angsur, ketika
naskah yang beberapa kurasnya kacau disalin seadanya, lalu salinan itu
pun tertukar kurasnya dan disalin lagi seadanya. Hal ini dibenarkan oleh
pertukaran adegan, beberapa di antaranya sama dengan naskah Or. 1696
di atas, yang ditemukan dalam naskah-naskah lain yang kini tersimpan di
Leiden, Berlin dan Paris. Naskah Or. 1696 adalah buah tangan seorang
penyalin profesional yang bekerja untuk pemerintah Belanda pada awal
abad ke-19, Muhammad Cing Saidullah, yang dikenal karena keindahan
tulisannya. Bahwa ia tidak memperbaiki susunan kuras-kuras yang
disalinnya, bahkan ia tidak melihat kekacauan cerita, dan bahwa seorang
ilolog yang bekerja untuk lembaga resmi untuk bahasa dan sastra Melayu
di Kuala Lumpur (Dewan Bahasa dan Pustaka) seperti Khalid Hussain tidak
juga memperbaiki urutan adegan yang telah ditunjukkan Juynboll dan van
Leeuwen, memperlihatkan dengan jelas bahwa koherensi keseluruhan teks
tidaklah menjadi perhatian utama.

Hikayat Iskandar Zulkarnain di Tengah Masyarakat Melayu


Teks HIZ masih menunjukkan jejak bahwa asalnya dari tradisi lisan,
terutama dengan kehadiran corak naratif dan corak retorika.28 Mengenai
corak naratif, sebagian besar HIZ, mungkin separuh, terbuat dari adegan-
adegan stereotip, terutama adegan pengiriman utusan (keputusan me-
ngirimkan utusan, penyusunan surat, pemilihan utusan, perjalanan,
penyambutan, pembacaan surat, reaksi), adegan penyambutan raja, adegan
hadiah diberikan (kepada sekutu, kepada yang dikalahkan, kepada mualaf,
kepada negeri bawahan), atau adegan pertempuran. Adapun motif retorika
ialah ungkapan-ungkapan yang dipakai berulang-ulang, bahkan ditemukan
28 Saya meminjam istilah Laurence Harf-Lancner dalam kata pengantar pada
Alexandre de Paris (1994: 30)
22 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

dalam semua hikayat. Corak-corak yang khas lisan itu juga terdapat dalam
versi lain, seperti Roman Alexandre de Paris (Prancis), versi Suri (Arab)
atau versi Tarsusi (Parsi). Namun, dalam hal versi Melayu, aspek lisan
itu menyangkut teks modelnya dalam bahasa Arab atau Persia, dan tidak
menjelaskan tempat HIZ dalam masyarakat Melayu yang menghasilkan
dan mengasimilasinya. Sumber lain menyoroti aspek ini.
Sulalat al-Salatin, atau boleh dikatakan “Syah Nameh” Melayu,
menceritakan asal-usul raja-raja Melayu, kehidupan Kesultanan Melayu
sepanjang abad ke-15, lalu nasib para sultan setelah mereka diusir dari
kotanya oleh orang Portugis. Dikisahkan bahwa pada malam sebelum
serangan Portugis tahun 1511, para bangsawan yang berkumpul di
istana memutuskan untuk mendengarkan kisah peperangan Muhammad
Hanaiyah, putra Kalifah Ali, seperti diceritakan dalam Hikayat Muhammad
Hanaiyah berbahasa Melayu. Sang Sultan, yang tampaknya satu-satunya
pemilik naskah tersebut, sebenarnya ingin memberikan mereka Hikayat
Amir Hamzah, yaitu cerita Amir Hamzah, paman Nabi, sebagai gantinya,
tetapi mereka mendesak dan berhasil mendapatkan hikayat yang mereka
inginkan. Dijelaskan bahwa pembacaan itu bertujuan memanfaatkan
teladan keberanian sang tokoh.29 Contoh yang terdapat dalam sebuah
teks historis Melayu tentang cara membaca dua epos yang sangat mirip
Hikayat Iskandar Zulkarnain dari segi genre dan asal-usulnya itu, juga
dapat diterapkan pada HIZ sendiri. Perlu dibayangkan bagaimana HIZ
dibaca, hanya sebagian-sebagian, oleh seorang juru hikayat profesional
di depan suatu sidang hadirin. Kita mempunyai kesaksian tentang ini,
walaupun relatif baru, berasal dari awal abad ke-19, tetapi yang kiranya
menggambarkan kehidupan epos ini sejak masa diciptakan. Seorang
pelawat Inggris menceritakan ia pernah melihat, pada suatu pagi tahun
1823, seorang pegawai istana Deli, di Sumatera Utara, membacakan
sebuah cerita tentang kejayaan Iskandar di depan khalayak 200 orang.
Pembacaan itu bertujuan untuk membangkitkan semangat dan keberanian
pasukan raja.30
Jadi sangat jelas bahwa, apa pun peranan komunitas Persia pada
awal mulanya dalam penulisan teks HIZ, teks itu kemudian diserap dalam
kesusastraan Melayu dan menjadi sangat masyhur di kalangan orang
Melayu. Dalam hikayat itu mereka menemukan kisah-kisah tradisi Islam
yang telah dikenal baik, misalnya mengenai Nabi Sulaiman, mengenai
29 Muhammad (1997: 212-213). Adegan ini terdapat dalam semua versi HIZ.
Lihat terjemahannya dalam Brown (1970: 162-163).
30 John Anderson (1826: 42).
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 23

Gunung Qaf yang mengitari bumi, atau juga mengenai taman Kasymir.
Mereka juga menemukan bab-bab ajaib yang mempesona. Eksotisme
mempunyai tempat luas dalam hikayat itu: eksotisme binatang (burung unta,
jerapah, lalat dan semut raksasa), eksotisme mahluk ajaib yang menghuni
pelosok dunia (perempuan berkaki empat dan berbuah dada anjing, raksasa
bermata satu dan berkaki satu (Kuklopes), manusia bermoncong anjing,
mahluk bertelinga panjang, yang satu digunakan sebagai karpet, yang satu
lagi sebagai selimut), dan eksotisme tempat-tempat ajaib (tambang permata
yang tak pernah habis, wilayah kegelapan, taman surgawi). Tambahan pula,
mereka menemukan deskripsi seribu benda ajaib yang patut diimpikan:
benda-benda kesaktian hasil kerja ilmuwan besar (Aristoteles dan Balminas
Hakim), produk teknologi untuk keperluan perang atau kesenangan
(cermin untuk membakar kota, burung mekanik yang menyemburkan
minyak wangi kepada hadirin, gajah tembaga yang dapat berjalan), atau
juga pekerjaan raksasa yang dilaksanakan oleh Iskandar (jembatan, kota,
benteng, kanal irigasi).
Popularitas legenda Iskandar di alam Melayu terbukti dalam
kenyataan bahwa teks Melayu (tetapi tidak diketahui yang mana) pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis, bahasa suatu suku di Sulawesi
Selatan yang terkenal karena budayanya yang canggih serta peranannya
dalam ekonomi dan politik sejarah Nusantara. Ketika memerikan suatu
koleksi naskah Bugis yang dikumpulkan pada pertengahan abad ke-19,
B.F. Matthes (1875) menyebut sejumlah adaptasi teks sastra Melayu yang
terinspirasi oleh Islam, di antaranya legenda Amir Hamzah dan dongeng-
dongeng pujian tentang Nabi Muhammad. Di antara teks tersebut terdapat
saduran Bugis dari HIZ, yang digambarkan Matthes (hlm. 28) sebagai satu
buku berukuran folio setebal 419 halaman yang ditulis dengan indah, tetapi
sayangnya tidak diuraikan isinya.
Kemasyhuran HIZ sedemikian besar, sehingga tokoh Iskandar
diserapkan dalam beberapa dinasti lokal, setelah diseleksi sebagai lambang
tertinggi kedaulatan raja, dan karena itu dipilih sebagai sumber keabsahan
sultan-sultan di Nusantara. Teks pertama dalam hal ini, dan mungkin sekali
teks yang membentuk tradisi tersebut, lagi-lagi Sulalat al-Salatin: setelah
pengantar pendek, teksnya langsung dimulai dengan cerita Iskandar. Tokoh
ini “berjalan hendak melihat matahari terbit” dan sampai ke perbatasan
India. Lalu (“seperti yang dalam Hikayat Iskandar itu”, demikian dijelaskan)
ia memerangi Raja Kida Hindi, yang memerintah atas separuh negeri itu.
Ia mengalahkannya dan membuatnya masuk “agama Nabi Ibrahim”, lalu
menikahi putrinya, Syahr al-Bariyah, dan tinggal di situ selama sepuluh
24 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

hari. Lalu, sambil membawa istrinya, ia meneruskan perjalanannya menuju


timur, “seperti yang tersebut dalam hikayatnya yang masyhur itu”. Waktu
singgah lagi dalam perjalanan pulang, maka atas permintaan mertuanya,
ia meninggalkan istrinya di negeri asalnya dan melanjutkan ekspedisinya,
“kasadnya hendak menaklukkan segala raja-raja yang belum takluk
kepadanya”. Barulah sebulan kemudian sang putri mengetahui bahwa ia
hamil. Ia melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Arasytun Syah. Di
kemudian hari, anak ini memperistri putri Raja Turkistan. Disebut silsilah
keturunannya sepanjang kira-kira dua puluh generasi, yakni hampir 1.200
tahun. Sebuah ringkasan silsilah, pada akhir bab ini, menunjukkan bahwa
kerangka cerita benar-benar keturunan Iskandar.
Selanjutnya, suatu cerita sisipan mengisahkan kemenangan Raja
Syulan, yakni Raja Nagapatam, di negeri Keling31. Ia melanjutkan perjalan-
annya sampai ke alam Melayu, lalu kembali ke Keling dan membangun
kota Bijanegara (Vijayanagar). Putrinya menikah dengan Raja Suran
Padsyah, keturunan Iskandar (dengan putri Kida Hindi). Jadi, kita sudah
kembali ke silsilah pertama. Putra mereka, Raja Culan, ingin menaklukkan
Cina, tetapi setibanya di Temasik (Singapura), ia mengurungkan niatnya.
Lalu ia mengunjungi dasar laut (suatu adegan yang juga bersumber pada
HIZ), tinggal selama tiga tahun di kerajaan bawah laut bangsa Barsam,
memperistri putri rajanya dan memperoleh tiga orang putra. Ia menyuruh
kisah perjalanannya diukir atas batu, lalu memperistri seorang perempuan
keturunan Iskandar (ia sendiri keturunan Iskandar dari garis ayah) dan
memperoleh seorang putra, Adiraja Rama Mendeliar, yang keturunannya
masih memerintah di Bijanegara.
Ceritanya kemudian berpindah ke Palembang. Tiga pemuda, yang
segera akan diketahui bahwa mereka adalah putra Raja Culan di atas, tiba
secara ajaib di puncak Gunung Seguntang, yang telah kita lihat, adalah
gunung keramat Sriwijaya, sedikitnya dalam ingatan rakyat, di mana kini
pun masih ada makam Iskandar. Ketiga pemuda bersaudara itu, yang
namanya berbunyi India (Bichitram, Paludatani, Nilatanam) masing-
masing menjadi raja di Minangkabau, di Tanjung Pura32 dan di Palembang.

31 Dalam teks-teks Nusantara nama Keling, yakni Kalinga, menunjukkan pesisir


Koromandel dan secara lebih umum, seluruh Indian Selatan.
32 Tanjung Pura tidak pasti tempatnya. Beberapa penulis berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah Langkat, di pantai timur Sumatera, tetapi Winstedt (1938a: 2)
dan Braginsky (2004: 138, cat. 33) menganggapnya sebagai sebuah kerajaan di
Kalimantan. Legenda Minangkabau yang diringkaskan oleh Marsden (lihat di
bawah) menyinggung suatu tempat dekat Palembang, yaitu lebih mendukung
pendapat pertama.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 25

Makam Iskandar di kaki Bukit Seguntang (Sumatra).


(Foto P.-Y. Manguin).

Perbedaan kisah di atas dengan HIZ yang kita kenal sekarang jelas banyak.
Silsilah panjang keturunan Iskandar menghubungkan secara artiisial dua
dinasti yang berbeda: yang pertama dari India Selatan (raja-raja Chola
dan Vijayanagar), yang lain dari dinasti Sasanid Persia, yang terakhir ini
kiranya diambil dari tradisi yang berasal dari Firdusi (Guillot 2004: 183).
Walaupun demikian, HIZ disebut secara eksplisit dalam Sulalat al-Salatin,
yang meminjam kisah penaklukan India, perkawinan dengan putri Raja
India, dan eksplorasi dasar laut. Lebih penting lagi, Sulalat al-Salatin
menunjuk Iskandar sebagai pendiri dinasti Palembang, yang beberapa bab
lebih jauh, akan melahirkan Kerajaan Melaka. Sumber-sumber kekuasaan
lain juga disebut (India, Persia, Gunung Seguntang), tetapi kelebihan
Iskandar dinyatakan setiap kali namanya, dan hanya namanya, diulang-
ulang sepanjang teks itu, bahkan setelah pengislaman.33 Asal-usul itu
bahkan demikian penting, sehingga Raja Majapahit pun dikatakan dua
kali turun dari Iskandar, melalui garis ibu dan ayah. Pemilihan Iskandar

33 Lihat, misalnya: “Maka masyhurlah pada segala negeri dari bawah angin datang
ke atas angin bahawa negeri Melaka terlalu besar, lagi dengan makmurnya;
dan rajanya daripada bangsa Raja Iskandar Zul Karnain” (Muhammad 1997:
65; terjemahan dalam Brown 1970: 49).
26 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

sebagai sumber kedaulatan raja kemudian menyebar di sebagian besar


alam Melayu.
Kitab Undang-Undang Melaka, yaitu sebuah teks campuran yang
digarap selama beberapa generasi, yang pertamanya konon ditulis atas
perintah Sultan Muzaffar Syah (mem. 1445-1458), sampai meyatakan
bahwa “akan adat ini turun-temurun daripada zaman Sultan Iskandar
Zulkarnain yang memerintahkan segala manusia, datang kepada zaman
putranya Sultan Iskandar Syah, ialah yang pertama menyusuk negeri
Melaka” (Liauw 1976: 64). Selanjutnya, beberapa teks historis Melayu
meminjam dari Sulalat al-Salatin kebiasaan untuk menisbatkan awal
kerajaan pada diri Iskandar, tetapi dengan cara yang ringkas dan stereotip,
tanpa berusaha membentuk hubungan antara Iskandar dan dinasti lokal.
Sebutlah misalnya teks Misa Melayu, Salasilah Asal Raja di Negeri
Palembang, Hikayat Andalas dan Hikayat Aceh, yang juga memakai tema
Iskandar dalam konteks kerajaan Aceh, Deli, Palembang dan Perak (lihat
Soeratno 1991: 146-149).
Bustan al-Salatin, karya Nuruddin al-Raniri yang telah disebut di
atas, termasuk teks-teks tersebut karena meminjam secara eksplisit dari
Sulalat al-Salatin posisi Iskandar di awal dinasti Melaka. Walaupun
dianggap sebagai karya penting dalam kesusastraan Melayu, Bustan
al-Salatin belum pernah diterbitkan, sehingga kita harus puas dengan
ringkasan yang sangat singkat dan analisis sebagian-sebagian, yang paling
mutakhir dan padat informasi ditulis oleh Jelani Harun (2004). Teks Bustan
al-Salatin memadukan dua genre penting dari sastra Arab dan Parsi, yaitu
merupakan suatu “sejarah dunia semesta” dan sekaligus sebuah “cermin
raja-raja”. Dalam bagian kedua (bab III dan IV), Iskandar termasuk tokoh
sejarah teladan yang paling sering disebut untuk menggambarkan sifat
raja-raja adil (Jelani 2004: 44). Suatu kisah misalnya, yang dipinjam dari
legenda Iskandar untuk menggambarkan sifat yang harus dimiliki para
utusan, kiranya dipetik dari Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali, ternyata
ditemukan juga dalam sebuah “cermin raja-raja” Melayu yang lain, yakni
Taj al-Salatin (Mahkota Raja-Raja), yang ditulis, di Aceh juga, pada tahun
1603 (Idem: 39).
Nuruddin al-Raniri, menurut pernyataannya sendiri, mengenal teks
Sulalat al-Salatin. Bahkan mungkin ia pernah berjumpa dengan pengarang
salah satu versi teks yang paling terkenal. Dalam bagian pertama Bustan
al-Salatin (Bab II, fasal 12), ia meringkas keturunan raja-raja Melayu
mulai Iskandar Zulkarnain sebagaimana diuraikan dalam Sulalat al-
Salatin, tetapi ia menambahkan suatu unsur penting, dengan menjelaskan
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 27

asal-usul Iskandar sendiri, yaitu, sesuai suatu versi Persia, turun dari
manusia pertama, Nabi Adam. Iskandar adalah keturunan langsung Nabi
Adam melalui delapan belas generasi yang disebut satu per satu (Idem:
32). Dengan demikian, Nuruddin memberikan kepada sultan-sultan
Melayu posisi yang sejajar dengan raja-raja Arab dan Persia dalam sejarah
dunia. Menurut skemanya, seorang putra Nabi Adam, Shith, adalah leluhur
raja-raja Arab, sedangkan putra yang lain, Kiyaumurti, melalui raja-raja
Persia dan Iskandar Zulkarnain, adalah leluhur dua garis keturunan: garis
keturunan raja-raja Persia dan garis keturunan raja-raja India dan Melayu
(Idem: 45-46). Asal-usul Iskandar sebagaimana dikisahkan dalam Bustan
al-Salatin ini tidak diambil alih oleh teks-teks Melayu selanjutnya, tetapi
tempat istimewa yang diberikan Nuruddin al-Raniri kepada Iskandar
mungkin pernah memainkan peranan dalam penyebaran mitos Iskandar di
seluruh Nusantara.
Tokoh Iskandar ditemukan lagi dalam peran yang betul-betul baru
dalam sejumlah besar teks. Dua versi yang menarik, yang berhubungan
dengan negeri Pagarruyung (suatu akta resmi yang diberikan oleh sultan
kepada seorang ulama) dan Johor (suatu legenda lokal) dilaporkan oleh W.
Marsden. Isinya menyatakan bahwa ketiga putra yang diperoleh Iskandar
dari istri bawah-lautnya menjadi raja-raja Roma, Cina, dan Minangkabau
atau Johor.34 Versi Minangkabau, dalam bentuk lebih terperinci, tercantum
dalam versi resmi sejarah lokal tradisional, yakni Tambo Minangkabau.
Di situ, Iskandar adalah putra ke-99 dari Adam dan Hawa. Setelah turun
ke bumi dan menjadi raja seantero bumi, maka dari seorang peri kayangan
ia memperoleh tiga orang putra, yang menjadi asal dinasti Istanbul, Cina
dan Sumatra (Netscher 1850). Rupanya dari Minangkabau-lah tema
Iskandar menyebar ke bagian Islam Tanah Batak, tetapi dalam bentuk yang
disederhanakan: menurut sebuah dongeng setempat, Iskandar menjelajahi
seluruh Pulau Sumatra dan memperanakkan seorang putra di setiap
kerajaan (Soeratno 1991: 142).
Patut disebut pula, di negeri Kelantan, Semenanjung Melayu,
sebuah fragmen legenda dalam bentuk lakon wayang yang menunjukkan
pengaruh Hikayat Iskandar Zulkarnain, yaitu perkawinan dengan seorang
putri Cina, peran Nabi Sulaiman, jurang di laut yang dikunjungi Iskandar
dalam sebuah kotak kaca, Gunung Qaf. Rincinya menurut Rentse (1933:
246), sebuah lakon wayang dari Kelantan menceritakan bahwa Raja
Iskandar memutuskan untuk memperistri putri Kaisar Cina. Garuda
34 Marsden (1811: 338, 341). “Roma” adalah interpretasi rancu dari “Rum” yang
sebenarnya menunjukkan Istanbul.
28 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

memberi tahu Raja Sulaiman, yang karena merasa “jijik akan gagasan ini”
memerintahkan Garuda untuk menghambatnya. Garuda menghembuskan
angin ribut yang menenggelamkan kapal, lalu menangkap Iskandar dengan
cakarnya, membawanya ke “pusat laut” dan menguncinya dalam peti yang
dilemparkan ke dalam kisaran puting beliung agar tenggelam. Tetapi arus
gelombang membawa peti itu ke pantai Cina, Iskandar menikahi sang
putri, dan Nabi Sulaiman, karena murka, menghukum Garuda untuk tetap
tinggal di puncak Gunung Qaf.

Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa


Sebuah cerita dari Kalimantan, yakni Hikayat Banjar atau Cerita Raja
Banjar dan Raja Kotawaringin, juga dalam bahasa Melayu, menggunakan
tokoh Iskandar dengan penampilan yang sama sekali berbeda. Teks sejarah
Banjarmasin dan Kota Waringin ini, tentang dua kerajaan yang terletak
di sebelah selatan Kalimantan, berada dalam bentuk dua versi yang amat
berbeda. Yang pertama adalah “sebuah teks wayang”35 yang rumit, penuh
kejutan dan peristiwa luar biasa, dengan tokoh yang banyak jumlahnya
dan begitu sering berganti nama sampai membuat kita sulit mengikuti liku-
liku cerita. Dunia dewa dan dunia manusia senantiasa berhubungan, karena
bukan saja para dewa terus turut campur dalam kehidupan manusia, tetapi
orang tertentu (justru Iskandar dan Khadir) dapat memasuki kedua dunia
tersebut.
Versi kedua adalah “sebuah teks istana” yang merupakan ringkasan
dari teks yang mirip dengan versi pertama, dan merupakan versi resmi dari
sejarah kedua kerajaan di atas. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa
peran penting yang dipegang Iskandar dan Khadir dalam asal-mula dinasti
dalam versi populer telah dihilangkan dari versi istana.
Raja Saudagar Jantam memerintah atas negeri Keling. Ia adalah
raja pedagang yang berwibawa dan kaya. Ia mempunyai tiga putra dan
dua putri, dan menantunya adalah Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khadir.
Keduanya ini juga mempunyai istri dari kayangan, masing-masing putri
Batara Bisnu dan Batara Gangga (yang ini hidup dalam kerajaan bawah
laut, sesuai aspek kelautan atau air dari Nabi Khadir).
Khadir mengajarkan ilmu mistik kepada Raja Saudagar Jantam.
Ketika raja itu mangkat, putra-putranya dan para pejabat istana men-
dudukkan Iskandar di takhta, tetapi tak lama kemudian ia menyerahkan
pemerintahan kepada kedua putra raja yang lebih tua untuk menjadi
pengikut setia Khadir.

35 Semua keterangan berikut dipinjam dari disertasi yang gemilang karya J.J. Ras
(1968). Dalam teks ini, Khidir bernama Khadir.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 29

Putra bungsu, Ampu Jatmika, yang telah memperistri adik Iskandar,


memutuskan untuk meninggalkan negeri itu bersama para pengikutnya
setelah bertengkar dengan kedua kakaknya, dan ia mendarat di Kalimantan.
Dibimbing oleh suara Khadir, ia mula-mula menetap di Candi Laras, lalu
mendirikan kerajaan Candi Agung, dekat Kuripan. Setelah kematiannya,
kedua putranya (yakni keponakan Iskandar), Lambung Jaya Wanagiri dan
Lambung Mangkurat, menjadi raja kedua negeri itu, sedangkan putrinya
dinikahkan dengan seorang anak raja Tionghoa di Kucing. Orang Tionghoa
ini mengirim empat puluh pengrajin, yang membuat patung-patung yang
kemudian dipuja oleh penduduk. Tetapi pada suatu malam, sebuah suara
menganjurkan kepada kedua raja tersebut agar menghentikan pemujaan itu
dan mencari seorang manusia untuk dijadikan raja. Maka mereka meme-
rintahkan agar patung-patung itu dibuang, dan Lambung Jaya Wanagiri
mulai bertapa dengan tujuan memperoleh raja yang dimaksud.
Di situlah Iskandar dan Khadir masuk ke dalam pembentukan dinasti.
Istri-kayangan Iskandar sedang hamil. Sebelum kembali ke bumi, Iskandar
memerintahkan agar anak itu dikirim ke bumi jika ketika lahir ia berbeda
dari dewa-dewa lain. Ternyata, ia lahir dengan dua kepala, empat tangan
dan empat kaki. Batara Bisnu membawanya ke bumi dan mengubahnya
menjadi bunga teratai, yang diletakkannya dalam pangkuan Lambung Jaya
Wanagiri yang sedang bertapa. Raja ini memberikannya kepada istrinya,
yang selang beberapa lama kemudian hamil dan melahirkan putra kembar,
Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. (Jadi sebenarnya, kedua
putra tertua dari Raja Kuripan yang sulung, yakni anak-anak kembar Siam,
adalah putra Iskandar dan seorang dewi.)
Lambung Mangkurat juga bertapa sambil duduk di atas rakit yang
mengapung di air. Istri Khadir melahirkan seorang bayi perempuan yang
berupa labu tanpa lengan ataupun kaki. Dengan alasan yang sama seperti
yang terdahulu, Batara Gangga mengirimnya ke bumi. Dari labu itu timbul
seorang gadis yang, setelah berbagai kejadian, tampil di depan Lambung
Mangkurat dengan tersembunyi di dalam gumpalan besar buih, dan
menyatakan bahwa dialah permaisuri yang dicarinya. Ia dibawa ke istana
dan didudukkan di atas singgasana emas. (Jadi, putri yang akan menjadi
raja adalah anak Khadir).
Ia minta dinamai Putri Junjung Buih. Setelah berbagai peristiwa
lain, ia jatuh cinta pada Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga.
Paman mereka, Lambung Mangkurat, ketika diberi tahu, membunuh
kedua pemuda itu. Batara Gangga mengambil jenazah putra pertama dan
membawanya ke kerajaannya di bawah-laut, sedangkan Batara Bisnu
30 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

membawa jenazah putra kedua ke kayangan. Orang tua kedua putra


itu membunuh diri. Lambung Mangkurat menjadi satu-satunya raja di
Kuripan, Candi Agung dan Candi Laras.
Sekali lagi Batara Bisnu campur tangan dan bertindak agar putra
kedua, yang dihidupkan kembali, diangkat anak oleh Raja Majapahit,
tetapi ia “lahir” tanpa lengan ataupun kaki. Sang putri ingin menikahinya.
Setelah berbagai peristiwa dan sehabis tinggal di kerajaan Batara Gangga
di bawah laut, pemuda pertama sembuh dari cacatnya dan menamakan diri
Pangeran Suryanata. Ia dikawinkan dengan sang putri oleh seorang tokoh
yang muncul secara misterius, yang mengenakan pakaian haji dan yang
menyatakan bernama Syekh Madiun atau Nabi Khadir. Setelah serangkaian
peristiwa dan pertempuran hebat, anak-anak Pangeran Suryanata dan Putri
Junjung Buih menggantikan mereka di atas takhta.
Segala peristiwa ini, yang mungkin tampak keterlaluan dan seram-
pangan, sebenarnya menampilkan unsur berulang-ulang yang berasal dari
berbagai lapisan mitologi Nusantara, antara lain perkawinan tokoh-tokoh
yang mewakili dunia atas dan bawah, penciptaan sebuah kerajaan oleh
seorang anak yang diusir dari kerajaan ayahnya, peran India dan Cina,
serta juga konlik antara dua saudara. Singkatnya, dinasti Banjar dan Kota
Waringin berasal dari Keling, tetapi pada suatu tahap, dinasti asal diganti
oleh keturunan putra Iskandar (dengan putri Batara Bisnu) dan putri
Khadir (dengan putri Batara Gangga). Boleh dipastikan bahwa Iskandar
dan Khadir telah dimasukkan dalam cerita itu setelah pengislaman, sebagai
pengganti tokoh-tokoh tipe Hindu. Persamaan antara Iskandar dan Vishnu
(Batara Bisnu) mengingatkan peran Garuda dalam legenda Kelantan, tetapi
ini kiranya kebetulan saja.
Suatu versi yang sama sekali berbeda ditemukan dalam sebuah teks
Melayu yang lain, yang berasal dari Kerajaan Bima, di Pulau Sumbawa,
berjudul Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa.36 Versi ini bukan
saja berbeda dalam alur cerita, tetapi juga dalam peran Iskandar. Di sini,
ia bukan lagi pembangun dinasti, melainkan tokoh yang mengislamkan.
Teks yang kiranya ditulis pada pertengahan abad ke-17 ini meru-
pakan mitos dinasti Bima. Kisahnya mulai dengan penciptaan jin pertama,
lalu manusia pertama seribu tahun kemudian. Jin pertama (Jan Manjan)
diciptakan dari “api tanpa asap”37, sedangkan manusia pertama (Adam)
diciptakan dari empat unsur: api, udara, air, tanah, yang tidak sesuai dengan
al-Qur’an (“dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk”,

36 Teks ini diedit dan dibahas dalam Chambert-Loir (2004).


37 Al-Qur’an, 55: 15.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 31

Q15:28), tetapi bersumber pada suatu versi sui. Setelah menciptakan


tubuh manusia, Allah menghembuskan ruh ke dalamnya. Ruh ini diuraikan
dalam sebuah fasal panjang yang diilhami suatu teks yang mirip dengan
Asrâr al-insân fî ma’rifat al-rûh wa l’-rahmân, yaitu teks Melayu yang
ditulis tahun 1640, di Aceh, oleh pengarang Gujerati yang sudah beberapa
kali disebut di atas, Nuruddin al-Raniri.
Lalu Ceritera Asal Bangsa Jin (CAB) membeberkan keturunan Jan
Manjan, yang semua individunya (jin-jin pria) mempunyai nama yang
diambil dari alam pewayangan Jawa, tetapi yang melahirkan berbagai
kategori makhluk gaib (dewa, mambang, cendra, peri, hantu, syaitan).
Pada generasi kedelapan tampil Pandu Dewanata, dan demikianlah kita
memasuki kisah Mahabharata. Salah seorang putra Pandu, Sang Bima,
bakal menaklukkan Pulau Jawa, berjalan ke arah timur, dan melahirkan
dinasti Bima. Tetapi sebelumnya, pada tahap generasi keenam, bangsa jin
telah diislamkan oleh manusia, yaitu oleh tokoh Iskandar. Adegan tersebut,
yang tidak terdapat dalam semua versi teks itu, memenuhi sepertiga kisah.
Iskandar Zulkarnain sultan pertama di dunia (“Dan ialah pertama-
tama raja dijadikan Allah subhanahu wa taala digelarkan dengan nama
Sultan di dalam dunia ini”). Dengan didampingi “saudara”nya Nabi Khidir,
ia melancarkan perang suci melawan jin dari Barat dan Timur. Dengan
mengepalai pasukan yang tidak tepermanai banyaknya ia menuju kota raja
jin di Barat, Raja Batara Tunggal, yang disuruhnya masuk agama Islam.
Perang berkecamuk selama lebih dari tujuh belas tahun. Setelah meminta
bantuan Ilahi, Iskandar dan Khidir memperoleh kemenangan. Batara
Tunggal dan seluruh rakyatnya memeluk “agama Nabi Nuh”. Dalam
Hikayat Iskandar Zulkarnain, adegan serupa adalah perang melawan
Jabarsa, yaitu kota di ujung barat dunia, tetapi kelanjutannya dalam CAB
menyamakan adegan ini dengan penaklukan India. Dalam CAB, Iskandar
memperistri putri Batara Tunggal dan memperoleh tiga orang putra, yang
masing-masing menjadi raja Istanbul, Cina dan Minangkabau.
Kemudian, Iskandar melanjutkan perjalanan ke timur dan menyuruh
Batara Ratu, raja jin di Timur untuk masuk Islam. Meletuslah peperangan
selama tujuh tahun yang berakhir dengan masuknya Raja itu dalam agama
Islam. Dengan selesai tugasnya, Iskandar “pulanglah ke Tanah Arab” dan
hilang dari cerita. Selanjutnya, keturunan para jin melahirkan keluarga
Pandawa dan, sebagai pengingatan bahwa agama mereka agama Islam,
yang sulung dari kelima bersaudara itu, Darmawangsa, menjadi Sultan
Pasai, di bagian utara Sumatera, yakni sultan pertama di Nusantara.
Adapun Bima, ia pergi ke arah timur dan, dekat Pulau Sumbawa, dari putri
naga ia memperoleh dua orang putra, yang menjadi raja Bima dan Dompu.
32 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Melalui ringkasan singkat ini, kita melihat bahwa cerita yang


kelihatannya kusut ini banyak diambil dari aneka ragam sumber, di antaranya
beberapa teks yang disebut di atas seperti Sulalat al-Salatin, Hikayat
Amir Hamzah dan Tambo Minangkabau. Ini tidak perlu mengherankan
karena menurut anggapan lokal pengislaman Bima dilakukan oleh seorang
mubalig dari Minangkabau. Tetapi yang paling menarik adalah cara kisah
tersebut, yang jelas diolah beberapa kali sebagai hasil sentuhan budaya
Jawa dan Islam, telah menggarap ulang mitos aslinya, dengan unsur-unsur
baru secara berangsur-angsur menggantikan yang lama, sejalan dengan
keabsahan kerajaan dibangun atas sumber-sumber baru.
Pertemuan tak terduga lainnya antara Mahabarata dengan legenda
Iskandar terjadi dalam sebuah teks semi-sejarah Jawa abad ke-18, Serat
Kanda. Putra Raja Astina, keturunan Arjuna, ingin memperistri putri dari
kerajaan tetangga. Ia memperoleh persetujuan ayahnya dan ayah sang putri,
tetapi halangan timbul dari diri Iskandar Ngabdulkarnen, Raja Rum, yang
juga ingin menikahi putri itu. Terjadilah peperangan yang dimenangkan
oleh Iskandar. Berkat kekuatan gaib, seseorang dari Astina berhasil me-
larikan sang putri. Tetapi kemudian, pasukan Iskandar menaklukkan
Astina, rajanya meninggal dalam peperangan dan rakyatnya masuk Islam
(Cohen 2005: 5-6). Sekali lagi Iskandar adalah orang yang mengislamkan;
di sini, ia bahkan mengislamkan kerajaan pusat Mahabharata.
Iskandar masih berperan dalam beberapa teks Jawa yang lain.
Dalam Menak Pangeran Kelan Wonten Nagari Jamintoran, ia adalah
tokoh yang mengislamkan, sedangkan dalam Serat Nawawi, ia adalah
orang saleh teladan dan sumber pelajaran moral (Soeratno 1991: 3). Dalam
teks lain berjudul Serat Baron Sakender, yang berasal dari abad ke-1838
dan yang menurut anggapan lokal ditulis oleh seseorang bernama Ngabehi
Yudasara, nama Iskandar sudah hadir dalam judulnya. Namun A.B. Cohen
Stuart, yang mengedit teks tersebut tahun 1850, menyatakan bahwa teks
itu tidak menyangkut Alexander atau fakta sejarah mana pun. Menurut
pendapatnya, teks itu adalah dongeng yang bukan-bukan, yang berkaitan
dengan kedatangan orang Eropa di Jawa. Th. Pigeaud, dalam sebuah
artikel panjang yang berisi studi banding mitologi (1927), telah berusaha
membuktikan sebaliknya, terutama dengan menandaskan kenyataan bahwa
38 Pigeaud (1967: 162) memberikan tanggal yang lebih tua: abad ke-17, dalam
buku yang terbit kemudian. Tambahnya, kata Baron tidak berhubungan
dengan gelar kebangsawanan Eropa, tetapi barangkali menunjukkan anggota
kelompok agamawan pra-Islam.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 33

dongeng dan legenda Jawa sering menukarkan nama-nama tokoh, asal saja
mereka masuk dalam kategori kosmologi yang sama. Jadi Iskandar mungkin
mengambil tempat tokoh lain dalam dongeng yang satu ini, berhubung
beberapa cirinya sesuai untuk peran itu. Jelas penting diperhatikan bahwa
seorang pengarang Jawa zaman itu berhasrat menyerapkan Iskandar ke
dalam mitologi lokal, tetapi di lain pihak perlu diakui bahwa Serat Baron
Sakender tidak meminjam apa-apa dari petualangan Iskandar, sehingga
sulit rasanya menerima pendapat Pigeaud (1927: 322) bahwa teks tersebut
“termasuk kelompok dongeng Raja Alexander yang ditemukan dalam
kesusastraan banyak bangsa Eropa dan Asia.”
Pada abad ke-19, penyair tersohor dari istana Surakarta, R.Ng.
Ranggawarsita, memasukkan suatu adegan yang pasti diambil dari riwa-
yat Iskandar dalam sebuah karya kosmogoni mistik Jawa berjudul Serat
Paramayoga. Menurut ringkasan yang dibuat Pigeaud (1927: 327), se-
orang Sayid Anwar, cucu dari Adam dan dari Iblis sekaligus, mencari
air keabadian di wilayah kegelapan yang terletak di Kutub Utara. Ia
menemukan sumbernya dan Tuhan mengizinkannya minum. Selanjutnya,
ia mencari mata air sungai Nil dan menemukan api di puncak sebuah
gunung. Tidak banyak memang, tetapi betul berasal dari legenda Iskandar,
seperti yang dibuktikan antara lain oleh nama wilayah kegelapan: Tanah
Lulmat (Zulmat dalam bahasa Melayu, dari bahasa Parsi Zolomat).
Namun, teks Jawa terpenting adalah syair Serat Iskandar, yang
terdapat dalam bentuk dua naskah yang tersimpan di dua perpustakaan
istana di Jawa Tengah. Alex Sudewa (1975) telah menghasilkan suatu
studi menarik tentang kedua naskah itu, yang dideskripsikan, disunting
dan dianalisis dalam rangka konteks politiknya. Yang pertama berasal dari
tahun 1729, yang kedua dari tahun 1791-1792, artinya ditulis di Surakarta
pada periode sejarah Jawa yang amat kalut. Menurut A. Sudewa (1875:
2), naskah pertama justru diterjemahkan dari bahasa Melayu atas perintah
Ibu suri bersamaan dengan tiga teks Melayu lain yang setengah epos
setengah agama, yaitu Serat Menak (kisah Amir Hamzah), Serat Yusuf
(kisah Nabi Yusuf), dan Serat Ngusulbiyat (dialog antara Nabi Isa dan
Nabi Muhammad), dengan tujuan memperkokoh persatuan rakyat Jawa di
bawah bendera Islam. Namun, jika Serat Menak dan Serat Yusuf berhasil
menjadi populer, tidak demikian halnya dengan Serat Iskandar yang tetap
tinggal buku istana saja. Di samping itu, A. Sudewa berpendapat bahwa
teks kedua adalah adaptasi dari yang pertama. Sebenarnya, kedua teks
Serat Iskandar itu sama sekali tidak identik: kedua syair itu relatif pendek,
kira-kira sama panjang (masing-masing sekitar 7.300 dan 7.000 bait)
tetapi sama sekali berbeda struktur metriknya, lain juga isinya, dan tidak
memiliki satu pun larik yang sama.
Perbedaan pertama menyangkut sejumlah nama: istri Darab bernama
Suntagi dalam satu teks dan Ni Dagina dalam teks lain; seorang raja
musuh Iskandar bernama Haos atau Arhos, satu lagi Salam atau Sarsalam;
seorang putri Samsuberayun atau Subarayin. Lebih berarti adalah adegan
teks kedua yang berbeda dari yang pertama. Contohnya, tepat sebelum
adegan pencarian air keabadian, teks pertama menjelaskan bahwa Iskandar
bernama Dulkarnen karena ia mempunyai dua tanduk di bawah destarnya,
juga bahwa ia dicukur setiap hari Jumat, lalu tukang cukurnya dibunuh.
Dalam teks kedua, bagian itu dihapus dan diganti dengan adegan baru,
di mana Iskandar dinasehati seorang raja miskin, yang menyatakan
bahwa kekuasaan dan kerakusan sia-sia saja karena kematian tak dapat
dihindarkan. Andaikan teks kedua betul saduran dari yang pertama, maka
perlu dicatat betapa bebasnya ia memperlakukan modelnya.
Tetapi lebih menarik mengamati betapa jauh Serat Iskandar itu
berbeda dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain. Seandainya hikayat ini
(setebal 652 halaman padat dalam edisi Soeratno) betul menjadi modelnya,
maka jelas teks Jawa (yang memenuhi 100 halaman longgar dalam
edisi A. Sudewa) sekadar ringkasan yang sangat singkat, dan ini dapat
menjelasankan mengapa banyak episode dihapuskan. Tetapi ternyata Serat
Iskandar justru menambahkan suatu adegan yang tidak terdapat dalam
hikayat Melayu: Kilir, yakni Nabi Khidir, bertemu dengan seorang anak
muda di hutan; mereka berjalan bersama-sama dan Kilir melakukan tiga
perbuatan yang tidak dimengerti oleh orang muda itu, dan hal ini tak ayal
lagi merupakan saduran adegan Nabi Musa dalam Surat al-Kahf. Selain
itu, kisah dalam Serat Iskandar sering berbeda dengan Hikayat Iskandar
Zulkarnain (HIZ). Inilah kedua contoh yang paling mengesankan. Yang
pertama menyangkut putri Rum, calon ibu Iskandar, yang diserahkan oleh
ayahnya sebagai istri kepada penakluknya, Raja Persia Darab. Dalam HIZ,
sesuai dengan tradisi Timur Tengah yang panjang, sang putri sembuh dari
bau mulut busuk, tetapi Raja merasa muak dan mengembalikannya kepada
ayahnya. Dalam Serat Iskandar, setelah sang putri sembuh, pasangan itu
dimabuk cinta, dan Raja baru mengembalikan putri ke rumahnya setelah
terjadi perselisihan. Yang kedua menyangkut agama Iskandar: dalam HIZ,
telah kita lihat, Iskandar dipalingkan dari agama Islam oleh Iblis dan
diislamkan kembali oleh Nabi Khidir. Dalam Serat Iskandar sebaliknya,
Iskandar berhasil melawan godaan Iblis, dan oleh sebab itulah Kilir
datang membantunya untuk mengislamkan seluruh muka bumi. Perlu
dicatat lagi bahwa dalam teks Jawa, Iskandar tidak memiliki sifat tidak
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 35

menonjol seperti dalam teks Melayu. Jadi sebenarnya, mungkin sekali


Serat Iskandar diterjemahkan dari teks Melayu yang berbeda dari Hikayat
Iskandar Zulkarnain.

Kesimpulan
Boleh kiranya disimpulkan bahwa pernah ada sedikitnya satu versi Melayu
dari legenda Iskandar yang berbeda dari Hikayat Iskandar Zulkarnain.
Versi itu mungkin yang digarap pada abad ke-17 oleh Nuruddin al-Raniri
atau boleh jadi versi ketiga yang juga telah hilang.
Bagaimanapun juga, pemaparan berbagai versi Indonesia dari
legenda Alexander di atas memungkinkan kita memahami popularitas cerita
itu di dunia Melayu antara abad ke-15 dan ke-19. Bahwa mitos Iskandar
ditemukan dalam teks Melayu, Minangkabau, Jawa dan Bugis, yang
berasal dari Semenanjung Melayu (Melaka, Johor, Perak, Kelantan), dari
seluruh Pulau Sumatra (Aceh, Deli, Minangkabau, Mandailing, Bengkulu,
Palembang), dari Kalimantan (Banjarmasin), dari Jawa (Surakarta), dari
Sulawesi (Bugis) dan dari Nusa Tenggara (Bima) jelas menunjukkan
bahwa mitos itu telah diserap sedemikian rupa sehingga menjadi unsur
budaya lokal dan meliputi sebagian besar Nusantara.
Sebagai bagian utuh dari dinasti-dinasti lokal, tokoh Iskandar telah
digunakan dalam suatu kerangka mitologis, untuk membenarkan atau
menjelaskan sejarah. Rujukan akan Iskandar sebagai sumber kedaulatan
Melayu tampaknya tidak dipinjam dari kebudayaan asing. Tidak juga patut
dilihat sebagai hasil keinginan untuk mengaitkan raja-raja Melayu dengan
seorang tokoh sejarah tertentu. Tujuannya ialah memasukkan dalam mitos
lokal asli (yang kadang sudah diolah ulang oleh agama Hindu) suatu unsur
yang sesuai dengan kepercayaan baru, setelah terjadi islamisasi. Ini jelas
sekali dalam kedua teks yang berasal dari Bima dan Banjar. Dalam hal
itu, kesusastraan dan bahkan mitologi Melayu telah menggunakan secara
orisinal unsur-unsur yang dipinjam dari sumber asing, sesuai dengan
suatu prinsip yang dapat kita amati dalam banyak teks: seorang tokoh
dapat menggantikan tokoh lain kalau ciri-ciri khasnya memungkinkan ia
memegang peran yang bersangkutan dalam sistem kosmologi lokal.
DAFTAR PUSTAKA

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient


BKI Bijdragen van het Koninklijk Instituut
EFEO École française d’Extrême-Orient
ENI Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië
JMBRAS Journal of the Malayan/Malaysian Branch of the Royal
Asiatic Society
JSBRAS Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society
KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
KPG KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
MBRAS Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
OUP Oxford University Press
RIMA RIMA (Review of Indonesian and Malayan Affairs)
TBG Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap

Abdul Rahman Haji Ismail


1998 (Penyuntingan teks Sulalat al-Salatin), dalam Cheah Boon
Kheng (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur:
MBRAS.
Abdullah, Massir Q.
1982 Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima. Mataram:
Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat,
stensilan.
Abdullah bin Abdulkadir
1841 (ed.) Sejarah Melayu. Singapore: Thomas MacMicking.
1884 Sadjarah Malajoe of de Maleische Kronieken naar de uitgave van
Abdoellah bin Abdel-kader Moensji, H.C. Klinkert ed. Leiden:
Brill.
1953 Hikayat Abdullah, R.A. Datoek Besar & R. Roolvink eds. Jakarta:
Djambatan.
374 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

2005 “Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan”, dalam A. Sweeney (ed.),


Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, jilid 1, Jakarta:
KPG – EFEO.
Abidin, Andi Zainal
1971 “Notes on the lontara’ as historical sources”, Indonesia 12: 159-
172.
Ahmat b. Adam
1995 The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian
Consciousness (1855–1913). Ithaca: SEAP, Cornell University.
Alam, M.T.S. Lembang
1917-1920 Berbagai-bagai kepertjajan orang Meajoe ja’ni kepertjajaan
kepada orang haloes (hantoe, setan, jin dan lain-lain
sebangsanya). Batavia, 2 jil.
Alexandre de Paris
1994 Le Roman d’Alexandre, terjemahan L. Harf-Lancner. Paris (coll.
Livre de Poche).
Alian, T. Ibrahim dkk. (eds.)
1987 Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: Kumpulan
Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ali bin Ahmad
1979 Hikayat Inderaputera diusahakan oleh Enchè Ali bin Ahmad.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (cet. ke-8).
Alves, Jorge M. dos Santos
1991 Três Sultanatos Malaios do Estreito de Malaca nos séculos
XV e XVI (Samudera-Pasai, Aceh e Malaca/Johor). Estudo
Comparativo de História Social e Política , Disertasi, tidak terbit,
Lisboa.
2001 “Naniyar Kuniyappan: Un Tamoul, syahbandar de Samudera-Pasai
au début du XVIe siècle”, Archipel 62: 127-142.
Amin, Ahmad
1971 Sedjarah Bima: Sedjarah Pemerintahan dan Serba-serbi
Kebudayaan Bima. Bima, stensilan.
Andaya, Leonard Y.
1981 The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi
(Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Anderson, Benedict R.O’G.
2009 “Bahasa tanpa nama”, dalam H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009,
hlm. 379-393.
Anderson, John
1826 Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Edinburgh –
London. (Reprint Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971.)
Daftar Pustaka 375

Archives
1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham.
Phanrang.
Arrien
1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P.
Savinel. Paris: Minuit.
al-Attas, Syed Muhammad Naguib
1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur:
MBRAS.
1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay
Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University
of Malaya Press.
Azra, Azyumardi
1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”,
dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.),
Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean,
1750s-1960s, Leiden: Brill.
Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)
2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll.
Bouquins).
Bausani, A.
1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali
dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192.
(Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the
classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979).
Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti
1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara, jilid 3-A & 3-B).
Berg, C.C.
1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall
(ed.) 1961, hlm. 13-23.
1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965, hlm. 87-118.
Berg, L.C.W. van den
1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia:
Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut
dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).
Boisselier
1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie.
Paris: EFEO.
Bouman, M.A.
1925 “Toeharlanti: De Bimaneesche sultans verhefing”, Koloniaal
Tijdschrift, XIV (6): 710-717.
376 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Braam Morris, D.F. van


1891 “Nota van toelichting behoorende bij het contract gesloten met het
landschap Bima op den 20sten Oct. 1886”, TBG 34: 176-233.
Braginsky, V. I.
2004 The Heritage of Traditional Malay Literature: A historical survey
of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV.
Akan terbit Dalam artikel “Sulalat al-Salatin sebagai Mitos Politik”,
merujuk pada Braginsky 2004.
Braginsky, V.I. & M.A. Boldyreva
1977 “Opisaniye malaysky rukopisey v sobranii leningradskogo
otdeleniya Instituta vostokovedeniya an SSSR”, dalam B.
Parnickel (ed.), Malaisko-indoneziiskie issledovaniya: Sbornik
statei pamyati akademika A.A. Gubera, Moskwa:Nauka, hlm. 131-
167. (Terjemahan Prancis, “Les manuscrits malais de Leningrad”,
Archipel 40, 1990: 153-178.)
Brakel, L.F.
1975 The Hikayat Muhammad Hanaiyyah: A medieval Muslim-Malay
romance. The Hague: Martinus Nijhoff.
1979 “On the origins of the Malay hikayat”, RIMA 13 (2): 2-21.
1980 “Dichtung und Wahrheit: Some notes on the development of the
study of Indonesian historiography”, Archipel 20: 35-44.
Broeze, F.J.A.
1979 “The merchant leet of Java (1820­1850)”, Archipel 18: 251-269.
Brown, C. C.
1952 “Sejarah Melayu or Malay Annals. A translation of Rafles M.
18 (in the Library of R.A.S. London)”, JMBRAS 25 (2-3): 1-276.
(Edisi baru, Sejarah Melayu or Malay Annals: An Annotated
Translation, Kuala Lumpur: OUP, 1970; cetak ulang, 1976).
Bukhari al-Jauhari
1999 Taju’ssalatin, Mahkota Raja-Raja (ed. Asdi S. Dipodjojo &
Endang Daruni Asdi). Yogyakarta: Lukman Offset.
Casparis, J.G. de
1975 Indonesian Palaeography, a History of Writing in Indonesia from
the Beginnings to c. A.D. 1500. Leiden – Köln: Brill (Handbuch
der Orientalistik, jil. 3.4.1).
1980 “Amat Majnun tombstone at Pengkalan Kempas”, JMBRAS, 53
(1): 1-22.
1998 “Some notes on ancient Bima”, Archipel 56 (L’horizon
nousantarien: mélanges en hommage à Denys Lombard), hlm.
465-468.
Cense, A.A.
1951 “Enige aantekeningen over Makassaars-Boeginese
geschiedschrijving”, BKI 107 (1): 42-60.
Daftar Pustaka 377

Chambert-Loir, Henri
1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO
LXIV: 293-302.
1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291.
1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.
Paris: EFEO.
1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-
280.
1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.
1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth
century”, RIMA 19: 44-72.
1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung:
Angkasa – EFEO.
1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de
Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia:
“Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi
Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam
Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)
1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École
française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm.
73-85.
1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et
Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé
à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre
d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-
106.
1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105.
1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail
Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.
1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”,
dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation
and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A.
Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.
1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”,
dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la
littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70.
1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.
1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.
1995 “Catatan hubungan sejarah dan sastera antara Campa dengan
378 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Dunia Melayu”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma


(eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, hlm. 217-234.
1999 “Sair Java-Bank di rampok: Sastra Melayu atau Melayu-
Tionghoa?”, dalam H. Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary
(eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys
Lombard, Jakarta: EFEO – Puslit Arkenas – Yayasan Obor
Indonesia, hlm. 335-364. (Edisi ke-2, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2011.)
2000 “Mythes et archives: l’historiographie indonésienne vue de Bima”,
BEFEO 87 (1): 215-245.
2004 Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: KPG – EFEO.
2005 “The Sulalat al-Salatin as a political myth”, Indonesia 79: 131-
160.
2006a “Alexandre le Grand en Insulinde”, dalam H. Chambert-Loir
& Bruno Dagens (eds.), Anamorphoses: Hommage à Jacques
Dumarçay, Paris: Les Indes Savantes, hlm. 369-393.
2006b “Malay colophons”, Indonesia and the Malay World, vol. 34, No.
100, hlm. 363-381.
2007 “Hikayat Iskandar Zulkarnain di Dunia Melayu”, dalam Ahmad
Kamal Abdullah dkk. (eds.), Prosiding Seminar Kesusasteraan
Bandingan Antarabangsa, 7-9 Jun 2007, Kuala Lumpur, hlm. 94-
108.
2009a Sapirin bin Usman, Hikayat Nakhoda Asik; Muhammad Bakir,
Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak. Jakarta: Masup Jakarta –
EFEO.
2009b Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
KPG – EFEO.
2009c “Aksara, huruf, lambang: Jenis-jenis tulisan dalam sejarah”, dalam
H. Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 309-338.
2009d “Transkripsi sebagai terjemahan”, dalam H. Chambert-Loir (ed.),
Sadur, 2009, hlm. 791-807.
2010 “Kolofon Melayu”, dalam Oman Fathurahman (ed.), Filologi
dan Islam Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama RI, Puslitbang
Lektur Keagamaan, hlm. 151-180.
2011a “Kolofon Melayu”, Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu,
3, 1, hlm. 99-119.
2011b “Sebuah sumber Prancis tentang masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda: Cerita perjalanan Augustin de Beaulieu”, dalam
Aprinus Salam dkk. (eds.), Jejak Sastra & Budaya: Prosiding
Seminar Internasional Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Siti
Chamamah Soeratno, Yogyakarta: Elmatera, hlm. 175-208.
2011c “Kisah petualangan sebuah huruf Arab di Indonesia”, dalam
Titik Pudjiastuti & Tommy Christomy (eds.), Teks, Naskah, dan
Daftar Pustaka 379

Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram,


Depok: Yayasan Pernaskahan Nusantara, hlm. 1-16.
2011d “Syair Sultan Fansuri”, dalam H. Chambert-Loir, Sultan,
Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama, Jakarta: KPG.
2011e “Tempayan Kalimantan menurut sebuah teks Melayu tahun 1839”,
dalam H. Chambert-Loir, Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks
Indonesia Lama, Jakarta: KPG.
2013 “Daendels dan al-Ghazali: wawasan politik Abdullah al-Misri”,
dalam Jelani Harun & Ben Murtagh (eds.), Penghargaan kepada
Professor Emeritus V.I. Braginsky: Mengharungi Laut Sastera
Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 50-87.
Chambert-Loir, Henri & Siti Maryam Salahuddin
1999 Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO –
Yayasan Obor Indonesia. (Cetakan kedua, 2012).
Chambert-Loir, Henri, Suryadi, Oman Fatrurahman & H. Siti Maryam R.
Salahuddin
2009 Iman dan Diplomasi: Sultan Bima Abdul Hamid Muhammad Syah,
Jakarta: KPG – EFEO.
Cheah Boon Kheng
1998 “The rise and fall of the great Melakan empire: Moral judgement
in Tun Bambang’s Sejarah Melayu”, JMBRAS 71 (2): 104-121.
1998a (ed.) Sejarah Melayu: The Malay Annals. Kuala Lumpur: MBRAS
(Reprint No 17).
Cohen, Marcel
1958 La grande invention de l’écriture et son évolution. Paris:
Klincksieck. Dicetak ulang dalam Marcel Cohen & Jérôme
Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris: Laffont, 2005
(coll. Bouquins).
Cohen, Marcel dkk. (eds.)
1963 Ecriture et psychologie des peuples. Paris: Armand Colin. Dicetak
ulang dalam Marcel Cohen et Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art
de l’écriture, Paris: Laffont, 2005 (coll. Bouquins).
Cohen, Matthew Isaac
2004 “Traditional and Popular Painting in Modern Java”, Archipel 69:
5-38.
Collet, Octave
1910 L’île de Java sous la domination française. Bruxelles: Falk Fils.
Collins, James T.
1998 Malay, World Language: A Short History (edisi kedua). Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Terjemahan Indonesia,
Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: KITLV-
Jakarta – Yayasan Obor Indonesia, 2005).
2008 Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: KPG – EFEO.
380 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Cowan, C.D. & O.W. Wolters (eds.)


1976 Southeast Asian History and Historiography: Essays Presented to
D.G.E. Hall. Ithaca: Cornell University Press.
Crawfurd, John
1820 History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the
Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce
of its Inhabitants. Edinburgh: Constable, 3 jilid.
Dain, Alphonse
1964 Les Manuscrits. Paris: Les Belles Lettres.
Dakers, C. H.
1939 “The Malay coins of Malacca”, JMBRAS 17 (1): 1-12, 2 hlm.
gambar.
Damais, L.-C.
1962-1963 “Bibliographie indonésienne. Compte rendu de Bahasa dan
Budaja”, BEFEO L (2), 1962, hlm. 417-518, jil. LI, no. 2, 1963,
hlm. 583-594, BEFEO LII (1), 1964, hlm. 204-240.
Déroche, François dkk.
2000 Manuel de codicologie des manuscrits en caractères arabes. Paris:
Bibliothèque Nationale de France.
2005 Islamic Codicology: An introduction to the study of manuscripts in
Arabic script. London: Al-Furqân Islamic Heritage Foundation.
Dipodjojo, Asdi
1981 Taju’ssalatin, Fasal 10-12. Yogyakarta: Lukman.
Douikar­Aerts, Faustina
2003 Alexander Magnus Arabicus: Zeven eeuwen Arabische
Alexandertraditie, van Pseudo-Callisthenes tot Sûrï. Disertasi,
Universitas Leiden, 2003.
Drewes, G.W.J.
1954 Een Javaanse Primbon uit de zestiende eeuw. Brill: Leiden.
1969 The Admonitions of Seh Bari. The Hague: Martinus Nijhoff.
1977 Directions for Travellers on the Mystic Path: Zakariyya al-Ansari’s
Kitab Fath al-Rahman and its Indonesian adaptations; with an
appendix on Palembang manuscripts and authors. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1978 An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague: Martinus
Nijhoff.
1995 “Short notice on the story of Haji Mangsur of Banten”, Archipel
50: 119-122.
Drewes, G.W.J. & L.F. Brakel
1986 The Poems of Hamzah Fansuri. Dordrecht: Foris.
Eco, Umberto
2001 Experiences in Translation. Toronto: Univ. of Toronto Press.
Daftar Pustaka 381

Effendy, Tenas
1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie,
Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie
1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 8 jilid.
Endicott, K.M.
1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP.
Eringa, F.S.
1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris.
Eymeret, J.
1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168.
Favre, Abbé P.
1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale.
Firdousi, Abou’lkasim
1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl.
Paris, jil. V.
Fox, J.J.
1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O.
Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-
Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.
Francis, E.
1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van
1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.
Gaillard, Marina
2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher
Tarsusi. Paris: De Boccard.
Gallop, Annabel Teh
1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London:
British Library.
2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from
Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African
Studies, University of London.
2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the
3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22
August 2003.
Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps
1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas:
Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
Gonda, J.
1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian
Culture.
Graaf, H.J. de
1949 Geschiedenis van Indonesië. ’s-Gravenhage – Bandung: Van
Hoeve.
382 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Guillot, Claude
2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et
intellectuels”, Archipel 68: 159-192.
Guillot, Claude & Ludvik Kalus
2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24.
(Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C.
Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:
KPG, 2008, hlm. 71-93.
Hadi, Amirul
2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh.
Leiden: Brill.
Hall, D.G.E. (ed.)
1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and
African Studies, University of London.
Hamer, C. den
1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563.
Hanitsch, R.
1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2
hlm. gambar.
1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44:
213-16, 1 hlm. gambar.
Hashim Musa
2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997).
Hellwig, Tineke
1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66.
Hikayat Hang Tuah
1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di
Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.
Hikayat Inderaputera
1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur:
Dewa Bahasa dan Pustaka.
Hitchcock, Michael
1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia
Circle 33: 30-35.
Ho, Engseng
2002 “Before parochialization: Diasporic Arabs cast in creole waters”,
dalam H. de Jonge & N. Kaptein (eds.), Transcending Borders:
Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia, Leiden: KITLV,
hlm. 11-35.
Daftar Pustaka 383

Hoed, Benny Hoedoro


2006 Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoëvell, W.R. van
1845 “Eenige mededeelingen omtrent het eiland Bali van Abdullah bin
Mohamad el-Mazrie”, Tijdschrift voor Neêrlandsch-Indië, VII-2:
139-201.
Hollander, J.J. de
1873 “Berichten van eenen Malaier over Siam en de Siameezen”, BKI
20: 229-230.
Hooykaas, C.
1937 Over Maleise literatuur. Leiden: Brill. (Edisi kedua, 1947)
1951 Perintis Sastra. Groningen – Jakarta: J.B. Wolters.
Ikram, Achadiati dkk.
2001 Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta:
Masyarakat Pernaskahan Nusantara – Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar, Teuku
1981 “Some manuscripts formerly belonging to Jakarta lending
libraries”, dalam N. Phillips & K. Anwar (eds.), Papers on
Indonesian Languages and Literatures, London: Indonesian
Etymological Project – Paris: Association Archipel, hlm. 145-152.
1995 Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Universiti
Brunei Darussalam.
1999 Catalogue of Malay, Minangkabau and South Sumatran
Manuscripts in the Netherlands. Leiden: Documentatiebureau
Islam-Christendom, 2 jil.
Jamilah Haji Ahmad (ed.)
1981 Hikayat Sempurna Jaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Jedamski, Doris
2009 “Terjemahan sastra dari bahasa-bahasa Eropa ke dalam bahasa
Melayu sampai tahun 1942”, dalam H. Chambert-Loir (ed.),
Sadur, 2009, hlm. 171-203.
Jelani Harun
2003 Pemikiran Adab Ketatanegaraan Kesultanan Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
2004 “Bustan al-Salatin, ‘The Garden of Kings’: A universal history
and adab work from seventeenth-century Aceh”, Indonesia and the
Malay World, vol. 32, No. 92: 21-52.
Jones, Russell
1975 “The date of School of Oriental and African Studies naskah dari
Sjair Perang Mengkasar”, Bulletin of the School of Oriental and
African Studies 38 (2): 418-420.
1979 “Ten Conversion Myths from Indonesia”, dalam N. Levtzion (ed.),
Conversion to Islam, London.
384 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

1985 Hikayat Sultan Ibrahim ibn Adham. An edition of an anonymous


Malay text with translation and notes. Berkeley: University of
California.
1987 Hikayat Raja Pasai. Petaling Jaya: Fajar Bakti.
2007 Loan-Words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV.
Jong Boers, Bernice de
1995 “Mount Tambora in 1815: A volcanic eruption in Indonesia and its
aftermath”, Indonesia 60: 36-60.
Jordaan, R. E. & P. E. de Josselin de Jong,
1985 “Sickness as metaphor in Indonesian political myths”, BKI 141 (2):
253-274.
Josselin de Jong, J.P.B. de
1935 De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld. Leiden: J.
Ginsberg.
1977 “The Malay Archipelago as a ield of ethnological study”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Structural Anthropology in the
Netherlands, The Hague: Martinus Nijhoff, hlm. 166-182.
Josselin de Jong, P. E de
1961. “Who’s Who in the Malay Annals”, JMBRAS, 34 (2): 1-89.
1964 “The Character of the Malay Annals”, dalam Malayan and
Indonesian Studies, J. Bastin & R. Roolvink (eds.), Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 235-241.
1985 “Le roi en son royaume: mythes politiques de l’Indonésie
occidentale”, ASEMI XVI (1-4): 195-210.
1986 “Textual anthropology and history: The sick king”, dalam C.D.
Grijns & S.O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual
Interpretation, Dordrecht: Foris.
Junus, Umar
1984 Sejarah Melayu: Menemukan Diri Kembali. Petaling Jaya: Fajar
Bakti.
Jusuf, Jumsari (ed.)
1978 Antologi Syair Simbolik dalam Sastra Indonesia Lama. Jakarta:
Departement Pendidikan dan Kebudayaan.
Juynboll, H.H.
1899 Catalogus van de Maleische en Sundaneesche handschriften der
Leidsche Universiteits-bibliotheek. Leiden: Brill.
Kartodirdjo, Sartono
1973 Protest Movements in Rural Java. Singapore: OUP.
Kassim Ahmad (ed.)
1964 Hikayat Hang Tuah [transkripsi sebuah naskah milik Dewan
Bahasa dan Pustaka]. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
(Edisi ketiga, 1971).
2004 Hikayat Abdullah. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan.
Daftar Pustaka 385

Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat


1992 Katalog Manuskrip Melayu di Jerman Barat, oleh Asma Ahmat.
Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Katalog Manuskrip Melayu di Perancis
1991 Katalog Manuskrip Melayu di Perancis, oleh Siti Mariani Omar.
Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Kathirithamby-Wells, J. & Muhammad Yusoff Hashim
1985 The Syair Mukomuko: some historical aspects of a nineteenth
century Sumatran chronicle. Kuala Lumpur: MBRAS.
Kern, H.
1948 “Uit de verslagen van Dr W. Kern, taalambtenaar op Borneo,
1938-1941”, TBG 82 (3-4): 538-47.
Kern, R.A.
1947 “Proeve van Boegineesche geschiedschrijving”, BKI 104: 1-31.
Khalid Hussain
1967 Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Koster, G. L.
1986 “The soothing works of the seducer and their dubious fruits:
interpreting the Syair Buah-Buahan”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 73-99.
1997 Roaming through Seductive Gardens: Readings in Malay
narrative. Leiden: KITLV.
Koster, G.L. & H.M.J. Maier
1982 “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan”, Indonesia
Circle 29: 3-17.
1986 “The Kerajaan at war: on the genre heroic-historical syair”, dalam
Tauik Abdullah (ed.), Papers of the Fourth Indonesian-Dutch
History Conference, Yogyakarta 24-29 July 1983. Part Two:
Literature and History. Yogyakarta, Gadjah Mada, hlm. 29-72.
Kratz, Ulrich
1977 “Running a library in Palembang in 1886 A.D.”, Indonesia Circle
14: 3-12.
1980 “A brief description of the ‘Malay’ manuscripts of the ‘Overbeck
Collection’ at the Museum Pusat, Jakarta”, JMBRAS 53 (1): 90-
106.
1989 “Hikayat Raja Pasai: A second manuscript”, JMBRAS 62 (1): 1-10.
2002 “Jawi spelling and orthography: A brief review”, Indonesia and the
Malay World, vol. 30, no. 86: 21-26.
Kratz, E.U. & Adrietty Amir
2002 Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Lacarrière, Jacques
2002 La Légende d’Alexandre. Paris: Gallimard (coll. Folio).
386 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Lafont, P.-B.
1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris:
EFEO.
Lapian, A.B.
1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon
1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211­231.
Leeuwen, Pieter Johannes van
1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink.
Lemaire, Jacques
1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université
Catholique.
Leyden, John.
1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr
John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles.
London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001).
Liaw Yock Fang
1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka
Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).
1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Ligtvoet, A.
1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met
vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.
Linden, A. van der
1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel.
Lombard, Denys
1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris:
EFEO.
1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du
XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.
1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS.
Lombard-Salmon, Claudine
1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-
1939)”, Archipel 3: 169-195.
Manguin, Pierre-Yves
1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287.
Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia
1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu
Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Marihandono, Djoko
2005 Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan: Herman Willem Daendels
di Jawa, 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte.
Depok: Program Pascasarjana, FIPB, Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka 387

Marrison, G.E.
1955 “Persian inluences in Malay life”, JMBRAS 28 (1): 52-69.
1985 “The Chams and their literature”, JMBRAS 58 (2): 45-70.
Marsden, William
1811 History of Sumatra. London: Cox and Baylis (3rd revised edition).
(Edisi pertama, 1783. Cetakan ulang, OUP, 1966, 1975.)
Matheson Hooker, Virginia (ed.)
1991 Tuhfat al-Nais: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Matheson, Virginia & Barbara Watson Andaya
1982 The Precious Gift (Tuhfat al-Nais). Kuala Lumpur: OUP.
Matthes, B.F.
1856 “Verslag van een verblijf in de binnenlanden van celebes, van
24 April tot 24 October 1856”, dalam H. van den Brink, Dr.
Benjamin Frederick Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch
Bijbelgenootschap, hlm. 178-188.
1875 Korte verslag aangaande alle mij in Eropa bekende
Makassaarsche en Boegineesche handschrijften. Amsterdam:
Nederlandsche Bijbelgenootschap.
McRoberts, R. W.
1984 “An Examination of the Fall of Malacca in 1511”, JMBRAS 57 (1):
26-39.
Mohamed Salleh Perang
1980 Reputations Live On: an early Malay autobiography (A. Sweeney
ed.). Berkeley, Cal.: University of California Press.
Mohd. Ghazali bin Haji Abbas & Che Selamah bt Che Musthafa

1988 Katalog Induk Koleksi Sastra Tionghoa Peranakan. Bangi:


Universiti Kebangsaan Malaysia (mimeogr.).
Molen, W. van der
2007 “The Syair of Minye Tujuh”, BKI 163 (2-3): 356-375. (Terjemahan
Indonesia: “Syair Minye Tujuh”, dalam Claude Guillot & Ludvik
Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta: KPG – EFEO,
hlm. 37-63.)
Moussay, G.
1975 Akayet Deva Mano, traduit du Cam et annoté. Paris, EHESS,
disertasi, tidak terbit, 411 hlm. ketikan.
1976 “Pram Dit Pram Lak (La geste de Rama chez les Cam)”, dalam
Actes du XXIXe Congrès International des Orientalistes, Asie
du Sud-Est Continentale, Paris: Asiathèque, jil. II, hlm. 131-135.
(Terjemahan Indonesia, “Pram Dit Pram Lak: Cerita Rama dalam
Sastra Cam”, dalam Kerajaan Campa, Jakarta: Balai Pustaka,
1981, hlm. 187-195.
1995 “Akayet Inra Patra: Versi Campa daripada hikayat Melayu
388 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Indraputra”, dalam Ismail Hussein, P.B. Lafont & Po Dharma


(eds.), Dunia Melayu dan Dunia Indocina, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, hlm. 244-259.
Moy, Timothy J.
1975 “The ‘Sejarah Melayu’ tradition of power and political structure:
An assessment of relevant sections of the ‘Tuhfat al­Nais’”,
JMBRAS 48 (2).
Muhammad Haji Salleh
1997 Sulalat al-Salatin, ya’ni Perteturun Segala Raja-Raja Karangan
Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan – Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Muhammad Yusoff Hashim
1980 Syair Sultan Maulana: suatu penelitian kritis tentang hasil
pensejarahan Melayu tradisional. Kuala Lumpur: Universiti
Malaya.
1990 Kesultanan Melayu Melaka: Kajian beberapa aspek tentang
Melaka pada abad ke-15 dan abad ke-16 dalam sejarah Malaysia.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mu’jizah
2008 Surat Melayu Beriluminasi Raja Nusantara dan Pemerintah
Hindia Belanda Abad ke-18 – 19. Jakarta: KPG – EFEO – KITLV
– Pusat Bahasa.
Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati
1980 “Rona keislaman dalam Hikayat Indraputra”, Archipel 20: 133-
142.
1983 Hikayat Indraputra: A Malay romance. Dordrecht: Foris.
1994 Kodikologi Melayu di Indonesia. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati & H. Siti Maryam Salahuddin
1990-1992 Katalogus Naskah Melayu Bima. Bima: Yayasan Museum
Kebudayaan Samparaja, 2 jilid.
Mus, Paul
1928 “Études Indiennes et Indochinoises. I. L’inscription à Valmiki de
Prakaçadharma (Tra-Kiêu)”, BEFEO XXVIII: 147-152.
Mutiara, Putri Minerva
1993 Sejarah Melayu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Proyek
Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Nara Vija
1976 Akayet Inra Patra. Paris, disertasi, tidak terbit.
Netscher, E.
1850 “Verzameling van overleveringen van het rijk van Minangkabau
uit oorspronkelijk Maleisch vertaald”, Indisch Archief, 2de jrg,
deel III: 33-68.
Daftar Pustaka 389

Newbold, T. J.
1839 Political and Statistical Account of the British Settlements in the
Straits of Malacca. London: J. Murray. (Cetak ulang, OUP, 1971).
Noorduyn, J.
1955 Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo: Buginese
historiograie. Den Haag: H.L. Smits.
1956 “De islamisering van Makassar”, BKI 112 (3): 247-266.
1961 “Some aspects of Macasar-Buginese historiography”, dalam Hall
1961, hlm. 29-36.
1965 “Origins of South Celebes historical writing”, dalam Soedjatmoko
dkk. 1965, hlm. 137-155.
1987a Bima en Sumbawa: Bijdragen tot de geschiedenis van de
sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligvoet en G.P. Rouffaer.
Dordrecht: Foris.
1987b “Makassar and the islamization of Bima”, BKI 143 (2-3): 312-342.
1991 “The manuscripts of the Makasarese chronicles of Goa and Talloq:
An evaluation”, BKI 147 (4): 454-484.
Nooteboom, C.
1950 “Enkele feiten uit de geschiedenis van Manggarai (West Flores)”,
dalam Bingkisan Budi: Een bundel opstellen aan Dr Philippus
Samuel van Ronkel... op zijn tachtigste verjaardag, Leyde:
Sijthoff, hlm. 207-214.
Oetomo, Dede
1987 “Serat Ang Dok: a Confucian treatise in Javanese”, Archipel 34:
181-197.
Ophuijsen, C.A. van
1901 Kitab Logat Melajoe. Woordenlijst voor de spelling der Maleische
taal. Batavia.
Overbeck, Hans
1934 “Malay animal and lower shaers”, JMBRAS 12 (2): 108-148.
Pelras, Christian
1975a “Guide Archipel II: la Province de Célèbes-Sud”, Archipel 10: 11-
50.
1975b “Introduction à la littérature bugis”, Archipel 10: 239-267.
1985 “Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South
Sulawesi”, Archipel 29: 107-135.
Pigeaud, Th.
1927 “Alexander, Sakender en Senapati”, Djawa 7: 321-361.
1967 Literature of Java. Catalogue raisonné of Javanese manuscripts in
The Netherlands, vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900
A.D. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Pires, Tomé
1944 The Suma Oriental [1515], ed. Armando Cortesaõ. London:
Hakluyt Society, 2 jilid.
390 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Plutarque
1993 La vie d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh Robert
Flacelière & Émile Chambry. Paris: Autrement. (Edisi pertama,
Paris: Les Belles Lettres, 1975).
Po Dharma
1981 Complément au catalogue des manuscrits cam des bibliothèques
françaises. Paris: EFEO.
1982 “Note sur la littérature cam”, Shiroku 15: 43-67.
Po Dharma, G. Moussay & Abdul Karim
1997 Akayet Inra Patra. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia
– EFEO.
1998 Akayet Dowa Mano. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara
Malaysia – EFEO.
Proudfoot, Ian
1984 “Variation in a Malay Folk-Tale Tradition”, RIMA 18: 87-102.
1993 Early Malay Printed Books. A Provisional Account of Materials
Published in the Singapore-Malaysian Area up to 1920, Noting
Holdings in Major Public Collections. Kuala Lumpur: Academy of
Malay Studies and the Library University of Malaya.
2002 “From recital to sight-reading: the silencing of texts in Malaysia”,
Indonesia and the Malay World, vol. 30, no. 87: 117-144.
2003 “An expedition into the politics of Malay philology”, JMBRAS 76
(1): 1-53.
2006 Old Muslim calendars of Southeast Asia. Leiden – Boston: Brill
(Handbook of Oriental Studies / Handbuch der Orientalistik).
Pseudo-Callistènes
2004 Le Roman d’Alexandre: La vie et les hauts faits d’Alexandre de
Macédoine, diterjemahkan dan dikomentari oleh Gilles Bonnouré
dan Blandine Serret. Paris: Les Belles Lettres. (edisi pertama,
1992).
Radicchi, Anna
2009 “Tradisi tata bahasa Sanskerta di Jawa dan Bali”, dalam H.
Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 343-357.
Rahmah Bujang
1975 Sejarah Perkembangan Drama Bangsawan di Tanah Melayu dan
Singapura. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Tesis
MA, Universiti Malaya, 1972).
Ras, J. J.
1968 Hikayat Bandjar: A study in Malay historiography. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1973 “The Panji Romance and W.H. Rassers’ analysis of its theme”, BKI
129 (4): 412-457.
1991 “In memoriam Professor C.C. Berg, 10-2-1900 tot 25-6-1990”,
BKI 147 (1): 1-16.
Daftar Pustaka 391

Rassers, W.H.
1921 De Pandji-Roman. Antwerpen.
Reid, Anthony
1988-1993 Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven: Yale
University Press, 2 jil.
1999 Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Chiang Mai:
Silkworm Books.
Reid, Anthony & David Marr (eds.)
1979 Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Heinemann
Educational Books.
Renou, Louis & Jean Filliozat
1947 L’Inde classique. Paris: Payot, 2 jilid.
Rentse, Anker
1933 “Notes on Malay beliefs”, JMBRAS 11 (2): 245-251.
Ricklefs, M.C.
1976 “Javanese sources in the writing of modern Javanese history”,
dalam Cowan & Wolters (eds.) 1976, p. 332-344.
1981/2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Inggris: Palgrave
Macmillan. (Edisi ke-3, 2001; edisi ke-4, 2008).
1987 “Indonesian history and literature”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987,
hlm. 199-210.
1998 The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History,
Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu:
Asian Studies Association of Australia in association with Allen &
Unwin and University of Hawaii Press.
2006 Mystic Synthesis in Java. A History of Islamization from the
Fourteenth to Early Nineteenth Centuries. Norwalk (Conn.):
EastBridge.
Ricklefs, M.C. & P. Voorhoeve
1977 Indonesian Manuscripts in Great Britain. Oxford: OUP. (Edisi
baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2014.)
Robson, Stuart & Singgih Wibisono
2002 Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.
Rodinson, Maxime
2005 “Le monde arabe et l‘extension de l‘écriture arabe”, dalam Marcel
Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris:
Laffont, 2005 (coll. Bouquins), hlm. 713-724. (Edisi pertama
dalam Marcel Cohen dkk. (eds.), L’écriture et la psychologie des
peuples, Paris: Armand Colin, 1963.)
Ronkel, Ph. S. van
1908 “Catalogus der Maleische handschriften van het KITLV”, BKI 60:
181-248.
1909 Catalogus der Maleische handschriften in het Museum van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia
– The Hague.
392 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

1918 “Daendels in de Maleische Literatuur”, Koloniaal Tijdschrift, VII:


858-875.
1921 Supplement-catalogus der Maleische en Minangkabausche
handschriften in de Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Leiden:
Brill.
Roolvink, R.
1967 “The Variant Versions of the Malay Annals”, BKI 123 (3): 301-
324. (Dicetak ulang dalam Brown, Sejarah Melayu or Malay
Annals).
1998 “Sejarah Melayu: Masalah versi-versi yang lain”, dalam Cheah
Boon Kheng (ed.), Sejarah Melayu: The Malay Annals, Kuala
Lumpur: MBRAS, hlm. 21-35.
Rosenthal, Franz
1968 A History of Muslim Historiography. Leiden: Brill. (2nd revised
ed.; 1st ed. 1952.)
Rosidi, Ajip
2000 (ed.) Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya, Termasuk
Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
2010 Bus, Bis, Bas. Jakarta: Pusataka Jaya.
Rubinstein, Raechelle
1996 “Colophons as a tool for mapping the literary history of Bali: Ida
Pedanda Made Sidemen – poet, author and scribe”, Archipel 52:
173-191.
Salmon, Claudine
1980 “La notion de “sino-malais” est-elle pertinente d’un point de vue
linguistique?”, Archipel 20: 177-186.
1981 Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional
Annotated Bibliography. Paris: Maison des Sciences de l’Homme.
1991 “The Han family of East Java. Entrepreneurship and politics (18th-
19th centuries)”, Archipel 41: 53-87.
Samad Ahmad, A.
1979 Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka. (Cetakan baru, 2000).
Samuel, Jérôme
2008 Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik
Peristilahan. Jakarta: KPG.
Sastrahadiprawira, R. Memed
1978 Pangeran Kornel. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.
Savarimuthu, Arockiamary A.P.
1992 Ayat Majmuk dalam Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Daftar Pustaka 393

Shellabear, W. G. (ed.)
1896 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Jawi.
1898 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Latin. (Cetak ulang 1909, 1924; edisi baru, Singapore: Malayan
Publishing House, 1961; cetak ulang, Singapore: OUP, 1967;
Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1975, 1977, 1979, 1982).
1901 “The evolution of Malay spelling”, JSBRAS 36: 75-135.
Siegel, James
1979 Shadow and Sound: The Historical thought of a Sumatran people.
Chicago – London: The University of Chicago Press.
Singh, Saran
1986 The Encyclopaedia of the Coins of Malaysia, Singapore and
Brunei 1400-1967. Kuala Lumpur: Malaysia Numismatic Society.
(Edisi kedua, 1996).
Situmorang, T. D. & A. Teeuw (eds.)
1952 Sedjarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir
Munsji). Jakarta: Djambatan.
Skeat, W.W.
1900 Malay Magic. London: Macmillan.
Skinner, C.
1963 Sja’ir Perang Mengkasar; The rhymed chronicle of the Macassar
War by Entji’ Amin. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1978 “Transitional Malay literature: Part 1. Ahmad Rijaluddin and
Munshi Abdullah”, BKI 134 (4): 466-487.
1982 Ahmad Rijaluddin’s Hikayat Perintah Negeri Benggala. The
Hague: Martinus Nijhoff.
1985 The Battle for Junk Ceylon: the Syair Maulana; text, translation
and notes. Dordrecht: Foris.
Snouck Hurgronje, C.
1888 “Nog iets over de Salasila van Koetei”, BKI 37: 109-112.
Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965 An Introduction to Indonesian Historiography. Ithaca: Cornell
University Press.
Soeratno, Siti Chamamah
1991 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai
Pustaka.
1992 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Sutingan Teks. Jakarta: Balai
Pustaka.
Southgate, Minoo S.
1977 “Portrait of Alexander in Persian Alexander romances of the
Islamic Era”, Journal of the American Oriental Society, 97 (3):
278-284.
394 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Stutterheim, W.F.
1956 “An ancient Javanese Bhima cultus”, dalam W.F. Stutterheim,
Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff,
hlm. 105-143.
Sudewa Alex
1995 Dari Kartasura ke Surakarta. Jilid Pertama. Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Sweeney, Amin
1967 “The Connection between the Hikayat Raja2 Pasai and the Sejarah
Melayu”, JMBRAS 40 (2): 94-105.
1980 (ed.), Reputations Live On: an early Malay autobiography.
Berkeley, Cal.: University of California Press.
1992 “Malay Sui poetics and European norms”, Journal of the
American Oriental Society, vol. 112, no. 1, Jan.-March 1992: 88-
102.
Talib, Yusof A.
1974 “Les Hadramis et le monde malais”, Archipel 7: 41-68.
Teeuw, A.
1959 “The History of the Malay Language: A Preliminary Survey”, BKI
115 (2): 138-156.
1961 A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.
‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1964 “Hikayat Raja-Raja Pasai and Sejarah Melayu”, dalam J. Bastin &
R. Roolvink (eds.), Malayan and Indonesian Studies, Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 222-234.
1976 “Some remarks on the study of so-called historical texts in
Indonesian languages”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Proiles
of Malay Culture: Historiography, Religion and Politics,
Yogyakarta: Depdikbud, hlm. 3-26.
1984 “Indonesia as a ‘Field of Literary Study’. A case study:
genealogical narrative texts as an Indonesian literary genre”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Unity in Diversity: Indonesia as a
Field of Anthropological Study, Dordrecht: Foris, hlm. 38-59.
Teeuw, A. & R. Dumas, Muhammad Haji Salleh, R. Tol, M.J. van Yperen
2004 A Merry Senhor in the Malay World: Four Texts of the Syair
Sinyor Kosta. Leiden: KITLV.
Teeuw, A. & D.K. Wyatt
1970 Hikayat Patani: The Story of Patani. The Hague: Martinus Nijhoff,
2 jil.
al­Tha’âlibȋ, Aboû Mansoûr ‘Abd. Al­Malik ibn Mohammad ibn Ismâ’îl
1900 Histoire des rois des Perses: Texte arabe publié et traduit par H.
Zotenberg. Paris: Imprimerie Nationale.
Thomaz, Luis Filipe F. R.
1986 “La prise de Malacca par les Portugais vue par les Malais, d’après
le manuscrit Rafles 32 de la Royal Asiatic Society”, dalam C.
Daftar Pustaka 395

D. Grijns & S. O. Robson (eds.), Cultural Contact and Textual


Interpretation, Dordrecht: Foris, hlm. 158-177.
Toda, Dami L.
1999 Manggarai Mencari Pencerahan Historiograi. Ende: Nusa Indah.
Toer, Pramoedya Ananta
1963 “Realisme-sosialis dalam Sastra Indonesia”, prasaran di FSUI,
Djakarta, (Jakarta, stensil, 1980).
1982 Tempo Doeloe. Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta
Mitra.
1985 Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Tol, Roger
1990 Een haan in oorlog: Toloqna Arung Labuaja, een twintigste-eeuws
Buginees heldendicht. Dordrecht: Foris.
1996 “A separate empire: writings of South Sulawesi”, dalam Ann
Kumar & John McGlynn (eds.), Illuminations: the writing
traditions of Indonesia, Jakarta: The Lontar Foundation – New
York: Weatherhill, 1996, hlm. 213-230.
2001 “Master scribes: Husin bin Ismail, Abdullah bin Abdulkadir
Munsyi, their handwriting and the Hikayat Abdullah”, Archipel 61:
115-138.
Vikør, Lars S.
1988 Perfecting Spelling. Spelling discussions and reforms in
Indonesia and Malaysia, 1900-1972. Dordrecht: Foris.
(Terjemahan Indonesia: Penyempurnaan Ejaan: Pembahasan
dan Pembaharuan Ejaan di Indonesia dan Malaysia, 1900-1972,
Jakarta: Intermasa, 1990.)
Vlekke, B.
1965 Nusantara: A History of Indonesia. The Hague: W. van Hoeve (cet.
ke-5).
Voorhoeve, P.
1964 “A Malay scriptorium”, dalam J. Bastin & R. Roolvink (eds.),
Malayan and Indonesian Studies. Essays presented to Sir Richard
Winstedt. Oxford: Clarendon Press, hlm. 256-66.
1973 “Les manuscrits malais de la Bibliothèque Nationale de Paris”,
Archipel 6: 42-80.
Wake, C. H.
1983 “Melaka in the ifteenth century: Malay historical traditions and
the politics of Islamization,” dalam Sandhu, Kernial Sing & Paul
Wheatley (eds.), Melaka: The transformation of a Malay capital c.
1400-1980, Kuala Lumpur: OUP.
Watson, C.W.
1971 “Some preliminary remarks on the antecedents of modern
Indonesian literature”, BKI 127 (4): 417-433.
Wieringa, E.P.
1998 Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library
of Leiden University and other Collections in the Netherlands, jil.
I. Leiden: Leiden University Library.
Wilkinson, R.J.
1906 The Peninsular Malays, vol. 1. Malay Beliefs. London: Luzac.
Winstedt, Richard O.
1920 “The date of the Hikayat Indraputra”, JSBRAS 82: 145-146.
1922a “Hikayat Indraputra”, JSBRAS 85: 46-53.
1922b “Hikayat Putra Jaya Pati”, JSBRAS 85: 54-57.
1925 Shaman, Saiva and Sui: A Study of the Evolution of Malay Magic,
London: Constable.
1938a “The date, authorship, contents and some new manuscripts of the
Malay romance of Alexander the Great”, JMBRAS 16 (2): 1-23.
1938b “The date, author and identity of the original draft of the Malay
Annals”, JMBRAS 16 (2): 30-34.
1938c “The Malay Annals or Sejarah Melayu. The Earliest Recension
from MS. 18 of the Rafles Collection”, JMBRAS 16 (3): 1-225.
1940 “Corrigenda”, JMBRAS 18 (2): 154-155.
1958 A History of Classical Malay Literature. OUP. (Edisi baru, 1969,
1989).
Wolters, O. W.
1970 The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca: Cornell University
Press.
Worsley, Peter J.
1972 Babad Buleleng: A Balinese dynastic genealogy. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Zaini-Lajoubert, Monique
1987 Abdullah bin Muhammad al-Misri. Bandung: Angkasa-EFEO.
2008 Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri. Jakarta:
Komunitas Bambu-EFEO.
Zollinger, H.
1850 Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa en naar eenige
plaatsen op Celebes, Saleier en Floris gedurende de maanden Mei
tot December 1847. Batavia: Lange.

Anda mungkin juga menyukai