“Malay lit erat ure in t he 19t h cent ury: t he Fadli connect ion”, in J.J. Ras and S.O. Robson (eds.), …
Henri Chambert -loir
“Myt hes et archives: l’hist oriographie indonésienne vue de Bima”, BEFEO 87-1, 2000: 215-245. Indonesi…
Henri Chambert -loir
“Sebuah hikayat Melayu dipent askan”, in 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelit ian Arkeologi Nasional (Pu…
Henri Chambert -loir
“Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu”
oleh
Henri Chambert-Loir
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Prancis dengan judul “Alexandre
le Grand en Insulinde”, dalam H. Chambert-Loir & B. Dagens (eds.), Anamor-
phoses: Hommage à Jacques Dumarçay, Paris: Les Indes Savantes, tahun
2006. Oleh sebab itulah artikel mulai dengan rujukan pada Prof. Jacques
Dumarçay.
1 Terima kasih kepada Pierre-Yves Manguin atas izin mereproduksi foto tersebut.
2 Sebetulnya, Siti Chamamah Soeratno (1991, 1992) telah menyebut sebagian
besar teks dari Indonesia yang akan saya kutip di bawah ini. Cukup berarti jika
legenda Iskandar Zulkarnain versi Melayu sampai kini baru dibahas dalam
6 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
dua disertasi (van Leeuwen, 1937; Soeratno, 1991, 1992), yang jauh dari
lengkap, dan jika legenda itu hanya mengisi beberapa halaman buku sejarah
kesusastraan Melayu: empat halaman dalam buku Winstedt (1970), enam
dalam Iskandar (1995), tiga dalam Braginsky (2004).
3 Tergantung cara menafsirkan ungkapannya: “sudahlah di-Jawikan fakir”.
Winstedt (1938a: 3-4) adalah pakar pertama yang mengungkapkan kutipan
Nuruddin yang bersangkutan.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 7
sekitar tujuh tahun di Aceh pada awal abad ke-17. Di situlah pada tahun
1938, sebagai kadi Sultan Iskandar Thani (mem. 1636-1641) dan atas
perintah Sultan tersebut, ia mulai menulis sebuah karya ensiklopedis ber-
judul Bustan-al-Salatin (“Taman para Sultan”). Dalam karya itu, ia dua
kali menyatakan bahwa ia telah menulis karya tentang Iskandar, yakni
pada tahun 1630-an. Karya yang hilang ini tidak mungkin sumber Hikayat
Iskandar Zulkarnain (anonim) yang kita kenal, oleh karena Hikayat itu,
seperti akan kita lihat, pada waktu itu sudah ada sejak dua abad. Namun,
tidak mustahil karya Nuruddin merupakan dasar legenda Iskandar yang
ditemukan dalam teks-teks lain, seperti misalnya versi dari kesultanan
Bima ataupun puisi berbahasa Jawa abad ke-18 (lihat di bawah).
Teks HIZ pernah menjadi pokok bahasan sebuah disertasi Belanda,
yang memuat edisi kritis banyak adegan hikayatnya (van Leeuwen
1937). Selanjutnya, versi pendek dan panjang telah diterbitkan masing-
masing di Malaysia (Khalid 1967) dan di Indonesia (Soeratno 1992).
Sayang sekali, kedua-duanya ditranskripsi dari satu naskah tunggal dan
tidak memperlihatkan varian-varian teksnya; lagipula diselenggarakan
dengan begitu ceroboh sehingga sukar dimanfaatkan. Namun demikian,
kedua edisi itu membolehkan kita mengenal isi HIZ dan mengapresiasi
kekayaannya dari berbagai segi.
Teks HIZ jelas terjemahan atau saduran dari sebuah teks asli dari
Timur Tengah, yang sayangnya tidak disebut di dalamnya. Teks yang
disunting oleh Soeratno mengutip dua kali al-Suri dan sekali Abdullah
bin Muqaffa’ sebagai sumbernya. Van Leeuwen (1937: 13-14), yang
mengandalkan bantuan seorang rekan untuk mengetahui isi versi Arab dan
Persia, menyatakan bahwa teks Melayu diterjemahkan dari teks Arab yang
sangat mirip versi al-Suri4 yang terkandung dalam sebuah naskah di Berlin.
Namun Winstedt (1938a: 2) segera mencatat bahwa dalam teks Melayu
terlihat keinginan untuk menyesuaikan versi-versi Arab yang bersumber
pada versi Pseudo-Callisthene (Iskandar menaklukkan wilayah-wilayah di
barat sebelum mengalahkan Raja Persia) dengan versi Persia yang dibuat
oleh Firdusi (Iskandar mengalahkan saudaranya sendiri lebih dahulu),
dan bahwa usaha penyesuaian itu semestinya dilakukan di India Mongol,
dengan siratan bahwa sumber dari versi Melayu berbahasa Persia, bukan
Arab. Kesimpulan itu tampaknya semakin masuk akal karena karya-karya
sastra pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah karya
HIZ yang diedit oleh Soeratno bukan terjemahan dari naskah Berlin yang
diacu oleh van Leeuwen ataupun dari naskah Istanbul yang diacu oleh
DouikarAerts, tetapi boleh jadi sebuah versi Melayu sebelumnya pernah
diterjemahkan dari sebuah bentuk karya al-Suri yang lain dari kedua versi
yang terwakili oleh kedua naskah Arab tersebut. Kolofon naskah-naskah
Melayu yang sampai kepada kita tidak banyak membantu karena tak satu
pun lebih tua dari abad ke-18. Namun, menarik dicatat bahwa naskah yang
tertua, bertanggal 1713, pernah dimiliki oleh seorang Arab dari Indonesia
bernama Umar bin Sakhr Ba’abuj.7
Mengenai zaman dan tempat teks Melayu dilahirkan (Pasai pada abad
ke-15), hipotesis Brakel dapat diterima, pertama karena komunitas Persia
di Pasai rupanya pernah menyebabkan atau mendorong penerjemahan
beberapa karya Persia (a.l. Hikayat Muhammad Hanaiyah dan Hikayat
Amir Hamzah)8, kedua karena Hikayat Iskandar Zulkarnain pasti dikenal
di Melaka sedini abad ke-15. Hal ini tercatat dalam sebuah teks Melayu
lain, Sulalat al-Salatin, yakni sejarah Kesultanan Melaka, yang memuat
suatu adegan yang dipinjam dari HIZ, dan yang mengutip judul HIZ dalam
bagian lain. Jika masa penulisan Sulalat al-Salatin masih diperdebatkan,9
tampaknya rujukan pada Hikayat di dalamnya tidak diragukan lagi berasal
dari abad ke-15.
Epos Islam
Apa pun sumber langsungnya, versi Melayu legenda Iskandar, yang relatif
baru jika dibandingkan dengan puluhan versi lain yang telah dikenal di
seluruh dunia, merupakan hasil suatu evolusi panjang di alam Timur
Tengah.
Bagi para pujangga Persia, Iskandar mula-mula merupakan musuh
yang telah menghancurkan kitab-kitab suci dan kuil-kuil serta membantai
para pendeta. Pandangan tersebut, yang tersimpul dalam Khvadây-
nâmag berbahasa Pehlevi dari abad ke-7, “hidup terus dalam cerita rakyat
Zoroaster selama berabad-abad, sedang para sejarawan dan pengarang
7 Cf. van Leeuwen (1937: 28). Sayang naskah ini yang tersimpan di Leiden (Or.
1970) sudah rusak dan tak terbaca.
8 C. Guillot (2004) untuk pertama kali mengumpulkan data mengenai kontak
antara dunia Persia dan Melayu; lihat terutama pada hlm. 172-180 penjelasan
tentang komunitas Persia di Sumatra dan Melaka.
9 Perdebatan itu diringkaskan dalam Chambert-Loir (2005).
10 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Arrian (1984: 17), orang pertama di antara mereka yang telah menyusun
sebuah biograi berdasarkan teks asli dari Aristobulus dan Ptolemaus,
tidak membicarakan kelahiran Iskandar berhubung kisahnya dimulai
dengan kematian Philippos, namun ia memperkenalkan Iskandar sebagai
“anak Philippos”. Arrian menulis pada abad ke-2 Masehi. Satu generasi
sebelumnya, Ploutarkhos (1993: 9-10) sudah menyuarakan suatu keraguan:
seraya mengutip kisah yang menceritakan bahwa Olympias ikut melakukan
ritus kemabukan16, ia mengatakan bahwa Philippos, karena terguncang,
“jarang sekali berbagi ranjang dengan istrinya” dan menerima berita bahwa
Olympias dihamili oleh Dewa Ammon. Tatkala Iskandar berangkat untuk
ekspedisi pertamanya, tambah Ploutarkhos, Olympias “di bawah empat
mata membukakan rahasia kelahirannya”. Berarti ada rahasia. Pseudo-
Callisthene pada abad ke-3 mengunakan misteri itu dengan lihay, dengan
menjadikan Iskandar putra Firaun terakhir, Nectanebo, dan dengan demikian
menjadi pewaris sah takhta Mesir. Muslihat itulah yang dipakai juga oleh
para pengarang Islam Timur Tengah, dengan menjadikan Iskandar putra
Raja Persia Darab (yakni Darius I atau Artaxerxès IV menurut dua tafsiran
berbeda). Dengan demikian ia menjadi pewaris sah takhta Persia dan
hanya merebut haknya yang sah bila mengalahan saudaranya Dara (Darius
III). Menurut versi sejarah yang disampaikan oleh Arrian, Quintus Curtius
dan lain-lain, Iskandar membalas dendam terhadap serangan-serangan
Persia melawan Macedonia dan Yunani. Menurut versi legenda Pseudo-
Callisthene, ia pun membalas dendam Mesir. Menurut versi Persia Islam,
Iskandar membebaskan Persia dari seorang tiran. Tentu ada maknanya
kalau banyak versi Timur-Tengah, dan selanjutnya versi Melayu, berawal
di Persia, dengan kelahiran Darab, dan bukan di Macedonia.
Rekaan kedua ialah Iskandar masuk Islam. Dalam versi Melayu, pada
usia lima tahun, Iskandar belajar agama Islam dari Aristoteles. Kemudian,
Iblis tampak di depannya dan memalingkannya dari agama Islam, dengan
menggelitik kesombongannya dengan mengatakan bahwa tidak ada raja
seagung dia. Sia-sia saja Aristoteles berusaha menyadarkannya. Pada
waktu itulah Allah mengutuskan Nabi Khidir kepada Iskandar untuk
memberitahukannya bahwa ia akan menjadi raja belahan dunia Barat dan
Timur. Dengan berjalan di atas laut, Khidir menghampiri Iskandar dan
mendengar ucapannya yang murtad. Ia menasehatinya tetapi dipenjarakan,
16 Yang dimaksud adala ritus berupa sejenis pesta tanpa aturan sebagai
persembahan pada Dewa Dionysos.
12 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
17 Itulah justru yang diceritakan mitos tentang Pasai dan Malaka masuk Islam,
yang kedua Sultannya mendapat bimbingan langsung dari Nabi Muhammad
ketika masuk Islam.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 13
18 Teks tersebut juga mengandung dua rujukan lain pada surat yang sama:
yang pertama merupakan alusi tersirat, ketika Nabi Khidir, dalam episode
mengislamkan Iskandar, menyebut ketidakpercayaan Nabi Musa; yang kedua
adalah kutipan langsung (“Seperti irman Allah Taala dalam surat alKahi”
(Soeratno 1992: 548) dalam adegan pembangunan tembok untuk membendung
Yajuj wa Majuj. Maka jelas betapa penulis teks yang merupakan sumber versi
Melayu menyadari asal-usul tokoh Iskandar dalam al-Qur‘an.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 15
Penjelajahan Dunia
Hikayat Iskandar Zulkarnain terdiri atas suatu rangkaian perjalanan yang
sering diulang-ulang, sejumlah peperangan, serta cobaan yang diatasi
dengan cara sedikit banyak gaib. Oleh sebab itu tidak ada struktur naratif
melainkan suatu rangkaian adegan yang kelihatan sebagai kemajuan
alami, yaitu berdasarkan geograi. Geograi bersifat faktual bagi para ahli
sejarah Alexander dan masih koheren dalam Roman Pseudo-Callisthene.
Kiranya masih realistis dalam terjemahan Roman itu dalam bahasa Arab
dan Parsi dan masih dapat ditelusuri dalam karya penulis seperti Firdusi
dan Tha’alibi.24
Namun dalam legenda, geograi berangsurangsur menjadi ka
bur, begitu para pengarang memperkenalkan wilayah-wilayah baru.
Roman Pseudo-Callisthene menambah Roma dan Inggris (Lacarrière
2000: 84-89). Roman Alexander de Paris (1994), pada akhir abad ke-12,
memasukkan Prancis, Paris, Normandia, Skotlandia dan Irlandia. Tha’alibi
menambahkan antara lain Tibet: Alexander “sangat menyukai negara itu dan
mengamati dengan mata kepala sendiri kekhasan yang pernah diceritakan
orang kepadanya, yaitu, ketika tiba di situ, orang berada dalam keadaan
penuh tawa dan gembira tanpa sebab jelas, yang berlangsung sampai
saat berangkat” (al-Tha’alibi 1900: 434-435). HIZ ditambahi wilayah-
wilayah yang dikenal di dunia Islam, baik wilayah muslim (Andalusia,
Hedjaz, Kairouan), maupun kair (Abyssinia, Srilangka, Tiongkok) yang
ditempatkan dengan cara seenaknya (Andalusia terletak tak jauh dari
Dardanella). Peta geograi menjadi kacau, apalagi karena namanama
tempat sering merupakan teka-teki.
Meskipun demikian, HIZ memperkenalkan gagasan penjelajahan
dunia, sesuatu yang sama sekali baru di alam Melayu. Pada masa itulah
justru, di bawah pengaruh “stimulus Islam”, terjadi perubahan dalam cara
berpikir dengan munculnya konsep baru tentang ruang. “Individu yang
sedikit demi sedikit belajar mengubah hubungannya dengan individu
lain, dengan menganggapnya sebagai ‘sesama’nya, juga mengubah
24 Abû Mansûr ‘Abd. Al-Malik ibn Muhammad ibn Ismâ’îl al- Tha’âlibî, 962-
1038.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 19
hubungannya dengan dunia. Ruang, yang hingga saat itu dipandang sebagai
suatu mandala, menurut bentuk sederhana sebuah skema geometrik yang
mendasari kosmologi, menjadi lebih rumit dan berbeda-beda sedemikian
rupa sehingga menjadi ruang geograis beraneka ragam, yang secara tersirat
merupakan wilayah masyarakat modern masa kini.”25 Iskandar menjelajahi
wilayah yang dihuni dari satu ujung ke ujung lain. Di Jabarsa, matahari
terbenam merupakan suatu ujung dunia; kehadiran malaikat menunjukkan
batas dengan dunia gaib. Tidak ada gejala sebanding di Jabarka (meskipun
Iskandar melihat matahari terbit), tetapi di ujung dunia yang lain, ia
membendung rakyat Yajuj wa Majuj, yaitu melepaskan sebagian dunia
untuk orang barbar. Mengenali tempat-tempat yang sebenarnya dan
membedakan trayek perjalanan otentik (Mesir, Transoxiana/Mawarannahr)
dari yang bersifat legenda (Abysinia, Andalusia), berarti mengidentiikasi
unit-unit naratif yang memungkinkan perbandingan berbagai versi cerita
dan penelitian transmisinya, tetapi ini bertentangan dengan geograi mitos
yang khas pada hikayatnya.
Geograi tersebut hanya realistis sejauh menyangkut alam (laut,
sungai, gurun pasir, dataran rendah, gunung) dan sama sekali tidak
mengacuhkan kebudayaan urban, padahal perjalanan itu mengantar
Iskandar dari suatu kerajaan ke kerajaan lain, artinya dari suatu pusat
kebudayaan ke pusat kebudayaan yang lain. Kota-kota, yang tidak lain
dari kota-kota di antara yang paling tersohor dalam sejarah: Alexandria,
Istanbul, Jerusalem, Babylonia, Persepolis, Samarkand antara lain,
secara sistematis digambarkan sebagai stereotip tanpa hubungan dengan
kenyataan. Gambarannya jauh dari deskripsi India oleh Arrian atau
Babylonia oleh Quintus Curtius26. Jadi HIZ bukan gambaran dunia yang
sebenarnya, melainkan serangkaian klise sastra dan anekdot yang ditimba
dari tradisi Islam. Dengan demikian secara paradoksal, hikayat itu untuk
pertama kali memperkenalkan peta dunia kepada alam Melayu dan
sekaligus menyelimuti peta itu dengan tirai mitos dan legenda.
Di samping itu, di dalam teks HIZ terlihat kekacauan ketika, sebagai
akibat kontaminasi antarversi, Iskandar diceritakan mengunjungi dua
kali tempat yang sama atau melaksanakan dua kali kegiatan yang sama.
Contohnya, ia dua kali mengunjungi Mesjid Sulaiman dan dua kali pula
tambang zamrud, ia dua kali menetralisasi robot penunggang kuda yang
25 Lombard (1990: 176); lihat juga hlm. 200-203. D. Lombard memberikan
ringkasan singkat dari Hikayat Melayu serta peta perjalanan Iskandar, yang
memperlihatkan betapa kacau trayeknya.
26 Lih. Arrian (1984: 253-268) dan (Battistini & Charvet 2004: 105-107).
20 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
dibuat oleh Yafet, dua kali menyaksikan matahari terbenam, dua kali
berkunjung kepada Ratu Ghidaqah (alias Zandaqah), dua kali menghadap
Darinus sebagai utusan, dua kali menaklukkan Raja India yang sama,
dua kali membuka taman ajaib yang ditelantarkan. Masih ada adegan
lain yang diulang dengan sedikit banyak bervariasi. Pengulangan serupa
juga terdapat dalam versi lain, misalnya dalam karya Tarsusi. Mungkin
Winstedt benar ketika berpendapat bahwa pengulangan jenis itu adalah
akibat usaha untuk mencocokkan kedua versi Pseudo-Callisthene dan
Firdusi. Hal itu mungkin terjadi ketika seorang penyalin teks yang kedua
kebetulan mengetahui teks pertama dan, karena tidak mengenali sejumlah
adegan, misalnya perang melawan Darius, menyadurnya untuk kedua
kalinya. Salah satu dampak utama dari versi baru itu, yang jauh lebih rumit
daripada cerita aslinya, adalah membenamkan Persia dalam lautan sebuah
dunia Islam yang berbagai bentuk, dan mengacau-balaukan peta dunia.
Kekacauan perjalanan Iskandar, penggandaan nama-nama tempat
dan bangsa yang jadi rancu dalam proses penyalinan, dan pemotongan teks
dalam berbagai adegan yang kelihatan terpisah-pisah, telah berakibat teks
HIZ dipandang sebagai sejumlah kisah, yang bagaimanapun juga terlalu
panjang untuk dibacakan sekali jadi.27 Aspek terulang-ulang dan terputus-
putus sesuai dengan pembacaan yang terpotong-potong. Kisah penaklukan
Jabarsa dan Ifriqiah, kisah kemenangan atas negeri Alwah, atau juga kisah
petualangan di Kasymir, menyerupai roman-roman kecil (masing-masing
sepanjang kira-kira 25 halaman) lengkap dengan kisah cinta, penghianatan,
pertempuran, sihir, sumpah, pindah agama, hadiah, ciptaan teknologi,
dan tipu muslihat, yang sepenuhnya mandiri. Tidak perlu, bahkan tidak
berguna, mengetahui adegan terdahulu untuk mengerti dan menikmati
setiap kisah itu. Apakah Iskandar sudah atau belum menaklukkan Darius,
apakah ia menuju timur atau barat, apakah ia telah mengalahkan satu
atau seratus musuh, sebenarnya sama saja. Satu-satunya hal yang penting
diketahui ialah bahwa ia telah menerima tugas suci untuk mengislamkan
seluruh muka bumi, dan ini diketahui umum hanya dengan mendengar
judul hikayatnya. Dalam hal itu, HIZ dapat dibandingkan dengan kumpulan
hikayat Melayu yang lain, seperti Hikayat Bakhtiar atau Hikayat Bayan
Budiman misalnya, yang disadur dari bahasa Parsi.
Kesimpulan ini dibenarkan oleh sebuah kejadian aneh dalam
transmisi naskah yang kita kenal. Edisi Khalid Hussain (1967) praktis
tak terbaca karena tak kurang dari lima belas bagian teks, yang bahkan
27 Teks yang diedit oleh Soeratno (1992) setebal 652 halaman cetak yang amat
padat.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 21
dalam semua hikayat. Corak-corak yang khas lisan itu juga terdapat dalam
versi lain, seperti Roman Alexandre de Paris (Prancis), versi Suri (Arab)
atau versi Tarsusi (Parsi). Namun, dalam hal versi Melayu, aspek lisan
itu menyangkut teks modelnya dalam bahasa Arab atau Persia, dan tidak
menjelaskan tempat HIZ dalam masyarakat Melayu yang menghasilkan
dan mengasimilasinya. Sumber lain menyoroti aspek ini.
Sulalat al-Salatin, atau boleh dikatakan “Syah Nameh” Melayu,
menceritakan asal-usul raja-raja Melayu, kehidupan Kesultanan Melayu
sepanjang abad ke-15, lalu nasib para sultan setelah mereka diusir dari
kotanya oleh orang Portugis. Dikisahkan bahwa pada malam sebelum
serangan Portugis tahun 1511, para bangsawan yang berkumpul di
istana memutuskan untuk mendengarkan kisah peperangan Muhammad
Hanaiyah, putra Kalifah Ali, seperti diceritakan dalam Hikayat Muhammad
Hanaiyah berbahasa Melayu. Sang Sultan, yang tampaknya satu-satunya
pemilik naskah tersebut, sebenarnya ingin memberikan mereka Hikayat
Amir Hamzah, yaitu cerita Amir Hamzah, paman Nabi, sebagai gantinya,
tetapi mereka mendesak dan berhasil mendapatkan hikayat yang mereka
inginkan. Dijelaskan bahwa pembacaan itu bertujuan memanfaatkan
teladan keberanian sang tokoh.29 Contoh yang terdapat dalam sebuah
teks historis Melayu tentang cara membaca dua epos yang sangat mirip
Hikayat Iskandar Zulkarnain dari segi genre dan asal-usulnya itu, juga
dapat diterapkan pada HIZ sendiri. Perlu dibayangkan bagaimana HIZ
dibaca, hanya sebagian-sebagian, oleh seorang juru hikayat profesional
di depan suatu sidang hadirin. Kita mempunyai kesaksian tentang ini,
walaupun relatif baru, berasal dari awal abad ke-19, tetapi yang kiranya
menggambarkan kehidupan epos ini sejak masa diciptakan. Seorang
pelawat Inggris menceritakan ia pernah melihat, pada suatu pagi tahun
1823, seorang pegawai istana Deli, di Sumatera Utara, membacakan
sebuah cerita tentang kejayaan Iskandar di depan khalayak 200 orang.
Pembacaan itu bertujuan untuk membangkitkan semangat dan keberanian
pasukan raja.30
Jadi sangat jelas bahwa, apa pun peranan komunitas Persia pada
awal mulanya dalam penulisan teks HIZ, teks itu kemudian diserap dalam
kesusastraan Melayu dan menjadi sangat masyhur di kalangan orang
Melayu. Dalam hikayat itu mereka menemukan kisah-kisah tradisi Islam
yang telah dikenal baik, misalnya mengenai Nabi Sulaiman, mengenai
29 Muhammad (1997: 212-213). Adegan ini terdapat dalam semua versi HIZ.
Lihat terjemahannya dalam Brown (1970: 162-163).
30 John Anderson (1826: 42).
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 23
Gunung Qaf yang mengitari bumi, atau juga mengenai taman Kasymir.
Mereka juga menemukan bab-bab ajaib yang mempesona. Eksotisme
mempunyai tempat luas dalam hikayat itu: eksotisme binatang (burung unta,
jerapah, lalat dan semut raksasa), eksotisme mahluk ajaib yang menghuni
pelosok dunia (perempuan berkaki empat dan berbuah dada anjing, raksasa
bermata satu dan berkaki satu (Kuklopes), manusia bermoncong anjing,
mahluk bertelinga panjang, yang satu digunakan sebagai karpet, yang satu
lagi sebagai selimut), dan eksotisme tempat-tempat ajaib (tambang permata
yang tak pernah habis, wilayah kegelapan, taman surgawi). Tambahan pula,
mereka menemukan deskripsi seribu benda ajaib yang patut diimpikan:
benda-benda kesaktian hasil kerja ilmuwan besar (Aristoteles dan Balminas
Hakim), produk teknologi untuk keperluan perang atau kesenangan
(cermin untuk membakar kota, burung mekanik yang menyemburkan
minyak wangi kepada hadirin, gajah tembaga yang dapat berjalan), atau
juga pekerjaan raksasa yang dilaksanakan oleh Iskandar (jembatan, kota,
benteng, kanal irigasi).
Popularitas legenda Iskandar di alam Melayu terbukti dalam
kenyataan bahwa teks Melayu (tetapi tidak diketahui yang mana) pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis, bahasa suatu suku di Sulawesi
Selatan yang terkenal karena budayanya yang canggih serta peranannya
dalam ekonomi dan politik sejarah Nusantara. Ketika memerikan suatu
koleksi naskah Bugis yang dikumpulkan pada pertengahan abad ke-19,
B.F. Matthes (1875) menyebut sejumlah adaptasi teks sastra Melayu yang
terinspirasi oleh Islam, di antaranya legenda Amir Hamzah dan dongeng-
dongeng pujian tentang Nabi Muhammad. Di antara teks tersebut terdapat
saduran Bugis dari HIZ, yang digambarkan Matthes (hlm. 28) sebagai satu
buku berukuran folio setebal 419 halaman yang ditulis dengan indah, tetapi
sayangnya tidak diuraikan isinya.
Kemasyhuran HIZ sedemikian besar, sehingga tokoh Iskandar
diserapkan dalam beberapa dinasti lokal, setelah diseleksi sebagai lambang
tertinggi kedaulatan raja, dan karena itu dipilih sebagai sumber keabsahan
sultan-sultan di Nusantara. Teks pertama dalam hal ini, dan mungkin sekali
teks yang membentuk tradisi tersebut, lagi-lagi Sulalat al-Salatin: setelah
pengantar pendek, teksnya langsung dimulai dengan cerita Iskandar. Tokoh
ini “berjalan hendak melihat matahari terbit” dan sampai ke perbatasan
India. Lalu (“seperti yang dalam Hikayat Iskandar itu”, demikian dijelaskan)
ia memerangi Raja Kida Hindi, yang memerintah atas separuh negeri itu.
Ia mengalahkannya dan membuatnya masuk “agama Nabi Ibrahim”, lalu
menikahi putrinya, Syahr al-Bariyah, dan tinggal di situ selama sepuluh
24 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Perbedaan kisah di atas dengan HIZ yang kita kenal sekarang jelas banyak.
Silsilah panjang keturunan Iskandar menghubungkan secara artiisial dua
dinasti yang berbeda: yang pertama dari India Selatan (raja-raja Chola
dan Vijayanagar), yang lain dari dinasti Sasanid Persia, yang terakhir ini
kiranya diambil dari tradisi yang berasal dari Firdusi (Guillot 2004: 183).
Walaupun demikian, HIZ disebut secara eksplisit dalam Sulalat al-Salatin,
yang meminjam kisah penaklukan India, perkawinan dengan putri Raja
India, dan eksplorasi dasar laut. Lebih penting lagi, Sulalat al-Salatin
menunjuk Iskandar sebagai pendiri dinasti Palembang, yang beberapa bab
lebih jauh, akan melahirkan Kerajaan Melaka. Sumber-sumber kekuasaan
lain juga disebut (India, Persia, Gunung Seguntang), tetapi kelebihan
Iskandar dinyatakan setiap kali namanya, dan hanya namanya, diulang-
ulang sepanjang teks itu, bahkan setelah pengislaman.33 Asal-usul itu
bahkan demikian penting, sehingga Raja Majapahit pun dikatakan dua
kali turun dari Iskandar, melalui garis ibu dan ayah. Pemilihan Iskandar
33 Lihat, misalnya: “Maka masyhurlah pada segala negeri dari bawah angin datang
ke atas angin bahawa negeri Melaka terlalu besar, lagi dengan makmurnya;
dan rajanya daripada bangsa Raja Iskandar Zul Karnain” (Muhammad 1997:
65; terjemahan dalam Brown 1970: 49).
26 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
asal-usul Iskandar sendiri, yaitu, sesuai suatu versi Persia, turun dari
manusia pertama, Nabi Adam. Iskandar adalah keturunan langsung Nabi
Adam melalui delapan belas generasi yang disebut satu per satu (Idem:
32). Dengan demikian, Nuruddin memberikan kepada sultan-sultan
Melayu posisi yang sejajar dengan raja-raja Arab dan Persia dalam sejarah
dunia. Menurut skemanya, seorang putra Nabi Adam, Shith, adalah leluhur
raja-raja Arab, sedangkan putra yang lain, Kiyaumurti, melalui raja-raja
Persia dan Iskandar Zulkarnain, adalah leluhur dua garis keturunan: garis
keturunan raja-raja Persia dan garis keturunan raja-raja India dan Melayu
(Idem: 45-46). Asal-usul Iskandar sebagaimana dikisahkan dalam Bustan
al-Salatin ini tidak diambil alih oleh teks-teks Melayu selanjutnya, tetapi
tempat istimewa yang diberikan Nuruddin al-Raniri kepada Iskandar
mungkin pernah memainkan peranan dalam penyebaran mitos Iskandar di
seluruh Nusantara.
Tokoh Iskandar ditemukan lagi dalam peran yang betul-betul baru
dalam sejumlah besar teks. Dua versi yang menarik, yang berhubungan
dengan negeri Pagarruyung (suatu akta resmi yang diberikan oleh sultan
kepada seorang ulama) dan Johor (suatu legenda lokal) dilaporkan oleh W.
Marsden. Isinya menyatakan bahwa ketiga putra yang diperoleh Iskandar
dari istri bawah-lautnya menjadi raja-raja Roma, Cina, dan Minangkabau
atau Johor.34 Versi Minangkabau, dalam bentuk lebih terperinci, tercantum
dalam versi resmi sejarah lokal tradisional, yakni Tambo Minangkabau.
Di situ, Iskandar adalah putra ke-99 dari Adam dan Hawa. Setelah turun
ke bumi dan menjadi raja seantero bumi, maka dari seorang peri kayangan
ia memperoleh tiga orang putra, yang menjadi asal dinasti Istanbul, Cina
dan Sumatra (Netscher 1850). Rupanya dari Minangkabau-lah tema
Iskandar menyebar ke bagian Islam Tanah Batak, tetapi dalam bentuk yang
disederhanakan: menurut sebuah dongeng setempat, Iskandar menjelajahi
seluruh Pulau Sumatra dan memperanakkan seorang putra di setiap
kerajaan (Soeratno 1991: 142).
Patut disebut pula, di negeri Kelantan, Semenanjung Melayu,
sebuah fragmen legenda dalam bentuk lakon wayang yang menunjukkan
pengaruh Hikayat Iskandar Zulkarnain, yaitu perkawinan dengan seorang
putri Cina, peran Nabi Sulaiman, jurang di laut yang dikunjungi Iskandar
dalam sebuah kotak kaca, Gunung Qaf. Rincinya menurut Rentse (1933:
246), sebuah lakon wayang dari Kelantan menceritakan bahwa Raja
Iskandar memutuskan untuk memperistri putri Kaisar Cina. Garuda
34 Marsden (1811: 338, 341). “Roma” adalah interpretasi rancu dari “Rum” yang
sebenarnya menunjukkan Istanbul.
28 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
memberi tahu Raja Sulaiman, yang karena merasa “jijik akan gagasan ini”
memerintahkan Garuda untuk menghambatnya. Garuda menghembuskan
angin ribut yang menenggelamkan kapal, lalu menangkap Iskandar dengan
cakarnya, membawanya ke “pusat laut” dan menguncinya dalam peti yang
dilemparkan ke dalam kisaran puting beliung agar tenggelam. Tetapi arus
gelombang membawa peti itu ke pantai Cina, Iskandar menikahi sang
putri, dan Nabi Sulaiman, karena murka, menghukum Garuda untuk tetap
tinggal di puncak Gunung Qaf.
35 Semua keterangan berikut dipinjam dari disertasi yang gemilang karya J.J. Ras
(1968). Dalam teks ini, Khidir bernama Khadir.
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 29
dongeng dan legenda Jawa sering menukarkan nama-nama tokoh, asal saja
mereka masuk dalam kategori kosmologi yang sama. Jadi Iskandar mungkin
mengambil tempat tokoh lain dalam dongeng yang satu ini, berhubung
beberapa cirinya sesuai untuk peran itu. Jelas penting diperhatikan bahwa
seorang pengarang Jawa zaman itu berhasrat menyerapkan Iskandar ke
dalam mitologi lokal, tetapi di lain pihak perlu diakui bahwa Serat Baron
Sakender tidak meminjam apa-apa dari petualangan Iskandar, sehingga
sulit rasanya menerima pendapat Pigeaud (1927: 322) bahwa teks tersebut
“termasuk kelompok dongeng Raja Alexander yang ditemukan dalam
kesusastraan banyak bangsa Eropa dan Asia.”
Pada abad ke-19, penyair tersohor dari istana Surakarta, R.Ng.
Ranggawarsita, memasukkan suatu adegan yang pasti diambil dari riwa-
yat Iskandar dalam sebuah karya kosmogoni mistik Jawa berjudul Serat
Paramayoga. Menurut ringkasan yang dibuat Pigeaud (1927: 327), se-
orang Sayid Anwar, cucu dari Adam dan dari Iblis sekaligus, mencari
air keabadian di wilayah kegelapan yang terletak di Kutub Utara. Ia
menemukan sumbernya dan Tuhan mengizinkannya minum. Selanjutnya,
ia mencari mata air sungai Nil dan menemukan api di puncak sebuah
gunung. Tidak banyak memang, tetapi betul berasal dari legenda Iskandar,
seperti yang dibuktikan antara lain oleh nama wilayah kegelapan: Tanah
Lulmat (Zulmat dalam bahasa Melayu, dari bahasa Parsi Zolomat).
Namun, teks Jawa terpenting adalah syair Serat Iskandar, yang
terdapat dalam bentuk dua naskah yang tersimpan di dua perpustakaan
istana di Jawa Tengah. Alex Sudewa (1975) telah menghasilkan suatu
studi menarik tentang kedua naskah itu, yang dideskripsikan, disunting
dan dianalisis dalam rangka konteks politiknya. Yang pertama berasal dari
tahun 1729, yang kedua dari tahun 1791-1792, artinya ditulis di Surakarta
pada periode sejarah Jawa yang amat kalut. Menurut A. Sudewa (1875:
2), naskah pertama justru diterjemahkan dari bahasa Melayu atas perintah
Ibu suri bersamaan dengan tiga teks Melayu lain yang setengah epos
setengah agama, yaitu Serat Menak (kisah Amir Hamzah), Serat Yusuf
(kisah Nabi Yusuf), dan Serat Ngusulbiyat (dialog antara Nabi Isa dan
Nabi Muhammad), dengan tujuan memperkokoh persatuan rakyat Jawa di
bawah bendera Islam. Namun, jika Serat Menak dan Serat Yusuf berhasil
menjadi populer, tidak demikian halnya dengan Serat Iskandar yang tetap
tinggal buku istana saja. Di samping itu, A. Sudewa berpendapat bahwa
teks kedua adalah adaptasi dari yang pertama. Sebenarnya, kedua teks
Serat Iskandar itu sama sekali tidak identik: kedua syair itu relatif pendek,
kira-kira sama panjang (masing-masing sekitar 7.300 dan 7.000 bait)
tetapi sama sekali berbeda struktur metriknya, lain juga isinya, dan tidak
memiliki satu pun larik yang sama.
Perbedaan pertama menyangkut sejumlah nama: istri Darab bernama
Suntagi dalam satu teks dan Ni Dagina dalam teks lain; seorang raja
musuh Iskandar bernama Haos atau Arhos, satu lagi Salam atau Sarsalam;
seorang putri Samsuberayun atau Subarayin. Lebih berarti adalah adegan
teks kedua yang berbeda dari yang pertama. Contohnya, tepat sebelum
adegan pencarian air keabadian, teks pertama menjelaskan bahwa Iskandar
bernama Dulkarnen karena ia mempunyai dua tanduk di bawah destarnya,
juga bahwa ia dicukur setiap hari Jumat, lalu tukang cukurnya dibunuh.
Dalam teks kedua, bagian itu dihapus dan diganti dengan adegan baru,
di mana Iskandar dinasehati seorang raja miskin, yang menyatakan
bahwa kekuasaan dan kerakusan sia-sia saja karena kematian tak dapat
dihindarkan. Andaikan teks kedua betul saduran dari yang pertama, maka
perlu dicatat betapa bebasnya ia memperlakukan modelnya.
Tetapi lebih menarik mengamati betapa jauh Serat Iskandar itu
berbeda dengan Hikayat Iskandar Zulkarnain. Seandainya hikayat ini
(setebal 652 halaman padat dalam edisi Soeratno) betul menjadi modelnya,
maka jelas teks Jawa (yang memenuhi 100 halaman longgar dalam
edisi A. Sudewa) sekadar ringkasan yang sangat singkat, dan ini dapat
menjelasankan mengapa banyak episode dihapuskan. Tetapi ternyata Serat
Iskandar justru menambahkan suatu adegan yang tidak terdapat dalam
hikayat Melayu: Kilir, yakni Nabi Khidir, bertemu dengan seorang anak
muda di hutan; mereka berjalan bersama-sama dan Kilir melakukan tiga
perbuatan yang tidak dimengerti oleh orang muda itu, dan hal ini tak ayal
lagi merupakan saduran adegan Nabi Musa dalam Surat al-Kahf. Selain
itu, kisah dalam Serat Iskandar sering berbeda dengan Hikayat Iskandar
Zulkarnain (HIZ). Inilah kedua contoh yang paling mengesankan. Yang
pertama menyangkut putri Rum, calon ibu Iskandar, yang diserahkan oleh
ayahnya sebagai istri kepada penakluknya, Raja Persia Darab. Dalam HIZ,
sesuai dengan tradisi Timur Tengah yang panjang, sang putri sembuh dari
bau mulut busuk, tetapi Raja merasa muak dan mengembalikannya kepada
ayahnya. Dalam Serat Iskandar, setelah sang putri sembuh, pasangan itu
dimabuk cinta, dan Raja baru mengembalikan putri ke rumahnya setelah
terjadi perselisihan. Yang kedua menyangkut agama Iskandar: dalam HIZ,
telah kita lihat, Iskandar dipalingkan dari agama Islam oleh Iblis dan
diislamkan kembali oleh Nabi Khidir. Dalam Serat Iskandar sebaliknya,
Iskandar berhasil melawan godaan Iblis, dan oleh sebab itulah Kilir
datang membantunya untuk mengislamkan seluruh muka bumi. Perlu
dicatat lagi bahwa dalam teks Jawa, Iskandar tidak memiliki sifat tidak
Legenda Iskandar Zulkarnain di Alam Melayu 35
Kesimpulan
Boleh kiranya disimpulkan bahwa pernah ada sedikitnya satu versi Melayu
dari legenda Iskandar yang berbeda dari Hikayat Iskandar Zulkarnain.
Versi itu mungkin yang digarap pada abad ke-17 oleh Nuruddin al-Raniri
atau boleh jadi versi ketiga yang juga telah hilang.
Bagaimanapun juga, pemaparan berbagai versi Indonesia dari
legenda Alexander di atas memungkinkan kita memahami popularitas cerita
itu di dunia Melayu antara abad ke-15 dan ke-19. Bahwa mitos Iskandar
ditemukan dalam teks Melayu, Minangkabau, Jawa dan Bugis, yang
berasal dari Semenanjung Melayu (Melaka, Johor, Perak, Kelantan), dari
seluruh Pulau Sumatra (Aceh, Deli, Minangkabau, Mandailing, Bengkulu,
Palembang), dari Kalimantan (Banjarmasin), dari Jawa (Surakarta), dari
Sulawesi (Bugis) dan dari Nusa Tenggara (Bima) jelas menunjukkan
bahwa mitos itu telah diserap sedemikian rupa sehingga menjadi unsur
budaya lokal dan meliputi sebagian besar Nusantara.
Sebagai bagian utuh dari dinasti-dinasti lokal, tokoh Iskandar telah
digunakan dalam suatu kerangka mitologis, untuk membenarkan atau
menjelaskan sejarah. Rujukan akan Iskandar sebagai sumber kedaulatan
Melayu tampaknya tidak dipinjam dari kebudayaan asing. Tidak juga patut
dilihat sebagai hasil keinginan untuk mengaitkan raja-raja Melayu dengan
seorang tokoh sejarah tertentu. Tujuannya ialah memasukkan dalam mitos
lokal asli (yang kadang sudah diolah ulang oleh agama Hindu) suatu unsur
yang sesuai dengan kepercayaan baru, setelah terjadi islamisasi. Ini jelas
sekali dalam kedua teks yang berasal dari Bima dan Banjar. Dalam hal
itu, kesusastraan dan bahkan mitologi Melayu telah menggunakan secara
orisinal unsur-unsur yang dipinjam dari sumber asing, sesuai dengan
suatu prinsip yang dapat kita amati dalam banyak teks: seorang tokoh
dapat menggantikan tokoh lain kalau ciri-ciri khasnya memungkinkan ia
memegang peran yang bersangkutan dalam sistem kosmologi lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Singkatan
Archives
1974 Archives des manuscrits cham-Khao-luc nguyen cao Cham.
Phanrang.
Arrien
1984 Histoire d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh P.
Savinel. Paris: Minuit.
al-Attas, Syed Muhammad Naguib
1966 Rânîrî and the Wujûdiyyah in 17th Century Acheh. Kuala Lumpur:
MBRAS.
1988 The Oldest Known Malay Manuscript: A Sixteenth Century Malay
Translation of the ‘Aqâ’id of al-Nasai. Kuala Lumpur: University
of Malaya Press.
Azra, Azyumardi
1997 “A Hadrami religious scholar in Indonesia: Sayid Uthman”,
dalam Urika Freitag & William G. Clarence-Smith (eds.),
Hadrami Traders, Scholars and Statesmen in the Indian Ocean,
1750s-1960s, Leiden: Brill.
Battistini, Olivier & Pascal Charvet (eds.)
2004 Alexandre le Grand: Histoire et Dictionnaire. Paris: Laffont (coll.
Bouquins).
Bausani, A.
1962 “Note sulla struttura della ‘Hikayat’ classica malese”, Annali
dell’Instituo Universitario Orientale de Napoli, n.s. XII: 153-192.
(Terjemahan Inggris oleh L. Brakel, “Notes on the structure of the
classical Malay hikayat”, Clayton: Monash University, 1979).
Behrend, T. E. & Titik Pujiastuti
1997 Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia – EFEO, 2 jil. (Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara, jilid 3-A & 3-B).
Berg, C.C.
1961 “Javanese historiography: a synopsis of its evolution”, dalam Hall
(ed.) 1961, hlm. 13-23.
1965 “The Javanese picture of the past”, dalam Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965, hlm. 87-118.
Berg, L.C.W. van den
1886 Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien, Batavia:
Imprimerie du Gouvernement. (Terjemahan Indonesia: Hadramaut
dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989).
Boisselier
1963 La Statuaire du Campa: Recherche sur les cultes et l’iconographie.
Paris: EFEO.
Bouman, M.A.
1925 “Toeharlanti: De Bimaneesche sultans verhefing”, Koloniaal
Tijdschrift, XIV (6): 710-717.
376 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Chambert-Loir, Henri
1977a “Notes sur une épopée malaise: le Hikayat Dewa Mandu”, BEFEO
LXIV: 293-302.
1977b “A propos du Mahabharata malais”, BEFEO LXIV: 265-291.
1980a Hikayat Dewa Mandu. Epopée malaise. I. Texte et Présentation.
Paris: EFEO.
1980b “Les sources malaises de l’histoire de Bima”, Archipel 20: 269-
280.
1982 Syair Kerajaan Bima. Jakarta: EFEO.
1983 “Sumber Melayu tentang sejarah Bima”, dalam Citra Masyarakat
Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
1984 “Muhammad Bakir: A Batavian scribe and author in the nineteenth
century”, RIMA 19: 44-72.
1985a Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Bandung:
Angkasa – EFEO.
1985b “Dato’ ri Bandang. Légendes de l’islamisation de la région de
Célèbes Sud”, Archipel 29: 137-163. (Terjemahan Indonesia:
“Dato’ ri Bandang. Legenda pengislaman daerah Sulawesi
Selatan”, dalam D. Perret dkk. (eds.), Hubungan Budaya dalam
Sejarah Dunia Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka – EFEO, 1998, hlm. 23-61.)
1987 “Sebuah hikayat Melayu dipentaskan”, dalam 10 Tahun Kerjasama
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan École
française d‘Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Puslit Arkenas, hlm.
73-85.
1988 “Notes sur les relations historiques et littéraires entre Campa et
Monde Malais”, dalam Actes du Séminaire sur le Campa organisé
à l’Université de Copenhague le 23 mai 1987, Paris: Centre
d’Histoire de Civilisations de la Péninsule Indochinoise, hlm. 95-
106.
1989a “Etat, cité, commerce: le cas de Bima”, Archipel 37: 83-105.
1989b “Naskah-naskah Melayu dari Pulau Sumbawa”, dalam Ismail
Hussein dkk. (eds.), Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, jil. II, hlm. 606-629.
1991 “Malay literature in the 19th century: the Fadli connection”,
dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation
and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A.
Teeuw, Leiden: KITLV Press, hlm. 87-114.
1992 “Sair Java-Bank di rampok: littérature malaise ou sino-malaise?”,
dalam Claudine Salmon (ed.), Le moment “sino-malais” de la
littérature indonésienne, Paris: Association Archipel, hlm. 43-70.
1994 “Some aspects of Islamic justice in the Sultanate of Pontianak c.
1880”, Indonesia Circle 63: 129-143.
1995 “Catatan hubungan sejarah dan sastera antara Campa dengan
378 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Effendy, Tenas
1989 “Sedikit catatan tentang ‘Syair Perang Siak’”, dalam D.J. Goudie,
Syair Perang Siak, Kuala Lumpur: MBRAS, hlm. 257-268.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie
1917-1939. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. ‘s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 8 jilid.
Endicott, K.M.
1970 An Analysis of Malay Magic. Singapore: OUP.
Eringa, F.S.
1984 Soendaas-Nederlands woordenboek. Dordrecht: Foris.
Eymeret, J.
1972 “Java sous Daendels, 1808-1811”, Archipel 4: 151-168.
Favre, Abbé P.
1875 Dictionnaire malais-français. Wina: Imprimerie Impériale.
Firdousi, Abou’lkasim
1877 Le Livre des Rois, Shah-Nameh, diterjemahkan oleh Jules Mohl.
Paris, jil. V.
Fox, J.J.
1971 “A Rotinese dynastic genealogy: structure and event”, dalam T.O.
Beidelman (ed.), The Translation of Culture: Essays to E.E. Evans-
Pritchard, London: Tavistock Publications, hlm. 37-77.
Francis, E.
1856 Herinneringen uit den levensloop van een Indisch ambtenaar van
1815 tot 1851. Batavia: Van Dorp.
Gaillard, Marina
2005 Alexandre le Grand en Iran: Le Dârân Nameh d’Abu Tâher
Tarsusi. Paris: De Boccard.
Gallop, Annabel Teh
1994 The Legacy of the Malay Letter. Warisan Warkah Melayu. London:
British Library.
2002 Malay Seal Inscriptions: a study in Islamic epigraphy from
Southeast Asia. PhD thesis, School of Oriental and African
Studies, University of London.
2003 “Malay documents in the Melaka Records”, Paper presented at the
3rd International Convention of Asia Scholars, Singapore, 19-22
August 2003.
Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps
1991 Golden Letters: Writing Traditions of Indonesia; Surat Emas:
Budaya Tulis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Lontar.
Gonda, J.
1952 Sanskrit in Indonesia. Nagpur: International Academy of Indian
Culture.
Graaf, H.J. de
1949 Geschiedenis van Indonesië. ’s-Gravenhage – Bandung: Van
Hoeve.
382 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Guillot, Claude
2004 “La Perse et le Monde malais. Echanges commerciaux et
intellectuels”, Archipel 68: 159-192.
Guillot, Claude & Ludvik Kalus
2000 “La stèle funéraire de Hamzah Fansuri”, Archipel 60: 3-24.
(Terjemahan Indonesia, “Batu nisan Hamzah Fansuri”, dalam C.
Guillot & L. Kalus, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:
KPG, 2008, hlm. 71-93.
Hadi, Amirul
2004 Islam and State in Sumatra: A study of seventeenth-century Aceh.
Leiden: Brill.
Hall, D.G.E. (ed.)
1961 Historians of South East Asia. London: School of Oriental and
African Studies, University of London.
Hamer, C. den
1890 “De sair Madi Kentjana”, TBG 33: 531-563.
Hanitsch, R.
1903 “On a collection of coins from Malacca”, JMBRAS 39: 183-202, 2
hlm. gambar.
1905 “On a second collection of coins from Malacca”, JMBRAS 44:
213-16, 1 hlm. gambar.
Hashim Musa
2003 Epigrai Melayu: Sejarah Sistem Tulisan dalam Bahasa Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (ed. pertama, 1997).
Hellwig, Tineke
1986 “Njai Dasima, een vrouw uit de literatuur”, dalam C.M.S. Hellwig
& S.O. Robson (eds.), A man of Indonesian Letters; Essays in
Honour of Professor A. Teeuw, Dordrecht: Foris, hlm. 48-66.
Hikayat Hang Tuah
1978 [Transkripsi sebuah naskah milik Perpustakaan Nasional di
Jakarta, tertanda “oleh: Bot Genoot Schap”]. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan
Sastra Indonesia dan Daerah, 2 jilid.
Hikayat Inderaputera
1968 Hikayat Inderaputera (ed. Enche’ Ali bin Ahmad). Kuala Lumpur:
Dewa Bahasa dan Pustaka.
Hitchcock, Michael
1984 “Is this evidence for the lost kingdoms of Tambora?”, Indonesia
Circle 33: 30-35.
Ho, Engseng
2002 “Before parochialization: Diasporic Arabs cast in creole waters”,
dalam H. de Jonge & N. Kaptein (eds.), Transcending Borders:
Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia, Leiden: KITLV,
hlm. 11-35.
Daftar Pustaka 383
Lafont, P.-B.
1977 Catalogue des manuscrits cam des bibliothèques françaises. Paris:
EFEO.
Lapian, A.B.
1987 “Bencana alam dan penulisan sejarah (Krakatau 1883 dan Cilegon
1888)”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987, hlm. 211231.
Leeuwen, Pieter Johannes van
1937 De Maleische Alexanderroman. Meppel: Ten Brink.
Lemaire, Jacques
1989 Introduction à la codicologie. Louvain-la-Neuve: Université
Catholique.
Leyden, John.
1821 Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr
John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Rafles.
London: Longman. (Cetak ulang, Kuala Lumpur: MBRAS, 2001).
Liaw Yock Fang
1975 Sejarah Kesusasteraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka
Nasional. (Cetakan ke-3, 1982).
1976 Undang-Undang Melaka: The laws of Melaka. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Ligtvoet, A.
1880 “Transcriptie van het dagboek der vorsten van Gowa en Tello met
vertaling en aanteekeningen”, BKI 28: 1-259.
Linden, A. van der
1937 De Europeaan in de Maleische Literatuur. Meppel.
Lombard, Denys
1967 Le Sultanat d’Atjeh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). Paris:
EFEO.
1979 “Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (première moitié du
XIXème siècle”, Archipel 18: 231-250.
1990 Le carrefour javanais. Essai d’histoire globale. Paris: EHESS.
Lombard-Salmon, Claudine
1972 “Société peranakan et utopie: deux romans sino-malais (1934-
1939)”, Archipel 3: 169-195.
Manguin, Pierre-Yves
1979 “L’Introduction de l’Islam au Campa”, BEFEO 61: 255-287.
Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia
1987 Manuskrip Melayu Koleksi Perpustakaan Negara Malaysia: Satu
Katalog Ringkas. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
Marihandono, Djoko
2005 Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan: Herman Willem Daendels
di Jawa, 1808-1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte.
Depok: Program Pascasarjana, FIPB, Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka 387
Marrison, G.E.
1955 “Persian inluences in Malay life”, JMBRAS 28 (1): 52-69.
1985 “The Chams and their literature”, JMBRAS 58 (2): 45-70.
Marsden, William
1811 History of Sumatra. London: Cox and Baylis (3rd revised edition).
(Edisi pertama, 1783. Cetakan ulang, OUP, 1966, 1975.)
Matheson Hooker, Virginia (ed.)
1991 Tuhfat al-Nais: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Matheson, Virginia & Barbara Watson Andaya
1982 The Precious Gift (Tuhfat al-Nais). Kuala Lumpur: OUP.
Matthes, B.F.
1856 “Verslag van een verblijf in de binnenlanden van celebes, van
24 April tot 24 October 1856”, dalam H. van den Brink, Dr.
Benjamin Frederick Matthes: zijn leven en arbeid in dienst van
het Nederlandsch Bijbelgenootschap, Amsterdam: Nederlandsch
Bijbelgenootschap, hlm. 178-188.
1875 Korte verslag aangaande alle mij in Eropa bekende
Makassaarsche en Boegineesche handschrijften. Amsterdam:
Nederlandsche Bijbelgenootschap.
McRoberts, R. W.
1984 “An Examination of the Fall of Malacca in 1511”, JMBRAS 57 (1):
26-39.
Mohamed Salleh Perang
1980 Reputations Live On: an early Malay autobiography (A. Sweeney
ed.). Berkeley, Cal.: University of California Press.
Mohd. Ghazali bin Haji Abbas & Che Selamah bt Che Musthafa
Newbold, T. J.
1839 Political and Statistical Account of the British Settlements in the
Straits of Malacca. London: J. Murray. (Cetak ulang, OUP, 1971).
Noorduyn, J.
1955 Een achttiende-eeuwse kroniek van Wadjo: Buginese
historiograie. Den Haag: H.L. Smits.
1956 “De islamisering van Makassar”, BKI 112 (3): 247-266.
1961 “Some aspects of Macasar-Buginese historiography”, dalam Hall
1961, hlm. 29-36.
1965 “Origins of South Celebes historical writing”, dalam Soedjatmoko
dkk. 1965, hlm. 137-155.
1987a Bima en Sumbawa: Bijdragen tot de geschiedenis van de
sultanaten Bima en Sumbawa door A. Ligvoet en G.P. Rouffaer.
Dordrecht: Foris.
1987b “Makassar and the islamization of Bima”, BKI 143 (2-3): 312-342.
1991 “The manuscripts of the Makasarese chronicles of Goa and Talloq:
An evaluation”, BKI 147 (4): 454-484.
Nooteboom, C.
1950 “Enkele feiten uit de geschiedenis van Manggarai (West Flores)”,
dalam Bingkisan Budi: Een bundel opstellen aan Dr Philippus
Samuel van Ronkel... op zijn tachtigste verjaardag, Leyde:
Sijthoff, hlm. 207-214.
Oetomo, Dede
1987 “Serat Ang Dok: a Confucian treatise in Javanese”, Archipel 34:
181-197.
Ophuijsen, C.A. van
1901 Kitab Logat Melajoe. Woordenlijst voor de spelling der Maleische
taal. Batavia.
Overbeck, Hans
1934 “Malay animal and lower shaers”, JMBRAS 12 (2): 108-148.
Pelras, Christian
1975a “Guide Archipel II: la Province de Célèbes-Sud”, Archipel 10: 11-
50.
1975b “Introduction à la littérature bugis”, Archipel 10: 239-267.
1985 “Religion, tradition and the dynamics of Islamization in South
Sulawesi”, Archipel 29: 107-135.
Pigeaud, Th.
1927 “Alexander, Sakender en Senapati”, Djawa 7: 321-361.
1967 Literature of Java. Catalogue raisonné of Javanese manuscripts in
The Netherlands, vol. I. Synopsis of Javanese Literature, 900-1900
A.D. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Pires, Tomé
1944 The Suma Oriental [1515], ed. Armando Cortesaõ. London:
Hakluyt Society, 2 jilid.
390 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Plutarque
1993 La vie d’Alexandre, diterjemahkan dari bahasa Yunani oleh Robert
Flacelière & Émile Chambry. Paris: Autrement. (Edisi pertama,
Paris: Les Belles Lettres, 1975).
Po Dharma
1981 Complément au catalogue des manuscrits cam des bibliothèques
françaises. Paris: EFEO.
1982 “Note sur la littérature cam”, Shiroku 15: 43-67.
Po Dharma, G. Moussay & Abdul Karim
1997 Akayet Inra Patra. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia
– EFEO.
1998 Akayet Dowa Mano. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara
Malaysia – EFEO.
Proudfoot, Ian
1984 “Variation in a Malay Folk-Tale Tradition”, RIMA 18: 87-102.
1993 Early Malay Printed Books. A Provisional Account of Materials
Published in the Singapore-Malaysian Area up to 1920, Noting
Holdings in Major Public Collections. Kuala Lumpur: Academy of
Malay Studies and the Library University of Malaya.
2002 “From recital to sight-reading: the silencing of texts in Malaysia”,
Indonesia and the Malay World, vol. 30, no. 87: 117-144.
2003 “An expedition into the politics of Malay philology”, JMBRAS 76
(1): 1-53.
2006 Old Muslim calendars of Southeast Asia. Leiden – Boston: Brill
(Handbook of Oriental Studies / Handbuch der Orientalistik).
Pseudo-Callistènes
2004 Le Roman d’Alexandre: La vie et les hauts faits d’Alexandre de
Macédoine, diterjemahkan dan dikomentari oleh Gilles Bonnouré
dan Blandine Serret. Paris: Les Belles Lettres. (edisi pertama,
1992).
Radicchi, Anna
2009 “Tradisi tata bahasa Sanskerta di Jawa dan Bali”, dalam H.
Chambert-Loir (ed.), Sadur, 2009, hlm. 343-357.
Rahmah Bujang
1975 Sejarah Perkembangan Drama Bangsawan di Tanah Melayu dan
Singapura. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Tesis
MA, Universiti Malaya, 1972).
Ras, J. J.
1968 Hikayat Bandjar: A study in Malay historiography. The Hague:
Martinus Nijhoff.
1973 “The Panji Romance and W.H. Rassers’ analysis of its theme”, BKI
129 (4): 412-457.
1991 “In memoriam Professor C.C. Berg, 10-2-1900 tot 25-6-1990”,
BKI 147 (1): 1-16.
Daftar Pustaka 391
Rassers, W.H.
1921 De Pandji-Roman. Antwerpen.
Reid, Anthony
1988-1993 Southeast Asia in the Age of Commerce, New Haven: Yale
University Press, 2 jil.
1999 Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Chiang Mai:
Silkworm Books.
Reid, Anthony & David Marr (eds.)
1979 Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Heinemann
Educational Books.
Renou, Louis & Jean Filliozat
1947 L’Inde classique. Paris: Payot, 2 jilid.
Rentse, Anker
1933 “Notes on Malay beliefs”, JMBRAS 11 (2): 245-251.
Ricklefs, M.C.
1976 “Javanese sources in the writing of modern Javanese history”,
dalam Cowan & Wolters (eds.) 1976, p. 332-344.
1981/2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Inggris: Palgrave
Macmillan. (Edisi ke-3, 2001; edisi ke-4, 2008).
1987 “Indonesian history and literature”, dalam Alian dkk. (eds.) 1987,
hlm. 199-210.
1998 The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History,
Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu:
Asian Studies Association of Australia in association with Allen &
Unwin and University of Hawaii Press.
2006 Mystic Synthesis in Java. A History of Islamization from the
Fourteenth to Early Nineteenth Centuries. Norwalk (Conn.):
EastBridge.
Ricklefs, M.C. & P. Voorhoeve
1977 Indonesian Manuscripts in Great Britain. Oxford: OUP. (Edisi
baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia – EFEO, 2014.)
Robson, Stuart & Singgih Wibisono
2002 Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus.
Rodinson, Maxime
2005 “Le monde arabe et l‘extension de l‘écriture arabe”, dalam Marcel
Cohen & Jérôme Peignot (eds.), Histoire et art de l’écriture, Paris:
Laffont, 2005 (coll. Bouquins), hlm. 713-724. (Edisi pertama
dalam Marcel Cohen dkk. (eds.), L’écriture et la psychologie des
peuples, Paris: Armand Colin, 1963.)
Ronkel, Ph. S. van
1908 “Catalogus der Maleische handschriften van het KITLV”, BKI 60:
181-248.
1909 Catalogus der Maleische handschriften in het Museum van het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia
– The Hague.
392 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Shellabear, W. G. (ed.)
1896 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Jawi.
1898 Sejarah Melayu. Singapore: Methodist Publishing House, edisi
Latin. (Cetak ulang 1909, 1924; edisi baru, Singapore: Malayan
Publishing House, 1961; cetak ulang, Singapore: OUP, 1967;
Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1975, 1977, 1979, 1982).
1901 “The evolution of Malay spelling”, JSBRAS 36: 75-135.
Siegel, James
1979 Shadow and Sound: The Historical thought of a Sumatran people.
Chicago – London: The University of Chicago Press.
Singh, Saran
1986 The Encyclopaedia of the Coins of Malaysia, Singapore and
Brunei 1400-1967. Kuala Lumpur: Malaysia Numismatic Society.
(Edisi kedua, 1996).
Situmorang, T. D. & A. Teeuw (eds.)
1952 Sedjarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir
Munsji). Jakarta: Djambatan.
Skeat, W.W.
1900 Malay Magic. London: Macmillan.
Skinner, C.
1963 Sja’ir Perang Mengkasar; The rhymed chronicle of the Macassar
War by Entji’ Amin. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1978 “Transitional Malay literature: Part 1. Ahmad Rijaluddin and
Munshi Abdullah”, BKI 134 (4): 466-487.
1982 Ahmad Rijaluddin’s Hikayat Perintah Negeri Benggala. The
Hague: Martinus Nijhoff.
1985 The Battle for Junk Ceylon: the Syair Maulana; text, translation
and notes. Dordrecht: Foris.
Snouck Hurgronje, C.
1888 “Nog iets over de Salasila van Koetei”, BKI 37: 109-112.
Soedjatmoko dkk. (eds.)
1965 An Introduction to Indonesian Historiography. Ithaca: Cornell
University Press.
Soeratno, Siti Chamamah
1991 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai
Pustaka.
1992 Hikayat Iskandar Zulkarnain: Sutingan Teks. Jakarta: Balai
Pustaka.
Southgate, Minoo S.
1977 “Portrait of Alexander in Persian Alexander romances of the
Islamic Era”, Journal of the American Oriental Society, 97 (3):
278-284.
394 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama
Stutterheim, W.F.
1956 “An ancient Javanese Bhima cultus”, dalam W.F. Stutterheim,
Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff,
hlm. 105-143.
Sudewa Alex
1995 Dari Kartasura ke Surakarta. Jilid Pertama. Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Sweeney, Amin
1967 “The Connection between the Hikayat Raja2 Pasai and the Sejarah
Melayu”, JMBRAS 40 (2): 94-105.
1980 (ed.), Reputations Live On: an early Malay autobiography.
Berkeley, Cal.: University of California Press.
1992 “Malay Sui poetics and European norms”, Journal of the
American Oriental Society, vol. 112, no. 1, Jan.-March 1992: 88-
102.
Talib, Yusof A.
1974 “Les Hadramis et le monde malais”, Archipel 7: 41-68.
Teeuw, A.
1959 “The History of the Malay Language: A Preliminary Survey”, BKI
115 (2): 138-156.
1961 A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia.
‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
1964 “Hikayat Raja-Raja Pasai and Sejarah Melayu”, dalam J. Bastin &
R. Roolvink (eds.), Malayan and Indonesian Studies, Oxford: The
Clarendon Press, hlm. 222-234.
1976 “Some remarks on the study of so-called historical texts in
Indonesian languages”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Proiles
of Malay Culture: Historiography, Religion and Politics,
Yogyakarta: Depdikbud, hlm. 3-26.
1984 “Indonesia as a ‘Field of Literary Study’. A case study:
genealogical narrative texts as an Indonesian literary genre”, dalam
P.E. de Josselin de Jong (ed.), Unity in Diversity: Indonesia as a
Field of Anthropological Study, Dordrecht: Foris, hlm. 38-59.
Teeuw, A. & R. Dumas, Muhammad Haji Salleh, R. Tol, M.J. van Yperen
2004 A Merry Senhor in the Malay World: Four Texts of the Syair
Sinyor Kosta. Leiden: KITLV.
Teeuw, A. & D.K. Wyatt
1970 Hikayat Patani: The Story of Patani. The Hague: Martinus Nijhoff,
2 jil.
alTha’âlibȋ, Aboû Mansoûr ‘Abd. AlMalik ibn Mohammad ibn Ismâ’îl
1900 Histoire des rois des Perses: Texte arabe publié et traduit par H.
Zotenberg. Paris: Imprimerie Nationale.
Thomaz, Luis Filipe F. R.
1986 “La prise de Malacca par les Portugais vue par les Malais, d’après
le manuscrit Rafles 32 de la Royal Asiatic Society”, dalam C.
Daftar Pustaka 395