الحال باب
Makalah
IAIN
Disusun Oleh :
SEMARANG
2014
I. PENDAHULUAN
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali, memahami dan
mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis tanpa memiliki kemampuan
menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan baik. Dalam upaya mengembangkan
wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai
bahas Arab merupakan kunci dan syarat mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji
ajaran islam secara luas dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang digunakan dalam berbahasa
Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu nahwu dikenal istilah Haal. Kami
pemakalah akan mencoba menjelaskan sedikit tentang ilmu nahwu dalam bab Haal.
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Haal
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan memberi keterangan
keadaan seperi dalam contoh: ُ( فَرْ داً أَ ْذهَبaku akan pergi sendiri)”.[1]
ال
ِ احبُ ال َح
ِ صَ ع ْالفِ ْع ِل َو ُس َّمي َك ٌّل ِم ْنهُ َما
ِ ْاع ِل أَوْ الم ْفعُوْ ِل بِ ِه ِح ْينَ ُوقُو
ِ َاَ ْل َحا ُل هُ َو إِ ْس ٌم َم ْنصُوْ بٌ يُبَيْنُ هَ ْيئَةَ ْالف.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika
perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
Contoh: ً = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْباzaid telah datang secara berkendaraan. Lafad ً َرا ِكيْباberkedudukaan sebagai Haal
dari lafazh َز ْي ٌدyang menjelaskan keadaan Zaid waktu kedatanganya. Seperti yang terdapat di dalam
firman Allah Swt. Berikut: “ = فَخ َر َج ِم ْنهَا خَائِفًاMaka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad
خَائِفًاberkedudukan sebagai Haal fa’il lafadz خر َج َ yeng menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.
B. Syarat-syarat Haal
1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haal dengan lafadz ma’rifat, maka harus
ditakwilkan dengan lafadz nakirah, seperti dalam contoh: ت بِاهلل ُ ( َوحْ َد ْه اَ َم ْنaku beriman kepada Allah).
Kalimah َوحْ َد ْهadalah isim ma’rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai
berikut: ]4[.ًت بِاهلل ُم ْنفَ ِردا
ُ اَ َم ْن
َو ْال َحا ُل إِ ْن ُع ِّرفَ لَ ْفظا ً فَا ْعتَقِ ْد *تَ ْن ِك ْي َرهُ َم ْعنًى َك َوحْ دَكَ اجْ تَ ِه ْد
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara makna, seperti
conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari isim ma’rifah secara
mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh: ْب َ َجا َء َز ْي ٌد
َ الرا ِكي
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya (mayoritasnya) sekali-kali
tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkanya yaitu:
Contoh: (فِ ْيهَا قَائِ ًما َر ُج ٌلdidalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri). lafadz قَائِ ًماberkedudukan
sebagai haal dari lafadz َر ُج ٌل.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat didalam firman Allah
Swt. Berikut: ( فِ ْي اَرْ بَ َع ِة اَيَ ٍام َس َوا ًءdalam empat hari yang genap.(Fushsilat: 10). Lafadz َس َوا ًءberkedudkan
sebagai haal dari lafadz اَرْ بَ َع ِة.
َ( َو َما اَ ْهلَ ْكنَا ِم ْن قَرْ يَ ٍة اِاَّل َ لَهَا ُم ْن ِذرُوْ نdan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun, melainkan sesudah ada
baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara: 208). Lafadz َ لَهَا ُم ْن ِذرُوْ نadalah jumlah ismiyyah
yang berkedudkan sebagai haal dari lafadz قَرْ يَ ٍة, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang
nakirah dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yang muystaq atau bukan jamid. Ibnu Malik
juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah, tetapi hal ini tidak
pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas, bukan bersifat lazim
(tetap). Seperti dalam contoh: ً = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْباzaid telah datang secara berkendaraan. Lafadz ً َرا ِكيْباadalah
sifat yang mutanaqqil karena sifat ini dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat muystaq dalam tiga
keadaan:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: ( َك َّر َعلِ ٌي أَ َسدًاAli menyerang dengan berani
seperti macan). Takwilanya ُش َجاعَا كَا األَ َس ِد:
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: ( َدخَ َل القَوْ ُم َر ُجاًل َر ُجاًلkaum itu telah masuk secara tertib satu
persatu). Takwilanya: ]9[.ُمتَ َرتِّبَي ِْن
C. Macam-macam Haal.
Haal mufrod yaitu isim mansub yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan fi’il atau maful bih. Contoh:
( َجا َء زَ ْي ٌد َرا ِكبًاTelah datang zaid dalam keadaan berkendaraan). lafadz َرا ِكبًاadalah isim mufrad.
ُ ( َرأَيaku telah melihat bulan diantara bulan). Lafadz َ بَ ْينadalah zharaf yang
ِ ْت ال ِهاَل َل بَ ْينَ ال َّس َحا
Contoh: ب
berkedudukan sebagai haal dari lafadz ال ِهاَل َل.
IV. PENUTUP
1. Haal ialah isim mansub yang menerangkan prihal atau perilaku fa’il atau maf’ul bih yang masih
samar.
2. Shahibul haal adalah terdiri dari tarkib fa’il dan tarkib maf’ul bih.
3. Syarat-syarat tarkib haal, yaitu:
5. Jika haal itu berupa jumlah, maka harus ada penghubung yang menyambungkan dengan shahibul
haal, dan dia itu adakalanya berupa wawu saja atau berupa dlamir saja atau kedua-keduanya.
Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa bahwa di dalam
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, bahkan masih jauh dari sempurna, maka kami
pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat untuk para pemakalah begitu
pula bagi teman-teman agar mewujudkan makalah yang lebih baik dan sempurna. Besar harapan kami
semoga makalah yang singkat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar Baru Algennsido,
2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008
[1] Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, (Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 2009), hlm. 432
[2] Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algennsido, 1995), hlm. 147
[3] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2010), hlm.
263-264
[5] Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, (Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008), hlm. 88
[8] Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433