Anda di halaman 1dari 22

MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH USUL FIQIH

Standar Kompetensi :
4. Memahami kaidah-kaidah ushul fiqh

Kompetensi Dasar :
4.1. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah amar dan nahi
4.2. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah ’am dan khas
4.3. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah mujmal dan mubayyan
4.4. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah muradhif dan musytarak
4.5. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah muthlaq muqayyad
4.6. Menjelaskan pengertian dan penerapan zahir dan ta’wil
4.7. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah manthuq dan mafhum
4.8. Menjelaskan pengertian dan penerapan nasikh dan mansukh

A. AMAR DAN NAHI ( ‫ هَنِ ْي‬,‫) اَْم ِر‬


1. Pengertian Amr
Menurut bahasa ‘amr artinya perintah, sedangkan menurut istilah ialah :

ٍّ ‫ىم َّم ْن ُه َو اَ ْدىَن ِمْنهُ فِ ْعالً َغْيَر َك‬


‫ف‬ ِ َ‫ظ يطْلَب بِِه اْالَ ْعل‬
ُ ُ ٌ ‫لَ ْف‬
“Suatu lafadz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang
yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak
boleh ditolak”.

2. Bentuk-bentuk Amr
Lafadz yang menunjukkan kepada perintah sebagaimana dimaksudkan dalam
pengertian diatas dinyatakan dalam beberapa bentuk, yaitu :
a. Fi’il Amr, seperti :
‫حِن‬
ً‫ص ُدقَتِ ِه َّن ْلَة‬
َ َ‫ِّسآء‬
َ ‫َواَتُواالن‬
b. Fi’il Mudhari’, yang diawali ‫الَ ُم اْالَ ْم ِر‬ , seperti :

ٌ‫ َولْتَ ُك ْن ِمْن ُك ْم اَُّمة‬...


c. Isim dan Fi’il Amr, seperti:

‫ َعلَْي ُك ْم اَْن ُف َس ُك ْم‬...


d. Masdar Pengganti Fi’il, seperti:
‫َوبِالْ َوالِ َديْ ِن اِ ْح َسانَا‬
e. Jumlah Khabariyah/kalimat berita, seperti :

‫ص َن بِاَْن ُف ِس ِه َّن ثَلَثَةَ ُق ُر ْو ٍء‬ ُ َّ‫َوالْ ُمطَل‬


ْ َّ‫قت َيَتَرب‬
‫اََمَر‬ ‫ب‬ ِ
f. Kata-kata yang mengandung makna perintah, seperti ,
َ ‫ُكت‬ , ‫ض‬
َ ‫َفَر‬ , dan
sebagai jawab syarat dan sebagainya. Dibawah ini akan dikemukakan contoh-contohnya.

Menggunakan kata faradha:

‫ضنَا َعلَْي ِه ْم يِف ْ ْآز َو ِاج ِه ْم‬ ِ


ْ ‫قَ ْد َعل ْمنَ َاما َفَر‬
Menggunakan kata Kutiba:

‫الصيَ ُام‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ‫ يآيُّهاالَّ ِذين اَمنُوا ُكت‬...
َ َ َْ َ َ
Menggunakan kata amara:
ِ َ‫اِ َّن اهلل َيأْمر ُكم اَ ْن ُت َؤدُّوااْال‬
‫منت‬ ْ ُُ َ
Sebagai jawab Syarat:

‫ااسَتْي َسَر ِمنَاهْلَْد ِي‬ ِ ِ


ْ ‫فَا ْن اُ ْحص ْرمُتْ فَ َم‬
3. Kaidah-kaidah Amr
Yang dimaksud dengan kaidah-kaidah amr ini ialah ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum. Ulama ushul fiqh merumuskan
kaidah-kaidah amr dalam lima bentuk, yaitu :

Kaidah pertama
ِ ‫صل فِىاْالَ ْم ِرلِْلوجو‬
َ‫ب َوالَتَ ُد ُّل َعلَى َغرِي ِ ِه اِالَّبَِق ِر ْينَ ٍة‬ ُْ ُ ُ ْ َ‫اْال‬
“Pada dasarnya perintah (amr) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan
kepada selain wajib kecuali dengan qarinah, antara lain seperti berikut ini:

a. Nadb ( ‫ ) الندب‬anjuran (sunah), seperti :


... ‫فَ َكاتُِب ْو ُه ْم اِ ْن َعلِ ْمتُ ْم فِْي ِه ْم َخْيًرا‬
b. Irsyad ( ‫شاد‬ َ ‫) اَ ِْالِْ ْر‬, membimbing atau memberi petunjuk, seperti:
‫َواَ ْش ِه ُد ْوااِ َذاَتبَ َاي ْعتُ ْم‬
Amr dalam bentuk irsyad ini berbeda dengan yang berbentuk nadb. Dengan nadb
diharapkan mendapat pahala, sedang Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang
berkaitan dengan adapt istiadat dan sopan santun.
ُ‫احة‬ ِ
c. Ibahah (
َ َ‫) اَْالِْب‬, Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti :
‫ُكلُ ْوا َوا ْشَربُ ْوا‬
ِ
d. Tahdid ( ‫ ) اَلَْتهديد‬mengancam atau menghardik, seperti:
ْ ْ
ِ ‫اِ ْعملُوام‬
‫اشْئتُ ْم‬ ََْ
e. Taskhir ( ‫خر‬ ِ ‫) اَلتَّس‬, menghina atau merendahkan derajat, seperti:
ْ
... َ ‫اسئِنْي‬ ِ ‫ُكونُواقِرد ًةخ‬
َ ََ ْ ْ
ِ
f. Ta’jiz ( ‫ ) اَلتَّعجيز‬menunjukkan kelemahan lawan bicara, seperti:
ْْ ْ
‫فَأُْت ْوابِ ُس ْو َر ٍة ِم ْن ِمثْلِ ِه‬
g. Taswiyah ( ُ‫ويَّة‬ ِ ‫َّس‬
ْ ‫) اَلت‬, sama antara dikerjakan atau tidak, seperti:
‫اس َوآءٌ َعلَْي ُك ْم‬ ‫و‬ ‫صرِب‬‫ت‬َ‫ال‬ ‫ااو‬ ‫و‬ ‫رِب‬‫اص‬َ‫ف‬‫ا‬ ‫ه‬ ‫و‬‫ل‬
َ ‫ص‬ِ‫ا‬
َ
َ ُْ ْ َ ُْ ْ َ ْ ْ
‫ب‬ ِ
h. Takzib (
ُ ْ‫اَلتَّكْذي‬ ), mendustakan, seperti:

ِ ِ ‫قُل ها ُتوابرهانَ ُكم اِ ْن ُكْنتم‬


َ ‫صادقنْي‬َ ُْ ْ َ ُْ ْ َ ْ
i. Talhif ( ‫ف‬ ُ ‫) اَ َّلت ْل ِهْي‬, membuat sedih atau merana, seperti :
‫ُم ْو ُت ْوا بِغَْي ِظ ُك ْم‬
j. Do’a ( ‫ُّعاء‬
ُ َ ‫) اَلد‬, permohonan, seperti:
ً‫ك َرمْح َة‬ َ ْ‫ َربَّنَااتِنَ ِام ْن لَ ُدن‬...
Kaidah kedua
ِ ِ
َ َ‫اَالْ َم ُر َب ْع َدالنَّ ِه ْي يُفْي ُداْالب‬
ُ‫احة‬
“Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan”

Maksud dari kaidah ini ialah apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang,
kemudian datang perintah untuk mengerjakan, maka maka perintah tersebut bukan
perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah
ayat 10:
ِ ‫ضل‬ ِ ُ‫ض وابَتغ‬ ِ ِ ِ ِ
ِ ‫ضي‬
‫ِهلل‬ ْ َ‫وام ْن ف‬ ْ َ ِ ‫الصلوةُ فَا ْنتَش ُروافىاْالَْر‬
َّ ‫ت‬ َ ُ‫فَا َذاق‬
“Apabila shalat ( jum’at) telah dilaksanakan, maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah
karunia (rezki) Allah”.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setelah selesai melaksanakan shalat jum’at


diperbolehkan melakuikan suatu pekerjaan, termasuk jual beli. Padahal dalam ayat lain
Allah menyuruh meninggalkan (melarang) kegiatan jual beli bila panggilan shalat jum’at
telah dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Jumu’ah: 9 sebagaimana
berikut:
       
        
“Wahai orang-orang yang beriman, apabilla telah dipanggil untuk melaksanakan shalat
pada hari jum’at, maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkan jual beli”.
Dengan demikian, perintah bertebaran dimuka bumi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat
10 tidak bersifat wajib, tetapi hanya dibolehkan.

Kaidah ketiga
ِ َ‫اْالَصل فِىاْالَم ِرالَي ْقت‬
َ‫ضىالْ َف ْو َر‬ َ ْ ُْ
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”

Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj: 27:
ِ ‫َواَذِّ ْن فِىالن‬
‫َّاس بِاحْلَ ِّج‬
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”.

Dalam hadits Nabi SAW disebutkan:


ِ
َ َ‫ا َّن اهلل َ َكت‬
‫ب َعلَْي ُك ُم احْلَ َّج فَ َح ُّجوا‬
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu (untuk melaksanakan) haji, maka
berhajilah kamu”

Namun demikian para ulama telah bersepakat bahwa perintah melaksanakan sesuatu
yang berkaitan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan dan tidak boleh diluar waktu. Bila dikerjakan diluar waktu tanpa sebab yang
dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya berdosa.

Kaidah keempat
ِ َ‫اْالَصل فِىاْالَم ِرالَي ْقت‬
َ‫ضى التِّ ْكَر َار‬ َ ْ ُْ
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan
perintah)”.

Misalnya perintah mengerjakan haji, yaitu satu kali seumur hidup. Namun bila
perintah itu dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka harus ada qarinah atau
kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Menurut ulama qarinah itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga:
a. Perintah itu dihubungkan dengan syarat, seperti wajib mandi setiap junub.

‫َواِ ْن ُكْنتُ ْم ُجنُبًافَاطَّ َّه ُر ْوا‬


“Jika kamu berjunub, maka mandilah” (QS. Al MAidah: 6).

b. Perintah itu dihubungkan dengan ‘Illat, dengan kaidah:


ِِ
ً ‫اَحْلُ ْك ُم يَ ُد ْو ُر َم َع الْعلَّة ُو ُج‬
‫ودا َو َع َد ًما‬
“Hukum itu ditentukan ada atau tidak adanya ‘illat”

Seperti hukum rajam sebab melakukan zina. Lihat surat An-Nur ayat: 2

‫اح ٍد ِمْن ُه َم ِامائَةً َج ْل َد ٍة‬


ِ ‫الزايِن فَاجلِ ُدوا ُك َّل و‬
َ ْ َّ ‫و‬
َ ‫ة‬
ُ ‫ي‬
َ
ِ‫اَ َّلزن‬
“Wanita dan laki-laki yang berzina maka deralah masing-masing seratus kali”.

c. Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai ‘Illat, seperti
kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.
ِ ‫َّم‬
‫س‬ ِ ِ َّ ‫اَقِ ِم‬
ْ ‫الصلوةَل ُدلُْوك الش‬
“Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir” (QS. Al-Isra’: 78).

Dengan demikian jelas bahwa berulangnya kewajiban itu dihubungkan dengan


berulangnya sebab. Dalam kaitannya dengan masalah ini ulama menetapkan kaidah.

Kaidah Kelima :

َ‫اْالَ ْم ُربِالشَّْي ٍئ اَْمٌربَِو َسائِلِ ِه‬


“Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala
wasilahnya”.

Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa
terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan
perbuatan yang diperintahkan itu. Seperti kewajiban mengerjakan shalat. Shalat ini tidak
dapat dilaksanakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat berarti juga
perintah bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, ulama menetapkan kaidah :

ِ ِِ ِ ِ ‫ُك ُّل ماالَيتِ ُّم اْلو ِاج‬


ٌ ‫ب االَّبه َف ُه َو َواج‬
‫ب‬ َ َ َ
“Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu
wajib pula”.

4. Pengertian Nahi
Menurut bahasa ‫ النَّ ِه ْي‬berarti larangan. Sedang menurut istilah ialah :
َ‫ب الت َّْر ِك ِم َن اْالَ ْعلىاِلىاَ ْدىن‬ ِ
ُ َ‫النَّه ْي ُه َو طَل‬
“Larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih
tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”.

5. Bentuk-bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukkan kepada “NAHI” (larangan) itu ada beberapa bentuk:
ِ ِ
a. Fi’il Mudhari’ ( ُ‫ضارِع‬ َ ‫ ) اْلف ْع ُل الْ ُم‬yang disertai dengan lannahiyah ( ُ‫) الَالنَّاهيَّة‬, seperti :
ِ ‫الَ َت ْف ُس ُد ْوافِىاْالَْر‬
‫ض‬
b. Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu
perbuatan, seperti:

‫الربَوا‬
ِّ ‫َواَ َح َّل اهلل ُالَْبْي َع َو َحَّر َم‬
6. Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah Pertama:
Menurut jumhur :
ِ ِ َ‫اْال‬
ْ ‫ص ُل فىالنَّ ِه ْي للت‬
ِ‫َّح ِرمْي‬ ْ
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram”

Seperti :

‫والزىن‬
ِّ ُ‫َوالََت ْقَرب‬
Alasan yang dipakai jumhur :
a. Akal dapat memahami bahwa sighat (bentuk) nahi itu menunjukkan arti yang
sebenarnya, yaitu melarang.
b. Ulama salaf memahami sighat nahi yang bebas dari qarinah manunjukkan larangan.
Sebagian ulama berpendapat :

‫ص ُل فِىاْلنَ ِهي لِْل َكَر َاه ِة‬


ْ ْ‫اَال‬
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan makruh”

Menurut mereka bahwa nahi menunjukkan sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik.
Karena itu, tidak menunjukkan haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang
pasti.
Sighat nahi selain menunjukkan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menunjukkan
beberapa arti, antara lain sebagai berikut:

a. Karahah ( ‫) للكراهة‬, seperti :


ِ َ‫والَ تُصلُّوافِىاَ ْعط‬
‫ان اْ ِالبِ ِل‬ َْ َ
b. Do’a ( ‫) للدعاء‬, seperti:
‫اخ ْذنَآاِ ْن نَ ِسْينَا‬ ِ ‫ربَّنَاالَُتؤ‬
َ َ
c. Irsyad ( ‫شاد‬
ِ َ ‫ ) لِاْلِ ر‬memberi petunjuk, mengarahkan seperti:
ْ
‫اع ْن اَ ْشيَآءَاِ ْن ُتْب َدلَ ُك ْم تَ ُس ْؤ ُك ْم‬
َ ‫الَتَ ْسَئلُ ْو‬
ِ ِ
d. Tahqir ( ِ‫) ل ْلتَحقرْي‬, menghina, seperti:
ْ
‫ىم َامَت َعنَابِِه‬ ِ‫َّن عينيك ا‬
َ َ ْ َ َْ َّ ‫الَمَتُد‬
‫ل‬
َ
e. Bayan al-Aqibah ( ‫ان الْعاقب ِة‬
ِ ِ ِ
َ َ َ‫) لَبي‬, seperti:
ِ ‫والَحَتْس َّ الَّ ِذين قُتِلُوافِىسبِي ِل‬
‫اهلل اَْم َواتَا‬ ْ َ ْ َ ْ ‫َ َ نَب‬
ِ
f. Ta’yis ( ‫) للتَّأْيِيس‬, menunjukkan putus asa, seperti:
ْ ْ
‫الََت ْعتَ ِذ ُر ْوااْ َلي ْو َم‬
ِِ ِ
g. Tahdid ( ‫) للتَّهديد‬,ancaman seperti:
ْ ْ
‫الَتُ ِط ْع اَْم ِرى‬
Kaidah Kedua
ِ ‫ضد‬
‫ِّه‬ ِ ِ‫اَلنَّهي ع ِن الشَّي ِئ اَمر ب‬
ٌْ ْ َ ُْ
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.

Seperti:
ِ ِ‫الَتُ ْش ِر ْك ب‬
‫اهلل‬
“Janganlah kamu mempersekutukan Allah”.

Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah mentauhidkan-Nya.

Kaidah Ketiga

‫ضى التِّ ْكَر َارىِف مَجِ ْي ِع اْالَْز ِمنَة‬


ِ َ‫اْالَصل ىِف النَّ ِهي الْمطْلَق ي ْقت‬
َُ ُ ُْ
“Pada dasarnya larangan yang mutlak manghendaki pengulangan larangan dalam setiap
waktu”.
Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-sebab
lain, maka berarti meninggalkan yang dilarang itu sepanjang masa. Namun bila larangan itu
dikaitkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab, seperti:

‫االصلوةَ َواَْنتُ ْم ُس َك َارى‬


َّ ‫الََت ْقَربُو‬
“Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa’: 43).

Kaidah Keempat:
ِ َ‫اْالَصل فِىالنَّ ِهي ي ْقت‬
‫ضىالْ َف َس َاد ُمطْلَ ًقا‬ َْ ُْ
“Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad (rusak)secara mutlak”

Rasulullah SAW. bersabda:

ٌّ‫س َعلَْي ِه اَْم ُرنَا َف ُه َو َرد‬ ٍ


َ ‫ُك ُّل اَْمرلَْي‬
“Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”
Dengan demikian, setiap perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan dan setiap
yang tidak diperintahkan tertolak dan tertolak berarti batal (tidak sah, fasad) hukumnya.

B. ‘AM DAN KHASH (Umum dan Khusus)


1. Pengertian ‘Am (umum)
‘Am ialah lafadz yang mengandung arti umum yang menunjukkan banyak, tak terbatas,
misalnya lafadz Al Insan ‫اَ ِالنْ َسا ُن‬ yang berarti manusia.
Lafadz ‘am atau lafadz umum itu mempunyai bantuk tertentu, diantaranya ialah :
a. Lafadz Kullun, Jami’un, Kaaffah, Mansyar (artinya seluruhnya) misalnya :
ِ ‫س َذائَِقةُالْمو‬
‫ت‬ ٍ ‫ُك ُّل َن ْف‬
َْ
“Tiap-tiap (seluruh)yang bernyawa akan merasakan mati” (QS. Ali Imran : 185).

b. Isim istifham yaitu man (siapa) ma (apa), aina (dimana) dan mata (kapan) misalnya :
ِ
‫اح َسنًا‬
َ ‫ض‬ ُ ‫َم ْن ذَاالَّذ ُىي ْق ِر‬
ً ‫ض اهلل َ َق ْر‬
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik?”
(Al Baqarah: 245).

‫ىس َق ٍر‬ِ‫ماسلَ َك ُكم ف‬


َ ْ َ َ
“Apakah yang memasukkan kamu kedalam saqar (neraka)” (Al Mudatsir : 42).

c. Isim syarat seperti man (barang siapa), ma (apa saja) dan ayum (yang mana saja),
misalnya :

‫َم ْن َي ْع َم ْل ُس ْوءً جُيَْزبِِه‬


“Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu” (An Nisa’ : 123).
‫ف اِلَْي ُك ْم َواَْنتُ ْم الَتُظْلَ ُم ْو َن‬ ِ ‫وما ُتْن ِف ُق‬
َّ ‫وام ْن خَرْيٍ يُ ُو‬ ََ
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya”
(Al Baqarah : 272).

d. Isim mufrad yang ma’rifat dengan alif lam (al) atau idhafah.

‫الربَا‬
ِّ ‫َواَ َح َّل اهلل ُالَْبْي َع َو َحَّر َم‬
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al Baqarah : 275).

e. Jama’ yang dima’rifahkan dengan alif lam (al) atau dengan idhafah.

   


“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibumu” (QS. An Nisa’ : 23).
f. Isim nakirah yang terletak sesudah naïf:

‫اَهلل ُآلَاِلهَ اِالَّ ُه َو‬


“Allah rtidak ada Tuhan melainkan Dia” (QS. Al Baqarah : 255).

2. Kaidah-kaidah Pengambilan Hukum


a. Apabila Am datang karena sebab yang khusus, maka yang dianggap adalah umumnya
lafadz, bukan khususnya sebab. Contoh seperti jawaban Rasulullah SAW ketika ditanya
oleh sahabat ketika sedang mengarungi samudera dimana perbekalan airnya sedikit.
Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, air kita sedikit kalau kita pergunakan untuk
berwudhu, kita kehabisan air minum, dapatkah kita wudhu dengan air laut?
Rasulullah menjawab :
ِ
ُ‫ُه َوالطُّ ُه ْو ُر َم ُاؤهُ َواحْل ُّل َمْيتَتُه‬
“Laut itu airnya suci dan bangkainya halal (dimakan)” (HR. Turmudzi).

Karena jwaban Rasulullah SAW berbentuk Am, maka kesucian air laut dan kehalalan
bangkai binatang laut berlaku untuk sepanjang masa dan disemua keadaan, bukan
hanya kalau dalam keadaan darurat.
b. Khitab yang khusus tertuju pada salah satu umat, menunjukkan umum, kecuali apabila
diketahui ada dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat tertentu. Contohnya
seperti ketika rasulullah SAW menikahkan seorang sahabat dengan mahar mengajar Al-
Qur’an. Karena tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa mahar dengan mengajar Al-
Qur’an itu khusus bagi sahabat tersebut, maka hukum ini berlaku untuk umum, artinya
siapa saja yang dapat memberi mahar dengan mengajarkan Al-Qur’an.

3. Pengertian Khash (Khusus)


Khas adalah perkataan atau susunan kalimat yang menunjukkan arti sesuatu yang
tertentu, tidak meliputi arti yang umum.
Dalil yang mengecualikan dalil Am atau Mukhashish itu ada dua macam:
a. Mukhashish Mutasil
Mukhashish Mutasil adalah dalil pengecualian yang tidak berdiri sendiri, yakni
maknanya bersangkutan dengan lafadz sebelumnya.
Contoh firman Allah SWT:

‫س الَّتىِ َخَّر َم اهلل ُاِالَّباِحْلَ ِّق‬


ِ ‫االن ْف‬
َّ ‫َوالََت ْقُتلُ ْو‬
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhmya)
melainkan dengan sebab yang benar” (Al-An’am: 151).

Kalimat : “Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)


berbentuk Am (umum) yang ditakhshish (dikecualikan)dengan kalimat “melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar”.
b. Mukhashis Munfashil
Mukhashish Munfashil ialah dalil pengecualian yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil
yang memberikan pengertian umum.
Contoh firman Allah:
     
“Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan” (QS. AlA’raf: 31).

Perkataan “makanlah” itu berbentuk Am, karenanya kita boleh makan apa saja yang kita
kehendaki, tetapi hal ini telah dibatasi dengan firman Allah SWT yang lain:

       


     
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi
dan apa saja yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah” (QS. An Nahl: 115).

Baik mukhashish muttashil maupun mikhashish munfashil mempunyai bentuk sendiri-


sendiri.
1). Mukhashish Muttashil:
Dalil pengecualian yang bersambung mempunyai bentuk sebagai berikut:

a). Takhshish dengan Istisna’ ‫اْ ِال ْستِ ْشنَ ِاء‬


atau kecuali seperti firman Allah:

      


“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian”(Al- Ashr: 1-2).

Kemudian ditakhshish dengan ayat berikutnya:

     


  
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan nasehat-menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supayamentaati kesabaran”.
(QS. Al Ashr: 3).

b). Takhshish dengan syarat ‫اَلش َّْر ُط‬ seperti firman Allh SWT :
      
  
“Dan suami-suami mereka berhak merujuki dalam masa iddah, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).

Kalimat jika mereka (para suami) menghendaki ishlah adalah syarat. Jadi, apabila
rujuknya itu tanpa maksud ingin hidup dengan damai atau baik dalam rumah tangga
tidak diperbolehkan.

c). Takhshish dengan Ghayah ُ‫اَلْغَايَة‬ atau ‘hingga batas’, baik waktu maupun
tempat, Ghayah itu ada dua macam yaitu hatta (sehingga) dan ilaa (sampai)
(1). Ghayah dengan hatta yang menunjuk batas waktu, seperti:
       
“Dan janganlah kamu mendekati mereka (isteri-isteri yang haidh), sebelum
mereka suci” (Al Baqarah: 222).

(2). Ghayah dengan ilaa yang menunjuk batas tempat, seperti:


      
     
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” (Al Maidah:
6).

2). Al mukhashish Munfasil


Dalil-dalil pengecualian yang berdiri sendiri terpisah dari dalil yang umum,
mempunyai bentuk-bentuk sebagi berikut:
a). Ayat Al-Qur’an ditakhshish dengan ayat Al-Qur’an seperti firman Allah:
      
“Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’ (suci/haid)” (QS. Al Baqarah: 228).

Ayat ini memberi pengertian umum, meliputi wanita yang dicerai,


kemudian dikecualikan (ditakhshish) bagi wanita-wanita yang sedang hamil
dengan firman yang lain:
       
“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath Thalaq: 4).

Ayat yang ‘Amr diatas disamping ditakhshish dengan surat Ath Thalaq: 4
juga ditakhshish dengan Surat Al Baqarah: 234 tentang wanita-wanita yang
ditinggal mati suaminya dan juga di takhshish dengan surat Al Ahzab: 49
tentang wanita yang dicerai suaminya yang belum mengadakan hubungan
kelamin.
b). Ayat Al-Qur’an ditakhshish dengan Hadits, seperti:
       
  
“Allah mensyariatkan begimu tantang (pembagian pusaka untuk) anak
anakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anakperempuan” (QS. An Nisa’: 11).

Ayat diatas memberi pengertian umum, baik anak yang Islam maupun anak
yang bukan Muslim. Ayat ini kemudian ditakhshish dengan Hadits Nabi :

(‫ث الْ ُم ْسلِ ُم اْل َكافَِر َوالَاْل َكافُِرالْ ُم ْسلِ َم (رواهالبخارىومسلم))املخصص‬


ُ ‫الَيَِر‬
“Orang Islam tidak menerima waris dari orang kafir dan orang kafir tidak
menerima waris dari orang Islam” (HR. Bukhari-Muslim).

c). Hadits ditakhshish dengan Al-Qur’an, seperti:

(‫ضاءَ (رواه البخري )العام‬


َّ ‫ىت َيَت َو‬ ِ ِ
َّ ‫ث َح‬
َ ‫ُصالََة اَ َحد ُك ْم ا َذااَ ْح َد‬
َ ‫الََي ْقبَ ُل اهلل‬
)‫ومسلم‬
“Allah tidak menerima shalat seseorang diantara kamu yang berhadas,
sehingga dia berwudhu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini ditakhsisi dengan Ayat Al-Qur’an:

         
      
    
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih” (An
Nisa’: 43).

A. MUTLAQ DAN MUQAYYAD ( ‫ ُم َقيَّد‬,‫) ُمطْلَ ٌق‬


1. Perngertian Muthlaq dan Muqayyad
Menurut bahasa Mutlaq berarti tidak terikat. Menurut istilah ulama ushul, Mutlaq ialah:
ِ ٍ
ُ‫اص مَلْ يُ َقيَّ ُد بَِقْيد لَ ْفط ٍّي يُ َقلِّ ُل ُشُي ْو َعه‬
ٌّ ‫ظ َخ‬
ٌ ‫لَ ْف‬
“Suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang mengurangi
keumumannya”.

Contohnya: lafadz raqabah dalam ayat: ‫َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة‬


Jadi lafadz raqabah ini adalah mutlaq.
Sedangkan Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Sedang menurut istilah ialah:
ِ ٍ
ُ‫اص ُقيِّ َد بَِقْيدلَ ْفظ ِّي يُ َقلِّ ُل ُشُي ْو َعه‬
ٌ ‫ظ َخ‬
ٌ ‫لَ ْف‬
“Suatu lafadz tertentu yang dibatasi oleh batasan lafadz lain yang mengurangi
keumumannya”.

Contohnya: lafadz raqabah dalam ayat: ‫َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬


Jadi lafadz raqabah dalam ayat ini adalah muqayyad sebab dibatasi oleh lafadz mukminah
(raqabah mukminah).

2. Hukum Lafadz Muthlaq dan Muqayyad


Nash yang mutlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat mutlaqnya itu, selama
tidak ada dalil yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqayyad harus dipegang
sesuai dengan sifat muqayyad itu.

3. Ketentuan Mutlak dan Muqayyad


Apabila suatu lafadz disuatu tempat disebut secara mutlaq dan ditempat lain muqayyad,
maka ada empat macam ketentuan:
a. Jika keduanya sama hukum dan sebabnya. Maka yang mutlaq harus diikutkan kepada
yang muqayyad.
Contoh:

‫َّم‬
ُ ‫ت َعلَْي ُك ُم اْملَْيتَةُ َوالد‬
ْ ‫ُحِّر َم‬
(Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah) dan dalam ayat lain (Al An’am: 145)

disebutkan bahwa yang diharamkan adalah ‫َد َم َام ْس ُف ْو ًخا‬ (darah yang mengalir).
Maka berdasarkan kaidah ini kata darah yang mutlaq pada ayat pertama diikutkan
kepada kata darah yang muqayyad pada ayat kedua. Maka yang dimaksud darah dalam
Al Maidah: 3 adalah darah yang mengalir sebagaimana dalam Al An’am: 145.
b. Jika sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan
pada yang muqayyad. Seperti dalam ayat kifarad dzihar dan pembunuhan tersalah.
Dalam kasus dzihar kata budak berbentuk mutlaq (orang-orang yang mendzihar
isterinya kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan maka
mereka wajib memerdekakan budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur (QS. Al
Mujadilah: 3)).
Sedangkan dalam kifarat pembunuhan tersalah kata budak dibatasi budak yang beriman
(barang siapa yang membunuh seorang Mukmin secara tersalah maka ia harus
memerdekakan seorang hamba yang beriman dan membayar diyat (An Nisa’: 3)).
Maka dalam hal ini ketentuan memerdekakan budak dalam kifarat dzihar tidak sama
dengan ketentuan dalam kifarat pembunuhan tersalah.
c. Jika berbeda sebab dan hukumnya, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada
yang muqayyad. Seperti batasan potong tangan dalam pencurian dan batasan
membasuh tangan dalam wudhu. Kedua persoalan itu berbeda. Tangan dalam hukum
potong tangan mutlaq.

‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُ ْواأَيْ ِد َي ُه َما‬


َّ ‫لسا ِر ُق َو‬ َّ َ‫ ا‬Dan dalam ayat wudhu disebut secara
muqayyad ‫ق‬ ِ ِ‫فَا ْغ ِسلُ ْوا و ُج ْو َه ُك ْم وأَيْ ِديَ ُك ْم إِلَىالْمراف‬
ََ َ ُ
Jika sama sebab tetapi berbeda hukumnya, maka yang mutlaq tidak diikutkan pada
muqayyad. Seperti lafadz tangan dalam ayat tayammum dan wudhu, dimana dalam

ayat tayammum disebut secara mutlaq ‫فَ ْام َس ُح ْوابُِو ُج ْو ِه ُك ْم َوأَيْ ِديْ ُك ْم‬
yaitu sampai siku-siku ‫( فَا ْغ ِس لُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِلَىالْ َمَرافِ ِق‬Al Maidah: 6).
Kedua kasus diatas berbeda hukumnya tetapi sama sebabnya yaitu menghilangkan
hadats. Maka dalam hal ini yang mutlaq tetap mutlaq dan yang muqayyad tetap
muqayyad. Maka membasuh tangan dalam wudhu harus sampai siku-siku sedangkan
dalam tayamum tidak harus sampai siku-siku.

B. MANTUQ DAN MAFHUM

1. Pengertian Mantuq dan Mafhum


Mantuq secara bahasa artinya yang diucapkan. Sedang dalam istilah adalah suatu
makna atau pengertian yang diperoleh dari susunan lafadz itu sendiri (makna tersurat).
Mafhum sercara bahasa berarti “dipahami”. Sedangkan menurut istilah adalah suatu
makna atau pengertian yang tidak diperoleh dari susunan lafadz itu sendiri tetapi dari
pemahaman terhadap ucapan lafadz itu (makna tersirat).
Contoh firman Allah SWT:
ِ ِ ِ
َ َ‫َوا ْن ُك َّن أ َْوالَت مَحْ ٍل فَأَنْف ُق ْوا َعلَْي ِه َّن َحىَّت ي‬
‫ض ْع َن مَحْلَ ُه َّن‬
“Dan apabila wanita-wanita yang dicerai itu dalam keadaan hamil. Maka berilah nafkah
kepada mereka itu hingga melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Thalaq: 6).
Mantuq (makna tersurat) dari ayat ini adalah wanita yang dicerai dalam keadaan hamil
wajib diberi nafkah oleh suami yang mencerainya. Sedangkan mafhum (makna tersirat) dari
ayat ini adalah wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil tidak wajib diberi nafkah.

2. Pembagian Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah: yaitu jika hukum yang tersirat sama atau tidak berlawanan

dengan hukum yang tersurat, contoh: ٍّ ‫فَالَ َت ُق ْل هَلَُما أ‬


‫ُف‬
“Maka janganlah berkata “cis” kepada kedua orang tua” (QS. Al Isra’: 23)

Mantuq dari ayat ini adalah berkata ”cis” kepada kedua orang tua hukumnya haram.
Maka mafhumnya memukul orang tua adalah haram, karena kedua-duanya sama-sama
menyakitkan. Jika makna tersirat (mafhum) lebih berat keadaannya dari yang tersurat
ِ َ‫فَ ْحوى اخْلِط‬
‫اب‬
(mantuq) maka disebut fahwal khitab (
َ ) seperti memukul orang tua
dibanding cis. Jika makna tersirat kedudukannya sama atau lebih ringan dari yang
ِ َ‫حَلْن اْخلِط‬
‫اب‬
tersurat maka disebut lahnal khitab (
َ ) seperti berkata kasar dibanding
dengan cis.
b. Mafhum Mukhalafah, Yaitu jika makna mafhum berlawanan dengan makna mantuq.
Contoh dari hadits:

ٌ‫ىسائِ َم ِةالْغَنَ ِم َز َكاة‬ِ


َ ‫ف‬
“Dalam kambing-kambing yang digembala itu ada zakatnya”
Mafhum mukhalafah dari hadits tersebut adalah kambing-kambing yang tidak
digembalakan dalam artian diberi makan dikandang tidak dikenai zakat mafhum
mukhalafah juga disebut dalil khitab. Mafhum mukhalafah ada beberapa macam:
1). Mafhum sifat, yaitu menetapkan lawan hukum yang diambil dari sifat dalam
mantuq.

‫َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬


“Maka dengan memerdekakan hamba beriman” (QS. An Nisa’: 4).

Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut adalah memerdekakan hamba yang tidak
mukmin belum cukup.
2). Mafhum Ghayah, yaitu menetapkan lawan hukum yang diambil dari batasan yang
ada dalam mantuq.

‫ىت يَطْ ُه ْر َن‬


َّ ‫وه َّن َح‬
ُ ُ‫فَالََت ْقَرب‬
“Janganlah mendekati isteri-isteri kalian yang sedang haid hingga mereka suci”.

Kata “hingga” disini menunjukkan batasan. Dan mafhum dari ayat ini adalah isteri-
isteri yang sudah suci boleh digauli.
3). Mafhum Syarat, yaitu menetapkan lawan hukum yang diambil dari syarat yang ada
dalam mantuq.
        
 
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian maskawin itu dengan
senang hati maka makanlah pemberian itu dengan sedap lagi baik akibatnya”(QS.
An Nisa’: 4).

Menurut mantuq ayat ini , seorang suami boleh memakan maskawin yang diberikan
kepada seorang isteri jika isterinya menyerahkan dengan suka rela. Mafhum dari
ayat ini adalah suami tidak diperbolehkan memakan sebagian dari maskawin itu jika
isteri tidak memperkenankannya.
4). Mafhum adad, yaitu menetapkan lawan hukum dari batasan bilangan yang ada
dalam mantuq, contoh:

‫اجلِ ُد ْو ُه ْم مَثَانِنْي َ َج ْل َد ًة‬


ْ َ‫ف‬
“Maka deralah mereka 80 kali” (QS. An Nuur: 4).

Mafhum dari ayat ini adalah tidak boleh mendera lebih atau kurang dari 80 kali.
5). Mafhum Hasyr, yaitu menetapkan lawan hukum dari hukum-hukum mantuq yang
dihasrkan, (khusus hanya untuknya) contoh:

)‫إِمَّنَا الْ َوالَءُ لِ َم ْن أ َْعتَ َق (رواه البخارى‬


“Hak wala’ (mewarisi harta budak) hanya bagi orang yang memerdekakannya”.
(HR. Bukhari).

Mafhum dari mantuq haditz ini selain yang memerdekakannya tidak berhak
mempusakai harta bekas budak.
6). Mafhum Laqab, Yaitu menetapkan hukum bagi mafhum dari isim alam atau isim
jenis yang disebutkan dalam mantuq.

3. Kehujjahan Mafhum
Para ulama bersepakat bahwa berhujjah dengan mafhum muwafaqah diperbolehkan.
Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperselisihkan jumhur ulama
memperbolehkannya kecuali mafhum laqab, sedangkan Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari
kalangan Zhahiriyah tidak membolehkannya berhujjah dengan mafhum mukhalafah.

A. MUJMAL DAN MUBAYYAN

1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan


Yang dimaksud Mujmal adalah :

ِِ ِِ ِ ِ ُ ‫اَللَّ ْف‬
ُ‫ظ الَّذىْالَيَ ُد ُّل بِصْيغَته َعلَىاْملَُرادمْنه‬
“Lafadz yang shighatnya tidak (jelas) menunjukkan apa yang dimaksud”.

Sedang mubayyan adalah :

ِِ ِِ ِ ِ ُ ‫اَللَّ ْف‬
ُ‫ظ الَّذ ْي يَ ُد ُّل بِصْيغَته َعلَىالْ ُمَرادمْنه‬
“Lafadz yang sighatnya (jelas) menunjukkan apa yang dimaksud”

Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas apabila tidak ada keterangan yang
menjelaskannya. Penjelasan ini disebut “Bayyan” dan ketidak jelasan ini disebut “Ijmal.
Sedangkan mubayyan adalah lafadz yang sudah mempunyai arti yang jelas dan tidak
membutuhkan penjelasan.
Contoh lafadz mujmal adalah lafadz quru’ dalam firman Allah SWT:

      


“Orang-orang perempuan yang dicerai suaminya menantikan iddahnya tiga kuru”
(QS. Al Baqarah: 228)

Lafadz quru’ disini mujmal karena ia mempunyai dua arti yaitu “haid” dan “suci”, dan belum
diketahui mana yang dikehendaki dari keduanya.
Lafadz mujmal ada tiga macam:
a. Makna musytarak: memiliki lebih dari satu pengertian yang sulit ditentukan.
b. Lafadz yang dipindah oleh syara’ dari pengertian bahasa menjadi istilah tertentu,
seperti shalat, zakat dan lain-lain.
c. Lafadz yang oleh syara’ dipindah dari makana umum menjadi makna khusus seperti Al-
Qari’ah, Al Sa’ah yang berrarti qiyamat
d. Tidak jelas dalam kembalinya dzamir seperti hadits:

‫ض َع َخ َشبَةً ىِف ِج َدا ِر ِه‬


َ َ‫َح ُد ُك ْم َج َارهُ أَ ْن ي‬
َ ‫الَمَيْنَ ُع أ‬
“Janganlah salah seorang diantara kamu melarang tetangganya untuk meletakkan
kayu pada dindingnya”

Kata ‘nya’ pada dindingnya mujmal belum jelas, apakah kembalinya untuk menentukan
maknanya sebelum ada keterangan.

2. Hukum Mujmal
Apabila ada lafadz mujmal maka tawwaquf untuk menentukan maknanya sebelum ada
keterangan dari syara’.

3. Mubayyan
Bayyan adalah penjelasan lafadz mujmal hingga menjadi jelas maknanya. Bayyan ada
beberapa macam, yaitu:
a. Bayyan dengan perkataan: seperti firman Allah dalam kifarat puasa bagi haji tamattu’:
         
   
“Maka dia wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi bila kamu sudah
pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna” (QS. Al Baqarah : 196).

Lafadz tujuh dalam bahasa Arab sering berarti banyak. Untuk menjelaskan tujuh betul-
betul Allah mengiringi dengan “sepuluh hari yang sempurna” (QS. Al Baqarah: 196).

b. Bayyan dengan perbuatan, seperti penjelasan Nabi tentang tatacara shalat.


c. Bayyan dengan isyarat, seperti penjelasan Nabi mengangkat kesepuluh jari tangannya
tiga kali, kemudian mengulanginya dengan membenamkan satu jarinya ketika
menjelaskan jumlah hari (dalam satu bulan qamariyah yang kadang 30 hari atau 29
hari).
d. Bayyan dengan meninggalkan perbuatan, seperti perbuatan Nabi meninggalkan qunut
yang sebelumnya beliau lakukan selama sebulan.
e. Bayyan dengan tulisan.
f. Bayyan dengan diam sesudah pertanyaan.
g. Bayyan dengan takhshish.

B. MURADIF DAN MUSYTARAK

1. Pengertian Muradif dan Musytarak

Muradif adalah beberapa lafadz yang memiliki satu arti (sinonim) seperti ‫أسد‬ dan

‫ث‬ٌ ‫ لَْي‬yang berarti singa. Sedangkan musytarak adalah satu kata yang memiliki arti lebih
lebih dari satu, seperti kata quru’ yang artinya suci dan haid atau kata ‫ ملس‬dalam firman
Allah
َ‫ِّس اء‬
َ ‫أ َْوالََم ْس تُ ُم الن‬ yang mempunyai arti menyentuh dan jima’. Dalam lafadz
musytarak beberapa arti itu semua merupakan arti yang sebenarnya bukan majas.

2. Hukum Lafadz Muradif


Para ulama berselisih mengenai penggunaan lafadz muradif dalam dzikir dan shalat.

Imam Malik dan Imam Syafi’I tidak membolehkan membaca takbir kecuali dengan ‫اهلل اكرب‬
Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan lafadz yang sama artinya

dengan . ‫اهلل اعضم‬


3. Hukum Lafadz Musytarak
Jumhur ulama berpendapat pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa
maknanya adalah boleh. Alasan jumhur adalah firman Allah SWT :
            
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di
bumi”.(QS. Al Hajj: 18)

Kata bersujud mempunyai dua arti, tunduk dan meletakkan dahi diatas bumi. Al-Qur’an
menggunakan kedua-duanya. Bagi makhluk yang tidak berakal sujud disini berarti tunduk,
sedangkan yang berakal berarti meletakkan dahi diatas bumi.

C. ZAHIR DAN TA’WIL

1. Pengertian Zahir dan Contohnya


Zahir menurut bahasa berarti jelas, dan menurut istilah berarti suatu lafadz yang tertuju
pada dua makna tetapi lebih berat menuju salah satu makna yang lebih jelas. Contoh firman
Allah SWT:

            
 
“Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya, dan tidak pula
melampaui batas maka tidak ada dosa baginya” (QS. Al Baqarah: 173).

Lafadz “baghim” mempunyai makna “bodoh” dan “melampaui batas” tetapi lebih dekat
pada yang kedua. Contoh lain adalah firman Allah SWT:

     


“Janganlah kalian mendekati isteri-isteri yang sedang haid sehingga mereka suci”
(QS. Al Baqarah: 222).

Kata suci berarti sudah wudhu atau mandi. Tetapi disini lebih kuat pada makna kedua yaitu
mandi.
2. Pengertian Ta’wil dan Contohnya
Ta’wil menurut bahasa berarti berpaling atau berbelok apabila kembali dan menurut
istilah adalah membelokkan lafadz dari makna dzahirnya kepada makna lain yang
memungkinkan berdasar dalil. Contoh:

      


“Segala sesuatu akan binasa kecuali dzat Allah” (QS. Al Qashash: 88).

      


“Dan rendahkanlah dirimu pada keduanya dengan penuh kasih sayang” (Al Isra’: 24).

Makna zahir dari kata "‫"وجه‬ memiliki makna zahir ‘Wajah’ kemudian di ta’wil dengan

dzat karena tidak mungkin dimaknai secara dzahir. Demikian pula kata ‫جذاع‬ pada ayat
kedua yang berarti sayap. Dita’wil dengan ‘Tawadhu’ karena manusia tidak punya sayap.

3. Syarat-syarat Ta’wil
Ta’wil harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Sesuai dengan kaidah bahasa dan sastra Arab
b. Bisa dipergunakan sepanjang pengertian bahasa
c. Sesuai dengan ketentuan syara’ yang berlaku
d. Ada dalil atau qarinah tentang ta’wilnya
e. Jika ta’wil berdasarkan qiyas, harus memakai qiyas yang jelas.

4. Hukum Ta’wil
Para ulama bersepakat bahwa ta’wil terhadap nash-nash yang berkaitan dengan
persoalan furu’ diperbolehkan. Adapun dalam hal-hal yang bersifat pokok seperti soal-soal
kepercayaan dan sifat-sifat Tuhan, para ulama berbeda pendapat. Contoh firman Allah SWT:

    


“Allah bersemayam diatas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Ayat seperti ini disebut ayat mutasyabihat (samar-samar). Menurut zahir ayat ini Tuhan
seperti makhluk karena Dia mempunyai tempat tinggal yaitu ‘Arsy. Menurut ulama salaf
ayat ini deserahkan pengertiannya kepada Allah. Sedangkan menurut ulama tertentu ayat
ini dapat dita’wilkan dengan berkuasa.

A. NASIKH DAN MANSUKH

1. Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh


Nasakh menurut bahasa berarti membatalkan, sedang menurut istilah ialah:
ُ َ‫اِبْط‬
ٍ ‫ال اْ َلع َم ِل بِاحْلُ ْك ِم الش َّْر ِع ِّي بِ َدلِْي ٍل ُمَتَر‬
ُ‫اخ َعْنه‬
“Membatalkan pengamalan sesuatu hukum syara’dengan dalil yang datang kemudian”

Yang membatalkan disebut nasikh dan yang dibatalkan disebut mansukh.


Para ulama sepakat nasakh atau pembatalan hukum syara’ dalam Al-Qur’an dan As
Sunnah hanya terjadi pada zaman Rasul masih hidup, kecuali Abu Muslim al Asfahany yang
menyatakan tidak ada nasak dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh nasakh antara lain tersebut dalam hadits berikut:
ِ َّ ِ‫ت اْمل ْق ِد ِس ف‬
‫ك‬ َ ‫ىالصالَِة ِستَّةَ َع َشَر‬
َ ‫اش ْهًرا مُثَّ نُ ِس َخ َذل‬ َ ‫اَ َّن النَّيِب َّ ص م قَ َام يَ ْسَت ْقبِ ُل َبْي‬
ِ‫ب التَّو ُّج ِه اِىَل اْل َكعبة‬ َ
ِ ِ
َ‫بطَل‬
َْ َ
“Sesungguhnya Nabi menghadap ke Baitul Maqdis dalam Shalat selama enam belas bulan,
kemudian dinasakhkan yang demikian itu dengan tuntutan menghadap ke Ka’bah”. (HR.
Bukhari dan Muslim)

Nasakh menurut bahasa berarti memindahkan, membatalkan atau menghapuskan.


Sedangkan menurut istilah ialah penghapusan hukum syar’i dengan satu dalil syar’i yang
datang kemudian. Seperti penghapusan larangan ziarah kubur, penghapusan nikah mut’ah
dan lain-lain.

2. Dasar adanya Nasakh


Firman Allah SWT :
           

“Mana ayat-ayat yang kami hapus atau kami lupakan orang kepadanya, kami datangkan
sebagai gantinya yang lebih baik dari padanya atau yang sama dengannya. (QS. Al Baqarah:
106).
          
“Dan apabila kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain dan Allah lebih mengetahui
apa yang diturunkanNya …” (QS. An Nahl: 101).

3. Perbedaan Pendapat Mengenai Adanya Nasakh dalam Al-Qur’an


Mayoritas ulama menetapkan nasakh dengan alasan sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT Surat Al Baqarah: 106 dan surat An Nahl: 101
b. Didalam Al-Qur’an betul-betul terjadi nasakh. Imam As-Suyuti menghitung ada 20 kasus
nasakh dalam Al-Qur’an.
c. Secara aqli nasakh dimungkinkan karena kemaslahatan manusia dapat merubah
menurut keadaan waktu.
Menasakh berarti membatlkan sedangkan dalam Al-Qur’an tidak ada sesuatu yang batil
hingga harus dibatalkan sebagai firmanNya:
          
   
“Tidak datang kebatilan kepadanya baik dari depan maupun dari belakang”
(QS. Fushilat: 42).
Menurut Abu Muslim makna ayat dalam dalam QS. Al Baqarah: 106 dan An Nahl: 101
adalah syari’at. Maka yang dimaksud dengan ayat yang dinasakh adalah syari’at kitab-kitab
suci terdahulu.

4. Macam-macam Nasakh
a). Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Jenis ini ada beberapa macam, yaitu:
1). Yang dinasakh bacaan tetapi hukumnya tetap, misalnya ayat :

َ‫اَلشَّْي ُخ َوالشَّْي َخةُ إِ َذا َز َنيَا فَ ْارمُجُْو َها اْلبَتَّة‬


“Orang laki-laki dan orang perempuan yang sudah menikah jika berzina maka
rajamlah keduanya tidak boleh tidak”

Ayat ini sudah dihapus bacaannya dari Al Qur’an tetapi hukumnya (hukum rajam)
masih tetap.
2) Yang dinasakh hukumnya tetapi bacaannya tetap ada, seperti khamr dan kewajiban
berwasiat, ayat khamr (An Nisa’: 43 di nasakh oleh surat Al Maidah: 90), Surat Al
Mujadilah: 12 tentang kewajiban bershodaqah sebelum bermunajad dengan Nabi
telah dinasakh dengan Surat Al Mujadalah: 13.
3). Yang dinasakh bacaan beserta hukumnya seperti ketentuan tentang batas
menyusui bagi haramnya saudara susuan untuk dinikahi dalam riwayat Aisiyah:
ٍ ‫س رضع‬ ‫خِب‬ ٍ ٍ ‫َكا َن فِيما أُنْ ِز َل ع ْشر ر‬
‫ات‬ َ َ َ ٍ ‫ض َعات َم ْعلُ ْو َمات حُيََّر ْم َن َفنَ َس ْخ َن َ ْم‬
َ َُ َ َْ
ٍ ‫معلُوم‬
‫ات حُيََّر ْم َن‬ َْ َْ
“Menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) sepuluh kali menyusui
yang diketahui itu hukumnya haram. Kemudian dinasakh dengan lima kali
menyusui yang diketahui itu menjadi haram”

b). Nasakh Al-Qur’an dengan As Sunnah.


Seperti firman Allah SWT:
        
      
 
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf[112], (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa. (QS. Al Baqarah180).

[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta
orang yang akan meninggal itu. ayat Ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Ketentuan ayat ini telah dinasakh oleh hadits:

ٍ ‫الَو ِصيَّ ِة لِوا ِر‬


)‫ث (رواه الرتمذى‬ َ َ
“Tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. Turmudzi).
c). Nasakh Sunah dengan Sunah seperti larangan ziarah kubur yang dinasakh dengan Sunah
sendiri juga tentang nikah mut’ah.
d). Nasakh Sunah dengan Al-Qur’an, seperti shalat menghadap ke Baitul Maqdis
sebagaimana diterangkan Assunnah:

َّ ‫اسَت ْقَبلَهُ قِى‬


)‫الصالَِة ِستَّةَ َع َشَر َش ْهًرا (رواه متفق عليه‬ ْ
“Bahwasanya Nabi menghadap (Baitul Maqdis) dalam shalat 16 bulan”

Kemudian dinasakh dengan ayat:

‫ك َشطَْرالْ َم ْس ِج ِداحْلََر ِام‬


َ ‫َف َو ِّل َو ْج ِه‬
“Hadapkan mukamu kearah Masjidil Haram” (QS. Al Baqarah: 144).

Anda mungkin juga menyukai