Standar Kompetensi :
4. Memahami kaidah-kaidah ushul fiqh
Kompetensi Dasar :
4.1. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah amar dan nahi
4.2. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah ’am dan khas
4.3. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah mujmal dan mubayyan
4.4. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah muradhif dan musytarak
4.5. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah muthlaq muqayyad
4.6. Menjelaskan pengertian dan penerapan zahir dan ta’wil
4.7. Menjelaskan pengertian dan penerapan kaidah manthuq dan mafhum
4.8. Menjelaskan pengertian dan penerapan nasikh dan mansukh
2. Bentuk-bentuk Amr
Lafadz yang menunjukkan kepada perintah sebagaimana dimaksudkan dalam
pengertian diatas dinyatakan dalam beberapa bentuk, yaitu :
a. Fi’il Amr, seperti :
حِن
ًص ُدقَتِ ِه َّن ْلَة
َ َِّسآء
َ َواَتُواالن
b. Fi’il Mudhari’, yang diawali الَ ُم اْالَ ْم ِر , seperti :
الصيَ ُام
ِّ ب َعلَْي ُك ُم ِ يآيُّهاالَّ ِذين اَمنُوا ُكت...
َ َ َْ َ َ
Menggunakan kata amara:
ِ َاِ َّن اهلل َيأْمر ُكم اَ ْن ُت َؤدُّوااْال
منت ْ ُُ َ
Sebagai jawab Syarat:
Kaidah pertama
ِ صل فِىاْالَ ْم ِرلِْلوجو
َب َوالَتَ ُد ُّل َعلَى َغرِي ِ ِه اِالَّبَِق ِر ْينَ ٍة ُْ ُ ُ ْ َاْال
“Pada dasarnya perintah (amr) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan
kepada selain wajib kecuali dengan qarinah, antara lain seperti berikut ini:
Maksud dari kaidah ini ialah apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang,
kemudian datang perintah untuk mengerjakan, maka maka perintah tersebut bukan
perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah
ayat 10:
ِ ضل ِ ُض وابَتغ ِ ِ ِ ِ
ِ ضي
ِهلل ْ َوام ْن ف ْ َ ِ الصلوةُ فَا ْنتَش ُروافىاْالَْر
َّ ت َ ُفَا َذاق
“Apabila shalat ( jum’at) telah dilaksanakan, maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah
karunia (rezki) Allah”.
Kaidah ketiga
ِ َاْالَصل فِىاْالَم ِرالَي ْقت
َضىالْ َف ْو َر َ ْ ُْ
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”
Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj: 27:
ِ َواَذِّ ْن فِىالن
َّاس بِاحْلَ ِّج
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”.
Namun demikian para ulama telah bersepakat bahwa perintah melaksanakan sesuatu
yang berkaitan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan dan tidak boleh diluar waktu. Bila dikerjakan diluar waktu tanpa sebab yang
dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya berdosa.
Kaidah keempat
ِ َاْالَصل فِىاْالَم ِرالَي ْقت
َضى التِّ ْكَر َار َ ْ ُْ
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan
perintah)”.
Misalnya perintah mengerjakan haji, yaitu satu kali seumur hidup. Namun bila
perintah itu dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka harus ada qarinah atau
kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Menurut ulama qarinah itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga:
a. Perintah itu dihubungkan dengan syarat, seperti wajib mandi setiap junub.
Seperti hukum rajam sebab melakukan zina. Lihat surat An-Nur ayat: 2
c. Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai ‘Illat, seperti
kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.
ِ َّم
س ِ ِ َّ اَقِ ِم
ْ الصلوةَل ُدلُْوك الش
“Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir” (QS. Al-Isra’: 78).
Kaidah Kelima :
Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa
terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan
perbuatan yang diperintahkan itu. Seperti kewajiban mengerjakan shalat. Shalat ini tidak
dapat dilaksanakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat berarti juga
perintah bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, ulama menetapkan kaidah :
4. Pengertian Nahi
Menurut bahasa النَّ ِه ْيberarti larangan. Sedang menurut istilah ialah :
َب الت َّْر ِك ِم َن اْالَ ْعلىاِلىاَ ْدىن ِ
ُ َالنَّه ْي ُه َو طَل
“Larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih
tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”.
5. Bentuk-bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukkan kepada “NAHI” (larangan) itu ada beberapa bentuk:
ِ ِ
a. Fi’il Mudhari’ ( ُضارِع َ ) اْلف ْع ُل الْ ُمyang disertai dengan lannahiyah ( ُ) الَالنَّاهيَّة, seperti :
ِ الَ َت ْف ُس ُد ْوافِىاْالَْر
ض
b. Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu
perbuatan, seperti:
الربَوا
ِّ َواَ َح َّل اهلل ُالَْبْي َع َو َحَّر َم
6. Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah Pertama:
Menurut jumhur :
ِ ِ َاْال
ْ ص ُل فىالنَّ ِه ْي للت
َِّح ِرمْي ْ
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram”
Seperti :
والزىن
ِّ َُوالََت ْقَرب
Alasan yang dipakai jumhur :
a. Akal dapat memahami bahwa sighat (bentuk) nahi itu menunjukkan arti yang
sebenarnya, yaitu melarang.
b. Ulama salaf memahami sighat nahi yang bebas dari qarinah manunjukkan larangan.
Sebagian ulama berpendapat :
Menurut mereka bahwa nahi menunjukkan sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik.
Karena itu, tidak menunjukkan haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang
pasti.
Sighat nahi selain menunjukkan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menunjukkan
beberapa arti, antara lain sebagai berikut:
Seperti:
ِ ِالَتُ ْش ِر ْك ب
اهلل
“Janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah Ketiga
Kaidah Keempat:
ِ َاْالَصل فِىالنَّ ِهي ي ْقت
ضىالْ َف َس َاد ُمطْلَ ًقا َْ ُْ
“Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad (rusak)secara mutlak”
b. Isim istifham yaitu man (siapa) ma (apa), aina (dimana) dan mata (kapan) misalnya :
ِ
اح َسنًا
َ ض ُ َم ْن ذَاالَّذ ُىي ْق ِر
ً ض اهلل َ َق ْر
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik?”
(Al Baqarah: 245).
c. Isim syarat seperti man (barang siapa), ma (apa saja) dan ayum (yang mana saja),
misalnya :
d. Isim mufrad yang ma’rifat dengan alif lam (al) atau idhafah.
الربَا
ِّ َواَ َح َّل اهلل ُالَْبْي َع َو َحَّر َم
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al Baqarah : 275).
e. Jama’ yang dima’rifahkan dengan alif lam (al) atau dengan idhafah.
Karena jwaban Rasulullah SAW berbentuk Am, maka kesucian air laut dan kehalalan
bangkai binatang laut berlaku untuk sepanjang masa dan disemua keadaan, bukan
hanya kalau dalam keadaan darurat.
b. Khitab yang khusus tertuju pada salah satu umat, menunjukkan umum, kecuali apabila
diketahui ada dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat tertentu. Contohnya
seperti ketika rasulullah SAW menikahkan seorang sahabat dengan mahar mengajar Al-
Qur’an. Karena tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa mahar dengan mengajar Al-
Qur’an itu khusus bagi sahabat tersebut, maka hukum ini berlaku untuk umum, artinya
siapa saja yang dapat memberi mahar dengan mengajarkan Al-Qur’an.
Perkataan “makanlah” itu berbentuk Am, karenanya kita boleh makan apa saja yang kita
kehendaki, tetapi hal ini telah dibatasi dengan firman Allah SWT yang lain:
b). Takhshish dengan syarat اَلش َّْر ُط seperti firman Allh SWT :
“Dan suami-suami mereka berhak merujuki dalam masa iddah, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah” (QS. Al Baqarah: 228).
Kalimat jika mereka (para suami) menghendaki ishlah adalah syarat. Jadi, apabila
rujuknya itu tanpa maksud ingin hidup dengan damai atau baik dalam rumah tangga
tidak diperbolehkan.
c). Takhshish dengan Ghayah ُاَلْغَايَة atau ‘hingga batas’, baik waktu maupun
tempat, Ghayah itu ada dua macam yaitu hatta (sehingga) dan ilaa (sampai)
(1). Ghayah dengan hatta yang menunjuk batas waktu, seperti:
“Dan janganlah kamu mendekati mereka (isteri-isteri yang haidh), sebelum
mereka suci” (Al Baqarah: 222).
Ayat yang ‘Amr diatas disamping ditakhshish dengan surat Ath Thalaq: 4
juga ditakhshish dengan Surat Al Baqarah: 234 tentang wanita-wanita yang
ditinggal mati suaminya dan juga di takhshish dengan surat Al Ahzab: 49
tentang wanita yang dicerai suaminya yang belum mengadakan hubungan
kelamin.
b). Ayat Al-Qur’an ditakhshish dengan Hadits, seperti:
“Allah mensyariatkan begimu tantang (pembagian pusaka untuk) anak
anakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anakperempuan” (QS. An Nisa’: 11).
Ayat diatas memberi pengertian umum, baik anak yang Islam maupun anak
yang bukan Muslim. Ayat ini kemudian ditakhshish dengan Hadits Nabi :
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih” (An
Nisa’: 43).
َّم
ُ ت َعلَْي ُك ُم اْملَْيتَةُ َوالد
ْ ُحِّر َم
(Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah) dan dalam ayat lain (Al An’am: 145)
disebutkan bahwa yang diharamkan adalah َد َم َام ْس ُف ْو ًخا (darah yang mengalir).
Maka berdasarkan kaidah ini kata darah yang mutlaq pada ayat pertama diikutkan
kepada kata darah yang muqayyad pada ayat kedua. Maka yang dimaksud darah dalam
Al Maidah: 3 adalah darah yang mengalir sebagaimana dalam Al An’am: 145.
b. Jika sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan
pada yang muqayyad. Seperti dalam ayat kifarad dzihar dan pembunuhan tersalah.
Dalam kasus dzihar kata budak berbentuk mutlaq (orang-orang yang mendzihar
isterinya kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan maka
mereka wajib memerdekakan budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur (QS. Al
Mujadilah: 3)).
Sedangkan dalam kifarat pembunuhan tersalah kata budak dibatasi budak yang beriman
(barang siapa yang membunuh seorang Mukmin secara tersalah maka ia harus
memerdekakan seorang hamba yang beriman dan membayar diyat (An Nisa’: 3)).
Maka dalam hal ini ketentuan memerdekakan budak dalam kifarat dzihar tidak sama
dengan ketentuan dalam kifarat pembunuhan tersalah.
c. Jika berbeda sebab dan hukumnya, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada
yang muqayyad. Seperti batasan potong tangan dalam pencurian dan batasan
membasuh tangan dalam wudhu. Kedua persoalan itu berbeda. Tangan dalam hukum
potong tangan mutlaq.
ayat tayammum disebut secara mutlaq فَ ْام َس ُح ْوابُِو ُج ْو ِه ُك ْم َوأَيْ ِديْ ُك ْم
yaitu sampai siku-siku ( فَا ْغ ِس لُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِلَىالْ َمَرافِ ِقAl Maidah: 6).
Kedua kasus diatas berbeda hukumnya tetapi sama sebabnya yaitu menghilangkan
hadats. Maka dalam hal ini yang mutlaq tetap mutlaq dan yang muqayyad tetap
muqayyad. Maka membasuh tangan dalam wudhu harus sampai siku-siku sedangkan
dalam tayamum tidak harus sampai siku-siku.
2. Pembagian Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah: yaitu jika hukum yang tersirat sama atau tidak berlawanan
Mantuq dari ayat ini adalah berkata ”cis” kepada kedua orang tua hukumnya haram.
Maka mafhumnya memukul orang tua adalah haram, karena kedua-duanya sama-sama
menyakitkan. Jika makna tersirat (mafhum) lebih berat keadaannya dari yang tersurat
ِ َفَ ْحوى اخْلِط
اب
(mantuq) maka disebut fahwal khitab (
َ ) seperti memukul orang tua
dibanding cis. Jika makna tersirat kedudukannya sama atau lebih ringan dari yang
ِ َحَلْن اْخلِط
اب
tersurat maka disebut lahnal khitab (
َ ) seperti berkata kasar dibanding
dengan cis.
b. Mafhum Mukhalafah, Yaitu jika makna mafhum berlawanan dengan makna mantuq.
Contoh dari hadits:
Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut adalah memerdekakan hamba yang tidak
mukmin belum cukup.
2). Mafhum Ghayah, yaitu menetapkan lawan hukum yang diambil dari batasan yang
ada dalam mantuq.
Kata “hingga” disini menunjukkan batasan. Dan mafhum dari ayat ini adalah isteri-
isteri yang sudah suci boleh digauli.
3). Mafhum Syarat, yaitu menetapkan lawan hukum yang diambil dari syarat yang ada
dalam mantuq.
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian maskawin itu dengan
senang hati maka makanlah pemberian itu dengan sedap lagi baik akibatnya”(QS.
An Nisa’: 4).
Menurut mantuq ayat ini , seorang suami boleh memakan maskawin yang diberikan
kepada seorang isteri jika isterinya menyerahkan dengan suka rela. Mafhum dari
ayat ini adalah suami tidak diperbolehkan memakan sebagian dari maskawin itu jika
isteri tidak memperkenankannya.
4). Mafhum adad, yaitu menetapkan lawan hukum dari batasan bilangan yang ada
dalam mantuq, contoh:
Mafhum dari ayat ini adalah tidak boleh mendera lebih atau kurang dari 80 kali.
5). Mafhum Hasyr, yaitu menetapkan lawan hukum dari hukum-hukum mantuq yang
dihasrkan, (khusus hanya untuknya) contoh:
Mafhum dari mantuq haditz ini selain yang memerdekakannya tidak berhak
mempusakai harta bekas budak.
6). Mafhum Laqab, Yaitu menetapkan hukum bagi mafhum dari isim alam atau isim
jenis yang disebutkan dalam mantuq.
3. Kehujjahan Mafhum
Para ulama bersepakat bahwa berhujjah dengan mafhum muwafaqah diperbolehkan.
Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperselisihkan jumhur ulama
memperbolehkannya kecuali mafhum laqab, sedangkan Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari
kalangan Zhahiriyah tidak membolehkannya berhujjah dengan mafhum mukhalafah.
ِِ ِِ ِ ِ ُ اَللَّ ْف
ُظ الَّذىْالَيَ ُد ُّل بِصْيغَته َعلَىاْملَُرادمْنه
“Lafadz yang shighatnya tidak (jelas) menunjukkan apa yang dimaksud”.
ِِ ِِ ِ ِ ُ اَللَّ ْف
ُظ الَّذ ْي يَ ُد ُّل بِصْيغَته َعلَىالْ ُمَرادمْنه
“Lafadz yang sighatnya (jelas) menunjukkan apa yang dimaksud”
Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas apabila tidak ada keterangan yang
menjelaskannya. Penjelasan ini disebut “Bayyan” dan ketidak jelasan ini disebut “Ijmal.
Sedangkan mubayyan adalah lafadz yang sudah mempunyai arti yang jelas dan tidak
membutuhkan penjelasan.
Contoh lafadz mujmal adalah lafadz quru’ dalam firman Allah SWT:
Lafadz quru’ disini mujmal karena ia mempunyai dua arti yaitu “haid” dan “suci”, dan belum
diketahui mana yang dikehendaki dari keduanya.
Lafadz mujmal ada tiga macam:
a. Makna musytarak: memiliki lebih dari satu pengertian yang sulit ditentukan.
b. Lafadz yang dipindah oleh syara’ dari pengertian bahasa menjadi istilah tertentu,
seperti shalat, zakat dan lain-lain.
c. Lafadz yang oleh syara’ dipindah dari makana umum menjadi makna khusus seperti Al-
Qari’ah, Al Sa’ah yang berrarti qiyamat
d. Tidak jelas dalam kembalinya dzamir seperti hadits:
Kata ‘nya’ pada dindingnya mujmal belum jelas, apakah kembalinya untuk menentukan
maknanya sebelum ada keterangan.
2. Hukum Mujmal
Apabila ada lafadz mujmal maka tawwaquf untuk menentukan maknanya sebelum ada
keterangan dari syara’.
3. Mubayyan
Bayyan adalah penjelasan lafadz mujmal hingga menjadi jelas maknanya. Bayyan ada
beberapa macam, yaitu:
a. Bayyan dengan perkataan: seperti firman Allah dalam kifarat puasa bagi haji tamattu’:
“Maka dia wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi bila kamu sudah
pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna” (QS. Al Baqarah : 196).
Lafadz tujuh dalam bahasa Arab sering berarti banyak. Untuk menjelaskan tujuh betul-
betul Allah mengiringi dengan “sepuluh hari yang sempurna” (QS. Al Baqarah: 196).
Muradif adalah beberapa lafadz yang memiliki satu arti (sinonim) seperti أسد dan
ثٌ لَْيyang berarti singa. Sedangkan musytarak adalah satu kata yang memiliki arti lebih
lebih dari satu, seperti kata quru’ yang artinya suci dan haid atau kata ملسdalam firman
Allah
َِّس اء
َ أ َْوالََم ْس تُ ُم الن yang mempunyai arti menyentuh dan jima’. Dalam lafadz
musytarak beberapa arti itu semua merupakan arti yang sebenarnya bukan majas.
Imam Malik dan Imam Syafi’I tidak membolehkan membaca takbir kecuali dengan اهلل اكرب
Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan takbir dengan lafadz yang sama artinya
Kata bersujud mempunyai dua arti, tunduk dan meletakkan dahi diatas bumi. Al-Qur’an
menggunakan kedua-duanya. Bagi makhluk yang tidak berakal sujud disini berarti tunduk,
sedangkan yang berakal berarti meletakkan dahi diatas bumi.
“Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya, dan tidak pula
melampaui batas maka tidak ada dosa baginya” (QS. Al Baqarah: 173).
Lafadz “baghim” mempunyai makna “bodoh” dan “melampaui batas” tetapi lebih dekat
pada yang kedua. Contoh lain adalah firman Allah SWT:
Kata suci berarti sudah wudhu atau mandi. Tetapi disini lebih kuat pada makna kedua yaitu
mandi.
2. Pengertian Ta’wil dan Contohnya
Ta’wil menurut bahasa berarti berpaling atau berbelok apabila kembali dan menurut
istilah adalah membelokkan lafadz dari makna dzahirnya kepada makna lain yang
memungkinkan berdasar dalil. Contoh:
Makna zahir dari kata ""وجه memiliki makna zahir ‘Wajah’ kemudian di ta’wil dengan
dzat karena tidak mungkin dimaknai secara dzahir. Demikian pula kata جذاع pada ayat
kedua yang berarti sayap. Dita’wil dengan ‘Tawadhu’ karena manusia tidak punya sayap.
3. Syarat-syarat Ta’wil
Ta’wil harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Sesuai dengan kaidah bahasa dan sastra Arab
b. Bisa dipergunakan sepanjang pengertian bahasa
c. Sesuai dengan ketentuan syara’ yang berlaku
d. Ada dalil atau qarinah tentang ta’wilnya
e. Jika ta’wil berdasarkan qiyas, harus memakai qiyas yang jelas.
4. Hukum Ta’wil
Para ulama bersepakat bahwa ta’wil terhadap nash-nash yang berkaitan dengan
persoalan furu’ diperbolehkan. Adapun dalam hal-hal yang bersifat pokok seperti soal-soal
kepercayaan dan sifat-sifat Tuhan, para ulama berbeda pendapat. Contoh firman Allah SWT:
Ayat seperti ini disebut ayat mutasyabihat (samar-samar). Menurut zahir ayat ini Tuhan
seperti makhluk karena Dia mempunyai tempat tinggal yaitu ‘Arsy. Menurut ulama salaf
ayat ini deserahkan pengertiannya kepada Allah. Sedangkan menurut ulama tertentu ayat
ini dapat dita’wilkan dengan berkuasa.
4. Macam-macam Nasakh
a). Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Jenis ini ada beberapa macam, yaitu:
1). Yang dinasakh bacaan tetapi hukumnya tetap, misalnya ayat :
Ayat ini sudah dihapus bacaannya dari Al Qur’an tetapi hukumnya (hukum rajam)
masih tetap.
2) Yang dinasakh hukumnya tetapi bacaannya tetap ada, seperti khamr dan kewajiban
berwasiat, ayat khamr (An Nisa’: 43 di nasakh oleh surat Al Maidah: 90), Surat Al
Mujadilah: 12 tentang kewajiban bershodaqah sebelum bermunajad dengan Nabi
telah dinasakh dengan Surat Al Mujadalah: 13.
3). Yang dinasakh bacaan beserta hukumnya seperti ketentuan tentang batas
menyusui bagi haramnya saudara susuan untuk dinikahi dalam riwayat Aisiyah:
ٍ س رضع خِب ٍ ٍ َكا َن فِيما أُنْ ِز َل ع ْشر ر
ات َ َ َ ٍ ض َعات َم ْعلُ ْو َمات حُيََّر ْم َن َفنَ َس ْخ َن َ ْم
َ َُ َ َْ
ٍ معلُوم
ات حُيََّر ْم َن َْ َْ
“Menurut ayat yang pernah diturunkan (dalam Al-Qur’an) sepuluh kali menyusui
yang diketahui itu hukumnya haram. Kemudian dinasakh dengan lima kali
menyusui yang diketahui itu menjadi haram”
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta
orang yang akan meninggal itu. ayat Ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Ketentuan ayat ini telah dinasakh oleh hadits: