Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Mubtada Khobar

Secara bahasa kata "mubtada" berasal dari bahasa Arab berbentuk isim maf'ul dari fi'il (kata

kerja) ibtada'a-yabtadi'u " ‫یَ ْبتَ ِدُأ‬-‫ " ِإ ْبتَ َدَأ‬yang mempunyai arti awalan, permulaan, atau asal (dari segala
sesuatu). Disebut sebagai mubtada' karena pada hakikatnya memang terletak pada awal kalimat
bersamaan dengan khobar yang kemudian menjadi unsur pembentuk jumlah ismiyyah dalam
bahasa Arab.
ٌ ْ‫اِإل ْس ُم ال ُم َج َّر ُد ع َِن ال َع َوا ِم ِل اللَّ ْف ِظیَّ ِة لِِإل ْسنَا ِد َوھُ َو ِإ ْس ٌم َمرْ فُو‬
‫ع بِ َعا ِم ٍل َم ْعن َِويٍّ َوھ َُو اِإل ْبتِدَا ُء‬

Artinya: “Isim yang sepi dari amil lafdziyyah karena isnad, dan dirofa’kan dengan amil ma’nawi
adalah disebut sebagai ibtida’ atau mubtada.”
Sedangkan kata “khobar” secara Bahasa dapat memiliki arti berita, kabar, dan keterangan.
Pengertian khobar tersebut tentulah berbeda di kalangan para ulama ahli nahwu, yang
mengartikan bahwa khobar adalah:
Artinya: “Khobar adalah lafadz yang sepi dari amil lafdzi, yang di-isnad-kan (disandarkan)
kepada mubtada' guna menyempurnakan maknanya, dan layak diam atas-nya.”
Imam ibnu Malik mendefinisikan mubtada khobar dengan memberi contoh “ ‫” َز ْی ٌد عَا ِذ ٌر‬, yang di

mana kata, menduduki kedudukan mubtada dan kata “ ‫ ” عَا ِذ ٌر‬sebagai khobar mubtada, dalam
sya’ir nadham Alfiyah berikut ini.
ْ‫ُم ْبتَ َدٌأ َز ْی ٌد َوعَا ِذ ٌر َخبَرْ * ِإ ْن قُ ْلتَ َز ْی ٌد عَا ِذ ٌر َم ِن ا ْعتَ َدر‬
Lafadz “ ‫” زَ ْی ٌد‬adalah mubtada’ dan “ ‫ ” عَا ِذ ٌر‬sebagai khobarnya, apabila kamu mengucapkan ‫عَا ِذ ٌر‬
‫( َم ِن ا ْعتَدَر‬Zaid memberi maaf kepada seseorang yang meminta maaf).”
Pada contoh mubtada khobar yang disampaikan oleh Imam ibnu Malik di atas, merupakan
tempat disandarkannya perbuatan memaafkan (musnad ilaih) dan merupakan perbuatan yang
dibebankan kepada Zaid (musnad).
kesimpulan bahwa mubtada adalah isim sharih (tidak butuh dita’wil) atau mu’awwal (butuh
dita’wil) yang dibaca rofa’ dan terletak di awal kalimat, serta sepi dari yang namanya amil
lafdzi. Adapun khobar adalah isim yang maknanya disandarkan kepada mubtada, sehingga
menjadi sebuah susunan yang mufid (memahamkan) dan mutakallim tidak perlu berbicara
lebih lanjut lagi karena mukhatthab
Pembagian Mubtada
Imam ibnu Aqil dalam kitabnya “Alfiyah ibnu Aqil” menjelaskan bahwa mubtada dibagi
menjadi dua macam, yaitu
1. Mubtada khobar
Mubtada khobar adalah setiap mubtada yang memiliki isim sebagai khobarnya, seperti
penjelasan pada bab sebelumnya.
2. Mubtada sadda masadda al-khobar.
Mubtada sadda masadda al-khobar adalah isim sharih atau muawwal yang membutuhkan isim
marfu’ (fa’il atau na’ibul fa’il) sebagai kalimah yang menjadi penjelas bagi mubtada. Fa’il
atau na’ibul fa’il ini menempati posisi khobar, sehingga ia disebut sadda masadda al-khobar.
Dan tidak semua isim marfu’ itu bisa menempati tempat isim yang menjadi khobar, terdapat
syarat/kriteria tertentu diperbolehkannya isim marfu’ menjadi kalimah penjelas bagi mubtada.
Syarat Mubtada Sadda Masadda al-Khobar
Berikut syarat ketentuan mubtada yang memiliki fa’il atau na’ibul fa’il sadda masadda al-
khobar :
 Mubtada berupa isim sifat mufrad yang disertai istifham dan setelahnya wujud isim tasniyah
atau jamak. Contoh:

ٍ ‫( َأ َس‬apa kedua orang ini pejalan kaki?)


ِ ‫ار َذ‬
‫ان‬
َ‫ ھَلْ َمضْ رُوبٌ ال َّز ْی ُدون‬.)?apakah para Zaid itu orang yang dipukul(

 Mubtada berupa isim sifat mufrad yang bersamaan dengan huruf nafi dan wujud.
Contohnya :
ُ ‫( َما قَاِئ َمةٌ ال ِھ ْند‬kedua Hindun ini tidaklah wanita yang berdiri)
‫َات‬

‫ َما َمْأ ُكو ٌل اَأل ْخبَا ُز‬.)roti-roti tersebut tidaklah sesuatu yang dimakan(

 Mubtada berupa isim sifat mufrad yang tidak disertai dengan istifham atau nafi, dan isim
setelahnya berbentuk tasniyah/jamak. Contoh:

ِ ‫اص ٌر َذ‬
‫ان‬ ِ َ‫ن‬ (kedua laki-laki ini adalah penolong)

Syarat Mubtada Nakirah


Mubtada haruslah berupa isim ma'rifat, tidak boleh berupa nakirah. Karena mubtada adalah
suatu kata yang menjadi mahkum alaih (yang dihukumi), dan suatu perkara yang dihukumi
pastilah berupa ma'rifat. Akan tetapi, jika isim nakirah tersebut dapat memberikan faedah
secara sempurna, maka mubtada boleh berupa nakirah. Hal-hal yang dapat mengantarkan
suatu isim nakirah dapat memberikan faedah sehingga bisa dijadikan mubtada ini disebabkan
adanya musawwigh, yaitu alasan atau sebab yang memperbolehkan mubtada berupa nakirah.
Lebih lanjut lagi, Imam ibnu Aqil menyebutkan bahwa perkara yang memperbolehkan
(musawwigh) atau syarat mubtada nakirah kurang lebihnya ada 24 macam.
Dua puluh empat macam syarat musawwigh/alasan yang memperkenankan mubtada isim
nakirah yang dimaksud adalah:
1. Mubtada nakirah memiliki khobar berupa isim dharaf atau jar majrur yang didahulukan.
Contoh :
" ‫( " نَ ِم َرةٌ زَ ْی ٍد ِع ْن َد‬daster itu dekat Zaid).
2. Terjatuh setelah istifham (kata tanya). Contoh :
” ْ‫( " فِ ْی ُك ْم فَتًى ھَل‬apakah pemuda itu kelompok kalian?).
3. Terjatuh setelah nafi (pengecualian). Contoh :
‫( " لَنَا ِخلٌّ َما‬tidaklah kekasih itu bagiku).
4. Disifati oleh kalimah yang terjatuh setelahnya. Contoh :
‫( " ِع ْن َدنَا ِمنَ ال ِك َر ِام َر ُج ٌل‬lelaki yang terhormat itu didekatku).
5. Beramal kepada kalimah yang terjatuh sesudahnya. Contoh :
‫( َر ْغبَةٌخَ یْر فِى ال َخی ِْر‬kesukaan dalam hal kebaikan itu baik).
6. Berlaku menjadi mudhaf. Contoh :
ٍّ‫( یَ ِزیْنُ َع َم ُل بِر‬perbuatan baik itu menghiasi).
7. Berlaku menjadi syarath (kata yang menghubungkan dua kalimat). Contoh :
‫( َم َع یَقُ ْم َأقُ ْم َم ْن‬barangsiapa berdiri maka aku pun berdiri bersamanya).
8. Berlaku sebagai jawaban atas pertanyaan. Contoh :
َ ‫( َر ُج ٌل ِع ْن َد‬siapa itu didekatmu?, lelaki).
‫ك؟ َم ْن‬
9. Memiliki faedah umum. Contoh :
" ٌّ‫ت ُكل‬
ُ ْ‫( " یَ ُمو‬setiap orang akan mati).
10. Disengaja menunjukkan faedah tanwi' (bermacam-macam). Contohnya syair Arab
berikut :
" ُّ‫ْت َوثَوْ بٌ َأجُر‬ ُ ‫" فََأ ْقبَ ْل‬
ُ ‫ت زَ حْ فًا بَ ْینَ الرُّ ْكبَتَ ْی ِن * فَثَوْ بٌ لَبِس‬
Memiliki makna harapan atau do'a " ‫" دعاء‬. Contoh :
‫آل َعلَى َساَل ٌم‬
ِ ‫( یَ ِسیْن‬semoga keselamatan atas keluarga Yasin).
10. Bermakna ta'ajjub (terheran-heran/kagum). Contoh :
‫َما اَحْ َسنَ زَ ْیدًا‬
11. Menjadi ganti dari isim yang disifati. Contoh :
" ‫" ُمْؤ ِم ٌن خَ ْی ٌر ع َْن َكافِ ٍر‬
Berlaku tashghir " ‫" تصغیر‬. Contoh :
" ‫رُج ْی ٌل ِع ْن َدنَا‬
َ "
Apabila ditakdirkan menjadi
”‫“ َر ُج ٌل َحقِ ْی ٌر ِع ْن َدنَا‬
12. Isim nakirah yang maknanya dibatasi. Contoh :
apabila ditakdirkan berupa ‫ك‬
َ ِ‫َما َجا َء ب‬
‫َما َجا َء بِكَ ِإاَّل َشیٌْئ‬
13. Terjatuh setelah wawu chaliyah (perabot chal). Contohnya syair Arab ini :
"‫ق‬ َ ‫ضا َء فَ ُم ْذ بَدَا * ُم َحیَّاكَ اَ ْخفَى‬
ِ ‫ضو ُءهُ ُك َّل َش‬
ِ ‫ار‬ َ ‫" َس َر ْینَ َونَجْ ٌم قَ ْد َأ‬
Isim nakirah yang diathafkan kepada isim ma'rifat. Contoh :
‫) زَ ْی ٌد َو َر ُج ٌل قَاِئ َما ِن‬Zaid dan lelaki itu berdiri(
14. Isim nakirah yang diathafkan kepada isim sifat. Contoh :
ِ ‫تَ ِمیْمي َو َر ُج ٌل فِى ال َّد‬
‫ار‬
19. Isim nakirah yang setelahnya nampak kalimah menjadi ma'thuf alaih yang disifati dari
mubtada. Contoh :
َ ٌ‫ َر ُج ٌل َوا ْم َرَأة‬.)lelaki dan wanita yang jangkung itu di dalam rumah(
ِ ‫ط ِو ْیلَةٌ فِى ال َّد‬
‫ار‬
20. Isim nakirah yang mubham (samar-samar/rancu).
21. Terjatuh setelah lafadz laula " ‫" لوال‬.
22. Terjatuh setelah fa' jaza' " ‫" الجزاء فاء‬.
23. Isim nakirah yang diawali atau dimasuki oleh lam ibtida' " ‫" الم اإلبتداء‬.
24. Terjatuh setelah kam khobariyah " ‫" كم الخبریة‬.

Oleh karena itu, jika ada isim nakirah yang tidak memenuhi syarat mubtada nakirah di atas
maka tidak bisa menjadi mubtada.

Pembagian Khobar

Khobar adalah unsur yang menerangkan isim dalam sebuah kalimat nominal (jumlah
ismiyyah). Setiap isim baik mu’rab dan mabni bisa menjadi khobar. Selain berupa isim (kata
benda), khobar juga dapat berupa jumlah atau syibhul jumlah.
‫ﺎوﯾًﺔ َﻣ ْﻌﻨَﻰ اﻟﱠ ِﺬ ْي ِﺳﻘَ ْﺖ ﻟَ ْﮫ‬
َ ‫َو ُﻣ ْﻔ َﺮ ًدا َﯾْﺄِﺗ ْﻲ َوَﯾْﺄ ِﺗ ْﻲ ُﺟ ْﻤﻠَ ْﺔ | َﺣ‬

“Dan khobar ada yang datang berupa mufrad dan jumlah yang terhubung serta mengandung
maknanya mubtada”.

Berangkat dari penjelasan ini, khobar mubtada dibagi menjadi dua macam, yaitu khobar
mufrod dan ghoiru mufrod yang tersusun dari jumlah/syibhul jumlah.
1. Khobar Mufrad
Khobar mufrad adalah khobar yang tidak berupa jumlah atau syibhul jumlah, meskipun ia
datang dalam bentuk mutsanna/jama’ sekalipun. Dalam kaidah ilmu nahwu, khobar mufrad
ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu jamid (isim yang polanya tidak bersumber dari
kalimah lain) dan musytaq (isim yang pola bentuknya dipungut dari kalimah lain).
Khobar mufrad yang berupa isim jamid tidaklah menyimpan dhamir (kata ganti). Contohnya
َ ‫( ” َأ ُخو‬Zaid adalah saudaramu). Kata “ ‫ ” زَ ْی ٌد‬dalam kalimat tersebut
seperti kalimat“ ‫ك زَ ْی ٌد‬
َ ‫ ” َأ ُخو‬adalah contoh khobar
merupakan mubtada atau isim yang butuh dijelaskan, dan kata “ ‫ك‬
mufrad berupa isim jamid dibaca rafa’ yang menjelaskan mubtada.
Adapun khobar mufrad berupa isim musytaq (fa’il, maf’ul, sifat musyabbihah, isim tafdhil)
haruslah mengandung dhamir (kata ganti). Kaidah ini berlaku jika memang khobar
mufrad isim musytaq tersebut tidak merofa’kan fa’il berupa isim dhahir (tampak). Contohnya
‫اربٌ زَ ْی ٌد‬
ِ ‫ض‬َ (Zaid adalah orang yang memukul), kata “ ٌ‫ارب‬
ِ ‫ض‬َ ” di sini merupakan isim
musytaq yang berkedudukan menjadi khobar mubtada dan menyimpan dhamir
tetapi mustatir (tersimpan), apabila ditakdirkan maka berupa lafadz “ ‫( ” ھُ َو‬kata ganti untuk
orang kedua).
Dengan begitu, jika khobar mufrad berupa musytaq merofa’kan isim yang terjatuh
setelahnya, maka khobar tersebut tidaklah menyimpan dhamir. Contohnya adalah kalimat
ُ‫َاص ٌر َأبُوه‬
ِ ‫( ” زَ ْی ٌد ن‬bapaknya Zaid itu seorang penolong). Kata “ ‫ص ٌر‬
ِ ‫ ” نَا‬dalam kalimat barusan menjadi
khobar mufrad berupa isim musytaq yang mero’fakan kalimah setelahnya, yaitu “ ُ‫“ َأب‬
Selain fa’il, maf’ul dan sebagainya ternyata ada juga isim jamid yang termasuk
golongan isim musytaq, yaitu isim jamid yang dita’wili (ditafsiri) memakai isim musytaq.
Contohnya ucapan “ ‫( ” قَو ِم ِھ فِى خَ الِ ٌد َأ َس ٌد‬Zaid adalah seorang pemberani di kaumnya), lafadz ‫َأ َس ٌد‬
ٌ ‫ُش َجا‬
di sini bukan yang dimaknai dengan arti “Singa”, tetapi memakai maknanya lafadz ‫ع‬
(pemberani).
Khobar mufrad yang berupa isim musytaq kecuali yang memiliki ma’mul marfu’ haruslah
menyimpan dhamir.

Khobar Jumlah/Syibhul Jumlah

Khobar jumlah/syibhul jumlah adalah kebalikan dari khobar mufrad, yaitu khobar yang
berupa jumlah (ismiyyah, fi’liyyah) dan syibhul jumlah (jar majrur, dharaf). Setiap jumlah
yang berlaku menjadi khobar haruslah mengandung robith (sesuatu yang kembali kepada
mubtada), dan terbagi menjadi 4 macam yang dirangkum dalam sya’ir Arab berikut:

ْ ‫ِإ ْن ُج ْملَةٌ َخبَرًا ع َْن ُم ْبتَدًا َوقَ َع‬


ْ ‫ت | َولَ ْم تَ ُك ْن َع ْینَھُ بِ ُمضْ َم ٍر قُ ِرن‬
‫َت‬
ْ ‫وم فَھَ ِذى َأرْ بَ ٌع نُ ِظ َم‬
‫ت‬ ِ ‫اَ ِو اِإل َشا َر ِة َأوْ تَ ْك ِری ِْر ُم ْبتَدَا ٍء | َأ ِو ال ُع ُم‬
Empat macam robith (sesuatu yang sambung kepada mubtada) yang dimaksud adalah :
1. Isim dhamir (kata ganti), contoh : ُ‫( قَا َم زَ ْی ٌد َأبُوه‬bapaknya Zaid itu berdiri).
2. Isim isyarah (kata tunjuk), contoh ُ‫( َخ ْی ٌر َذلِكَ التَ ْق َوى َولِبَاس‬sebagus-bagusnya pakaian takwa
adalah kebaikan).
3. Tikrorul mubtada’ (pengulangan mubtada’), contoh: ُ‫ار َعة‬
ِ َ‫ار َعةُ َما الق‬
ِ َ‫( الق‬hari kiamat, apa itu
hari kiamat?).
4. Umumul mubtada’ (umumnya mubtada’), contoh ‫( ال َّر ُج ِل نِ ْع َم َز ْی ٌد‬Zaid adalah sebaikbaiknya
laki-laki).
Adapun syibhul jumlah (dharaf, jar majrur) yang berlaku menjadi khobar mubtada mesti
mempunyai mu’allaq (hubungan) baik itu isim atau fi’il yang wajib tersimpan. Misalkan
kalimat ” ُ‫( ” الفَضْ ِل فِى نَحْ ن‬kami tetap dalam keutamaan), jika mu’allaq-nya ditampakkan menjadi
‫ِإ ْستَقَ َّر فِى الفَضْ ِل‬/‫نَحْ نُ َكاِئ ٌن‬
Perlu diketahui juga kalau dharaf zaman (isim yang bermakna waktu) tidak bisa menjadi
khobar mubtada berupa isim dzat, yaitu isim yang mempunyai bentuk dan bisa dilihat, seperti
ٌ ‫( بَی‬rumah), “ ‫( ” َحا ِم ٌد‬nama orang), “ ٌ‫( ” فَ َرس‬kuda). Jadi, tidak boleh mengucapkan kalimat
‫ْت‬
seperti “‫”ال ُج ْم َع ِة َحا ِم ٌد یَوْ ُم‬, masa ya Hamid adalah hari jum’at

Khobar Mubtada Lebih dari Satu

Ada satu fakta lagi yang mungkin belum banyak diketahui pemula di sini, yaitu khobar lebih
dari satu padahal mubtada-nya tunggal? Istilahnya adalah "khabar tsani fa'aktsaro an almubtada".
Di dalam kitab Alfiyah bab Ibtida’ paling akhir, Imam ibnu Malik menjelaskan mengenai
khabar tsani atau dua bahkan lebih dengan mubtada wahid (satu/tunggal). Berikut ini bunyi
bait Alfiyah-nya:
ِ ‫َوَأ ْخبَ ُر بِ ْاثنَ ْی ِن َأوْ بَِأ ْكثَ َر | ع َْن َو‬
‫اح ٍد َكھُ ْم َس َراةٌ ُش َع َرا‬
“Orang-orang Arab membuat dua khabar (khobar tsani) atau lebih dari dua dengan satu
mubtada (wahid), seperti kalimat “‫( ” َس َراةٌ ُش َع َرا ُء ھُ ْم‬mereka adalah orang mulia juga para ahli
syair/puisi)”.
Dari contoh kalimat dalam bait syair Arab tersebut, dhamir “ ‫ ” ھُ ْم‬adalah mubtada, kata “ ”ٌ‫َس َراة‬
sebagai khobar, dan “ ‫ ” ُش َع َرا ُء‬menjadi khabar tsani atau khobar kedua dari mubtada wahid.
Contoh mubtada khobar tersebut menunjukkan bahwa dalam bab ibtida’, khobar boleh lebih
dari satu. Hal ini merupakan kiasan sebagaimana kebolehan menyebutkan dua shifat bahkan
lebih dengan hanya memiliki satu maushuf.
Jadi, diperbolehkan apabila kita mengucapkan kalimat seperti “ ‫( ” َأتَنِ ْي َز ْی ٌد ال َعالِ ُم ال َغنِ ُّي ال َك ِر ْی ُم‬Zaid
yang alim, kaya, terhormat mendatangiku) ? Jawabnya, ya tentu saja boleh, sama seperti
“ ‫ ” َس َراةٌ ھُ ْم ُش َع َرا ُء‬di atas. Karena khobar pada dasarnya itu menjadi sifat bagi mubtada dalam hal
waqi’-nya. Jika boleh memperbanyak shifat, maka hal ini juga berlaku bagi khabar.
Jika begitu, apakah boleh memisahkan antara dua khabar dengan wawu athaf? Misal kalimat
di atas menjadi “‫” َس َراةٌ َو ُش َع َرا ُء ھُ ْم‬. Jawab lagi, boleh. Seperti ketika kamu memisahkan dua
shifat dengan huruf athaf.
Akan tetapi, kita juga harus mengetahui bahwa dalam persoalan ini terdapat tiga pandangan,
yaitu :
1. Khobar tidak boleh dipisah huruf athaf (man’ul athfi)
2. Khobar wajib dipisah huruf athaf (wujubul athfi)
3. Khobar boleh dipisah huruf athaf (jawazul athfi)
Lebih jelasnya mengenai tiga hukum khobar mubtada yang dipisah menggunakan huruf athaf,
perhatikan penjelasan-penjelasannya berikut ini.

1. Khobar Tidak Boleh Dipisah Huruf Athaf

Ketika terdapat dua khabar satu mubtada (khobar tsani mubtada wahid), dan khobar tersebut
memiliki makna yang satu (wahid), maka dicegah memisahkannya menggunakan huruf athaf,
karena nantinya akan mematahkan maknanya sebab terpisah, dan ini merupakan ibaroh dari
shifat wahidah.
Misalnya kalimat “ ‫( ” َحا ِمضٌ ح ُْل ٌو بُرْ تُقَالِ ْي‬jeruk itu manis-manis asam), tidak boleh diucapkan
ْ ٌ‫ َو َحا ِمض‬sebab apabila diucapkan demikian akan merusak makna dan
‫حُل ٌو بُرْ تُقَالِ ْي‬
menjadikannya memiliki dua rasa, yaitu manis dan asam. Padahal yang dikehendaki adalah
campuran antara manis dan asam, dengan kata lain bermakna “ ‫( ” ُم ٌّز‬agak asam).
2. Khobar Wajib Dipisah Huruf Athaf
Wajib memisahkan antara dua khobar atau lebih, yakni ketika mubtada memiliki multi
ٌّ ‫( ” َوفَقِ ْیھٌ َو ُمھَ ْن ِدسٌ َونَحْ ِو‬anak-anak lelakimu ada yang ahli
َ ْ‫ي َشا ِع ٌر بَنُو‬
makna. Contohnya kalimat “‫ك‬
syair, insinyur/arsitek, ahli nahwu, dan juga ahli fiqh).
3. Khobar Boleh Dipisah Huruf Athaf
Arti dari jawazul athfi di sini adalah bebas memilih, maksudnya bebas memilih apakah
hendak memisahkan antara dua khabar mubtada menggunakan wawu athaf atau tidak sama
sekali, yakni ketika menghendaki mubtada tunggal (mubtada wahid) memiliki banyak sifat.
Contoh khobar mubtada tanpa disertai huruf athaf adalah kalimat “ ”‫ِإ ْبنِ ْي َشا ِع ٌر َكاتِبٌ فَقِ ْیھٌ َسلَفِ ٌّي‬
(anakku adalah seorang penyair, penulis, faqih (ahli fiqh), ulama salaf). Kata “ ‫( ” َشا ِع ٌر‬khabar
mubtada), “ ٌ‫( ” َكاتِب‬khabar tsani), “ ٌ‫( ” فَقِ ْیھ‬khabar tsalis), dan “ ‫( ” َسلَفِ ٌّي‬khabar robi’).
Syarat Mubtada Khobar

Syarat Mubtada Khobar ada 3 yaitu


1. Mubtada Khobar harus Dibaca rofa”
2. Mubtada khobar harus berupa isim ma’rifat
3. Mubtada khobar Harus Sama Jenis dan bilangannya

1. Mubtada Khobar Harus Dibaca Rofa’

Baik itu mubtada maupun khobar, keduanya sama-sama wajib dalam keadaan rofa’. Para
ulama ahli nahwu (madzhab Sibawaih dan mayoritas ulama Bashrah) sepakat bahwa yang
merofa’kan mubtada adalah amil ma’nawi ibtida’, yaitu amil berupa keadaan tertentu yang
dapat menimbulkan i’rab pada suatu lafadz, yang tidak nampak pelafadzannya, dan berada di
awal kalimat. Sedangkan yang merofa’kan khobar adalah amil lafdziyyah, yaitu mubtada itu
sendiri.
Sekelompok ulama lain menyatakan baik itu mubtada ataupun khobar dirofa’kan oleh amil
ma’nawi ibtida’. Ada juga yang mengatakan kalau khobar itu tidak hanya dirofa’kan amil
ma’nawi ibtida’ saja, melainkan juga oleh mubtada. Bahkan dikatakan bahwa keduanya
(mubtada dan khobar) saling merofa’kan. Wallahu’alam
Berikut kaidah rofa’ yang perlu diperhatikan !
Mufrad Dhammah = ٌ‫طَالِب‬
Tasniyah Alif = ‫طَالِبَا ِن‬
Jamak Salim (lk) Wawu = َ‫طَالِبُوْ ن‬
ٌ َ‫طَالِب‬
Jamak Salim (pr) Dhammah = ‫ات‬
Jamak Taksir Dhammah = ٌ‫طُاَّل ب‬
َ ْ‫َأبُو‬
Asma’ul Khamsah Wawu = ‫ك‬

2. Mubtada Harus Berupa Isim Ma’rifat

Jika menghendaki suatu isim menjadi mubtada, maka harus berupa isim yang ma’rifat (jelas
penunjukannya/spesifik), kecuali ada perkara yang memperbolehkan isim nakirah menjadi
mubtada (musawwig). Sedangkan khobar hukum asalnya adalah nakirah, kecuali untuk isimisim
yang mula-mula memang ma’rifat (tidak membutuhkan qayyid).
Contohnya seperti kalimat “‫( ” ِكتَابٌ ھَ َذا‬ini buku). Lafadz ‘ ‫ ’ ھَ َذا‬di sini merupakan mubtada yang
terbentuk dari isim isyarah, dan ia termasuk isim yang ma’rifat. Kemudian lafadz ٌ‫ِكتَاب‬
adalah khobarnya yang berupa isim nakirah, karena tidak disertai dengan al ta’rif (alif lam
yang berfungsi mema’rifatkan isim).
Apabila kita menjadikan kata ‘ ٌ‫ ’ ِكتَاب‬menjadi ‘ ُ‫( ’ ال ِكتَاب‬ma’rifat) sebagai khobar apakah boleh?
Jawabnya adalah tidak, karena bila diucapkan ‘‫( ’ال ِكتَابُ ھَ َذا‬kitab ini...) justru malah menjadi
sebuah kalimat yang belum dapat memberikan informasi secara lengkap dan utuh
dikarenakan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut lagi, dan ia tidak menjadi khobar
melainkan musyar ilaih.

3. Mubtada Khobar Harus Sama Jenis dan Bilangannya

Antara mubtada dan khobar haruslah sejenis dan sama bilangannya. Dengan kata lain, jika
mubtada berupa isim mufrad mudzakkar maka khobar juga harus berupa mufrad mudzakkar.
Apabila mubtada berupa jamak muannats maka khobar pun wajib berupa jamak muannats
pula, dan begitu seterusnya.
Perhatikan contoh mubtada’ khobar berikut ini !

Contoh Jenis Bilangan


‫الطَّالِبُ ُم ْسلِ ٌم‬ Mudzakkar Mufrad
‫َان‬ ِ ‫الطَّالِبَت‬
ِ ‫َان ُم ْسلِ َمت‬ Muannats Tasniyah
َ‫الطَالِبُوْ نَ ُم ْسلِ ُموْ ن‬ Mudzakkar Jama’
ُ َ‫ات الطَّالِب‬
‫ات‬ ٌ ‫ُم ْسلِ َم‬ Muannats Jama’

Pada contoh di atas, antara mubtada dengan khobar memiliki keadaan yang sama, baik dari
segi jenis (mudzakkar, muannats) maupun bilangannya (mufrad, tasniyah, jamak).
Meski demikian, kaidah tersebut hanya berlaku untuk mubtada yang memiliki khobar berupa
mufrad (dalam konteks ini mufrad diartikan tidak berupa jumlah). Adapun khobar mubtada
yang berupa jumlah/syibhul jumlah tentu akan memunculkan ketentuan-ketentuan yang
berbeda lagi.

Anda mungkin juga menyukai