Anda di halaman 1dari 13

 

HAAL ( ‫) حال‬
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

DOSEN PEMBIMBING :

Drs. Asdari M. Ag

DISUSUN OLEH :

Arisya Nabillah (11200210000038)

Thifal Syahla Apdafiota (

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

BAHASA DAN SASTRA ARAB

JAKARTA

2020
Kata Pengantar

Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
tak lupa kami junjungkan kepada baginda nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya
dari zaman yang kelam kepada zaman yang terang benderang seperti saat ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. Adang Asdari, M.Ag., selaku dosen
mata kuliah Ilm An-Nahw Li Al-Mubtadiin yang telah memberikan kami tugas untuk membuat
makalah ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata kuliah
yang kami tekuni.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas dari bapak Drs. Adang
Asdari, M.Ag. dalam mata kuliah Ilm An-Nahw Li Al-Mubtadiin. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Inna Wa Akhwatuha bagi para pembaca dan juga
bari penulis.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Jakarta, 10 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..………………..i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….……………….ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………….………………………1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….……………............1
C. Tujuan…………………………………………………………………….………1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Inna wa Akhwatuha……….................................................................…..2


B. Fungsi Inna wa Akhwatuha…………………….……………….…………...……..2
C. Yang Termasuk ke Dalam Inna wa Akhwatuha……………………………………..2
D. Kaidah-Kaidah Inna wa Akhwatuha…………………………………….………...4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………………….6

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….………………...7
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mempelajari bahasa arab adalah suatu keharusan untuk seorang muslim. Agar
dapat memahami dan mendalami makna yang terkandung di dalam Al-Quran dan
begitu pula untuk memahami hadits Rasulullah SAW. Salah satu cabang ilmu yang
digunakan untuk memahami Al-Quran dan Hadits adalah Ilmu Nahwu
Ilmu Nahwu sendiri merupakan salah satu bagian dasar dari ilmu tata bahasa arab
yang membahas bagaimana cara menyusun suatu kalimat yang sesuai dengan kaidah
bahasa arab. Yaitu untuk mengetahui jabatan suatu kata dalam kalimat dan bentuk
atau harakat terakhir dari suatu kata.
Di dalam Ilmu Nahwu terdapat Dalam ilmu nahwu dikenal istilah Haal. Kami
pemakalahakan mencoba menjelaskan sedikit tentang ilmu nahwu dalam bab Haal.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Haal ?
2. Apa saja yang termasuk syarat-syarat dalam Haal ?
3. Apa saja macam-macam Haal?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Haal
2. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk di dalam Haal
3. Memahami cara penerapan Haal di dalam sebuah kalimat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Haal

ْ‫َصبُ * ُم ْف ِه ُم فِي َحا ِل َكفَرْ داً أَ ْذهَب‬ ٌ ْ‫ْال َحا ُل َوص‬


ِ ‫ف فَضْ لَةٌ ُم ْنت‬
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan)
dan memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: ُ‫( فَرْ داً أَ ْذهَب‬aku akan pergi
sendiri)”.[1]
Dengan istilah lain:

‫ال‬
ِ ‫الح‬ َ ‫ع ْالفِ ْع ِل َو ُس َّمي َك ٌّل ِم ْنهُ َما‬
َ ُ‫صا ِحب‬ ِ ْ‫اع ِل أَوْ الم ْفعُوْ ِل بِ ِه ِح ْينَ ُوقُو‬
ِ َ‫اَ ْل َحا ُل ه َُو إِ ْس ٌم َم ْنصُوْ بٌ يُبَيْنُ هَ ْيئَةَ ْالف‬.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku
Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan
maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
Haal untuk menjelaskan Fa’il.
Contoh: ً ‫ = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْبا‬zaid telah datang secara berkendaraan. Lafadً ‫َرا ِكيْبا‬
berkedudukaan sebagai Haal dari lafazh ‫ زَ ْي ٌد‬yang menjelaskan keadaan Zaid waktu
kedatanganya. Seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt. Berikut: ‫خر َج ِم ْنهَا‬
َ َ‫ف‬
‫“ = خَ ائِفًا‬Maka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad ‫خَائِفًا‬
berkedudukan sebagaiHaal fa’il lafadz ‫ خ َر َج‬yeng menjelaskan keadaan Musa
waktu keluarnya.
Haal untuk menjelaskan Maf’ul bih
َ ‫ْت اَ ْلفَ َر‬
Contoh: ‫س ُم َس َّرجًا‬ ُ ‫ = َر ِكب‬Aku berkendara dengan berpelana.Lafadz ‫ُم َس َّرجًا‬
berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan keadaan kuda waktu
digunakan angkutan diatasnya. Dan seperti yang terdapat didalam firman Allah
Swt. Berikut: ‫اس َرسُوْ اًل‬ َ ‫“ = َواَرْ َس ْلنَا‬kami mengutusmu menjadi Rasul kepada
ِ َّ‫ك لِلن‬
segenap manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz ‫ َرسُوْ اًل‬menjadi haal dari maf’ul bihhuruf
َ ‫ َواَرْ َس ْلنَا‬.
kaf yang terdapat pada lafadz ‫ك‬
Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
Contoh: ‫يت َع ْب َد هَّللَا ِ َرا ِكبًا‬
ُ ِ‫ = لَق‬Aku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang
dimaksud dengan berkendaraan itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B. Syarat-syarat Haal

Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:

1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haaldengan lafadz
ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh: ‫َوحْ َد ْه‬
ُ ‫(اَ َم ْن‬aku beriman kepada Allah). Kalimah ‫ َوحْ َد ْه‬adalah isim ma’rifah secara
‫ت بِاهلل‬
lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: ‫ت بِاهلل‬ ُ ‫اَ َم ْن‬
]4[.ً‫ُم ْنفَ ِردا‬
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
َ ‫َو ْال َحا ُل إِ ْن ُعرِّفَ لَ ْفظا ً فَا ْعتَقِ ْد *تَ ْن ِك ْي َرهُ َم ْعنًى َك َوحْ َد‬
‫ك اجْ تَ ِه ْد‬
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah
secara makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal
dari isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh:‫ْب‬ َ ‫َجا َء َز ْي ٌد‬
َ ‫الرا ِكي‬

2. Sesudah kalimat yang sempurna


Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurnakalamnya, yakni
sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu
tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang
dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal)

ِ ْ‫ش فِ ْي األَر‬
dengan berlandasan firman Allah Swt.: ‫ض َم َرحًا‬ ِ ‫( َواَل تَ ْم‬dan janganlah kamu
berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). [6]

3. Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.


Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya
(mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang
memperbolehkanya yaitu:
a. Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh: ‫(فِ ْيهَا قَائِ ًما َر ُج ٌل‬didalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri).
lafadz ‫ قَائِ ًما‬berkedudukan sebagai haal dari lafadz ‫ر ُج ٌل‬.
َ
b. Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat
didalam firman Allah Swt. Berikut: ‫( فِ ْي اَرْ بَ َع ِة اَيَ ٍام َس َوا ًء‬dalam empat hari yang genap.
(Fushsilat: 10). Lafadz ‫ َس َوا ًء‬berkedudkan sebagai haal dari lafadz ‫اَرْ بَ َع ِة‬.
c. Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
َ‫( َو َما اَ ْهلَ ْكنَا ِم ْن قَرْ يَ ٍة اِاَّل َ لَهَا ُم ْن ِذرُوْ ن‬dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun,
melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-
Syu’ara: 208). Lafadz َ‫لَهَا ُم ْن ِذرُوْ ن‬adalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai
haal dari lafadz ‫قَرْ يَ ٍة‬, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah
dianggap sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau bukan
jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
ً ‫ْس ُم ْستَ ِحقّا‬
َ ‫َو َكوْ نُهُ ُم ْنتَقِالً ُم ْشتَقَّا * يَ ْغلِبُ ل ِك ْن لَي‬
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah,
tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas,
bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh: ً ‫ = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْبا‬zaid telah datang
secara berkendaraan. Lafadz ً ‫را ِكيْبا‬adalah
َ sifat yang mutanaqqil karena sifat ini
dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat
muystaq dalam tiga keadaan:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: ‫( َك َّر َعلِ ٌي أَ َسدًا‬Ali
menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanya‫ ُش َجاعَا َكا األَ َس ِد‬:
b. َ ‫ك ْالفَ َر‬
Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: ‫س يَدًا بِيَ ٍد‬ َ ُ‫( بِ ْعت‬aku
َ ِ‫ُمتَقَاب‬
telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya:‫ض ْي ِن‬
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: ‫( َد َخ َل القَوْ ُم َر ُجاًل َر ُجاًل‬kaum itu telah
masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: ]9[.‫ُمت ََرتِّبَي ِ©ْن‬
7.7. Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm. 267
8. Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89 Syekh Syamsuddin Muhammad
Araa’in
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89
C. Macam-macam Haal
Pada asalnya Haal itu adalalah isim nakirah yang berbentuk musytaq. Sedang
ُ ‫( أ َم ْن‬Aku beriman kepada Allah
sedikit sekali berupama’rifah, contoh: ُ‫ت بِاهللاِ َوحْ َده‬
saja), dan Haal itu berupa isim jamid:

1. Jika menunjukkan arti perserupaan, contoh: ‫( َك َّر َعلِ ُّي أَ َسدًا‬Ali menyerang
bagaikan singa)
2. Menunjukkan arti mufa’alah (saling), contoh: ‫(بِ ْعتُهُ يَدًا بِيَ ٍ©د‬Aku menjual
padanya dengan kontan)
3. Menunjukkan tartib (urutan), contoh: ‫(اُ ْد ُخلُوا َر ُجاًل َر ُجاًل‬masuklah kamu
seorang-seorang)
4. ْ ‫ْت ال َّشي َئ ِر‬
Menunjukkan harga, contoh: ‫طاًل بِ ِدرْ ه ٍَم‬ ُ ‫( بِع‬Aku menjual sesuatu itu
per kati satu dirham)
5. Disifati, contoh: ‫( إنَّا اَ ْنزَ ْلنَاهُ قُرْ انًا َع َربِيًّا‬sesungguhnya Kami telah menurunkan
al-Qur’an yang berbahasa Arab)
Dan terkadang Haal itu berupa jumlah. Oleh karenanya harus mengandung
pengikat (rabith: kata-kata yang menunjukkan adanya hubungan antara hal dan
shahibul hal). Dan rabith itu ada yang berupa:
1. Wawu saja, contoh: َ‫( قَالُوْ الَئِ ْن اَ َكلَهَال ِّذ ْئبُ َونَحْ نُ عُصْ بَةٌ إِنَّا ِا ًذالَ َخا ِسرُوْ ن‬Mereka berkata:
Jika sekiranya dia dimakan serigala padahal kami bersaudara tentulah kami akan
merugi)
2. Dhamir saja, contoh: ‫ْض َعد ُُّو‬ ُ ‫( اِ ْهبِطُوابَ ْع‬Turunlah kamu dengan
ٍ ‫ض ُك ْم لِبَع‬
keadaan kamu saling bermusuhan)
3. Wawu dan Dhamir, contoh:‫ار ِه ْم‬ ٌ ُ‫(وهُ ْم اُل‬Mereka
ِ َ‫وف خَ َرجُوْ ا ِم ْن ِدي‬ َ telah keluar
dari rumah-rumah mereka dalam keadaan beribu-ribu (berbondong-bondong)).
Haal juga bisa berupa zharaf atau jar majrur, contoh:
‫ت ُش َعا َعهُ فِى ْال َما ِء‬
ُ ْ‫صر‬ ِ ‫ْت ْال ِهاَل َل بَ ْينَ ال َّس َحا‬
َ ‫ب َوأ ْب‬ ُ ‫َرأي‬
Telah kulihat bulan sabit itu ada di antara awan-awan dan kulihat cahayanya
dalam air
Dan haal itu bisa berbilang (ada beberapa), contoh:
‫َر َج َع ُمو َسى اِلَى قَوْ ِم ِه غَضْ بَانَ اَ ِسفًا‬
Musa telah kembali ke kaumnya dengan dongkol (marah) dan kecewa [10].
D. Bentuk Shahibul Haal

Shahibul-haal (pelaku haal) haruslah dalam bentuk ma’rifat, dan pada ghalibnya
sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkannya,
yaitu:

1. Hendaknya haal mendahului nakirah, contoh: ‫( فِ ْيهَا قَائِ ًما َر ُج ٌل‬di dalamnya
terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
2. Hendaknya nakirah ditakhsish oleh washf atau oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhsish oleh washf ialah seperti yang terdapat di
dalam firman Allah swt:
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang
besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul,
Contoh sahibul haal yang ditakhsish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat di
dalam firman Allah swt:
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia
memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-
orang yang bertanya.
3. Hendaknya shahibul haal nakirah terletak sesudah nafi atau syibhun nafi,
syibhun nafi adalah istifham dannahi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi ialah firman Allah swt:
Dan kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya
ketentuan masa yang telah ditetapkan.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah istifham (kata tanya) ialah perkataan
seorang penyair berikut:
‫ك ْالع ُْذ َر فِى اِ ْب َعا ِد هَااأْل َ َماَل ؟‬
َ ‫ لِنَ ْف ِس‬# ‫اح هَلْ ُح َّم َعيْشٌ بَا قِيًا فَتَ َرى‬
ِ ‫ص‬َ ‫يَا‬
Hai temanku, apakah kehidupan dapat menjamin keabadian (bagi seseorang)
sehingga kamu melihat adanya alasan bagi dirimu untuk mengharapkan hal yang
mustahil ini?.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nahi ialah yang dikemukakan oleh
Ibnu Malik:
‫ئ ُم ْستَ ْس ِهاًل‬
ٍ ‫اَل يَب ِْغ ا ْم ُر ٌؤ َعلَى ا ْم ِر‬
Janganlah seseorang berbuat kelewat batas terhadap orang lain karena
meremehkan haknya[11].
E. Amil Haal
Amil haal adalah kata-kata yang mendahului haal yang berupa fi’il atau yang
mengandung arti fi’il, contoh:
ٌ‫َوهَ َذا بَ ْعلِى َش ْي ًخا اِ َّن هَ َذا لَ َش ْي ٌءع َِجيْب‬
Dan ini suamiku keadaannya telah tua renta. Sungguh ini sesuatu yang aneh[12].
BAB III

PENUTUP

Dapat disimpulkan,dari penjelasan diatas sebagai berikut:


1.     Haal ialah isim mansub yang menerangkan prihal atau perilaku fa’il atau maf’ul bih
yang masih samar.
2.     Shahibul haal adalah terdiri dari tarkib fa’il dan tarkib maf’ul bih.
3.     Syarat-syarat tarkibhaal, yaitu:
a.      Harus dengan isim nakirah, tidak bolehisim ma’rifat.
b.     Harus sesudah kalam yang sempurna
c.      Shahibul haal harus terdiri dari isim ma’rifat.
4.     Macam-macamhaal, yaitu:
a.      Haal berupa isim mufrad.
b.     Haal berupa jumlah ismiyyah.
c.      Haal berupa jumlah fi’liyah
d.     Haal berupa zharaf.
e.      Haal berupa jar dan majrur.
5.  Jika haal itu berupa jumlah, maka harus ada penghubung yang menyambungkan dengan
shahibul haal, dan dia itu adakalanya berupa wawu saja atau berupa dlamir saja atau kedua-
keduanya.
Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa
bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, bahkan masih jauh dari
sempurna, maka kami pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat
untuk para pemakalah begitu pula bagi teman-teman agar mewujudkan makalah yang lebih
baik dan sempurna.Besar harapan kami semoga makalah yang singkat ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan pemakalah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1,
Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru
Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik
Offset, 2008
/

Anda mungkin juga menyukai