Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH NAHWU

‫الحال والتمييز وتحليلها في النصوص العربيه‬

Disusun oleh :

Citra Dewi Ratnasari 1708308030

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB SEMESTER 3


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DA’WAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon 45312
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah nahwu tentang
haal dan tamyiz.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah nahwu tentang haal dan tamyiz ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Cirebon, Januari 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar...................................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................................... ii
Bab I : Pendahuluan
1.1. Latar Belakang....................................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................
1
1.3. Tujuan.................................................................................................................
1
Bab II : Pembahasan
A. Pengertian Haal dan Tamyiz.............................................................................. 2
B. Macam-macam Haal dan Tamyiz....................................................................... 3
C. Ketentuan-ketentuan Hal dan Tamyiz................................................................ 5
D. Perbandingan Haal dan Tamyiz.......................................................................... 8
Bab III : Penutup
Kesimpulan............................................................................................................................ 9
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali,
memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis
tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan
baik. Dalam upaya mengembangkan wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya
sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab merupakan kunci dan
syarat mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji ajaran islam secara
luas dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang digunakan
dalam berbahasa Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu
nahwu dikenal istilah Haal dan Tamyiz. Kami pemakalah akan mencoba menjelaskan
sedikit tentang ilmu nahwu dalam bab Haal dan bab Tamyiz.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian haal dan tamyiz?


2. Apa saja macam-macam haal dan tamyiz?
3. Bagaimana ketentuan membuat haal dan tamyiz?
4. Apa perbedaan haal dan tamyiz?

1.3. Tujuan

1. Memahami pengertian haal dan tamyiz.


2. Memahami macam-macam haal dan tamyiz.
3. Memahami cara membuat haal dan tamyiz.
4. Memahami perbedaan haal dan tamyiz.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Haal dan Tamyiz

a. Haal

ْ‫َصبُ * ُم ْف ِه ُم فِي َحا ِل َكفَرْ داً أَ ْذهَب‬ ٌ ْ‫ْال َحا ُل َوص‬


ِ ‫ف فَضْ لَةٌ ُم ْنت‬
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan
memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: ُ‫( فَرْ داً أَ ْذهَب‬aku akan pergi sendiri)”.1
Dengan istilah lain:

‫ال‬
ِ ‫الح‬ َ ‫ع ْالفِ ْع ِل َو ُس َّمي َك ٌّل ِم ْنهُ َما‬
َ ُ‫صا ِحب‬ ِ ْ‫اع ِل أَوْ الم ْفعُوْ ِل بِ ِه ِح ْينَ ُوقُو‬
ِ َ‫اَ ْل َحا ُل ه َُو إِ ْس ٌم َم ْنصُوْ بٌ يُبَيْنُ هَ ْيئَةَ ْالف‬.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il
atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih
tersebut dinamakan Shohibul Haal”.2

b. Tamyiz

Secara etimologi kata tamyiz berasal dari kata ‫ميّز‬, ia merupakan bentuk masdhar dari
fi’il tersebut. Dalam kamus disebutkan bahwa mayyaza berarti “ memisahkan
sesuatu dari yang lain atau mengutamakan sesuatu daripada yang lain. Tamyiz
berfungsi untuk menjelaskan atau menghilangkan kekaburan atau ketidak jelasan dari
apa yang dimaksud kata atau kalimat sebelumnya, misalnya
‫ر ْينَ كتابًا‬z‫ْت ِع ْش‬
ُ ‫ ( إ ْشتّ ّري‬saya membeli dua puluh buku). Kata– kata ini masih sifatnya
umum, bisa berarti dua puluh buku, dua puluh majallah, dua puluh pulpen dan lain-

1
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, hlm. 432
2
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, hlm. 147
lain, namun setelah ada kata-kata ‫كتابًا‬, maka sudah jelaslah yang dimaksud buku dan
keluarlah yang lain. Inilah yang dimaksud tamyiz dalam bahasa Arab.
Sedangkan tamyiz dari segi terminologi ialah :
‫ اسم نكرة يذكر تفسيرا للمبهم من ذات أو نسبة‬: ‫التمييز‬.
“ isim nakirah yang dituturkan untuk memperjelas kesamaran suatu zat atau suatu
nisbah.”3
Sedangkan Ali Ridha dalam bukunya ‫ اللغة العربية‬mengatakan bahwa:
‫ ما قبله من إسم ذات أو جمل ٍة‬z‫التمييز هو اسم نكرة جامد متضمن معنى من يفسّر و يبين‬.
“ Tamyiz adalah isim nakirah yang mengandung arti menjelaskan kata- kata
sebelumnya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tamyiz adalah isim nakirah yang
disebutkan dengan tujuan menghilangkan kesamaran isim yang terletak sebelumnya.
Atau dengan kata lain bahwa tamyiz merupakan keterangan pembeda, terhadap
pengertian yang belum jelas pada kata-kata yang sebelumnya. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa Isim nakirah itu mengandung pengertian (‫ )من‬yang berarti dari.4

B. Macam-macam haal dan tamyiz

1. Macam-macam Haal

a.Haal berupa isim mufrad.


Haal mufrod yaitu isim mansub yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan fi’il
atau maful bih. Termasuk bentuk mufrod disini adalah isim mufrod, mutsanna,
dan jamak.
Contoh:
‫( َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكبًا‬Telah datang zaid dalam keadaan berkendaraan). lafadz ‫ َرا ِكبًا‬adalah
isim mufrad.
‫اكل الولد قَائِ ًما‬
(Anak itu makan sambil berdiri)
‫َان قَائِ َمي ِْن‬ِ ‫أَ َك َل ْال َولَد‬
(Dua anak itu makan sambil berdiri)
َ‫أَ َك َل األَوْ الَ ُد قَائِ ِم ْين‬
(Para anak itu makan sambil berdiri)
b. Haal berupa jumlah ismiyah.
Contoh: ٌ‫ضيْفُ غَائِب‬ ِ ‫ضيُوْ فُ َوال ُم‬ُ ‫ض َر ال‬
َ ‫( َح‬para tamu datang, sedang tuan rumahnya tidak
ada). Lafadz ٌ‫ضيْفُ غَائِب‬ ِ ‫ ال ُم‬adalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai haal
dari lafadz ُ‫ضيُوْ ف‬ ُ ‫ال‬.
c.Haal berupa jumlah fi’liyah.
Contoh: ‫الجانِي تَحْ ُر ُسهُ ال ُجنُوْ ُد‬ َ ‫َب‬ َ ‫( َذه‬penjahat itu pergi, ketika ia dijaga oleh tentara).
ُ
Lafadz ‫ تَحْ ُر ُسهُ ال ُجنوْ ُد‬adalah jumlah fi’liyah yang berkedudukan sebagai haal dari
lafadz ‫ال َجانِي‬.
3
Mustafa Moh. Nori daan Hafsah Intan, Al ‘arabiyyah al Muyassarah, hlm. 201
4
Abd. Karim Hafid, Pedoman dan Petunjuk Pengajaran dalam Membaca Kitab Kuning, hlm. 217
d. Haal berupa zharaf.
Contoh: ‫ب‬ ُ ‫(رأَي‬aku
ِ ‫ْت ال ِهاَل َل بَ ْينَ الس ََّحا‬ َ telah melihat bulan diantara bulan). Lafadz َ‫بَ ْين‬
adalah zharaf yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz ‫ال ِهاَل َل‬.
e.Haal berupa jar dan majrur.
Contoh: ‫ َج ِر ِه‬z ‫ َر َعلَي َش‬z‫ْت الثَّ َم‬ ُ ‫( بِع‬saya menjual buah yang masih ada di pohonya).
Lafadz ‫ َعلَي َش َج ِر ِه‬adalah jar dan majrur yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz
‫الثَّ َم َر‬

2. Macam-macam Tamyiz

Tamyiz terbagi menjadi dua, yaitu Tamyiz Dzat (atau yang disebut juga dengan
Tamyiz Mufrad) dan Tamyiz Nisbat (atau yang disebut juga dengan Tamyiz
Jumlah).
Tamyiz Dzat

 Tamyiz dzat adalah tamyiz yang menjelaskan pada isim yang masih samar
ْ ‫ِع ْن ِدي ِر‬
(isim mubham) yang dilafalkan, seperti (ً ‫ط ٌل َزيْتا‬
Isim mubham ada lima macam, yaitu:5

a. Isim adad (hitungan), seperti( ً ‫ْت اَ َح َد َع َش َر ِكتاَبا‬


ُ ‫ ) “اِ ْشتَ َري‬aku membeli sebelas kitab.”
Tidak ada bedanya jika adad tersebut sharih, seperti dalam contoh, atau mubham,
seperti (‫ ) “ َك ْم ِكتاَبا ً ِع ْندَكَ ؟‬Berapa kitab yang ada padamu?”
Adad ada dua macam, yaitu adad sharih (: yaitu adad yang sudah diketahui
hitungannya, seperti (‫“ ) َوا ِح ٌد‬satu” dan semisalnya) dan adad mubham (: yaitu adad
yang tidak diketahui hitungannya, seperti (‫“ ) َك ْم‬berapa” dan semisalnya).

b. Isim yang menunjukkan pada ukuran (sesuatu yang diukur dengan alat), yaitu
adakalanya berupa jarak area, seperti (ً ‫صبَةٌ اَرْ ضا‬ َ َ‫“ )“ ِع ْن ِدي ق‬aku mempunyai sekotak
tanah,” atau timbangan, seperti (ً‫ك قِ ْنطا َ ٌر َع َسال‬ َ َ‫“ ) “ ل‬kamu mempunyai satu kuintal
madu,” atau takaran, seperti ( ً ‫ا‬z‫صاعا ً قُ ْمح‬َ ‫“ ) اَ ْع ِط ْالفَقِ ْي َر‬berilah orang fakir satu sha’
gandum,” atau ukuran, seperti(ً ‫ع جُوخا‬ ٌ ‫“ ) “ ِع ْن ِدي ِذ َرا‬ada padaku satu dzira’ kain.”

c. Isim yang menunjukkan pada perkara yang menyerupai ukuran (perkara yang
menunjukkan pada sesuatu yang tidak tertentu), karena perkara itu tidak diukur
dengan alat khusus.

Adakalanya menyerupai jarak area, seperti ( ً ‫ا‬z‫ ِر اَرْ ض‬z‫ص‬ َ َ‫ ُّد الب‬z‫“ )“ ) ِع ْن ِدي َم‬ada padaku
tanah sepanjang mata memandang,” atau timbangan, seperti
(ُ‫“ ) َو َم ْن يَ ْع َملْ ِم ْثقا َ َل َذ َّر ٍة خَ يْراً يَ َره‬barang siapa yang beramal sebesar atom, maka dia
akan melihatnya,” atau takaran, seperti (‫“ ) ِع ْن ِدي َج َّرةٌ ما َ ًء‬ada padaku satu guci air,”
atau ukuran, seperti (ً‫“ ) ِع ْن ِدي َم ُّد يَ ِدكَ َحبال‬ada padaku benang sepanjang tanganmu.”

5
Jami’ al-Durus al-Arabiyyah, juz III hlm. 113
d. Isim yang diberlakukan seperti ukuran, yaitu semua isim mubham yang
membutuhkan pada tamyiz dan penjelas, seperti (ً‫“ )لَنا َ ِم ْث ُل ما َ لَ ُك ْم َخ ْيال‬ada padaku kuda
yang seperti yang ada padamu.”

e. Perkara yang merupakan cabang dari tamyiz, seperti (‫ض ٍة‬ َّ ِ‫)ع ْن ِدي خَاتَ ُم ف‬
ِ “ada padaku
cincin perak.”
Hukum tamyiz dzat adalah boleh dibaca nashab, seperti yang telah kalian lihat, dan
boleh dijerkan dengan ( ‫ ) ِم ْن‬seperti (‫ت‬ ْ ‫ ) ِع ْن ِدي ِر‬atau dengan diidlafahkan,
ٍ ‫ ٌل ِم ْن زَ ْي‬z‫ط‬
seperti (‫ض‬ ٍ ْ‫صبَةُ اَر‬ َ َ‫ )لَنا َ ق‬kecuali jika diidlafahkan akan menyebabkan terjadinya dua
idlafah, yaitu ketika mumayyaznya berupa mudlaf, maka pengidlafahan itu
dilarang dan wajib untuk dibaca nashab atau dijerkan dengan ( ‫ ) ِم ْن‬seperti (‫ما َ فِي‬
ٍ َ ‫)السَّما َ ِء قَ ْد ُر َرا َح ٍة َسحاَبا ً اَو ِم ْن َسحا‬. Dikecualikan dari hukum tersebut adalah tamyiznya
‫ب‬
adad, karena dia mempunyai hukum tersendiri.

 Tamyiz Nisbat

Tamyiz nisbat adalah tamyiz yang menjelaskan pada jumlah yang masih samar
nisbatnya, seperti (ً ‫) َحسُنَ َعلِ ٌّي ُخلُقا‬, karena nisbatnya baik pada Ali masih samar yang
memungkinkan pada banyak keadaan, lalu kita menghilangkan kesamarannya
dengan mengucapkanً ‫ ُخلُقا‬.

Termasuk dalam tamyiz nisbat adalah isim yang jatuh setelah ( َ ‫ )ما‬yang berfaidah
ta’ajjub, sepertiً‫ما َ اَ ْش َج َعهُ َر ُجال‬

Tamyiz nisbat terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Tamyiz Muhawwal, yaitu tamyiz yang asalnya adalah fa’il, seperti ( ‫َو ا ْشتَ َع َل‬
ً ‫ )الر َّْأسُ َشيْبا‬yang asalnya adalah (‫س‬ ْ َ ْ‫َو فَجَّرْ نا َ اأْل َر‬
ِ ‫)اِ ْشتَ َع َل َشيْبُ الرَّأ‬, atau maf’ul, seperti (‫ض‬
ً ‫ ) ُعيُونا‬yang asalnya adalah (‫ض‬ ِ ْ‫) فَجَّرْ نا َ ُعيُونَ اأْل َر‬, atau mubtada’, seperti (ً‫ك ماَال‬
َ ‫اَنا َ اَ ْكثَ ُر ِم ْن‬
ً‫ ) َو اَع َُّز نَفَرا‬yang asalnya adalah
َ ِ‫ماَلِي اَ ْكثَ ُر ِم ْن ماَل‬
( َ‫ك َو نَفَ ِري اَع َُّز ِم ْن نَفَ ِرك‬
Hukum tamyiz ini adalah selamanya dibaca nashab dan tidak boleh dijerkan
dengan (‫ ) ِم ْن‬atau dengan idlafah.

b. Tamyiz Ghairu Muhawwal, yaitu tamyiz yang bukan pindahan dari yang lain,
seperti (ً ‫َس َموتَ اَ ِديْبا‬
Hukum tamyiz ini adalah boleh dibaca nashab dan boleh dibaca jer dengan ( ‫) ِم ْن‬,
seperti (‫ب‬ ٍ ‫) َس َموتَ ِم ْن اَ ِد ْي‬.
Perlu diketahui bahwa lafal yang jatuh setelah isim tafdlil, wajib dibaca nashab
menjadi tamyiz, jika lafal itu bukanlah jenisnya lafal sebelumnya, seperti (‫اَ ْنتَ اَ ْعلَى‬
ِ z‫) َم ْن‬. Namun, jika termasuk jenisnya lafal sebelumnya, maka wajib dijerkan
ً‫زال‬z
dengan diidlafahkan kepada (‫)اَ ْف َعل‬, seperti (‫ ٍل‬z‫ ُل َر ُج‬z ‫ض‬
َ ‫ )اَ ْنتَ اَ ْف‬kecuali jika (‫ )اَ ْف َعل‬di
idlafahkan kepada selain tamyiz maka wajib untuk membaca nashab tamyiz karena
sulitnya mengidlafahkan untuk kedua kalinya, seperti (ً‫اس َر ُجال‬ َ ‫)اَ ْنتَ اَ ْف‬.
ِ َّ‫ض ُل الن‬
C. Ketentuan-ketentuan Haal dan Tamyiz

 Ketentuan-ketentuan Haal

Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:


1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haal dengan lafadz
ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadz nakirah, seperti dalam contoh: ‫َوحْ َد ْه‬
‫ت بِاهلل‬ ُ ‫(اَ َم ْن‬aku beriman kepada Allah). Kalimah ‫ َد ْه‬z ْ‫ َوح‬adalah isim ma’rifah secara
lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut:

‫ت بِاهلل ُم ْنفَ ِردا‬ ُ ‫اَ َم ْن‬.
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
‫ك اجْ تَ ِه ْد‬ َ ‫َو ْال َحا ُل إِ ْن ُعرِّفَ لَ ْفظا ً فَا ْعتَقِ ْد *تَ ْن ِك ْي َرهُ َم ْعنًى َك َوحْ َد‬
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara
makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari
isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,7 sperti contoh:‫ْب‬ َ ‫َجا َء َز ْي ٌد‬
َ ‫الرا ِكي‬
2. Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurna kalamnya, yakni
sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu tidak
termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang
dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal)
dengan berlandasan firman Allah Swt.: ‫ض َم َرحًا‬ ِ ْ‫ش فِ ْي األَر‬
ِ ‫( َواَل تَ ْم‬dan janganlah kamu
berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37).8
3. Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya
(mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang
memperbolehkanya yaitu:
a. Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh: ‫(فِ ْيهَا قَائِ ًما َر ُج ٌل‬didalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri). lafadz
‫ قَائِ ًما‬berkedudukan sebagai haal dari lafadz ‫ر ُج ٌل‬. َ
b. Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat
didalam firman Allah Swt. Berikut: ‫( فِ ْي اَرْ بَ َع ِة اَيَ ٍام َس َوا ًء‬dalam empat hari yang genap.
(Fushsilat: 10). Lafadz ‫ َس َوا ًء‬berkedudkan sebagai haal dari lafadz ‫اَرْ بَ َع ِة‬.
c. Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
َ‫ ِذرُوْ ن‬z‫ا ُم ْن‬zzَ‫ ٍة اِاَّل َ لَه‬zَ‫ا ِم ْن قَرْ ي‬zzَ‫ا اَ ْهلَ ْكن‬zz‫( َو َم‬dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun,
melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara:
208). Lafadz َ‫ لَهَا ُم ْن ِذرُوْ ن‬adalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari
6
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm 264-265
7
Iman Syaiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf, hlm. 88
8
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Op. Cit, hlm. 266
lafadz ‫قَرْ يَ ٍة‬, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap
sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yang muystaq atau bukan
jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
ً ‫ْس ُم ْست َِحقّا‬
َ ‫َو َكوْ نُهُ ُم ْنتَقِالً ُم ْشتَقَّا * يَ ْغلِبُ ل ِك ْن لَي‬
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah,
tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas,
bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh: ً ‫ = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْبا‬zaid telah datang
secara berkendaraan. Lafadz ً ‫ا‬z‫ َرا ِكيْب‬adalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini
dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat
muystaq dalam tiga keadaan:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: ‫دًا‬z ‫ َّر َعلِ ٌي أَ َس‬z ‫( َك‬Ali
menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanya‫ ُش َجاعَا َكا األَ َس ِد‬:
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: ‫س يَدًا بِيَ ٍد‬ َ ‫ك ْالفَ َر‬
َ ُ‫( بِ ْعت‬aku telah
menjual kuda secara kontan). Takwilanya: ‫ض ْي ِن‬ َ ِ‫ُمتَقَاب‬
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: ‫( َد َخ َل القَوْ ُم َر ُجاًل َر ُجاًل‬kaum itu telah masuk
secara tertib satu persatu). Takwilanya: ‫ن‬zِ ‫ ُمتَ َرتِّبَ ْي‬.

 Ketentuan-ketentuan Tamyiz

a. Amil yang menashabkan dalam tamyiz dzat adalah isim mubham yang ditamyizi,
sedangkan dalam tamyiz jumlah adalah fi’il atau syibih fi’il yang ada dalam jumlah
itu.

b. Tamyiz tidak boleh mendahului amilnya, jika amilnya berupa dzat, seperti (
ْ ‫)ر‬,
ً ‫ا‬z‫ ٌل زَ يْت‬z‫ط‬ ِ atau berupa fi’il, seperti (ً‫ ٌد َر ُجال‬z‫)نِ ْع َم َز ْي‬. Adapun menengah-nengahinya
tamyiz dan ma’mul marfu’nya, maka diperbolehkan, seperti (‫ب نَ ْفسا ً َعلِ ٌّي‬ َ َ ‫)طا‬.

c. Tamyiz harus berupa isim sharih, sehingga tamyiz tidak boleh berupa jumlah
atau syibih jumlah.

d. Tamyiz tidak boleh berbilang.

e. Asalnya tamyiz adalah berupa isim jamid, namun terkadang berupa isim
musytaq, jika berupa sifat yang menggantikan maushufnya, seperti ( ً ‫)ما َ اَحْ َسنَهُ عاَلِما‬
karena asalnya adalah (ً ‫)ما َ اَحْ َسنَهُ َر ُجالً عاَلِما‬.

f. Asalnya tamyiz adalah berupa isim nakirah, namun terkadang datang tamyiz
dengan bentuk isim ma’rifat secara lafdzi dan maknanya nakirah, seperti ( ‫ك لَما َّ اَ ْن‬ َ ُ‫َرأَ ْيت‬
َ ‫ َددْتَ َو ِطبْتَ النَّ ْف‬z‫ص‬
ِ z‫ا قَيْسُ ع َْن َع ْم‬zzَ‫س ي‬
‫رو‬z َ * َ ‫ا‬z ‫ َر ْفتَ ُوجُوهَن‬z‫ ) َع‬karena (‫ )ال‬pada lafal itu adalah
zaidah dan asalnya adalah (ً ‫) ِطبْتَ نَ ْفسا‬.
g. Terkadang tamyiz datang sebagai penguat atau taukid, yang bertentangan dengan
pendapat kebanyakan ulama’, seperti ( ً‫ُور ِع ْن َد هللاِ ْاثنا َ َع َش َر َشهْرا‬
ِ ‫)إِ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه‬, karena (‫) َشهْر‬
disebutkan bukan untuk menjelaskan, karena dzatnya sudah diketahui, tetapi dia
disebutkan untuk menguatkan.

h. Tidak diperbolehkan untuk memisahkan diantara tamyiz dan ‘adad kecuali dalam
dlarurat syair, seperti syair, ( ً‫س َع َش َرةَ لَ ْيلَةً ِم ْن جُماَدَى لَ ْيلَة‬
َ ‫ )فِي َخ ْم‬ketika yang diinginkan
adalah (‫س َع َش َرةَ لَ ْيلَةً ِم ْن جُماَدَى‬
َ ‫)فِي َخ ْم‬.

i. Ketika setelah tamyiz adad, seperti ( ‫ )أَ َح َد َع َش َر‬dan sesamanya atau ( َ‫ ) ِع ْشرُون‬dan
sesamanya, kita datangkan na’at, maka sah jika memufradkan na’at itu dengan
dibaca nashab dengan melihat pada lafalnya tamyiz, seperti ( َ‫ِع ْن ِدي ثَالَثَةَ َع َش َر أَو ثَالَثُون‬
ً ‫ا‬z‫)ر ُجالً َك ِريْم‬,
َ dan sah juga jika kita menjama’kannya dengan jama’ taksir dengan
dibaca nashab, seperti (ً ‫)ع ْن ِدي ثَالَثَةَ َع َش َر أَو ثَالَثُونَ َر ُجالً ِكراَما‬,
ِ karena (ً‫ ) َر ُجال‬dalam contoh
itu bermakna ( ً‫)ر ُجال‬, َ tidakkah kalian melihat kalau maknanya adalah (‫ثَالَثَةَ َع َش َر أَو‬
‫ا َ ِل‬z‫ونَ ِمنَ الرِّ ج‬zzُ‫)ثَالَث‬. Namun, jika kita menjama’kannya dengan jama’ shahih, maka
diwajibkan untuk menanggungkan na’at itu pada dirinya sendiri dan menjadikannya
sebagai na’atnya adad bukan tamyiz, seperti ( َ‫صالِحُون‬ َ ً‫) ِع ْن ِدي اَرْ بَ َعةَ َع َش َر أَو أَرْ بَعُونَ َر ُجال‬.

j. Terkadang adad diidlafahkan sehingga tamyiz tidak dibutuhkan, seperti ( ‫ ِذ ِه‬zَ‫ه‬


َ‫ك‬zz‫) َع َش َرتُكَ َو ِع ْشرُو أَبِ ْيكَ َو أَ َح َد َع َش َر أَ ِخ ْي‬, karena tidaklah kita mengidlafahkannya kecuali
jenis mumayyaznya sudah maklum bagi orang yang mendengarnya.
D. Perbandingan Haal dan Tamyiz

Jika kita berbicara tentang perbandingan antara hal dengan tamyiz memang
sebenarnya ada sedikit kemiripan atau persamaan dari beberapa sisi antara hal
dengan tamyiz ini : keduanya (hal dan tamyiz) sama-sama berbentuk isim (kata
benda), keduanya adalah fadhlah (kata yang tak asasi alias sebuah kalimat akan bisa
dipahami walaupun kata ini tak ada), keduanya nakirah, keduanya punya i’rob yang
sama yaitu nashob dan keduanya menafsirkan atau menjelaskan isim sebelumnya.

Terkait dengan perbedaan hal dan tamyiz ini bisa kita simpulkan dalam beberapa
poin penting di bawah ini:

- Hal menjelaskan hai’ah/cara/keadaan dari “sohibul hal”.

- Tamyiz menjelaskan tentang sesuatu yang masih samar / mubham dari


“mumayyaz”-nya

- Biasanya hal itu berupa isim yang mustaq/isim yang merupakan kata turunan
(berupa: isim fa’il, isim maf’ul dan seterusnya), contoh isim musytaq: ,‫ مقتول‬,‫راكب‬
‫ماش‬...
Contoh hal:
‫رجع الجندي مقتوال‬
Tentara itu pulang dalam keadaan terbunuh
- Tamyiz biasanya adalah berupa isim jamid/bukan turunan.
Contohnya:
‫مشيت ستين ميال‬
Aku berjalan sebanyak 60 mil. (Anda bisa perhatikan bahwa kata “mil” pada
kalimat di atas adalah tamyiz, lihat kata “mil” adalah isim jamid bukan isim turunan
dari kata yang lain). Coba anda perhatikan untuk memahami terkait dengan tamyiz
ini : seandainya tak ada kata “mil” maka kalimat di atas masih termasuk kalimat
mubham / samar dan tidak jelas, namun setelah ada kata “mil” kalimatnya menjadi
jelas, itulah gambaran tentang tamyiz.

BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan

Dapat disimpulkan,dari penjelasan diatas sebagai berikut:


1. Haal ialah isim mansub yang menerangkan prihal atau perilaku fa’il atau maf’ul
bih yang masih samar.
2. Shahibul haal adalah terdiri dari tarkib fa’il dan tarkib maf’ul bih.
3. Syarat-syarat tarkib haal, yaitu:
a.Harus dengan isim nakirah, tidak boleh isim ma’rifat.
b. Harus sesudah kalam yang sempurna
c.Shahibul haal harus terdiri dari isim ma’rifat.
4.Macam-macam haal, yaitu:
a.Haal berupa isim mufrad.
b.Haal berupa jumlah ismiyyah.
c.Haal berupa jumlah fi’liyah
d.Haal berupa zharaf.
e.Haal berupa jar dan majrur.
5.Jika haal itu berupa jumlah, maka harus ada penghubung yang menyambungkan
dengan shahibul haal, dan dia itu adakalanya berupa wawu saja atau berupa dlamir
saja atau kedua-keduanya.
Tamyiz adalah isim nakirah yang disebutkan dengan tujuan menghilangkan
kesamaran isim yang terletak sebelumnya. Atau dengan kata lain bahwa tamyiz
merupakan keterangan pembeda, terhadap pengertian yang belum jelas pada kata-
kata yang sebelumnya.
Tamyiz terbagi dua yaitu tamyiz mufrad dan tamyiz nisbah atau tamyiz jumlah.
Dan tamyiz mufrad terbagi menjadi dua lagi yaitu tamyiz bilangan dan tamyiz
bukan bilangan. Tamyiz bukan bilangan itu yang menunjukkan kepada takaran,
timbangan, luas, panjang, dan tamyiz yang berasal dari kata sebelumnya.
Begitupun dengan tamyiz nisbah terbagi dua, yaitu: tamyiz yang berasal dari
fungsi yang lain, selain ia sebagai tamyiz, juga biasa dikenal dengan istilah tamyiz
manqul, dan tamyiz yang tidak dialihkan dari posisi yang lain menjadi tamyiz atau
dikenal dengan istilah tamyiz ghairu manqul.
Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami
merasa bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, bahkan
masih jauh dari sempurna, maka kami pemakalah berharap kritik dan saran yang
membangun dan bermanfaat untuk para pemakalah begitu pula bagi teman-teman
agar mewujudkan makalah yang lebih baik dan sempurna. Besar harapan kami
semoga makalah yang singkat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah
sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Azhar, Bahasa Arab dan metode Pengajarannya Cet.II; Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2004

Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1,
Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009

Fahmi, Akrom, Ilmu Nahwu dan Saraf (Tata Bahasa Arab) Prakis dan Aplikatif.
Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Gulayani, Mustafa, Jami’ al- Durus al- Arabiyyah, Semarang: al- syifa. 1991

Hafid, Abd. Karim, Pedoman & Petunjuk Pengajaran dalam Membaca Kitab
Kuning. Makassar: Alauddin Press. 2009

Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al- Asasiyah li al- Lughah al- Arabiyah, Bairut: Dar
al-Qutub al-‘Ilmiah, 1354 H.

Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik
Offset, 2008

Jasim, Ali & Mustafa Amin, Nahwu al- Wadi fi Qawaid al- Lughah al-‘Arabiy.

Moh. Nuri, H. Mustafa. Tuntunan Praktis Memahami Bahasa Arab II, Makassar:
Fakultas Adab dan Humaniora, IAIN Alauddin Makassar. 1993.
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 2010

Anda mungkin juga menyukai