Disusun oleh :
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah nahwu tentang
haal dan tamyiz.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah nahwu tentang haal dan tamyiz ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar...................................................................................................................... i
Daftar isi............................................................................................................................... ii
Bab I : Pendahuluan
1.1. Latar Belakang....................................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................
1
1.3. Tujuan.................................................................................................................
1
Bab II : Pembahasan
A. Pengertian Haal dan Tamyiz.............................................................................. 2
B. Macam-macam Haal dan Tamyiz....................................................................... 3
C. Ketentuan-ketentuan Hal dan Tamyiz................................................................ 5
D. Perbandingan Haal dan Tamyiz.......................................................................... 8
Bab III : Penutup
Kesimpulan............................................................................................................................ 9
Daftar Pustaka....................................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali,
memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis
tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan
baik. Dalam upaya mengembangkan wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya
sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab merupakan kunci dan
syarat mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji ajaran islam secara
luas dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang digunakan
dalam berbahasa Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu
nahwu dikenal istilah Haal dan Tamyiz. Kami pemakalah akan mencoba menjelaskan
sedikit tentang ilmu nahwu dalam bab Haal dan bab Tamyiz.
1.3. Tujuan
a. Haal
ال
ِ الح َ ع ْالفِ ْع ِل َو ُس َّمي َك ٌّل ِم ْنهُ َما
َ ُصا ِحب ِ ْاع ِل أَوْ الم ْفعُوْ ِل بِ ِه ِح ْينَ ُوقُو
ِ َاَ ْل َحا ُل ه َُو إِ ْس ٌم َم ْنصُوْ بٌ يُبَيْنُ هَ ْيئَةَ ْالف.
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il
atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih
tersebut dinamakan Shohibul Haal”.2
b. Tamyiz
Secara etimologi kata tamyiz berasal dari kata ميّز, ia merupakan bentuk masdhar dari
fi’il tersebut. Dalam kamus disebutkan bahwa mayyaza berarti “ memisahkan
sesuatu dari yang lain atau mengutamakan sesuatu daripada yang lain. Tamyiz
berfungsi untuk menjelaskan atau menghilangkan kekaburan atau ketidak jelasan dari
apa yang dimaksud kata atau kalimat sebelumnya, misalnya
ر ْينَ كتابًاzْت ِع ْش
ُ ( إ ْشتّ ّريsaya membeli dua puluh buku). Kata– kata ini masih sifatnya
umum, bisa berarti dua puluh buku, dua puluh majallah, dua puluh pulpen dan lain-
1
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, hlm. 432
2
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, hlm. 147
lain, namun setelah ada kata-kata كتابًا, maka sudah jelaslah yang dimaksud buku dan
keluarlah yang lain. Inilah yang dimaksud tamyiz dalam bahasa Arab.
Sedangkan tamyiz dari segi terminologi ialah :
اسم نكرة يذكر تفسيرا للمبهم من ذات أو نسبة: التمييز.
“ isim nakirah yang dituturkan untuk memperjelas kesamaran suatu zat atau suatu
nisbah.”3
Sedangkan Ali Ridha dalam bukunya اللغة العربيةmengatakan bahwa:
ما قبله من إسم ذات أو جمل ٍةzالتمييز هو اسم نكرة جامد متضمن معنى من يفسّر و يبين.
“ Tamyiz adalah isim nakirah yang mengandung arti menjelaskan kata- kata
sebelumnya”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tamyiz adalah isim nakirah yang
disebutkan dengan tujuan menghilangkan kesamaran isim yang terletak sebelumnya.
Atau dengan kata lain bahwa tamyiz merupakan keterangan pembeda, terhadap
pengertian yang belum jelas pada kata-kata yang sebelumnya. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa Isim nakirah itu mengandung pengertian ( )منyang berarti dari.4
1. Macam-macam Haal
2. Macam-macam Tamyiz
Tamyiz terbagi menjadi dua, yaitu Tamyiz Dzat (atau yang disebut juga dengan
Tamyiz Mufrad) dan Tamyiz Nisbat (atau yang disebut juga dengan Tamyiz
Jumlah).
Tamyiz Dzat
Tamyiz dzat adalah tamyiz yang menjelaskan pada isim yang masih samar
ْ ِع ْن ِدي ِر
(isim mubham) yang dilafalkan, seperti (ً ط ٌل َزيْتا
Isim mubham ada lima macam, yaitu:5
b. Isim yang menunjukkan pada ukuran (sesuatu yang diukur dengan alat), yaitu
adakalanya berupa jarak area, seperti (ً صبَةٌ اَرْ ضا َ َ“ )“ ِع ْن ِدي قaku mempunyai sekotak
tanah,” atau timbangan, seperti (ًك قِ ْنطا َ ٌر َع َسال َ َ“ ) “ لkamu mempunyai satu kuintal
madu,” atau takaran, seperti ( ً اzصاعا ً قُ ْمحَ “ ) اَ ْع ِط ْالفَقِ ْي َرberilah orang fakir satu sha’
gandum,” atau ukuran, seperti(ً ع جُوخا ٌ “ ) “ ِع ْن ِدي ِذ َراada padaku satu dzira’ kain.”
c. Isim yang menunjukkan pada perkara yang menyerupai ukuran (perkara yang
menunjukkan pada sesuatu yang tidak tertentu), karena perkara itu tidak diukur
dengan alat khusus.
Adakalanya menyerupai jarak area, seperti ( ً اz ِر اَرْ ضzص َ َ ُّد البz“ )“ ) ِع ْن ِدي َمada padaku
tanah sepanjang mata memandang,” atau timbangan, seperti
(ُ“ ) َو َم ْن يَ ْع َملْ ِم ْثقا َ َل َذ َّر ٍة خَ يْراً يَ َرهbarang siapa yang beramal sebesar atom, maka dia
akan melihatnya,” atau takaran, seperti (“ ) ِع ْن ِدي َج َّرةٌ ما َ ًءada padaku satu guci air,”
atau ukuran, seperti (ً“ ) ِع ْن ِدي َم ُّد يَ ِدكَ َحبالada padaku benang sepanjang tanganmu.”
5
Jami’ al-Durus al-Arabiyyah, juz III hlm. 113
d. Isim yang diberlakukan seperti ukuran, yaitu semua isim mubham yang
membutuhkan pada tamyiz dan penjelas, seperti (ً“ )لَنا َ ِم ْث ُل ما َ لَ ُك ْم َخ ْيالada padaku kuda
yang seperti yang ada padamu.”
e. Perkara yang merupakan cabang dari tamyiz, seperti (ض ٍة َّ ِ)ع ْن ِدي خَاتَ ُم ف
ِ “ada padaku
cincin perak.”
Hukum tamyiz dzat adalah boleh dibaca nashab, seperti yang telah kalian lihat, dan
boleh dijerkan dengan ( ) ِم ْنseperti (ت ْ ) ِع ْن ِدي ِرatau dengan diidlafahkan,
ٍ ٌل ِم ْن زَ ْيzط
seperti (ض ٍ ْصبَةُ اَر َ َ )لَنا َ قkecuali jika diidlafahkan akan menyebabkan terjadinya dua
idlafah, yaitu ketika mumayyaznya berupa mudlaf, maka pengidlafahan itu
dilarang dan wajib untuk dibaca nashab atau dijerkan dengan ( ) ِم ْنseperti (ما َ فِي
ٍ َ )السَّما َ ِء قَ ْد ُر َرا َح ٍة َسحاَبا ً اَو ِم ْن َسحا. Dikecualikan dari hukum tersebut adalah tamyiznya
ب
adad, karena dia mempunyai hukum tersendiri.
Tamyiz Nisbat
Tamyiz nisbat adalah tamyiz yang menjelaskan pada jumlah yang masih samar
nisbatnya, seperti (ً ) َحسُنَ َعلِ ٌّي ُخلُقا, karena nisbatnya baik pada Ali masih samar yang
memungkinkan pada banyak keadaan, lalu kita menghilangkan kesamarannya
dengan mengucapkanً ُخلُقا.
Termasuk dalam tamyiz nisbat adalah isim yang jatuh setelah ( َ )ماyang berfaidah
ta’ajjub, sepertiًما َ اَ ْش َج َعهُ َر ُجال
a. Tamyiz Muhawwal, yaitu tamyiz yang asalnya adalah fa’il, seperti ( َو ا ْشتَ َع َل
ً )الر َّْأسُ َشيْباyang asalnya adalah (س ْ َ َْو فَجَّرْ نا َ اأْل َر
ِ )اِ ْشتَ َع َل َشيْبُ الرَّأ, atau maf’ul, seperti (ض
ً ) ُعيُوناyang asalnya adalah (ض ِ ْ) فَجَّرْ نا َ ُعيُونَ اأْل َر, atau mubtada’, seperti (ًك ماَال
َ اَنا َ اَ ْكثَ ُر ِم ْن
ً ) َو اَع َُّز نَفَراyang asalnya adalah
َ ِماَلِي اَ ْكثَ ُر ِم ْن ماَل
( َك َو نَفَ ِري اَع َُّز ِم ْن نَفَ ِرك
Hukum tamyiz ini adalah selamanya dibaca nashab dan tidak boleh dijerkan
dengan ( ) ِم ْنatau dengan idlafah.
b. Tamyiz Ghairu Muhawwal, yaitu tamyiz yang bukan pindahan dari yang lain,
seperti (ً َس َموتَ اَ ِديْبا
Hukum tamyiz ini adalah boleh dibaca nashab dan boleh dibaca jer dengan ( ) ِم ْن,
seperti (ب ٍ ) َس َموتَ ِم ْن اَ ِد ْي.
Perlu diketahui bahwa lafal yang jatuh setelah isim tafdlil, wajib dibaca nashab
menjadi tamyiz, jika lafal itu bukanlah jenisnya lafal sebelumnya, seperti (اَ ْنتَ اَ ْعلَى
ِ z) َم ْن. Namun, jika termasuk jenisnya lafal sebelumnya, maka wajib dijerkan
ًزالz
dengan diidlafahkan kepada ()اَ ْف َعل, seperti ( ٍلz ُل َر ُجz ض
َ )اَ ْنتَ اَ ْفkecuali jika ( )اَ ْف َعلdi
idlafahkan kepada selain tamyiz maka wajib untuk membaca nashab tamyiz karena
sulitnya mengidlafahkan untuk kedua kalinya, seperti (ًاس َر ُجال َ )اَ ْنتَ اَ ْف.
ِ َّض ُل الن
C. Ketentuan-ketentuan Haal dan Tamyiz
Ketentuan-ketentuan Haal
Ketentuan-ketentuan Tamyiz
a. Amil yang menashabkan dalam tamyiz dzat adalah isim mubham yang ditamyizi,
sedangkan dalam tamyiz jumlah adalah fi’il atau syibih fi’il yang ada dalam jumlah
itu.
b. Tamyiz tidak boleh mendahului amilnya, jika amilnya berupa dzat, seperti (
ْ )ر,
ً اz ٌل زَ يْتzط ِ atau berupa fi’il, seperti (ً ٌد َر ُجالz)نِ ْع َم َز ْي. Adapun menengah-nengahinya
tamyiz dan ma’mul marfu’nya, maka diperbolehkan, seperti (ب نَ ْفسا ً َعلِ ٌّي َ َ )طا.
c. Tamyiz harus berupa isim sharih, sehingga tamyiz tidak boleh berupa jumlah
atau syibih jumlah.
e. Asalnya tamyiz adalah berupa isim jamid, namun terkadang berupa isim
musytaq, jika berupa sifat yang menggantikan maushufnya, seperti ( ً )ما َ اَحْ َسنَهُ عاَلِما
karena asalnya adalah (ً )ما َ اَحْ َسنَهُ َر ُجالً عاَلِما.
f. Asalnya tamyiz adalah berupa isim nakirah, namun terkadang datang tamyiz
dengan bentuk isim ma’rifat secara lafdzi dan maknanya nakirah, seperti ( ك لَما َّ اَ ْن َ َُرأَ ْيت
َ َددْتَ َو ِطبْتَ النَّ ْفzص
ِ zا قَيْسُ ع َْن َع ْمzzَس ي
روz َ * َ اz َر ْفتَ ُوجُوهَنz ) َعkarena ( )الpada lafal itu adalah
zaidah dan asalnya adalah (ً ) ِطبْتَ نَ ْفسا.
g. Terkadang tamyiz datang sebagai penguat atau taukid, yang bertentangan dengan
pendapat kebanyakan ulama’, seperti ( ًُور ِع ْن َد هللاِ ْاثنا َ َع َش َر َشهْرا
ِ )إِ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه, karena () َشهْر
disebutkan bukan untuk menjelaskan, karena dzatnya sudah diketahui, tetapi dia
disebutkan untuk menguatkan.
h. Tidak diperbolehkan untuk memisahkan diantara tamyiz dan ‘adad kecuali dalam
dlarurat syair, seperti syair, ( ًس َع َش َرةَ لَ ْيلَةً ِم ْن جُماَدَى لَ ْيلَة
َ )فِي َخ ْمketika yang diinginkan
adalah (س َع َش َرةَ لَ ْيلَةً ِم ْن جُماَدَى
َ )فِي َخ ْم.
i. Ketika setelah tamyiz adad, seperti ( )أَ َح َد َع َش َرdan sesamanya atau ( َ ) ِع ْشرُونdan
sesamanya, kita datangkan na’at, maka sah jika memufradkan na’at itu dengan
dibaca nashab dengan melihat pada lafalnya tamyiz, seperti ( َِع ْن ِدي ثَالَثَةَ َع َش َر أَو ثَالَثُون
ً اz)ر ُجالً َك ِريْم,
َ dan sah juga jika kita menjama’kannya dengan jama’ taksir dengan
dibaca nashab, seperti (ً )ع ْن ِدي ثَالَثَةَ َع َش َر أَو ثَالَثُونَ َر ُجالً ِكراَما,
ِ karena (ً ) َر ُجالdalam contoh
itu bermakna ( ً)ر ُجال, َ tidakkah kalian melihat kalau maknanya adalah (ثَالَثَةَ َع َش َر أَو
ا َ ِلzونَ ِمنَ الرِّ جzzُ)ثَالَث. Namun, jika kita menjama’kannya dengan jama’ shahih, maka
diwajibkan untuk menanggungkan na’at itu pada dirinya sendiri dan menjadikannya
sebagai na’atnya adad bukan tamyiz, seperti ( َصالِحُون َ ً) ِع ْن ِدي اَرْ بَ َعةَ َع َش َر أَو أَرْ بَعُونَ َر ُجال.
Jika kita berbicara tentang perbandingan antara hal dengan tamyiz memang
sebenarnya ada sedikit kemiripan atau persamaan dari beberapa sisi antara hal
dengan tamyiz ini : keduanya (hal dan tamyiz) sama-sama berbentuk isim (kata
benda), keduanya adalah fadhlah (kata yang tak asasi alias sebuah kalimat akan bisa
dipahami walaupun kata ini tak ada), keduanya nakirah, keduanya punya i’rob yang
sama yaitu nashob dan keduanya menafsirkan atau menjelaskan isim sebelumnya.
Terkait dengan perbedaan hal dan tamyiz ini bisa kita simpulkan dalam beberapa
poin penting di bawah ini:
- Biasanya hal itu berupa isim yang mustaq/isim yang merupakan kata turunan
(berupa: isim fa’il, isim maf’ul dan seterusnya), contoh isim musytaq: , مقتول,راكب
ماش...
Contoh hal:
رجع الجندي مقتوال
Tentara itu pulang dalam keadaan terbunuh
- Tamyiz biasanya adalah berupa isim jamid/bukan turunan.
Contohnya:
مشيت ستين ميال
Aku berjalan sebanyak 60 mil. (Anda bisa perhatikan bahwa kata “mil” pada
kalimat di atas adalah tamyiz, lihat kata “mil” adalah isim jamid bukan isim turunan
dari kata yang lain). Coba anda perhatikan untuk memahami terkait dengan tamyiz
ini : seandainya tak ada kata “mil” maka kalimat di atas masih termasuk kalimat
mubham / samar dan tidak jelas, namun setelah ada kata “mil” kalimatnya menjadi
jelas, itulah gambaran tentang tamyiz.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1,
Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009
Fahmi, Akrom, Ilmu Nahwu dan Saraf (Tata Bahasa Arab) Prakis dan Aplikatif.
Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Gulayani, Mustafa, Jami’ al- Durus al- Arabiyyah, Semarang: al- syifa. 1991
Hafid, Abd. Karim, Pedoman & Petunjuk Pengajaran dalam Membaca Kitab
Kuning. Makassar: Alauddin Press. 2009
Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al- Asasiyah li al- Lughah al- Arabiyah, Bairut: Dar
al-Qutub al-‘Ilmiah, 1354 H.
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik
Offset, 2008
Jasim, Ali & Mustafa Amin, Nahwu al- Wadi fi Qawaid al- Lughah al-‘Arabiy.
Moh. Nuri, H. Mustafa. Tuntunan Praktis Memahami Bahasa Arab II, Makassar:
Fakultas Adab dan Humaniora, IAIN Alauddin Makassar. 1993.
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 2010