Anda di halaman 1dari 5

Ida Waluh di Lereng Gunung Agung menggambarkan Yusuf Susilo Hartono / Kompas

Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan
kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba
meletus.

“Saya siap,” ujar seorang anak muda yang mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama
menunggu bisu beku.

Semua menghadapnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi informasi, bekerja di


penyedia jasa desain web di Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah,
hidup dari menjual sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di lereng
Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama mereka. Saban hari ia
ulang-alik Swecapura-Jimbaran pergi dua jam terbang.

“Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek.

“Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak diperlukan di sini menyambut kedatangan pejabat dan
menemani para pembawa kontribusi untuk selfi. Tak ada yang bersedih sebelum aku tak
kembali. Ayah, ibu, pacar, saya tak punya. Saya cuma titip bibi. ”

Losen anggota DPRD Kabupaten Karangasem, mendulang banyak suara terima kasih bantuan para
bebotoh judi sabung ayam. Berulang Losen diundang, ia bercita-cita jadi bupati bahkan gubernur,
karena dengan menjadi kepala daerah ia yakin bisa mensejahterakan Desa Kesimpar.

Menjelang subuh Ananta pergi ke Kesimpar naik motor. Para pengungsi melepasnya dengan pelukan
dan tepukan bahu. Ibu-ibu terisak seperti melepaskan putra mereka ke medan perang dan tak akan
kembali. Kakek-nenek mengusap-usap dikembalikan, komat-kamit mengucap doa semoga ia kembali
selamat bersama Ida Waluh.

Bibinya menantang tegar, beri semangat. "Kamu penyelamat dusun kita, An."

"Kasi hadiah nanti ya, jika aku berhasil."

Si bibi tersenyum, menyodok dada lembut keponakannya dengan bangga.

Melewati bukit Kahang-kahang, Ananta mulai merasakan getaran gempa. Selepas Desa Datah,
gempa itu kian keras dan makin kerap. Memasuki Desa Kesimpar, gempa bumi semakin kuat, tanah
tak bebas bergoyang, terguncang, dan bumi bagai semakin terbelah. Pohon terhuyung-huyung,
gesekan semak-semak bunga berderak derak, seakan menarik lagi Gunung Agung meletus. Tak ada
burung melintas, juga bukan unggas dan anjing. Sapi-sapi sudah diungsikan. Desa Kesimpar menjadi
dusun mati seperti disambar naga.

Ananta Membuka Pura Desa tempat Ida Waluh. Beberapa bagian tembok pura-pura direbut, atap-
atap bangunan miring digoyang kali gempa sepanjang dua pekan lalu. Ia berhenti tepekur di depan
sebuah meru tumpang tiga beratap ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan kunci yang ia ambil dari
tas pinggang, ia membuka pintu dengan berdebar, semakin berdebar dengan getaran gempa yang
mengguncang setiap dua menit.

Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh Ananta yang dipegang tangan di dada, sebelum dengan
takzim membopongnya ke balai piasan, tempat yang dibuka sesaji jika upacara piodalan digelar.
Rambut Ida Waluh tergulung memanjang ke belakang, ujungnya melingkar. Dari membunuhnya
menyembul bunga waluh tertutup pusar dan sebagian kedua pahanya. Tubuhnya condong ke
belakang, kedua tangan bertumpu menyangga bunga waluh yang besar.

Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut yang memanjang adalah lingga, alat kelamin tanda
kelaki-lakian Dewa Siwa, dan waluh adalah yoni, gender perempuan. Ida Waluh mendukung sebagai
perwujudan lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi kesejahteraan dan kedamaian. Warga
menjaganya dengan tidur makemit saban malam di Pura Desa, sejak beberapa tahun yang lalu,
kompilasi patung suci di desa-desa kaki Gunung Agung disatroni maling.

Ida Waluh memang rawan diculik, karena pasti di ayahnya terikat permata hijau lumut sebesar ibu
jari tangan. Tersebar kabar ke seluruh desa dan kota, permata itu sangat bertuah dan murah
hati. Banyak tokoh yang membantu pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD meminta restu di
Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan restu memenangkan pertarungan politik. Mereka yakin
anugerah permata hijau lumut itu menyiramkan wibawa dan memengaruhi siapa pun yang
memohon pada Ida Waluh, yang meningkatkan percikan dari Ida Sang Hyang Widhi.

Jika tidak, Anda harus menginstal GPS tracker untuk melacak dan memberi alarm jika diculik atau
dipindahkan. GPS dipasang di atas lempengan baja yang disatu dengan kayu, yang menjadi alas
duduk Ida Waluh.

Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah tenang. Laki-laki dusun tidak semangat menangani kebun,
setiap saat dihantui perasaan adalah-dan takut jika Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu
meragukan teknologi, karena teknologi hebat bisa dilawan dengan yang lebih canggih. Teknologi itu
gampang disiasati dan dikibuli. Beberapa hari setelah memasang GPS, tiga wanita kesurupan pulang
anggota makemit kembali, bermalam di pura. Ida Waluh menerima dua perlindungan: digital dan
manual. Dari tempat kosnya di Jimbaran, dengan ponsel pintar Ananta bisa mengunduh Ida Waluh
karena pelacak GPS tetap terpasang.

Kesurupan kini berulang di pengungsian, berpengalaman enam perempuan. Selepas petang anak-


anak menangis menjerit-jerit tanpa sebab. Para orang tua bingung, inguh , gelisah. Orang-orang
dewasa hanya tidur-tiduran tidak karuan, bermalas-malasan. Mereka merasa tidak nyaman dan ingin
segera kembali ke Kesimpar, namun takut disergap lahar dan kesulitan awan panas. Ketika mereka
sadar, Ida Waluh hadir untuk menjamin ketenangan dan kenyamanan. Mereka mengundang
menjemput Ida Waluh untuk tinggal bersama di barak.

Hari menerima sakit tatkala dengan sangat hati-hati Ananta membopong Ida Waluh, setelah
membungkusnya dengan kain kasa kuning yang ia dapatkan di sudut balai-balai. Gempa
mengguncang-guncang semakin sering dan kian kuat. Kadang-kadang Ananta mendengar suara
gemuruh seakan gunung meledak. Waktu terasa berjalan sangat lamban kompilasi ia berhasil
melewati kaki Tukad Gerudug yang melepaskan batu muntahan Gunung Agung tahun 1963

Ananta menyambut menghidupkan motor yang ia parkir di bawah mohon jambu mete. Ida Waluh ia
tempatkan di depan dada, tidak di boncengan, karena kuwalat memunggungi sosok suci. Lebih tanpa
disadari kadang-kadang ia kentut jika naik motor. Dengan menempatkannya di depan, ia memegang
seakan dipeluk Ida Waluh. Ia menjadi sangat tenang, tidak gentar akan bunyi-bunyi aneh alam
karena gempa yang berulang.
Para pengungsi baru selesai makan malam kompilasi Ananta tiba di pengungsian Swecapura. Ia puas
seperti pahlawan, dielu-elukan, dipeluk penuh haru, dicubit-cubit ibu-ibu. Gadis-gadis mencium
pipinya dengan penuh suka dan penuh suka cita. Tempat pengungsian yang menjadi tempat
kompilasi Ida Waluh diarak ke ujung barak, ditempatkan dengan khidmat di atas berlapis kardus-
kardus bekas mi dan biskuit berkontribusi. Sesaji dihaturkan, mereka menembangkan kidung
wargasari, tirta dipercikkan.

Sejak itu orang-orang Kesimpar di pengungsian menjadi tenang. Tak ada lagi yang kesurupan. Anak-
anak meminjam buku dongeng dari perpustakaan keliling. Untuk para kakek dan nenek, mereka
membaca buku Mendongeng Lima Menit yang dikumpulkan Made Taro. Kali ini anak muda yang
mendongeng untuk orang tua. Meski Gunung Agung dikabarkan kritis siap meletus, mereka di barak
tidur nyenyak. Anak-anak makan banyak, bayi menetek ASI dengan lahap.

Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel Ananta berdering. Tat-tit-tut-tet-tet-tet…

Ananta yang sedang duduk-duduk di barak pengungsi lain, tak perlu menunggu, ia menyambar
ponselnya. Ia kaget kompilasi sambil melihat layar, ikon Ida Waluh bergerak ke luar barak. Ananta
membangunkan orang-orang, mengajak mereka melihat layar selebar telapak tangan itu.

Belasan orang yang berhasil mengambil ikon yang bergerak semakin cepat di layar. Mereka
memanggil sawah yang sedang ditumbuhi kedele. Mereka meloncati selokan tempat mereka mandi
dan buang air di tengah sawah. Layar di ikon semakin jauh dan semakin cepat menerobos
sawah. Mereka mengambil Ananta, yang menjadi komando dari pasukan tempur. Ponsel di
genggamannya seperti senjata otomatis siap menyalak. Matanya tak lepas-lepas dari ponsel, silih
berganti diambil Arah pematang di depan agar ia tidak terperosok.
Ananta memberi aba-aba agar orang-orang berhenti kompilasi ikon di layar diam, bebas
melepaskan-kedip lambat. Mereka memandang sekitar, gelap sekali, sawah cuma diterangi cahaya
bintang. Mereka mengendap-endap menuju titik ikon Ida Waluh berhenti.

Ananta menatap lurus ke Arah ikon yang semakin dekat. Matanya tak lepas-lepas dari layar
ponsel. Ia menatap gubuk kecil beratap alang-alang, dikitari tanaman jagung yang baru
berbunga. Dengan dagunya ia menunjuk ke gubuk itu. Dan mereka serentak bergerak.

"Serbuuuuu .....!"

Mereka menerobos gubuk, mendapati seseorang duduk di atas unggas. Gelap sekali dalam gubuk
kompilasi orang itu dihujani pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Erangan dan jeritan kesakitan
kalah oleh deru hantaman dan bising gerakan lengan.

Gubuk itu roboh karena tak sanggup memegang belasan orang. Atapnya beterbangan menghantam
batang-batang jagung. Ketika mereka menemukan Ida Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka
segera mengambil pretima , patung suci dari kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu, dan
menjunjungnya ramai-ramai ke barak. Terlepas Ananta, tak seorang pun peduli sama pencuri itu
yang tertelungkup.

Dada Ananta berdegup kencang kompilasi ia membalikkan tubuh orang itu, dan melihat
membalikkan yang dikenal semua orang Kesimpar.
"Pak Losen. Pak .... Pak Losen. " Ananta menggoyang-goyang tubuh lunglai itu.

Losen dibuka. “Sejak lama saya ingin permata ini, An,” katanya sembari merogoh saku celana dan
mengeluarkan permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di dada Ida Waluh, yang bercahaya
lembut memantulkan cahaya bintang-bintang.

Ananta tak percaya, membawa orang-orang membawa Ida Waluh ke barak, ia masih melihat jelas
permata itu berada di tempatnya.

“Yang itu palsu, An, aku mencungkilnya tadi, menggantinya. Yang ini asli. Saya cuma ingin permata
ini, bukan patungnya. Akan saya mengembalikan patung itu setelah berhasil mengatur permata
lumut ini, agar saya bisa jadi bupati atau gubernur. "

"Bapak yakin?"

"Kamu kenal almarhum Pan Buyar?"

"Semua orang Kesimpar mengenalnya."

“Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia. Ia menerima berkah batu di lereng Gunung Agung, tetapi
semua untuk penolak bala, tak ada yang membuat bangunan wibawa. Kakekku, permata lumut ini
bisa membuat pemiliknya jadi pemimpin nomor satu. ”

Losen menggenggam tangan Ananta, mencoba mengaktifkan permata hijau lumut itu ke
genggamannya. Ananta terperanjat, menggeleng, menarik tertangkap. Tubuhnya merinding, sesuatu
berdesing dalam dadanya. Ia menggigil.

"Takdir benda ini milikmu, An, ambillah," suara Losen lemah. "Rawatlah dengan baik, kelak kamu
bisa jadi bupati atau gubernur."

Losen terengah-engah, masukkan berayun lemah masukkan permata hijau lumut ke saku baju
Ananta. Setelah itu ia tak bergerak. Wajahnya bengkak memandang langit, sekujur badannya
berdarah. Orang-orang itu meremukkan salah, mematahkan rusuk dan betisnya. Beberapa kali bunyi
krok-krok-krok diluncurkan dari tenggorokannya, kemudian diam, benar-benar diam.

Di barak orang-orang mengumandangkan kidung wargasari, menyambut kembali Ida Waluh yang
berhasil menerebos tanaman kedele dan jagung. Kidung itu terdengar sayup ke gubuk, seakan
sekalian menjadi nyanyian mengantar diangkat Losen.

Sebentar lagi pagi tiba.

Gde Aryantha Soethama , dapatkan Anugerah Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas pada 2016.


Buku kumpulan cerpennya Mandi Api (2006) meraih Khatulistiwa Literary Award. Hampir setiap
tahun cerpennya lolos dalam buku Cerpen Pilihan Kompas . Ia juga menulis buku-buku jurnalistik
seperti Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986).

Anda mungkin juga menyukai