Disusun oleh
Yuyun Yulyanti (1305344)
Kelas DIK-A 2013
DEPARTEMEN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014
PENDAHULUAN
Istilah kajian atau pengkajian yang digunakan menunjuk pada pengertian penelaahan.
Istilah tersebut berkaitan dengan mengkaji, menelaah, atau meneliti. Pengkajian terhadap sebuah
teks fiksi berarti penelaahan, penelitian, atau mengkaji, menelaah, meneliti teks fiksi tersebut.
Karya sastra khususnya cerpen dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur saling
berhubungan, saling menentukan, dan saling memengaruhi yang menyebabkan cerpen tersebut
menjadi karya yang bermakna. Kegiatan analisis cerpen ini dapat menjelaskan peranan masingmasing unsur dan keterkaitan antar unsur-unsurnya. Analisis ini juga untuk memberikan
penilaian secara objektif berdasarkan hal-hal yang yang ditemukan pada teks. Selain itu, tujuan
analisis fiksi ini adalah untuk dapat memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan.
Pendekatan objektif menekankan kajian langsung terhadap teks sastra, teks sastra sebagai
objek utama kajian. Pendekatan yang dimaksud diantaranya pendekatan srtukturalisme, semiotik,
intertekstual, feminisme, psikoanalisis, dekonstruksi, pascakolonial, dan lain-lain.
Penulis akan menganalisis karya sastra berupa cerpen karya Yanusa Nugroho yang
berjudul Bukit Cahaya dengan pendekatan Struktural A. J. Greimas dan pendekatan Intertekstual.
Mendengar kisah tentang bukit cahaya tersebut, tokoh Aku semakin memiliki keinginan
yang sangat kuat untuk menyaksikan secara langsung bukit cahaya itu walau pun semakin
banyak pula yang mengejek keinginan tokoh Aku. Teman-temanya mengatakan bahwa tokoh
Aku lebih percaya pada dunia maya dari pada dunia nyata, ia dikatakan sebagai orang yang
pemimpi ingin melihat bukit cahaya tersebut. Tokoh Aku haya bisa diam menanggapi ejekan dari
teman-temanya tersebut, meskipun tokoh Aku menyadari bahwa bukit cahaya hanyalah sebuh
dongeng, tetapi ada kepercayaan kuat dalam dirinya tentang keberadaan bukit cahaya.
Keyakinan yang kuat tersebut membuat tokoh Aku mengajukan cuti di awal bulan Juli
untuk pergi ke bukit cahaya tepatnya di Dusun Galihkangkung. Tokoh Aku mengatakan bahwa
tempat tersebut belum terpetakan di Indonesia dan Bos tokoh Aku memberitahukan kepada
teman-teman kantor lainnya bahwa tokoh Aku akan pergi ke tempat yang belum terpetakan di
Indonesia, seisi ruangan kantor tersebut pun menertawakan tokoh Aku. Tokoh Aku hanya bisa
diam saja, mereka hanya percaya pada kecanggihan teknologi tidak percaya lagi dengan logika
yang berarti sebatok kepala kita sendiri. Mereka tidak mempercayai keindahan, namun lebih
percaya pada perhitungan logika. Mereka tak bisa lagi bercanda atau senda gurau antarsesama
manusia, lantaran jauh dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan buruk sangka. Semua unsur
kehidupan didasarkan pada untung rugi secara sempit. Mereka bukan lagi pengikut para nabi,
meski pun dari mulut mereka membusa ayat-ayat Tuhan, tetapi mereke menyembah uang yang
menurut mereka lebih nyata daripada Tuhan.
Akhirnya, tokoh Aku berada di Galihkangkung dengan keadaan yang begitu damai. Entah
bagaimana tokoh Aku bisa sampai di tempat ini diraskan sebagi sesuatu yang aneh. Melalui
tokoh Gusti Purusa yang memberitahu bahwa ada kerabatnya di sana, Pak Har namanya. Semua
ini terjadi begitu saja.
Tokoh Aku menyaksikan bukit cahaya itu dari tepi laut di Teluk Galihkangkung ditemani
oleh tokoh Pak Har dan beberapa orang lainnya. Beberapa saat kemudian, di bukit yang semula
samar-samar berubah menyala kuning kemerahan. Cahaya yang menjulang, membukit, terang
benderang, membawa tokoh Aku melayang. Cahaya itu membuat kedamaian dalam dirinya,
cahay itu membersihkan seluruh jiwanya dan meneranginya dengan klembutan, air matanya
mengalir menyaksikan keindahan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Tiba-tiba, Tokoh Aku
tergagap bangun dari mimpinya tersebut, baginya, itu adalah seseuatu yang dianggapnya benar.
Keyakinan kuat Tokoh Aku, pengambilan cuti kerja, teman-temannya seperti, Mas Tri Luwih,
Gus Rony, Gusti Purusa, Pak Har (penolong/pembantu)
Tokoh Aku (subjek)
Ejekan dari teman dan bos di kantornya, tempat Galihkangkung yang belum terpetakan di
Indonesia, dan kisah bukit cahaya hanya sebuah dongeng (penentang)
Tokoh Aku (penerima)
Adanya
Transformasi
Situasi Akhir
Tahap
Uji
Tahap Utama
Kecakapan
Tahap
Keberhasilan
Upaya untuk
Tokoh Aku
Memutuskan
Keberadaanya
keinginan yang
kuat dan
kepercayaan dari
tokoh Aku untuk
melihat bukit
cahaya melalui
kisah-kisah yang
didapatkannya
membuktikan
keberadaan
bukit cahaya
melalui kisah
yang
didengarnya
dari teman
(Mas Tri
Luwih dan
Gus Rony),
memutuskan
untuk
mengambil
cuti kerja dan
diejek oleh
teman dan
bosnya karena
dianggap
terlalu
mengada-ada.
pergi ke Dusun
Galihkangkung
untuk
mengunjungi
bukit cahay.
Tokoh Gusti
Purusa dan Pak
Har membantu
tokoh Aku
untuk sampai ke
bukit cahaya
menyaksikan
bukit cahaya
secara
langsung
di bukit cahaya
tersebut
hanyalah
sebuah mimpi
tidur dari
tokoh Aku
yang ia yakini
sebagi sebuha
kebenaran
tentang
keberadaan
bukit cahaya
Penjelasan:
Cerita berawal dari kisah-kisah tentang bukit cahaya yang didapatkan oleh tokoh Aku
dari teman-temanya, walaupun cerita yang ia dapatkan hanya sebuah dongeng tetapi tokoh Aku
mempercayai keberadaan bukit cahaya, tepatnya di Dusun Galihkangkung yang belum
terpetakan di Indonesia dan hal itu yang membuat ia diejek oleh teman-teman dan bos di kantor
tempat kerjanya hingga tokoh Aku mengambil cuti dari kerjanya untuk mengunjungi bukit
cahaya tersebut. Untuk mencapai bukit cahaya tokoh Aku mendapat bantuan dari Mas Tri Luwih
dan Gus Rony yang menceritakan tentang bukit cahaya, sedangkan Gusti Purusa dan Pak Har
sebagi tokoh yang membantu perjalanan tokoh Aku untuk sampai di bukit cahaya. Akhirnya,
tokoh Aku bia melihat bukit cahaya tersebut walau pun dalam mimpinya yang ia yakini sebagi
sebuah kebenaran tentang keberadaan bukit cahaya tersebut.
b. Skema Aktan Bawahan 1
Kisah bukit cahaya dari teman-temannya (pengirim)
Bukit Cahaya (objek)
Upaya untuk
membuktikan
keberadaan
bukit cahaya
melalui kisah
yang
didengarnya
dari teman
(Mas Tri
Luewih dan
Gus Rony)
Transformasi
Situasi Akhir
Tahap
Uji
Tahap Utama
Kecakapan
Tahap
Keberhasilan
Upaya untuk
mengambil
cuti kerja dan
diejek oleh
teman dan
bosnya karena
dianggap
terlalu
mengada-ada.
Membulatkan
tekad untuk
pergi ke bukit
cahaya
Tokoh Aku
tidak
menghiraukan
ejekan yang
diberikan orang
lain
Tokoh Aku
menyadari
bahwa kisah
yang
didapatkannya
hanyalah
sebuah
dongeng
Penjelasan:
Kisah yang diketahui oleh tokoh Aku melalui penuturan teman-temanya, seperti Mas Tri
Luwih dan Gus Rony membuat keyakinan yang begitu kuat dalam tokoh Aku tentang adanya
bukit cahaya, walau pun tokoh Aku menyadari bahwa kisah yang didengarnya itu hanyalah
sebuah dongeng.
Upaya untuk
membuktikan
keberadaan
bukit cahaya
melalui kisah
yang
didengarnya
Transformasi
Situasi Akhir
Tahap
Uji
Tahap Utama
Kecakapan
Tahap
Keberhasilan
Tokoh Aku
tidak
menghiraukan
ejekan yang
diberikan
orang lain
Membulatkan
tekad untuk
pergi ke Dusun
Galihkangkung
Keyakinan yang
kuat dari tokoh
Aku tentang
bukit cahaya
Tokoh Aku
menyadari
bahwa Dusun
Galihkangkung
belum
terpetakan
Penjelasan:
Berdasarkan kisah yang didengarnya pula tokoh Aku memiliki niat untuk mengambil cuti
dari pekerjaannya di kantor demi mewujudkan keinginannya pergi ke bukit cahaya di daerah
Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia, hal ini yang membuat tokoh Aku diejek oleh
teman-teman dan bosnya di kantor, mereka semua tidak percaya perihal keberadaan bukit cahaya
tersebut.
(penolong/pembantu)
Tokoh Aku (subjek)
Bukit dapat bercahaya hanya satu tahun sekali (penentang)
Keberangkatan
tokoh Aku ke
Dusun
Galihkangkung
Transformasi
Situasi Akhir
Tahap
Uji
Tahap Utama
Kecakapan
Tahap
Keberhasilan
Tokoh Aku
mendapatkan
bantuan dari
tokoh Gusti
Purusa dan Pak
Har untuk
sampai ke
Dusun
Galihkangkung
Tokoh Aku
Tokoh Aku
berhasil ke
berada di
Dusun
bukit cahaya
Galihkangkung
Keyakinan yang
kuat dari tokoh
Aku tentang
bukit cahaya
walau pun
hanya satu
tahun sekali
Penjelasan:
Kepergian tokoh Aku menuju bukit cahaya melewati Dusun Galihkangkung dengan
bantuan Gusti Purusa dan Pak Har sebagai tuan rumah di Dusun Galihkangkung yang
mengantarkan tokoh Aku ke bukit cahaya. Akan tetapi, bukit tersebut tidak selamanya bercahaya
melainkan hanya satu tahun sekali.
e. Skema Aktan Bawahan 4
Mimpi berada di bukit cahaya (pengirim)
Transformasi
Situasi Akhir
Tahap
Uji
Tahap Utama
Kecakapan
Tahap
Keberhasilan
Tokoh Aku
Menyaksikan
harus
bukit tersebut
berada di bukit
menunggu
bercahaya
cahaya
beberapa saat
untuk
menyaksikan
bukit tersebut
Tokoh Aku
berhasil
mewujudkan
keinginannya
dan berhasil
membuktikan
kebenaran
Tokoh Aku
Tokoh Aku
terbangun
dari
mimpinya
tersebut
dapat
bercahaya
yang selama
ini ia yakini
Penjelasan:
Akhirnya, tokoh Aku berhasil melihat bukit bercahaya itu melalui bantuan Pak Har,
namun saat ia sedang menyaksikan keindahan tersebut, Istri tokoh Aku membangunkan dari
tidurnya, karena semua itu hanyalah mimpi tokoh Aku walau pun tokoh Aku tetap mempercayai
bahwa ia telah berhasil menemukan bukit cahaya yang menurut orang lain itu hanya sebuah
dongeng.
Tokoh Aku
Gus Rony
Bos
Teman-teman kantor
Gusti Purusa
Pak Har
Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama
penggemar kopi pahit. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan
menerjangku. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu
begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada
semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku. (Nugroho, 2014, hlm.
2)
Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan
Juli. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Tapi, mungkin, itu semua yang memebuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan
melihat sendiri bukit cahay itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber
ketenangan hidup. Ya, barangkali itu. (Nugroho, 2014, hlm. 3)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk
ekonomi. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
2. Mas Tri Luwih sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana
yang memiliki pengetahuan lebih tentang pewayangan
Dimensi tokoh
- Fisiologis: seorang laki-laki
- Sosiologis: seorang dalang
- Psikologis: memiliki pengetahuan tentang pewayangan dan sebagai penggemar kopi pahit
Penokohan Mas Tri Luwih diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode
diskursif),
Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahakan oleh
Sokrasana, ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong
kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan... ah, sampean
tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.
(Nugroho, 2014, hlm. 1)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama
penggemar kopi pahit. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
3. Gus Rony sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang
memiliki pengetahuan tentang bukit cahaya
Dimensi tokoh
- Fisiologis: seorang laki-laki
- Sosiologis: teman tokoh Aku
- Psikologis: memiliki pengetahuan tentang bukit cahaya dan sebagai penggemar kopi pahit
Penokohan Gus Rony diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga termasuk teman sesama penggemar
kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya.
Hanya pada malam ketujuh bulan ketujuh. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita...haha-ha-ha-ha-ha.... kemudian dia
menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
4. Bos sebagai tokoh antagonis yang memiliki sifat tidak percaya dengan pendapat orang lain
dan memiliki sifat suka meremehkan orang lain
Dimensi tokoh
Fisiologis: seorang laki-laki
Sosiologis: seorang yang menjabat sebagai bos di kantor tempat tokoh Aku bekerja
Psikologis: tidak percaya dengan pendapat orang lain, memiliki sifat suka meremehkan orang
lain
Penokohan Bos diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
Bosku, yang selama ini hanya tersenyum, kali ini menatapku dalam-dalam. (Nugroho, 2014,
hlm. 2)
Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu
seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di
Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.
(Nugroho, 2014, hlm. 2)
5. Teman-teman kantor sebagai tokoh antagonis yang memiliki sifat tidak percaya dengan
pendapat orang lain dan memiliki sifat suka mengejek orang lain.
Dimensi tokoh
Sosiologis: teman kantor tokoh Aku
Psikologis: tidak percaya dengan pendapat orang lain, memiliki sifat suka mengejek orang lain
Penokohan Teman-teman kantor diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode
diskursif),
Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan msuk
ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata,
dan entah apa lagi. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
Emang kamu itu si Milo? Itu, yang di film Journey to the Bottom of the World? he-he-he....
Tuh, lihat di jalanan buruh semua demo, minta kenaikan UMR. Tuh, ada gubernur cantik
dandanannya satu miliar. Itu kenyataan. Gak usah sok mimpi mau lihat bukit bercahaya segala.
(Nugroho, 2014, hlm. 2)
6. Gusti Purusa sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana
yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
Fisiologis: seorang laki-laki
Psikologis: memiliki sifat yang baik
Penokohan Gusti Purusa diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode
diskursif),
Entah bagaiman, Gusti Purusa-dia memang bernama Gusti-memberitahu bahwa ada salah satu
kerabatnya di Galihkangkung. (Nugroho, 2014, hlm. 3)
7. Pak Har sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang
memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
Fisiologis: seorang laki-laki
Psikologis: memiliki sifat yang baik (menjadi tuan rumah di Galihkangkung)
Penokohan Pak Har diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai tepian teluk, ujar Pak Har, si
tuan rumah. (Nugroho, 2014, hlm. 3)
8. Istri sebagai tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
Fisiologis: seorang perempuan
Psikologis: istri tokoh Aku
Penokohan Istri diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
Aku tergagap bangun karena guncangan tangan istriku.
Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa? (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Dari uraian tokoh tersebut, kita dapat mengetahui watak tokoh-tokoh dalam cerita,
keyakinan kuat yang dimiliki tokoh Aku menjadi penggerak cerita ini, sampai pada akhirnya
tokoh Aku bisa melihat langsung bukit cahaya. Oleh karena itu, kita patut mencontoh sifat baik
yang dimiliki oleh tokoh Aku pada cerita dalam hidup ini untuk menggapai mimpi dan
keinginan kita. Melalui tokoh Bos dan Teman-teman kantor kita dapat mengambil pelajaran
untuk tidak meremehkan orang lain, tidak mengejek pendapat dan pemikiran orang lain terhadap
suatu hal.
2. Analisis Latar
Latar Tempat: di kantor, dusun Galihkangkung, teluk Galihkangkung, di gubuk-gubuk kecil, di
rumah tokoh Aku, bukit cahaya
Latar Waktu: awal bulan Juli, malam hari, menjelang jam sebelas
Latar Sosial: kantor, perkampungan/dusun
Cerita tersebut terjadi pada masa sekarang ini dengan pekerjaan para tokoh pada sebuah
kantor. Akan tetapi, pertengahan sampai akhir cerita betempat di pedesaan, dusun
Galihkangnkung dan di bukit cahaya,
Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga termasuk teman sesama penggemar
kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya.
Hanya pada malam ketujuh bulan ketujuh. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan
Juli. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu
seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di
Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.
(Nugroho, 2014, hlm. 2)
Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin
benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil,
tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar,
mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jimpai. Mereka tidak memandangku sebagi orang
aneh, meski pun bagaimama aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagi sesuatu yang aneh.
(Nugroho, 2014, hlm. 3)
Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai ke tepian teluk, (Nugroho, 2014,
hlm. 3)
Ya. Di teluk itu ada bebrapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti akan
kita lihat bercahaya. (Nugroho, 2014, hlm. 3)
Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Dembur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di
Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok.
Di sekitarku ada juga te mpat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga
tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak
jauh berbeda. (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?
Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, Cuma dongeng, ucapnya sebelum
melanjutkan kembali tidurnya. (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama
penggemar kopi pahit. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Jujur saja, kian banyak potongan-potongan kisah yang seperti memaksakan diri hadir dalam
keseharianku, kian kuat keinginanku untuk menyaksikan bukit cahaya itu. Dan kian kuat
keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.
(Nugroho, 2014, hlm. 2)
Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk
ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata ,
dan entah apa lagi. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu
begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada
semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku. (Nugroho, 2014, hlm.
2)
Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan
Juli. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Maaf, mungkin aku melantur. Tapi, mungkin, itu semua yang memebuatku diam-diam
membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahay itu. Sesuatu yang memberiku
kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali itu. (Nugroho, 2014, hlm. 3)
Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin
benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil,
tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar,
mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jumpai. Mereka tidak memandangku sebagi orang
aneh, meski pun bagaimama aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagi sesuatu yang aneh.
(Nugroho, 2014, hlm. 3)
Aku diam saja. Percuma saja jika kukatakan bahwa koordinat satelit tak akan bisa meraba di
mana tempat-tempat yang disebut aneh itu berada. (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Mungkin saat itu akulah manusia paling bodoh di dunia ini. Dibanting dan diempaskan
kenyataan yang melingkupiku saat ini, aku tak bisa lain, kecuali diam. (Nugroho, 2014, hlm. 3)
Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Dembur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di
Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok.
Di sekitarku ada juga te mpat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga
tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak
jauh berbeda. (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Namun, beberapa saat kemudian ada yang kurasakan aneh. (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Tak kurasakan lagi ketakutan. Tak kurasakan lagi kegelisahan. Aku berada pada jantung
kedamaian yang sungguh tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya itu, yang
membelintang jumlahnya, seperti membersihkan seluruh jiwaku. (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Cahaya itu mengajakku mengelilingi kehidupan yang sesungguhnya indah. (Nugroho, 2014,
hlm. 4)
Aku tergagap bangun karena guncangan tangan istriku. (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Aku hanya merasakan sisa cahaya paling cahaya yang melumuri hidupu. Apakah akan
kuceritakan juga mimpiku? (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Tapi, aku yakin benar, kalau itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. (Nugroho, 2014,
hlm. 4)
Penggunaan kata aku berulang-uang kali dalam cerpen tersebut, sehingga cerita
tersebut menggunakan sudut pandang First-Person-Central.
E. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang disampaikan, penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut ini.
1. Cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho dapat dikaji dengan struktural
A. J. Greimas.
2. Pengkajian struktural A. J. Greimas membuat pemahaman yang mendalam terhadap cerpen Bukit
Cahaya perihal alur dan pengaluran, tokoh, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.
A. INTERTEKSTUAL
Kajian intertekstual adalah kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk hubungan tertentu (Nurgiyantoro, 2013, hlm. 76). Adanya hubungan unsur-unsur
instrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lain-lain diantara
teks-teks yang dikaji. Kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah
ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul sebelumnya. Tujuan kajian
intertekstual adalah untuk memeberikna makna secara mendalam terhadap karya tersebut.
Penulisan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahan, sehingga pemberian
makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983, hlm. 6265). Dalam hal ini, sebuah teks memerlukan teks-teks lain untuk mengembangkannya.
Pandangan intertekstual pada sebuah teks mungkin saja mengandung unsur pemindahan dari
berbagai teks lain, dan hal itu merupakan hal yang biasa. Menurut Luxemburg, dkk. (1992:10),
mengartikan intertekstual sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi
dan budaya, sosial, dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks.
Kajian intertekstual berasumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari situasi kekosongan
budaya. Unsur budaya tersebut menyangkut tradisi masyarakat, dalam wujudnya yang khusus
yakni teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya seperti folklore,folktales, dan lain-lain. Karya
sastra yang ditulis biasanya berdasrkan pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara meneruskan maupun menyimpangi
(menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi (untuk istilahnya yaitu Hipogram)
Adanya karya-karya yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya menjadi
perhatian utama kajian intertekstual, misalnya pengontrasan antara sebuah teks dengan teks-teks
lain yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam suatu karya mungkin
disadari mungkin juga tidak disadari oleh pengarang. Kesadaran pengarang terhadap teks yang
menjadi hipogramnya, berwujud dalam sikapnya yang meneruskan atau sebaliknya menolak
konvensi yang berlaku sebelumnya( (menyimpang). Penulisan sebuah teks kesastraan tidak
mungkin tunduk seratus persen pada konvensi (aturan). Orang membutuhkan konvensi, aturan,
namun hal itu sekaligus kan disimpangnya. Levin (Teeuw, 1988, hlm.101) mengatkan bahwa
pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Prinsip intertekstualitas
yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna teks yang bersangkutan. Teks itu
diprediksikan sebagai sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari teks-teks yang lain.
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah
yang menentukan ada atau tidaknya kaitan anatar teks yang satu dengan teks yang lainnya,
unsur-unsur hipogram itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya
membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan terhadap adanya unsur hipogram pada suatu
karya dari teks-teks lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca.
Hubungan intertekstual terhadap cerita wayang dalam hal ini, beberapa dekade terakhir
dalam perkembangan sastra Indonesia ditemukan ada banyak karya sastra, terutama fiksi, yang
memiliki hubungan intertekstual dengan cerita wayang. Hubungan intertekstual itu terutama
terlihat pada penghipograman cerita wayang yang menyangkut plot dan penokohan, baik yang
bersifat meneruskan maupun yang menolak tradisi (Nurgiyantoro, 1988).
B. KAJIAN INTERTEKSTUAL
1. Tinjauan terhadap Cerpen Bukit Cahaya
Cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho menceritakan tentang seseorang (tokoh
Aku) yang memilki keyakinan yang kuat terhadap keberadaan bukit cahaya. Banyak orang yang
mengatakan bahwa bukit cahaya hanyalah sebuah dongeng yang belum tentu benar dan pasti
keberadaannya. Menurut beberapa kisah yang didengar dari teman-temanya bukit cahaya
merupakan serpihan tanah taman Sriwedari milik Batara Wisnu yang jatuh ketika dibawa terbang
oleh Sokrasana. Hal ini sesuai dengan cerita pewayangan. Selain itu, menurut temannya pula,
bukit cahaya hanya bercahaya pada malam ketujuh bulan ketujuh. Akan tetapi, semua itu
hanyalah sebuah dongeng tanpa sumber yang jelas. Karena pernyataan itu pula, tokoh utama
(tokoh Aku) diejek dan diremehkan teman-teman dan Bos di kantornya. Ia dikatakan sebagai
orang yang percaya pada sesuatu yang maya daripada yang nyata. Berdasarkan hal itu, pendirin
tokoh Aku semakin kuat untuk percaya pada bukit cahaya, kisah-kisah yang didengarnya tersebut
membuat ia semakin tertarik dan ingin membuktikan kepada semua orang tentang keberadaan
bukit cahaya yang memiliki keindahan menkjubkan.
Keyakinan yang kuat dari tokoh Aku membuat keinginan dan impiannya untuk melihat
bukit cahaya itu tercapai. Bukit cahaya yang terletak di dusun Galihkangkung, sebuah tempat
yang memang belum terpetakan di Indonesia, namun di dalam cerita tokoh Aku berhasil dengan
mudah berada di tempat itu melalui bantuan dari temannya, yakni tokoh Gusti Purusa dan Pak
Har. Tokoh Aku berhasil melihat keindahan bukit cahaya, ia menyaksikannya secara langsung.
Batu-batu itu seperti emas, kerikil-kerikil itu intan, dan menjadi satu membentuk sebuah cahaya
yang sangat indah menjulang tinggi ke langit. Akan tetapi, keindahan tersebut hanya mampu
dilihatnya dalam mimpi tidak dalam dunia yang nyata, tapi tokoh aku yakin bahwa yang
dilihatnya tersebut adalah suatu kebenaran tentang keberadaan bukit cahaya yang banyak tidak
dipercayai oleh orang lain.
2. Tinjauan terhadap Legenda Taman Sriwedari
tanpa sengaja dari tangan Sumantri mengenai tubuh Sokrasana hingga matilah Sokrasana,
adiknya tersebut.
Pada sebuah pertempuaran Sumantri dibunuh oleh Rahwana yakni musuh Arjuna.
Arjuna merasa sedih mendengar kematian sepupunya tersebut karena Sumantri adalah
sepupu kesayangan Arjuna. Tubuh Sumantri setengah hancur dan mengenaskan, tapi ia
segera ke surga, dan Patih Suwondo (Sumantri) itu bertemu dengan Sokrasana, adiknya
yang setia. Mereka seperti mengulang kembali masa kanak-kanak yang bahagia, melupakan
dendam dan rasa bersalah. Tragedi anak panah di antara keduanya bagai tak pernah
terjadi.
keindahan bukit cahaya yang selama ini Sumantri meminta bantuan pada
ia yakini
adiknya, Sokrasana untuk
menjalankan perintah tersebut dengan
Tokoh Aku terbangun dari mimpinya
syarat Sokrasana ikut bersama
tersebut, tentang keberadaanya di bukit
Sumantri, tetapi Sokrasana harus
cahaya
bersembunyi tidak boleh tampil di
muka umum
Sokrasana yang memiliki kesaktian
satu tingkat di atas kakaknya tersebut
berhasil memindahkan Taman
Sriwedari ke Istana Mahespati
Arjuna memaafkan Sumantri dan
mengangkat ia menjadi patih suwondo
Ketika Citrawati berada di taman
Sriwedari, ia dikagetkan dengan
kehadiran raksasa kerdil yaitu
Sokrasana, adik Sumantri
Sumantri marah pada Sokrasana dan
mengancam adiknya dengan
senjatanya cakrabuana, namun tanpa
sengaja panah tersebut terlepas dari
tangannya dan mengenai tubuh
Jalan cerita keduanya memang berbeda mulai dari awala cerita, konflik, bahkan
akhir cerita pun mengalami perbedaan, namun kedua cerita tersebut memiliki persamaan
untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan oleh tokoh. Tokoh Aku memiliki sebuah
tujuan untuk bisa menyaksikan bukit cahaya (serpihan Taman Sriwedari) dan Sumantri
melalui bantuan Sokrasana bisa mencapai tujaunnya untuk memindahkan Taman Sriwedari
ke Istana Mahespati
di kantor
Kerajaan Mahesapati
dusun Galihkangkung
Taman Sriwedari
teluk Galihkangkung
Di surga
gubuk-gubuk kecil
di rumah tokoh Aku
di
bukit
Sriwedari)
cahaya
(serpihan
Taman
Latar cerita cerpen Bukit Cahaya memiliki hubungan dengan Legenda Taman Sriwedari,
tepatnya pada latar tempat. Bukit cahaya dalam cerpen tersebut yakni serpihan Taman Sriwedari
yang jatuh saat dibawa oleh Sokrasana, seperti pada kutipan sebagai berikut,
Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahakan oleh
Sokrasana, ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong
kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan... ah, sampean
tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.
(Nugroho, 2014, hlm. 1)
Bukit cahaya tersebut menjadi pusat cerita dalam cerpen, menjadi suatu tujuan yang
hendak dicapai oleh tokoh utama. Keberadaanya yang belum dapat dipastikan lantaran bukit
cahaya hanyalah sebuah dongeng, namun tokoh Aku yang meyakini dengan sepenuh hati bahwa
bukit cahaya yang merupakan serpihan Taman Sriwedari itu memang ada, walau ada bagian
dalam cerpen tersebut yang membuktikan bahwa tokoh Aku bisa menyaksikan secara langsung
bukit cahaye tersebut, tepatnya di Dusun Galihkangkung. Akan tetapi, itu hanya terjadi dalam
mimpi tokoh Aku.
Ada sebuah persamaan anatara cerpen Bukit Cahaya dengan Legenda Taman Sriwedari.
Bukit cahaya (serpihan Taman Sriwedari) maupun Taman Sriwedari menjadi pusat dan
penggerak cerita, persamaan tempat tersebut menjadi suatu tujuan yang harus dicapai oleh
masing-masing tokoh. Tokoh Aku yang memiliki keinginan untuk melihat langsung bukit cahaya
tersebut dan Taman Sriwedari yang menjadi persyaratan dari Arjuna bagi Sumantri untuk
menebus kesalahan yang telah dilakukan Sumantri terhadap Arjuna. Tokoh Sumantri sebenarnya
tidak melakukan apa pun, dia meminta bantuan pada adiknya, Sokrsana yang memiliki satu
tingkat kesaktian di atasnya. Arjuna tidak mengetahui tentang perbuatan Sokrasan tersebut.
Tokoh Aku dalam cerita Bukit Cahaya pun dalam dunia nyata tidak menemukan bukit cahaya
tersebut, ia menjumpai bukit cahaya tersebut hanya dalam mimpinya bukan dalam dunia nyata
yang dijalaninya, sehingga sulit bagi tokoh lain untuk mempercayai keberadaan bukit cahaya
tersebut.
Arjuna pun mau memaafkan Sumantri dengan syarat Sumantri harus memindahkan Taman
Sriwedari dari Gunung Untarayana ke Istana Mahesapati. (Legenda Taman Sriwedari)
Aku harus menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin
benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil,
tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar,
mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jimpai. Mereka tidak memandangku sebagi orang
aneh, meski pun bagaimama aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagi sesuatu yang aneh.
(Nugroho, 2014, hlm. 3)
Ya. Di teluk itu ada bebrapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti
akan kita lihat bercahaya. (Nugroho, 2014, hlm. 3)
Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, Cuma dongeng, ucapnya sebelum
melanjutkan kembali tidurnya. (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Selain itu, akhir kedua cerita tersebut, baik cerpen Bukit Cahaya maupun Legenda Taman
Sriwedari, keduanya berhasil mencapai tujuan utama yang menjadi pusat dalam cerita. Tokoh
Aku yang berhasil menjumpai bukit cahaya (serpihan Taman Sriwedari) melalui mimpinya dan
Sumantri yang berhasil menerima persyaratan yang diberikan Arjuna untuk memindahkan taman
Sriwedari melalui Sokrasana, adiknya. Sehingga, kedua cerita tersebut memiliki hubungan satu
sama lain dalam latar tempat ceritanya.
5. Intertekstual Tokoh Cerpen Bukit Cahaya terhadap Legenda Taman Sriwedari
Cerpen Bukit Cahaya
Tokoh Aku
Sumantri
Sokrasana
Gus Rony
Bos
Citrawati
Teman-teman kantor
Rahwana
Gusti Purusa
Pak Har
Istri tokoh Aku
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen Bukit Cahaya berbeda dengan tokoh-tokoh
yang ada dalam cerita Legenda Taman Sriwedari, hanya saja terdapat beberapa karakter dari
tokoh dalam cerpen Bukit Cahaya yang memiliki kesamaan dengan karakter tokoh dalam
Legenda Taman Sriwedari.
Tokoh Aku memiliki karakter yang sama dengan tokoh Sokrasana. Keduanya memiliki karakter
yang kuat terhadap cerita. Tokoh Aku memiliki sifat keyakinan yang kuat untuk mendapatkan
sesuatu dan menjadi tokoh yang diremehkan pula oleh tokoh-tokoh yang lain. Begitu pula
dengan karakter tokoh Sokrasana yang memiliki sifat baik hati untuk membantu kesulitan
kakaknya dan menjadi tokoh yang selalu diremehkan oleh tokoh lain pula karena fisiknya meski
pun ia memiliki kesaktian yang lebih.
Tokoh Bos dan teman-teman kantor memiliki karakter yang sama dengan tokoh Sumantri.
Tokoh Bos dan teman-teman kantor dari tokoh Aku merupakan orang-orang yang suka
meremehkan pernyataan dan pendapat dari tokoh Aku, suka mengejek tokoh Aku pula. Tokoh
Sumantri memiliki sifat suka memanfaatkan orang lain, baik kepada orang lain apabila ia
membutuhkan, dan suka meremehkan kemampuan orang lain pula.
6. Intertekstual Tema Cerpen Bukit Cahaya terhadap Legenda Taman Sriwedari
Tema yang diangkat pada kedua cerita ini umumnya mengandung tema moral, bahwa
keyakinan yang kuat dalam mencapai suatu tujuan sangat diperlukan oleh setiap orang karena
keyakinan tersebut bisa menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan tersebut. Menyadari bahwa
setiap orang memiliki kemampuan, potensi, prinsip, dan pemikiran masing-masing, dan setiap
orang pun harus menghargai perbedaan itu, meremehkan pemikiran orang lain bukanlah perilaku
yang baik, karena dari pemikiran setiap orang itu bisa menjadi sebuah kebenaran dalam hidup.
Mereka sudah tak percaya pada kekuatan keindahan. Mereka jauh lebih percaya pada
perhitungan logika-entah, apa sebetulnya pemahaman mereka tentang logika. Mereka bahkan tak
biasa lagi gelenikan, ngobrolkosong, senda gurau, atau canda antarsesama manusia, lantaran jauh
dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan syak wasangka. Semua unsur kehidupan didasarkan
pada untung rugi secara sempit. Mereka lebih percaya pada skala penjualan. (Nugroho, 2014,
hlm. 2)
C. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang disampaikan, penulis menyimpulkan hal-hal sebagai
berikut ini.
1. Cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho dan Legenda Taman Sriwedari memiliki keterkaitan
cerita.
2. Alur cerita cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho berbeda dengan cerita Legenda Taman
Sriwedari, tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama dalam cerita tersebut, yakni Taman
Sriwedari
3. Latar cerita cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho memiliki kesamaan dengan cerita
Legenda Taman Sriwedari. Bukit Cahaya dikisahkan sebagai serpihan tanah yang jatuh dari
Taman Sriwedari saat Sokrasana, adik Sumantri yang menyuruhnya untuk memindahkan Taman
Sriwedari ke Istana Mahesapati
4. Tokoh cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho berbeda dengan tokoh Legenda Taman
Sriwedari, hanya ada beberapa persamaan karakter yang dimiliki, seperti tokoh Aku dengan
Sokrasana, tokoh Bos dan teman-teman kantor dengan Sumantri.
5. Tema cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho dengan Legenda Taman Sriwedari, kedua
cerita tersebut mengangkat tema moral tentang sebuah keyakinan dalam memandang suatu hal.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono, S. (2014). Cerita Wayang. [Online]. Tersedia di: http://kumpulanceritawayanghtm. [Diakses
9 September 2014].
Nugroho, Y. (2014). Bukit Cahaya. [Online]. Tersedia di: http://cerpenkompas2014.htm. [Diakses 4
September 2014].
Nurgiyantoro, B. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
Wayang. (2010). Sumantri dan Sokrasana. [Online]. Tersedia di:http://wayangindonesia.htm. [Diakses
9 September 2014].
Wikipedia. (2014). Kartawirya Arjuna. [Online]. Tersedia di: http://wikipedia-kartawirya-arjuna.htm.
[Diakses 9 September 2014].
LAMPIRAN
Teks 1
Bukit Cahaya
Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 16 Februari 2014)
KALAU itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu kerikil-kerikil itu
intan. Semuanya itu menyatu, membentuk sebuah bukit yang bercahaya, bersinar terang, berkilau
memukau, pada malam tertentu di bulan tertentu.
Aku harus menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Kisah itu memang kudengar dari banyak orang. Sepotong demi sepotong, cerita tentang bukit
yang bercahaya itu menyambangiku; seperti kehadiran seorang sahabat yang sudah lama tak
jumpa. Ada yang muncul ketika di perjalanan pulang kantor, ada yang hadir ketika aku harus
keluar kota untuk urusan kantor. Ada yang numpang lewat di Facebook. Dan semuanya, seperti
puzzle, kepingan-kepingan itu menuntut untuk disatukan. Anehnya, aku tak kuasa menolak atau
mengabaikannya.
Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahkan oleh
Sokrasana, ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum.
Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong
kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan ah, sampean
tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.
Jadi, cuilan Taman Sriwedari itu menjelma Bukit Cahaya itu?
Miturut dongeng, begitu, jawab Mas Tri Luwih kalem.
Meskipun aku tahu bahwa itu hanyalah dongeng, tapi yang sampai pada hatiku adalah sebuah
keindahan. Sebuah kesejukan yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman
sesama penggemar kopi pahit.
Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga teman sesama penggemar kopi pahit.
Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. Hanya pada
malam ketujuh, di bulan ketujuh.
Jadi, hanya setahun sekali?
Ya.
Kenapa?
Embuh he-he-he. Saya juga tidak tahu, dan tidak mau tanya-tanya.
Sampean tahu dari mana?
Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita haha-ha-ha-ha-ha. kemudian dia
menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.
Jujur saja, kian banyak potongan-potongan kisah yang seperti memaksakan diri hadir dalam
keseharianku, kian kuat keinginanku untuk menyaksikan bukit cahaya itu. Dan kian kuat
keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.
Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk
ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata,
dan entah apa lagi. Emang kamu itu si Milo? Itu, yang di film Journey to the Bottom of the
World? he-he-he. Tuh, lihat di jalanan buruh semua demo, minta kenaikan UMR. Tuh, ada
gubernur cantik dandannya satu miliar. Itu kenyataan. Gak usah sok mimpi mau lihat bukit
bercahaya segala. Ada saja yang gusar karena kegilaanku dan mengucap semau-maunya tentang
apa yang harus disebut kenyataan dan bukan.
Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu
begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada
semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.
Ku umumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli.
Bosku, yang selama ini hanya tersenyum, kali ini menatapku dalam-dalam.
Maaf, sudah tahu di mana persisnya bukit cahayamu itu, ucapnya dengan nada serius.
Tahu, Pak, di Dusun Galihkangkung.
Dia mengernyitkan dahi, mempertajam pandangannya, mencoba mencari di mana si lawan bicara
berada saat itu.
Ya, itu nama yang aneh. Dan saya yakin belum terpetakan, ujarku dengan suara agak tersekat.
Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu
seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di
Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.
Aku diam saja. Percuma saja jika kukatakan bahwa koordinat satelit tak akan bisa meraba di
mana tempat-tempat yang disebut aneh itu berada. Mereka tak akan percaya pada kemustahilan
teknologi yang konon canggih itu. Percuma saja aku katakan bahwa apa yang kita percayai
sebagai logika, tak lebih daripada sebatok kepala kita sendiri; sementara begitu banyak hal di
luar sana, yang jauh, jauh lebih besar daripada batok kepala kita. Percuma saja, toh, mereka
memang tidak pernah berusaha untuk memercayai.
Mereka sudah tak percaya pada kekuatan keindahan. Mereka jauh lebih percaya pada
perhitungan logikaentah, apa sebetulnya pemahaman mereka tentang logika. Mereka bahkan
tak bisa lagi glenikan, ngobrolkosong, senda gurau, atau canda antarsesama manusia, lantaran
jauh dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan syak wasangka. Semua unsur kehidupan
didasarkan pada untung rugi secara sempit. Mereka lebih percaya pada skala penjualan. Mereka
bukan lagi pengikut para nabi, meskipun dari mulut mereka membusa ayat-ayat Tuhan; mereka
menyembah uang yang menurut mereka lebih nyata daripada Tuhan.
Maaf, mungkin aku melantur. Tapi, mungkin, itu semua yang membuatku diam-diam
membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahaya itu. Sesuatu yang memberiku
kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali memang itu.
Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benarbenar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah
hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin
ke sawah, bisa dengan mudah kau jumpai. Mereka tidak memandangku sebagai orang aneh,
meskipun bagaimana aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagai sesuatu yang aneh.
Entah bagaimana, Gusti Purusadia memang bernama Gustimemberi tahu bahwa ada salah
satu kerabatnya di Galihkangkung. Mengapa bisa Gusti Purusa mau memberi tahu, aku juga
bingung, karena sebetulnya aku tidak kenal langsung dengan dia. Ah, sudahlah, aku hanya
berprinsip: ada kemauan, ada jalanseganjil apa pun jalan itu; dan di rumah kerabat Gusti
Purusa inilah aku tinggal di Galihkangkung.
Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai ke tepian teluk, ujar Pak Har, si
tuan rumah.
Oh, jadi bukit itu di laut?
Ya. Di teluk itu ada beberapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti
akan kita lihat bercahaya.
Pak Har pernah menyaksikan sendiri?
Ha-ha-ha semua yang ada di sini pernah. Bukan hal baru. Kami bahkan sering ke pulau itu,
atau mereka, orang-orang itu juga kemari beli kebutuhan kecil. Mereka, ya, seperti kita manusia
biasa. Itu sebabnya saya agak heran, kok, Mas tertarik. Lha yang aneh apanya? Ha-ha-ha-ha.
Sekali lagi aku dibantah oleh keluguan. Maksud saya, ucapku buru-buru, mengapa bukit itu
bercahaya? Dan hanya pada saat tertentu saja?
Ah, Mas ini ha-ha-ha-ha-ha. Ya, memang begitu. Nanti kalau bercahaya terus-menerus
dikira sumur bor minyak? Haha-ha-ha-ha. Ndak ada yang aneh, Mas, biasa saja. Malah, kalau
setahun sekali, bagus, karena ada yang ditunggu-tunggu, ada yang akan ditonton dari pantai.
Memang indah, Mas. Tapi, ya biasa sajalah, bukan aneh, kok.
Mungkin saat itu akulah manusia paling bodoh di dunia ini. Dibanting dan diempaskan
kenyataan yang melingkupiku saat ini, aku tak bisa lain, kecuali diam.
Apa, besok mau menyeberang ke sana? Saya antarkan. Tapi, ya, jangan kecewa, wong sama
saja seperti di sini, tambah Pak Har. Aku tersenyum.
Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Debur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk
Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di
sekitarku ada juga tempat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga
tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak
jauh berbeda.
Namun, beberapa saat kemudian ada yang kurasakan aneh. Udara mendadak dingin, padahal
angin mati. Malam tiba di kulminasinya. Di keremangan sana, di bukit yang semula hitam samarsamar, kusaksikan cahaya menitik satu demi satu. Menyala kuning kemerahan di sana-sini.
Jumlahnya kian banyak, dan entah pada kedipan mataku yang ke berapa, tiba-tiba titik-titik itu
seperti membuncah karena seperti kepingan emas yang dituang dari langit. Merambat perlahan
meninggi dan meninggi, cahaya yang menjulang, membukit, terang benderang, membawaku
melayang.
Tak kurasakan lagi ketakutan. Tak kurasakan lagi kegelisahan. Aku berada pada jantung
kedamaian yang sungguh tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya itu, yang
membintang jumlahnya, seperti membersihkan seluruh jiwaku. Meneranginya dengan
kelembutan. Cahaya itu seperti menggemakan kidung, melaut bunyinya, bagi kebesaran Sang
Maha Besar. Cahaya itu seolah mengajakku menikmati keindahan Sang Maha Indah.
Air mataku mengucur deras menyaksikan keindahan yang belum pernah terperangkap jiwaku
seumur hidup. Keindahan itu hanya kupercaya, melalui tuturan manusia-manusia berjiwa indah,
dan dengan caranya yang indah memasuki jiwaku.
Cahaya itu mengajakku mengelilingi kehidupan yang sesungguhnya indah. Gadis-gadis cantik
yang lahir dari permata. Batang-batang delima cahaya yang menundukkan cabangnya manakala
tanganmu meraihnya, dan membiarkan rasa madu bilamana kau mencecapnya, kutemukan di
cahaya itu.
Aku tergeragap bangun karena guncangan tangan istriku.
Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?
Aku diam.
Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, cuma dongeng, ucapnya sebelum
melanjutkan kembali tidurnya.
Aku hanya merasakan sisa cahaya paling cahaya yang melumuri hidupku. Apakah akan
kuceritakan juga mimpiku? Buat apa? Kepada siapa? Siapakah yang saat ini butuh mimpi, yang
menurut mereka tidak masuk akal ini?
Tapi aku yakin benar, kalau itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu
kerikil-kerikil itu intan.
Teks 2
Legenda Taman Sriwedari
Dalam pewayangan Jawa, Kartawiryarjuna lebih sering disebut dengan nama Prabu
Arjuna Sasrabahu. Ia disebut sebagai putra Kartawirya dan masih keturunanBatara Surya.
Kakeknya yang bernama Herriya adalah pendiri Kerajaan Mahespati. Herriya memiliki adik
bernama Resi Wisageni yang mempunyai dua orang putra bernama Suwandagni dan
Jamadagni. Suwandagni memiliki putra bernama Sumantri dan Sukasrana, sedangkan
Jamadagni memiliki putra bernamaRamabargawa alias Parasurama. Dengan demikian,
antara Arjuna dan Parasurama masih terjalin hubungan sepupu.
Arjuna
Sasrabahu
versi
Jawa
dianggap
Wisnu.
Ia
memerintah dengan adil dan bijaksana di Kerajaan Mahespati. Istrinya bernama Citrawati
putri dari Kerajaan Magadha. Orang yang ditugasi melamar putri tersebut adalah
Sumantri. Tak ada yang membantah bahwa Sumantri adalah satria bagus rupanya, wirasakti, yang bersenjatakan Cakrabaskara pemusnah angkara murka, namun memiliki budi
pekerti yang buruk. Sebaliknya adiknya, Sokrasana berwajah raksasa, tetapi berbudi luhur
dan sakti.
Pada suatu malam Sumantri menghadap Resi Suwandagni untuk memohon diri,
guna pergi melamar pekerjaan ke negeri Mahespati. Tetapi ia tak mau membawa adiknya,
karena malu terhadap wajah Sukasrana itu. Sumantri di terima oleh Harjuna Sasrabahu,
asalkan dapat merebut putri dari negeri Magada.
Keberhasilan Sumantri sempat membuatnya lupa diri. Ia pun menantang Arjuna
apabila ingin memperistri Citrawati harus merebutnya sendiri. Keberhasilan Sumantri
sempat membuatnya lupa diri. Ia pun menantang Arjuna apabila ingin memperistri
Citrawati harus merebutnya sendiri. Kalau demikian lebih baik aku tantang Harjuna
Sasrabahu
untuk
menandingi
keperwiraanku.
(belahan)
Wisnu.
Sumantri
kemudian
mengangkan
dan
melepaskan
segera
datang
memeriksa
taman.
Bukan main marahnya ketika tahu bahwa raksasa yang menakutkan permasisuri itu adalah
adiknya sendiri. Dengan Cakrabaskara Sumantri mengancam agar Sukrasana pergi
meninggalkan taman Sriwedari, tetapi sial, senjatanya terlepas dari tangannya dan tewaslah
Sukasrana.
Pada suatu hari Arjuna bertamasya dengan istrinya di sebuah sungai. Ia
bertriwikrama mengubah wujudnya menjadi raksasa yang sangat besar dan sambil
berbaring dibendungnya aliran sungai tersebut sehingga tercipta kolam sebagai tempat
pemandian
Citrawati.
Akibatnya,
aliran
sungai
pun
meluap
membanjiri
perkemahan Rahwana raja Kerajaan Alengka yang sedang dalam perjalanan memperluas
wilayah jajahan.
Rahwana
pertempuran
yang
antara
marah
pasukan
mendatangi
Alengka
perkemahan
melawan
Arjuna.
Mahespati.
Maka
terjadilah
Kebetulan
Citrawati
adalah reinkarnasi dari Widawati, perempuan yang dicintai Rahwana. Hal itu membuat
Rahwana semakin bernafsu untuk menumpas pihak Mahespati.
Dalam pertempuran itu Suwanda (Sumantri) tewas di tangan Rahwana. Di tanah
lapang itu, Sumantri tersungkur. Rahwana berhasil membunuhnya setelah pertempuran
yang panjang. Tubuh anak muda itu setengah hancur. Ya, Sumantri gugur dengan
mengenaskan. Tapi ia segera melesak ke surga. Dan di sana, Patih Suwondo itu bertemu
dengan Sukrosono, adiknya yang setia. Mereka seperti mengulang kembali masa kanakkanak yang bahagia, melupakan dendam dan rasa bersalah. Tragedi anak panah di antara
keduanya bagai tak pernah terjadi.
Arjuna Sasrabahu pun bangun dari tidurnya dan segera manyerang Rahwana.
melalui perkelahian sengit Arjuna berhasil mengalahkan Rahwana.