Tak ada yang bisa dan berani mengontrol. Apalagi masyarakat menyambut
antusias kebebasan itu, karena mereka bisa mendapat sajian berita yang sebelumnya tidak
boleh diberitakan. Media pun berlomba untuk membuat berita bombastis meskipun tidak
bisa dipertanggungjawabkan secara professional. Menyerang dan menista orang tanpa
ada sumber yang jelas sudah menjadi hal biasa kala itu. Media yang berani itu kemudian
berkembang pesat. Sebuah tabloid Oposisi di Surabaya mencapai tiras yang fantastis,
1.000.000 eksemplar sekali terbit. Hebatnya lagi, tabloid ini dicetak serentak di berbagai
kota, Surabaya, Jakarta, Solo, Medan, Makassar dan kota besar lainnya.
Sayangnya, kebebasan itu tidak diikuti dengan sikap profesional dan tanggung
jawab terhadap profesi. Banyak media yang membuat berita tanpa dilandasi kaidah
jurnalistik yang benar. Trial by the press dilarang, justru menjadi mainan dan dipakai
untuk membuat berita. Pers dipakai untuk menyerang dan menjatuhkan seseorang. Yang
tak kalah mengerikan adalah, pers dengan tenang tanpa beban, menelanjangi kehidupan
seseorang. Kode etik jurnalistik yang menjadi pijakan profesional seorang wartawan,
dibuang jauh-jauh.
Model pemberitaan yang bebas tanpa norma pada awalnya bisa diterima oleh
masyarakat. Mereka menganggap ini sebagai sesuatu yang hebat, yang selama ini tidak
bisa mereka peroleh. Tapi ternyata model pers seperti itu tidak bisa bertahan lama.
Masyarakat mulai meninggalkannya, karena beritanya tidak bisa dipertanggung
jawabkan. Tak sedikit media itu menyebar berita bohong yang tidak jelas asal usulnya.
Desas-desus yang berkembang di masyarakat langsung dijadikan berita tanpa melakukan
check – recheck atau check and balance. Masyarakat tidak mau lagi membaca berita
bombastis dan tendensius itu. Pelan tapi pasti, masyarakat mulai meninggalkan media
tersebut. Dampaknya sudah bisa ditebak, kalau media sudah ditinggalkan pembacanya,
lonceng kematin tinggal menunggu waktu. Dan ternyata benar, satu per satu media-media
itu gulung tikar, hilang tak berbekas. Bahkan tabloid yang dulunya dicetak sampai satu
juta eksemplar, umurnya tidak panjang.
Dalam kasus ini, hukum pasar yang berlaku. Kalau produk media – dalam bentuk
berita – dibutuhkan oleh masyarakat, maka media itu akan mampu bertahan. Karena,
tidak ada media yang bisa hidup tanpa pembaca. Kini, yang tersisa adalah media yang
kredibilitasnya dipercaya oleh masyarakat.