Anda di halaman 1dari 3

PERKEMBANGAN PERS PADA ZAMAN ORDE

LAMA ATAU PERS TERPIMPIN (1956-1966)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI yang menyatakan kembali


ke UUD 1945, tindakan tekanan pada pers terus berlangsung, yaitu
pembrei delan terhadap Kantor berita PIA dan Surat Kabar Republik,
Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin po yang dilakukan oleh penguasa
perang Jakarta.
Upaya untuk membataasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato
Menteri Muda Penerangan Maladi  ketika menyambut HUT Proklamasi
Kemerdekaan RI ke-14, antara lain ia menyatakan:...hak kebebasan
individu disesuaikan dengan baik kolektif seluruh bangsa dalam
melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat,
dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin Undang-Undang
Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa,
moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kapada Tuhan
Yang Maha Esa”.

Pada awal 1960, penekanan pada kebebasan pers diawali dengan


peringatan Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah
tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-
kantor berita yang tidak menaati peraturan yang mulai mengenakan
sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Demi kepentingan pemeliharaan
ketertiban umum dan ketenangan, penguasa perang mencabut izin
terbit Harian Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk: hal ini
digambarkan oleh E.C Smith dengan mengutip dari Army
Handbook bahwa Kementrian Penerbangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada hampir-hampir
tidak lebih daru sekedar perubahan sumber wewenang karena sensor
tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Berdasarkan uraian di atas, tindakan – tidakan penekanan terhadap
kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah bersamaan
dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan –
tindakan penekanan terhadap kebebasan pers merosot ketika ketegangan
dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan –
percetakan diambil alih oleh pemerintahan dan para wartawan diwajibkan
untuk berjanji mendukung politik pemerintahan, sehingga sangat sedikit
pemerintahan melakukan tindakan penekanan kepada pers.
Tindakan pembatasan terhadap kemerdekaan pers selama tahun 1959
sama arahnya dengan tahun-tahun sebelumnys. Dengan jumlah tindakan
sebanyak 73 kali. Selama tahun 1960 terjadi tiga kali pencabutan izin
terbit, sedangkan pada tahun 1961 mencapai 13 kali. Rincian tindakan
penekanan atau tindakan antipers selama 14 tahun sejak Mei 1952
sampai dengan Desember 1965, menurut catatan Edward C.
Smith mencapai 561 tindakan.
Pemerintah menekankan bahwa fungsi utama pers ialah menyokong
tujuan revolusi dan semua surat kabar menjadi kabar juru bicara resmi
pemerintah. “Hal ini diungkapkan Smith berdasarkan
pandangan presiden Soekarno ketika berpidato di muka rapat umum
HUT ke-19 PWI, yang dimuat oleh New York Times, antara lain: “....Saya
dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak
boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang
dibolehkan hidup”, katanya. “Pers yang bermusuhan terhadap revolusi
harus disingkirkan”.
PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

 PESTA MARIA PASARIBU


 ANDREAS BATARA MANURUNG
 GUSTI ALDINO

XII IPS 3
SMA NEGERI 8
MEDAN

Anda mungkin juga menyukai