Anda di halaman 1dari 6

Pengertan Analisis dan Sintesis

Analisis
Secara etimologis, kata „analisis‟ yang dalam bahasa Inggris
analysis‟berasal dari leksem bahasa Yunani analyein (gabungan morfem ana-dan
lyein) berarti “melonggarkan‟ atau „memisahkan‟ (memisahkan keseluruhan
menjadi bagian-bagian). Dalam kamus Meriam-Webster (2009: CD ROM
version), kata „analisis‟ memiliki beberapa dimensi makna. Dua di antaranya
yang berkaitan dengan filsafat dimaknai dengan “a method in philosophy of
resolving complex expressions into simpler or more basic ones”(metode dalam
filsafat yang menguraikan ungkapan yang rumit ke dalam bentuk yang lebih
sederhana atau yang lebih mudah) dan“clarification of an expression by an
elucidation of its use in discourse” (klarifikasi ungkapan dengan cara menjelaskan
penggunaannya dalam wacana). Selain itu, dalam konteks kebahasaan, “analisis”
dimaknai sebagai penyederhanaan bentuk kata dengan memisahkan akar kata dari
imbuhannya sebagai salah satu metode bedah bahasa.Istilah “analisis” menurut
Kallsaff (2004) adalah “perincian”.
Selanjutnya ditegaskan oleh Kallsaff, bahwa di dalam filsafat analisis
berarti perincian istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-
bagiannya sedemikian rupa sehingga kita dapat melakukan pemeriksaan atas
makna yang dikandungnya. Dalam perspektif lain “analisis” merupakan
kemampuan mengidentifikasi, memisahkan, dan membedakan komponen-
komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesis, atau
kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada atau
tidaknya kontradiksi.

Sintesis
Istilah sintesis secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani syntithenai
(syn+tithenai) yang berarti “meletakkan” atau “menempatkan (Meriam-Webster
Dictionary, 2009). Lebih lanjut, dalam sumber yang sama, entri sintesis diartikan
sebagai komposisi atau kombinasi bagian-bagian atau elemen-elemen yang
membentuk satu kesatuan. Selain itu, sintesis juga diartikan sebagai kombinasi
konsep yang berlainan menjadi satu secara koheren, dan penalaran induktif atau
kombinasi dialektika dari tesis dan antitesis untuk memperoleh kebenaran yang
lebih tinggi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) sintesis diartikan sebagai
“paduan berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras
atau penentuan hukum yang umum berdasarkan hukum yang khusus.” Pengertian
ini sejalan dengan pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa “logika
sintesis adalah kegiatan berpikir logis yang melakukan penggabungan semua
pengetahuan yang diperoleh untuk menyusun suatu pandangan atau konsep”.
Istilah “analisis” dan “sintesis”, sebagai label pembedaan metode
argumentasi antara yang deduktif dan induktif setidak-tidaknya seusia dengan
Euklides. Dalam Elements-nya, Euklides menerangkan sejelas-jelasnya bahwa dua
metode ini sebaiknya tidak dipahami sebagai saling terpisah, tetapi saling
melengkapi. Metodenya memperlihatkan ketepatan teorema-teorema
geometrisnya dengan mula-mula menggunakan metode argumentasi analitik
(deduktif), dan kemudian mendukung simpulannya dengan penalaran sintetik
(induktif). Proses praktis penyusunan deduksi (berlawanan dengan bentuk
tertulisnya) berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu pembuktiannya
dengan pencarian dua atau lebih asumsi yang benar yang bisa berfungsi sebagai
landasannya. Proses induksi berawal dengan pengumpulan potongan-potongan
bukti empiris, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk menarik kesimpulan.
Jika logika analitik menawarkan kejelasan pengindraan (yakni keluasan
pengetahuan), logika sintetik menawarkan kejelasan wawasan (yakni kedalaman
pemahaman). Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika itu tidak perlu
dianggap bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling melengkapi,
sebagaimana deduksi dan induksi yang bisa digunakan secara efektif sebagai
metode-metode argumentasi yang saling melengkapi (atau bersifat
komplementer). Salah satu cara terbaik untuk menggambarkan pertalian
komplementer ini adalah mengaitkannya dengan pembedaan yang kita pelajari
dari Kant, antara kawasan pengetahuan-nirmustahil dan kebodohan-pasti.
Logika analitik dapat digunakan untuk menghasilkan pengetahuan kapan
saja bilamana yang terpikir dipaparkan di dalam tapal batas transendental
(umpamanya, sesuatu yang dapat kita lihat). Akan tetapi, begitu kata-kata untuk
memerikan hal-hal yang terletak di luar tapal batas ini digunakan, logika analitik
bukan hanya kehilangan dayapenjelasnya, melainkan sesungguhnya juga dapat
menjerumuskan kita ke dalam penyimpulan yang menyesatkan. Contoh kasus
sebagaimana yang diperlihatkan oleh Chuang Tzu kepada kita dalam memaparkan
Tao, bila berhadapan dengan persoalan yang tidak begitu kita ketahui dengan
pasti, kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini dengan memanfaatkan logika
sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan untuk mendukung
keyakinan-keyakinan itu.
Istilah “analitik” dan “sintetik” telah dipakai oleh filsuf-filsuf dengan
berbagai cara yang berbeda. Dalam waktu yang relatif lama, cara yang pada
umumnya diterima pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode argumentasi
adalah cara penggunaan istilah-istilah ala Euklides. Namun Kant mengembangkan
cara-baru penggunaan istilah-istilah tersebut, yang dengan demikian menunjukkan
dua tipe proposisi yang berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah analitik jika
subyeknya “terkandung di dalam” predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah
yang subyeknya berada “di luar” predikatnya. Jadi, proposisi dalam ungkapan
“Merah adalah warna” termasuk analitik, karena konsep “merah” masuk sebagai
salah satu unsur konsep “warna”. Berdasarkan hal itu, proposisi “Kapur tulis ini
putih” adalah sintetik, karena seseorang tidak akan mengetahui bahwa benda
tersebut adalah “kapur tulis” jika hanya diberitahu bahwa kapur tulis itu putih
(Palmquist, 2000).
Menurut Palmquist (2000), Kant juga memberi beberapa pedoman lain
yang lebih ketat untuk menentukan apakah suatu proposisi adalah analitik ataukah
sintetik. Kebenaran proposisi analitik selalu bisa diketahui melalui logika saja.
Jadi, jika makna kata-kata sudah diketahui, proposisi ini tidak informatif.
Proposisi analitik mampu menjelaskan dirinya sendiri. Yang harus dilakukan
hanyalah mengatakan “merah” dan bagi mereka yang memahami makna kata
‘merah’ akan segera tahu bahwa pembicara sedang membicarakan warna. Seperti
halnya penyimpulan deduktif yang baik, kebenaran proposisi analitik bersifat
konseptual murni dan, karenanya, bersifat niscaya. Sebaliknya, kebenaran
proposisi sintetik mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar
konsep. Seperti argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan
intuisi, yaitu keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik selalu
informatif dan kebenaran simpulannya tergantung pada keadaan obyek yang terus-
menerus eksis. Jika misalnya seseorang memberitahu bahwa sepotong kapur tulis
yang tersembunyi dalam genggaman tangannya itu putih, maka kebenaran
pernyataannya tergantung pada apakah orang itu mengelabui pendengar atau
berkata benar.
Pemakaian istilah-istilah itu sangat bermanfaat untuk memperbedakan
antara dua jenis logika. “Logika analitik” adalah seluruh tubuh logika yang
didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran yang disusun oleh Aristoteles.
Prinsipnya yang paling mendasar adalah hukum yang disebut “hukum
kontradiksi”. Aristoteles menyatakan hukum ini di Categories dengan
mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin “sesuatu” dan sekaligus “bukan
sesuatu itu” dalam hal yang sama pada waktu yang sama. Dengan kata lain,
mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan sekaligus putih, “A” dan
sekaligus “-A”, dan sebagainya. Ungkapan simbolik tersederhana hukum ini
adalah:

“A bukan –A” atau “A ? -A”

Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama 2300 tahun ini sangat
menonjol. Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah diajukan oleh
filsuf-filsuf Barat. Lagipula, kita takkan mampu berkomunikasi satu sama lain
tanpa mengasumsikan bahwa bila kita menggunakan suatu kata, kita ingin
penyimak kita memikirkan benda yang diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya.
Dengan demikian, deduksi dan proposisi analitik adalah dua aspek dari logika
analitik. Di kedua kasus itu, keduanya dipasangkan dengan fungsi sintetik
komplementernya: induksi dan proposisi sintetik.

Selain itu, kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya


analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan
atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan
lawanannya. Meskipun demikian, dengan adanya pertalian komplementer antara
analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung untuk
melanjutkan keberadaan masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang
komplementer pada sebuah gerakan.

Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi


yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas tentang apa
yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang
diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di
tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan
bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan terutama
(jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia
(Hidayat, 2006). Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini
mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan (yang
dicanangkan oleh Kant) sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan
transendental” dalam berfilsafat disangka oleh banyak Filosof saat ini sebagai
sesuatu yang identik dengan “peralihan linguistik”.
Daftar Pustaka
https://lilythamzil.wordpress.com/2012/04/30/analisis-sintesis-epistema-logika-
dalam-relasi-komplementer/
https://fadlibae.wordpress.com/2010/10/02/double-relationship-analisis-vs-
sintesis/
http://komunikasi-pembangunan.blogspot.co.id/2010/05/analisis-dan-sintesis-
dalam-penyajian.html

Anda mungkin juga menyukai