Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ARSITEKTUR DUNIA

MAHASISWA :
Dewa Agung Dwirama Divo Priambada 1705522038

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2019/2020
POST-MODERN
OMAH BOTO
1. Pendahuluan
Pada tahun antara 1960-1970 gerakan Arsitektur Modern (dikenal dengan nama Modern
Movement) mulai memperlihatkan tanda-tanda berakhir. Gerakan yang bertahan selama tiga
generasi ini telah melewati tiga tahap perkembangan yaitu Early Modernism, High Modernism, dan
Late Modernism (Trachtenberg, 1987).
Early Modernism diwarnai dengan karya-karya Frank Lloyd Wright (1869-1959) yang
kebanyakan merupakan rumah tinggal serta lahirnya sekolah arsitektur The Chicago School di
Amerika Serikat. Tahap ini juga diwarnai oleh karya-karya Louis Sullivan, arsitek besar yang terkenal
dengan dictum Form Follows Function-nya.
High Modernism yang lahir setelah Perang Dunia I diisi oleh arsitek-arsitek besar dunia yang
pindah dari negara asalnya ke Amerika Serikat, yaitu Ludwig Mies van der Rohe, Le Corbusier, dan
Walter Gropius. Mereka dikenal dengan sebutan arsitek Avant-garde yang karya-karyanya memiliki
nilai kemanusiaan, ekspresionisme, dan idealisme.
Late Modernism lahir setelah Perang Dunia II, ditandai dengan karya-karya bangunan
pencakar langit (sky craper) dengan melibatkan teknologi canggih (hi-tech). Beberapa arsitek yang
terkenal pada periode ini adalah Hugh Stubbins, I.M. Pei, Raymond Hood, dan tiga serangkai
Skidmore, Owings, dan Merril.
Berakhirnya era Arsitektur Modern ini diawali dengan dihancurkannya Pruitt-Igoe Housing di
kota St. Louis, negara bagian Missouri, Amerika Serikat, pada tanggal 15 Juli 1972 jam 15.32 (Jenks,
1984). Kematian Arsitektur Modern yang lahir pada tahun 1890-an ini sangat ironis, karena
perumahan Pruitt-Igoe dibangun berdasarkan ide dari CIAM (Congres Internationaux d’Architecture
Moderne) dan telah memenangkan penghargaan dari AIA (the American Institute of Architecs) pada
tahun 1961. Padahal keberadaan CIAM sendiri dimaksudkan sebagai wadah yang membuat aturan
perancangan dan mengontrol pelaksanaan pembangunannya (Giedeon,1982).
Kegagalan bangunan tersebut membuktikan bahwa dasar filosofi dan teori Arsitektur
Modern sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Doktrin-doktrin seperti Rasionalisme,
Behaviorisme, dan Pragmatisme yang mendasari pertumbuhan Arsitektur Modern dianggap sudah
tidak rasional lagi.

2. Lahirnya Arsitektur Post-Modern


Istilah Post-Modern sebenarnya sudah dikenal sejak pertengahan tahun 1970-an, tidak
hanya di dunia arsitektur tetapi juga pada dunia seni lukis, tari, patung, film, dan bahkan ideologi.
Pada dasarnya Post-Modern merupakan reaksi (anti-thesis) dari Modernisme (thesis) yang sudah
berjalan sangat lama. Irwing Howe menggambarkannya sebagai “the radical breakdown of the
modernist”, jadi keduanya memang tidak bias dipisahkan satu sama lain dan berkelanjutan.
Post-Modern bukanlah gerakan revolusioner yang ingin lepas dan membuang nilainilai
Modernisme (Stern,1980). Perkembangan Post-Modernisme bahkan sangat dipengaruhi oleh
Modernisme. Di dunia arsitektur sendiri gerakan ini sering disebut sebagai Beyond the Modern
Movement karena memang berkembang setelah Modern Movement. Tetapi ada juga yang
menyebutnya sebagai Super-mannerism karena merupakan kelanjutan dari Mannerisme pada era
Renaissance di Italy yang melahirkan arsitek-arsitek besar seperti Michel Angelo (1475-1564),
Andrea Palladio (1508-1580), Donato Bramante (1444-1514) dan Giulio Romano.
Charles Jenks seorang tokoh pencetus lahirnya Post-Modern menyebutkan adanya
3 alasan yang mendasari timbulnya Post-Modernisme, yaitu :
1. Kehidupan kita sudah berkembang dari dunia serba terbatas ke desa-dunia (world village)
yang tanpa batas. Perkembangan ini disebabkan oleh cepatnya komunikasi dan tingginya
daya tiru manusia (instant eclectism).
2. Canggihnya teknologi telah memungkinkan dihasilkannya produk-produk yang bersifat
pribadi (personalised production), lebih dari sekedar produksi massal dan tiruan massal
(mass production and mass repetition) yang merupakan ciri khas dari Modernisme.
3. Adanya kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai tradisional (traditional values)
atau daerah, sebuah kecenderungan manusia untuk menoleh ke belakang.
Dengan demikian, Arsitektur Post-Modern adalah percampuran antara tradisional
dengan non-tradisional, gabungan setengah modern dengan setengah non-modern,
perpaduan antara lama dan baru. Arsitektur Post-Modern mempunyai style yang hybrid (perpaduan
dua unsur) dan bermuka ganda atau sering disebut sebagai double coding.
Timbulnya era baru ini dapat juga dilihat sebagai hasil kombinasi antara Romantic dan
Modernist, yang pertama menunjukkan keragaman budaya sedangkan yang kedua memperlihatkan
kesamaan budaya yang universal (Stern,1980).
Dualisme lain yang dihadapi adalah memadukan antara Elitisme (golongan elit/minoritas)
dengan Populisme (masyarakat umum), dimana kebutuhan keduanya harus dapat dipenuhi. Dalam
masyarakat tradisional, usaha memadukan dua unsur ini tidak begitu sulit karena mereka memiliki
bahasa arsitektur yang sama. Tetapi dalam budaya pluralis seperti yang kita hadapi sekarang ini akan
lebih sukar karena latar belakang yang berlainan.

3. Unsur Komunikasi dalam Arsitektur Post-Modern


Munculnya dualisme atau double-coding arsitektur sebenarnya lebih dikarenakan para
Arsitek Post-Modern ingin berkomunikasi lewat karya-karyanya. Arsitek telah menyadari adanya
kesenjangan antara kaum elite pembuat lingkungan (baca:arsitek) dengan orang awam yang
menghuni lingkungan. Arsitek berkeinginan mengajak masyarakat awam untuk memahami karyanya
dengan cara berkomunikasi, oleh sebab itu diperlukan pemahaman dan pemakaian bahasa yang
benar seperti halnya dalam bahasa percakapan.
Dalam hubungannya dengan komunikasi, di dalam dunia arsitektur dikenal sebuah ilmu yang
dinamakan Semiotics (semiontika) yang merupakan studi hubungan antara sign (tanda) dengan
symbols dan bagaimana manusia memberikan meaning (arti) antara keduanya. Contohnya adalah
sebagai berikut, sebuah kubah dipakai sebagai tanda untuk masjid, dalam jangka panjang tanda ini
berubah menjadi simbol sehingga akhirnya kubah adalah simbol masjid.
Disamping itu ada juga Syntax (sintaksis) yaitu aturan-aturan mengenai pemakaian bentuk
elemen bangunan (pintu, jendela, dll). Contohnya untuk sebuah banguna perkantoran pemakaian
pintu dan jendela mestinya berbentuk persegi panjang.
Pada Arsitektur Post-Modern, bahasa tidaklah selalu tetap melainkan berubah sesuai dengan
waktu dan tuntutan zaman. Pada suatu waktu, sintaksis akan berubah sehingga manusia akan
mempunyai persepsi lain tentang suatu bentuk elemen bangunan. Demikian juga simbol bangunan
akan dapat berubah juga, misalnya bangunan kantor tidak selamanya harus berkonstruksi rangka
dengan kaca sebagai unsur utamanya atau sebuah masjid tidak harus berbentuk kubah. Pemahaman
tentang (bentuk) arsitektur sudah tidak didasarkan lagi pada pengalaman (historik) dan kebiasaan.

4. Ciri-ciri dan Aliran yang Berkembang


Dua ciri pokok Arsitektur Post-Modern adalah anti rasional dan neo-sculptural, berbeda
dengan Arsitektur Modern yang rasional dan fungsional. Ciri-ciri bangunan yang sculptural sangat
menonjol karena dihiasi dengan ornamen-ornamen dari zaman Baroque dan Renaissance. Budi
Sukada (1988) menyebutkan ada 10 ciri Arsitektur Post-Modern, yaitu:
1. Mengandung unsur-unsur komunikatif yang bersifat lokal atau populer
2. Membangkitkan kembali kenangan historik
3. Berkonteks urban
4. Menerapkan kembali teknik ornamentasi
5. Bersifat representasional
6. Berwujud metaforik (dapat berarti bentuk lain)
7. Dihasilkan dari partisipasi
8. Mencerminkan aspirasi umum
9. Bersifat plural
10. Bersifat eklektik
Untuk dapat dikategorikan sebagai Arsitektur Post-Modern tidak harus memenuhi kesepuluh
ciri diatas. Sebuah karya arsitektur yang mempunyai enam atau tujuh ciri di atas sudah dapat
dikatagorikan ke dalam Arsitektur Post-Modern.
Aliran-aliran Arsitektur Post-Modern dibedakan berdasarkan konsep perancangan dan reaksi
terhadap lingkungannya. Di dalam evolutionary tree-nya, Charles Jenks mengelompokkan Arsitektur
Post-Modern menjadi 6 (enam) aliran. Aliran-aliran ini menurutnya sudah mulai sejak tahun 1960-
an. Keenam aliran tersebut adalah :
1. Historicism
Pemakaian elemen-elemen klasik (misalnya Ionic, Doric, dan Corinthian) pada bangunan, yang
digabungkan dengan pola-pola modern.
Contoh : Aero Saarinen, Phillip Johnson, Robert Venturi, Kisho Kurokawa,
Kyonori Kikutake.
2. Straight Revivalism
Pembangkitan kembali langgam neo-klasik ke dalam bangunan yang bersifat monumental dengan
irama komposisi yang berulang dan simetris.
Contoh : Aldo Rossi, Monta Mozuna, Ricardo Bofill, Mario Botta.
3. Neo-Vernacularism
Menghidupkan kembali suasana atau elemen tradisional dengan membuat bentuk dan pola-pola
bangunan lokal.
Contoh : Darbourne & Darke, Joseph Esherick, Aldo van Eyck.
4. Contextualism (Urbanist + Ad Hoc)
Memperhatikan lingkungan dalam penempatan bangunan sehingga didapatkan komposisi
lingkungan yang serasi. Aliran ini sering juga disebut dengan Urbanism.
Contoh : Lucien Kroll, Leon Krier, James Stirling.
5. Metaphor & Metaphisical
Mengekspresikan secara eksplisit dan implisit ungkapan metafora dan metafisika (spiritual) ke dalam
bentuk bangunan.
Contoh : Stanley Tigerman, Antonio Gaudi, Mimoru Takeyama.
6. Post-Modern Space
Memperlihatkan pembentukan ruang dengan mengkomposisikan komponen bangunan itu sendiri.
Contoh : Peter Eisenman, Robert Stern, Charles Moore, Kohn, Pederson-Fox.

5.Neo-Vernacularism
Neo Vernakular adalah salah satu paham atau aliran yang berkembang pada era Post
Modern yaitu aliran arsitektur yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an, Post Modern lahir
disebabkan pada era modern timbul protes dari para arsitek terhadap pola-pola yang berkesan
monoton (bangunan berbentuk kotakkotak). Oleh sebab itu, lahirlah aliran-aliran baru yaitu Post
Modern.
Kata NEO atau NEW berarti baru atau hal yang baru, sedangkan kata vernacular berasal dari
kata vernaculus (bahasa latin) yang berarti asli. Maka arsitektur vernakular dapat diartikan sebagai
arsitektur asli yang dibangun oleh masyarakat setempat.
Arsitektur Vernakular konteks dengan lingkungan sumberdaya setempat yang dibangun oleh
masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana untuk memenuhi kebutuhan karakteristik
yang mengakomodasi nilai ekonomi dan tatanan budaya masyarakat dari masyarakat
tersebut. Dalam pengertian umum, arsitektur Vernacular merupakan istilah yang banyak
digunakan untuk menunjuk arsitektur indigenous kesukaan, tribal, arsitektur kaum petani
atau arsitektur tradisional.
Menurut Charles Jencks dalam bukunya “language of Post-Modern Architecture
(1990)” maka dapat dipaparkan ciri-ciri Arsitektur Neo-Vernakular
sebagai berikut :
a. Selalu menggunakan atap bumbungan.Atap bumbungan menutupi tingkat bagian tembok
sampai hampir ke tanah sehingga lebih banyak atap yang diibaratkan sebagai elemen
pelidung dan penyambut dari pada tembok yang digambarkan sebagai elemen pertahanan
yang menyimbolkan permusuhan.
b. Batu bata (dalam hal ini merupakan elemen konstruksi lokal). Bangunan didominasi
penggunaan batu bata abad 19 gaya Victorian yang merupakan budaya dari arsitektur barat.
c. Mengembalikan bentuk-bentuk tradisional yang ramah lingkungan dengan proporsi yang
lebih vertikal.
d. Kesatuan antara interior yang terbuka melalui elemen yang modern dengan ruang terbuka
di luar bangunan.
e. Warna-warna yang kuat dan kontras.

6. Omah Boto

Penggunaan batu bata ekspos dalam desain interior maupun eksterior sebuah bangunan
mampu menciptakan karakter khusus. Permainan pola yang sedemikian rupa dari batu bata ekspos
membentuk keunikan tersendiri yang tidak dapat dihadirkan oleh material lain.
“Omah Boto” atau dalam bahasa Indonesia berarti “rumah bata” sudah cukup untuk
menggambarkan ide dasar dari hunian ini. Batu bata ekspos menjadi material utama yang
dipergunakan dalam berbagai area rumah. Bukan hanya pada dinding, namun juga pada lantai
bangunan. Penggunaan batu bata merupakan salah satu upaya untuk membawa suasana Indonesia
yang lebih kental ke dalam rumah ini.

Sistem pencahayaan yang baik merupakan aspek perencanaan yang juga wajib diperhatikan
dalam setiap karya arsitektur. Desainer mewujudkannya dengan cara penataan dinding batu bata
yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk lubang-lubang agar sinar matahari dan udara
dapat masuk dengan leluasa. Sinar matahari yang masuk membentuk pola menarik di dinding
ruangan yang akan berubah sesuai dengan posisi dan sudut masuk cahaya matahari yang berganti
dari pagi hingga sore hari. Hasilnya adalah tampilan keindahan yang alami dan menjadi bagian
estetika dari hunian ini.
Omah Boto terdiri atas 3 lantai dengan posisi diapit oleh rumah di sisi kanan, kiri, dan
belakang. Bila tidak disiasati dengan baik, hal ini akan menghalangi akses masuknya udara bebas dan
sinar matahari. Untuk itu, sang arsitek memadukan dinding batu bata dengan jendela kaca
berukuran besar, terutama pada lantai 3 bangunan. Jendela kaca dan ventilasi berdiri hingga
mencapai tiga perempat dinding ruangan untuk memaksimalkan masuknya udara dan sinar
matahari.
Untuk lebih mempertegas konsep rumah Jawa tradisional dalam karya arsitektur rumah bata
ini, sang arsitek memasukkan motif batik Jawa pada beberapa aspek bangunan, termasuk pada
dinding batu. Di kamar tidur ini dinding batu bata yang berfungsi sebagai headboard ditata dengan
mengikuti pola yang terinspirasi dari motif batik Pucung Rebung.
Penataan dinding batu bata dengan mengikuti motif batik Jawa juga dapat ditemukan di
beberapa ruangan lain seperti di dalam musala. Jika Anda perhatikan, salah satu sisi dinding musala
ditata dengan batu bata yang membentuk motif batik parang.
Omah Boto menggunakan konsep open plan dengan penambahan sekat pada tempat-
tempat yang dibutuhkan. Dalam hunian karya arsitektur batu bata yang sarat nilai seni ini, pembatas
ruangan yang digunakan lebih bersifat visual. Area meja makan menggunakan lantai batu bata dan
plafon beton ekspos. Sementara area bersantai menggunakan lantai dengan motif batik dan plafon
kayu.

7. Material Bata pada Rumah Bata

8.

Post-Modern pada Omah Boto

8.1. Menerapkan kembali teknik ornamentasi


Karya arsitektur rumah batu bata ini memaksimalkan penggunaan material alam di
berbagai area ruangan. Material alam seperti rotan, bambu, dan juga kayu berpadu dengan
batu bata ekspos yang semakin mempertegas kesan alami dan tradisional. Sesuai dengan
konsep dasar rumah ini, yaitu rumah tradisional Jawa. Bagian dinding teras rumah dilapisi
dengan gedhek yang terbuat dari anyaman bambu, dilengkapi dengan kursi rotan, dan pintu
gebyok kayu yang semakin mempertegas nuansa Jawa tradisional.
8.2. Dihasilkan dari partisipasi
Rumah bata itu sendiri berdiri atau terbentuk dari hasil tangan para “local
craftmanship”. Arsitek Andy Rachman mengatakan bahwa peran para tukang sangatlah
penting dalam menyempurnakan desain rumah, baik dari segi pemasangan ornamen
maupun membangun rumah itu sendiri.

8.3. Bersifat ekletik


Eklektisme pada Omah Boto ditandai dengan ketidak pastian gaya percampuran
sehingga pada bentuknya menghasilkan gaya tersendiri, memperlihatkan adanya pola pikir
akademik, tetapi dalam bentuk konservatif.
8.4. Berkonteks urban
Konteks urban yang dimaksud pada bangunan rumah tinggal Omah Boto ini
merupakan desainnya yang ramah lingkungan. Desain Omah Boto sendiri tidak tertutup dan
selaras dengan lingkungan sekitar.
8.5. Mengandung unsur-unsur komunikatif yang bersifat lokal atau popular
Mengandung unsur komunikatif adalah objek Rumah Bata itu sendiri sudah dapat
berbicara melalui komunikasi visual.
8.6. Bersifat representasional
Bersifat representasional adalah bangunan sudah bisa menampilkan suatu
karakteristik daerah ataupun konsep. Contoh pada objek Rumah Bata adalah penggunaan
material bata merah yang merepresentasionalkan material tradisional.

DAFTAR PUSTAKA :
Hidayat, Anas dan Andy Rahman. 2019. Nata Bata. Jakarta : Omah Library (Raw Press)

https://www.archdaily.com/921631/omah-boto-house-andyrahman-architect

https://www.arsitag.com/article/omah-boto-bukti-kepiawaian-andyrahman-architect-
memainkan-batu-bata

https://www.bluprin.com/id/project/omah-boto

Anda mungkin juga menyukai