Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI HUKUM, SEBAB ORANG


MENTAATI HUKUM, DAN SEBAB NEGARA BERHAK MENGHUKUM

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Filsafat Hukum

Dosen Pengampu: Nur Anisa,S.H.,M.H

Disusun oleh: Kelompok 5

Anissa Maulidiya 2221609009

Pebi Riska Amelia 2221609096

Syarifah Padlun 2221609108

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS


SAMARINDA

2023
BAB 1

PENDAHULUAN

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang


filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat Beberapa pakar
hukum mengungkapkan bahwa pada saat ini posisi hukum di Indonesia
mengalami kemunduran. Hukum yg diharapkan dapat menjadi pendukung bagi
perubahan masyarakat yg leih baik, ternyata hanyalah erupa aturan- aturan kosong
yg tak mampu menjawab persoalan dalam masyarakat. Hukum terkadang
hanyalah menjadi legitimasi penguasa dalam mengucapkan ketidakadilannya pada
masyarakat. Singkatnya, ada rentang jarak yang cukup jauh antara hukum dalam
cita-cita ideal konsep hukum dalam manifestasi undang- undang dengan realitas
pelaksanaan hukum. Unsur-unsur filosofis juga bisa mengandung subyektifitas,
apalagi berhadapan dengan suatu fenomena yang cukup kompleks, seperti hukum
Dengan demikian, teori-teori dalam ilmu hukum yang sudah dikembangkan oleh
masing- masing penganutnya akan memberikan kontribusi ke dalam pemikiran
tentang cara memaknai hukum itu sendiri. Berfilsafat berarti sedang belajar dan
mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Pencarian kebijaksanaan bermakna
menelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan
adalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir. Oleh karena itu
kebenaran filosofis tidak lebih dari kebenaran berpikir yang rasional dan radikal.

1
filsafat hukum adalah mempelajari mengenai permasalahan- permasalahan
yang terkait dengan tujuan hukum dalam kehidupan sehari-hari terutama masalah
ketertiban dan keadilan yang menyangkut masalah; Hubungan hukum dan
kekuasaan, Hubungan hukum dengan nilai sosial budaya, Mengapa negara berhak.
Dalam filsafat hukum terdapat problematika dan permasalahan serta pertanyaan
adalah sebagai berikut; masalah hukum dan kekuasaan, hukum adalah alat
1
Laurensius Arliman S, Filsafat Hukum, Deepublish, Yogyakarta, 2023.
pembaruan dalam masyarakat, hukum dan nilai-nilai social budaya, apakah
sebabnya orang menaati hukum?, apakah sebabnya negara berhak menghukum
seseorang?, etika dan kode etik profesi hukum

BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika dan Kode Etik Profesi Hukum


Pengertian Etika Secara umum kata etika berasal dari bahasa Yunani,
yakni “Ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan baik. Dalam bahasa
Arab yakni “Akhlaq”, yang berarti watak, perilaku, adat kebiasaan dalam
bertingkah laku. Bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat istiadat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).
Di dalam kamus ensklopedia pendidikan diterangkan bahwa etika
adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik buruk. Sedangkan
dalam kamus istilah pendidikan dan umum dikatakan bahwa etika adalah
bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran. Dalam arti yang lebih
khusus, etika adalah tingkah laku filosofi. Dalam hal ini, etika lebih
berkaitan dengan sumber atau pendorong yang menyebabkan terjadinya
tingkah laku atau perbuatan ketimbang dengan tingkah laku itu sendiri.
Dengan begitu, etika dapat merujuk pada perihal yang paling abstrak
sampai yang paling konkret dari serangkaian proses terciptanya tingkah
laku manusia. Sebagai subjek, etika akan berkaitan dengan konsep yang
dimilki seseorang individu atau kelompok untuk menilaiapakah tindakan-
tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau
baik.Etika juga bisa dimaknai sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan terutama tentang hak dan kewajiban moral; kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar atau salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika juga bisa berarti
prinsip-prinsip moral.
Etika Profesi merupakan etika moral yang khusus diciptakan untuk
kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi
mempunyai identitas, sifat atau ciri dan standarnya masing-masing sesuai
dengan kebutuhan profesinya.
Etika profesi hukum khusus ditujukan kepada profesi yang bergelut di
bidang hukum, utamanya Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dan Notaris untuk
menjaga dan mencegah terjadinya perbuatan menyimpang yang merugikan
citra dan kehormatan
profesi serta para pengguna profesi hukum tersebut. Etika profesi hukum
adalah akhlak yang mengatur kewajiban para anggota profesi hukum
(hakim, Jaksa, advokat
2

dan notaris, dll) untuk berperilaku yang dapat disetujui oleh orang-orang
yang adil (that merit the approval of just men). Profesi hukum yang
bekerja berdasar hukum sebagai legalisasi kekuasaannya, memiliki
kekuasaan dan kewenangan yang dibenarkan untuk bersikap dan
berperilaku tertentu menurut hukum. Memiliki kewenangan sebagai
penghubung antara dua pihak yang bertikai, menjadi jembatan antara
pihak-pihak tersebut dengan masyarakat, menimbang beragam
kepentingan, norma, dan nilai yang ada di dalam masyarakat.Dewi
Themis135 sebagai simbol keadilan digambarkan sebagai sosok
bersenjatakan pedang di satu tangan dan dacin (timbangan) di tangan
lainnya. Dacin melambangkan keadilan, sementara pedang melambangkan
ketegasan dalam menegakan kebenaran. Mata sang dewipun senantiasa
tertutup, menunjukkan sikapnya untuk tidak pilih kasih dalam mengambil
keputusan.
Etika profesi hukum menuntut pengembannya memiliki rasa kepekaan
atas nilai keadilan dan kebenaran serta mewujudkan kepastian hukum bagi
2
Asmaran, Pengantar studi Akhlak, lembaga studi islam dan kemasyarakatan, Jakarta 1999,hal 6
pencapaian dan pemeliharaan ketertiban, keteraturan, kedamaian, dan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, berkewajiban selalu mengusahakan
dengan penuh kesadaran yang bermoral untuk mengetahui segala aturan
hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Pengemban profesi hukum
mutlak menjalankan profesi terhormat tersebut dengan memiliki dan
menjalankan dengan teguh tiga hal mendasar, yaitu: Independen,
Imparsial, dan Kompeten.Independen atau independensi adalah salah satu
etikaprofesi dalam menjalankan profesi. Independensi secara harfiah dapat
diartikan 'bebas', 'merdeka' atau 'berdiri sendiri.
Independensi adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan
terhadap manusia penyandang kewenangan kekuasaan kehakiman yang
harus dilindungi dari kemungkinan intervensi oleh siapapun darimanapun
agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.
Independensi pada dasarnya bukan pemberian hukum atau negara, tapi
otomatis melekat semenjak seseorang menjadi penegak hukum.
Independensi bagi para pengadil (hakim terutama) sudah ada jauh sebelum
hukum modern (hukum positif) lahir. Pada mulanya para pengadil itu
dipercaya independen karena reputasi pribadinya, bukan karena jaminan
etik atau hukum. Setelah hukum positif (hukum modern)
menginstitusionalasi sistem penegakan hukum, barulah negara dan hukum
melegalisasi dan melegitimasinya sehingga prinsip independensi memiliki
kekuatan mengikat bagi hakim dan pihak lain. independensi memiliki
kekuatan mengikat bagi hakim dan pihak lain. Independensi dengan
demikian bukan temuan baru yang dilekatkan menjadi keharusan etis atau
hukum pada penegak hukum, tetapi build-in dalam diri hakim. Kokoh
tidaknya independensi sangat tergantung pada personaliti penegak hukum
bersangkutan. Penegak hukum yang cacat moral dan atau tidak kompeten
adalah hakim rapuh. Cacat moral, berarti tersandra atau tidak merdeka
karena kecacatannya. Tidak kompeten di bidangnya, berarti tidak memiliki
keyakinan keilmuan yang kuat sehingga mudah goyah, tidak percaya diri
dalam mengemban profesi bersangkutan.Agar independensi dapat
diemban dengan baik dan benar, penegak hukum mutlak harus mempunyai
kekuatan moral dan intelektual yang tangguh sehingga memiliki kendali
nurani dan pikiran yang bisa memberikan arahan dalam bertindak
menjalankan aktifitas kehakimannya. Menjadi penegak hukum berarti
menjadi moralis, menjadi intelektual, menjadi cendikiawan yang tidak
pernah berhenti berpikir, menjaga kebersihan diri dan memperjuangkan
kebenaran dan keadilan.
Subyek hukum yang berpredikat profesi hukum adalah:
– Hakim
– Penasihat Hukum (advokat, pengacara)
– Notaris
– Jaksa
– Polisi
– Petugas Lembaga Pemasyarakatan

Etika Profesi Hakim


Etika profesi hakim bersifat universal dengan tujuan akhir atau filosofi
adalah penegakkan keadilan yang sebenarbenarnya atau keadilan sejati
(natural justice). Di Indonesia, etika yang universal tersebut dipadukan
dengan situasi, kondisi, budaya dan kepribadian bangsa yang berfalsafah
Pancasila. Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di siding
pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur undangundang.

Menurut Socrates, kode etik hakim ialah:


“The Commandements for Judges”, yaitu:
To hear courteously (mendengar dengan cermat)
To answer wisely (menjawab dengan bijaksana)
To consider soberly (mempertimbangkan dengan tanpa pengaruh)
To decide importially (memutuskan tanpa memihak)

Etika Profesi Hakim Indonesia telah disahkan dalam Rapat Kerja antara
Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
seluruh Indonesia pada bulan Nopember 1966 yang berupa Kode kehormatan
hakim indonesia dinamakan Panca Dharma Hakim Indonesia.

Panca Dharma Hakim


 Kartika (Bintang), melambangkan ketakwaan hakim kepada Tuhan
yang Maha Esa sesuai dengan Kepercayaan masingmasing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
 Cakra (Senjata ampuh dari Dewa Keadilan), melambangkan sifat
adil, di dalam kedinasan hakim tidak berprasangka atau memihak,
bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan,
memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani dan
bertanggungjawab kepada Tuhan.
 Candra (Bulan), Melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan,
baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan.
 Sari (Bunga), melambangkan sifat hakim yang berbudi luhur dan
berkelakuan tidak tercela dalam kehidupan bermasyarakat.
 Tirta (Air), melambangkan sifat hakim yang penuh kejujuran,
berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun,
tanpa pamrih, dan tabah.

B. Sebab Orang Menataati Hukum


Hukum adalah dalam kompas ilmu untuk manusia, atau sosial ilmu,
karena merupakan bagian integral dan penting dalam komponen manusia
masyarakat dan budaya. Tidak ada kejadian yang dikenal dari suatu
keadaan dalam pengalaman manusia, di mana masyarakat yang heterogen
ada dan budaya telah tanpa, atau sudah bebas dari, hukum. Dimanapun dan
kapanpun masyarakat dan budaya yang ditemukan, ada hukum juga
ditemukan, menggenangi seluruh masyarakat sebagai bagian dari budaya.
Seperti komponen lain dari masyarakat manusia dan budaya, hukum
adalah fenomena, rentan terhadap ketakutan intelektual dengan bantuan
dari indra manusia, dan tunduk pada penyelidikan empiris dan ilmiah
deskripsi. Hukum merupakan salah satu bentuk budaya untuk kendali dan
regulasi perilaku manusia, baik individual atau kolektif dalam
penerapannya. Hukum adalah alat utama dari kontrol sosial pada
masyarakat modern serta dalam masyarakat primitif3.
Pembentukan masyarakat sadar hukum dan taat akan hukum
merupakan cita-cita dari adanya norma-norma yang menginginkan
masyarakat yang berkeadilan sehingga sendi-sendi dari budaya masyarakat
akan berkembang menuju terciptanya suatu sistem masyarakat yang
menghargai satu sama lainnya, membuat masyarakat sadar hukum dan taat
hukum bukanlah sesuatu yang mudah dengan membalik telapak tangan,
banyak yang harus diupayakan oleh pendiri atau pemikir negeri ini untuk
memikirkan hal tersebut. Hukum bukanlah satu-satunya yang berfungsi
untuk menjadikan masyrakat sadar hukum dan taat hukum, Indonesia yang
notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam
membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara
yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum membentuk
suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali
tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan
keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di
Indonesia4.
Peranan hukum didalam masyarakat sebagimana tujuan hukum itu
sendiri adalah menjamin kepastian dan keadilan, dalam kehidupan
masyarakat senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilaku atau
tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perilaku
yang dikehendaki oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat

3
http://lanlanrisdiana.blogspot.co.id/2013/03/makalah-mengapa-orang-mentaati
hukum.html, diakses pada hari jumat, 29 Januari 2016 Pukul 15.00 WIT
4
Hyronimus Rtiti, 2011, Filsfat Hukum, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Hal. 76
menyebabkan timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan sosial
sehingga pada waktu tertentu cenderung terjadi konflik dan ketegangan-
ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan
masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki. Keadaan demikian terjadi
oleh karena adanya hukum yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan
pedoman (standard) dalam bertindak bagi masyarakat tidak ada kesadaran
hukum sehingga cenderung tidak ada ketaatan hukum.
Menurut Soerjono, setir pendapatnya L. Pospisil, berpendapat bahwa ada
Faktor-faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum,
setidak-tidaknya dapat dikembalikan pada faktor-faktor atau hal-hal
sebagai berikut5:
1. Compliance, yaitu:
“an overt acceptance induced by expectation of rewards and an attempt to
avoid possible punishment – not by any conviction in the desirability of the
enforced nile. Power of the influencing agent is based on ‘means-control”
and, as a consequence, the influenced person conforms only under
surveillance”.

Orang mentaati hukum karena takut terkena hukuman. Ketaatan sebagai


pemenuhan suatu penerimaan terang yang dibujuk oleh harapan
penghargaan dan suatu usaha untuk menghindari kemungkinan hukuman,
bukan karena keinginan yang kuat untuk menaati hukum dari dalam diri.
Kekuatan yang mempengaruhi didasarkan pada ”alat-alat kendali” dan,
sebagai konsekuensinya, orang yang dipengaruhi menyesuai.
2. Identification, yaitu:
“an acceptance of a rule not because of its intrinsic value and appeal but
because of a person’s desire to maintain membership in a group or
relationship with the agent. The source of power is the attractiveness of
the relation which the persons enjoy with the group or agent, and his

http://lanlanrisdiana.blogspot.co.id/2013/03/makalah-mengapa-orang-mentaati-
5

hukum.html, diakses pada hari jumat, 29 Januari 2016, Pukul 14.00 WIT
conformity with the rule will be dependent upon the salience of these
relationships”

Ketaatan yang bersifat identification, artinya ketaatan kepada suatu aturan


karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak.
Identifikasi, yaitu: suatu penerimaan terhadap aturan bukan karena nilai
hakikinya, dan pendekatan hanyalah sebab keinginan seseorang untuk
memelihara keanggotaan di dalam suatu hubungan atau kelompok dengan
ketaatan itu. Sumber kuasa menjadi daya pikat dari hubungan orang-orang
yang menikmati kebersamaan kelompok itu, dan penyesuaiannya dengan
aturan akan bergantung atas hubungan utama ini.
3. Internalization, yaitu:
“the acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its
content intrinsically rewarding … the content is congruent with a person’s
values either because his values changed and adapted to the inevitable”.
Ketaatan yang bersifat internalization, artinya ketaatan pada suatu aturan
karena ia benar-benar merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai
instrinsik yang dianutnya. Internalisasi, yaitu: ”penerimaan oleh aturan
perorangan atau perilaku sebab ia temukan isinya yang pada hakekatnya
memberi penghargaan isi adalah sama dan sebangun dengan nilai-nilai
seseorang yang manapun, sebab nilai-nilainya mengubah dan
menyesuaikan diri dengan – yang tak bisa diacuhkanAda kesadaran dari
dalam diri yang membuatnya mentaati hukum dengan baik. kan diri hanya
di bawah pengawasan.
Menurut Aritoteles“Rhetorica” mencetuskan teori bahwa tujuan
hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa
yang dikatakan tidak adil.Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci
dan luhur, ialah keadilan dengan memberikan tiap-tiap orang apa yang
berhak dia terima yang memerlukan peraturan sendiri bagi tiap-tiap kasus.
Apabila ini dilaksanakan maka tidak akan ada habisnya.
Oleh karenanya Hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene
Regels”(Peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan umum). Peraturan
ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepentingan kepastian
Hukum, meskipun padasewaktu-waktu dapat menimbulkan ketidakadilan.

Ada beberapa alasan mengapa manusia mematuhi hukum6:


1. Manusia mematuhi hukum jelas karena hukum itu merupakan suatu
kebutuhan. Dimana ada masyarakat, disitu pasti ada hukum. Semua
manusia butuh hukum untuk kelangsungan hidupnya, karena sejatinya
setiap manusia pasti mendambakan kehidupan yang aman, nyaman, dan
tentram, dan dengan adanya hukum itu sendiri, kehidupan yang aman
itupun dapat terwujudkan. Contohnya, sebagai warga Negara Indonesia,
kita wajib tau apa saja hak-hak dan kewajiban kita dalam kehidupan
berbangsa danbernegara, maka dengan adanya UUD 1945 pasal 27 sampai
pasal 33 kita dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban kita sebagai warga
Negara Indonesia.
2. Manusia mematuhi hukum karena memang dari kesadaran manusia itu
sendiri.
Contohnya, sebagai manusia yang bermoral, pasti tidak akan ada pria dan
wanita yang belum teirkat perkawinan yang sah tetapi tinggal bersama
dalam satu rumah (biasa disebut kumpul kebo). Memang tidak ada sanksi
tertulis dalam hal tersebut. Tetapi perlu diingat, hukum itu bukan hanya
sebatas Undang-Undang atau peraturan tertulis saja (paham legisme),
tetapi ada juga hukum yang bersifat tidak tertulis (hukum adat) yang
sanksinya merupakan sanksi moral dari masyarakat sekelilingnya. Seperti
Contoh kasus diatas. atas dasar kesadaran, tentu tidak akan ada manusia
yang berbuat demikian walaupun memang tidak ada Undang-Undang yang
memuat hal tersebut, tetapi hal itu tentu saja merupakan perbuatan asusila
yang akan mendapat sanksi moral, yaitu berupa cemooh dari masyarakat
6
http://fh-um2010.blogspot.co.id/2015/02/makalah-filsafat-hukum-kenapa-taat hukum.html,
diakses pada tanggal 1 Februari 2016, pukul 20.34 WIT
bahwa mereka yang terlibat tersebut telah melanggar norma susila yang
berlaku.
3. Manusia mematuhi hukum karena adanya sanksi
Alasan ini paling banyak dan paling ampuh untuk mendorong manusia
mematuhi hukum. Sanksi merupakan balasan atau ganjaran yang akan
diterima bagi siapa saja yang melanggar hukum, dengan ketentuan -
ketentuan tertentu. Sanksi bersifat memaksa.
4. Manusia adalah makhluk sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang bersifat Zoon Politicon (Aristoteles)
yang nyata dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat itu tidak mudah.
Hal itu disebabkan karena setiap manusia mempunyai kebutuhan dan
kepentingan sendiri-sendiri yang seringkali bertentangan satu sama
lainnya. Dari akibat perbedaan itu sering terjadi ketidakseimbangan
/keserasian dalam hubungan bermasyarakat, disinilah aturan tata
kehidupan antarmanusia yang disebut Hukum itu dibutuhkan ditengah-
tengah masyarakat.

Secara teoretik, manusia mentaati hukum dapat dijelaskan penulis sebagai


berikut :
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori ini, yang berdaulat atau memiliki kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara ialah Tuhan. Ini merupakan konsekuensi bahwa Tuhanlah
yang menciptakan alam raya ini beserta isinya, sehingga bagaimana
megatur dan mengelola dunia, inheren mengelola suatu negara,
sepenuhnya menurut kehendak Tuhan.7Artinya bahwa hukum yang
diciptakan oleh pemerintah yang diangggap sebagai wakil Tuhan,
dianggap sebagai kehendak atau kemauan Tuhan. Dengan demikian,
manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya, wajib taat dan patuh pada hukum.
Contoh konkrit dapat kita temui dalam kitab Keluaran pasal 20 Alkitab
perjanjian lama. Dengan kata lain, Teori ini menganggap bahwa hukum itu

7
Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, hal. 3.
adalah perintah Tuhan, maka pada hakekatnya manusia mentaati hukum
berarti mentaati Tuhan.

2. Teori Kedaulatan Hukum


Menurut teori ini, yang memiliki kekuasaan atau kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. Karena itu, baik raja atau
penguasa ataupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri
semuanya tunduk kepada hukum.8Dalam segi pelaksanaannya, kedaulatan
untuk memiliki daya ikat dituangkan dalam suatu bentuk norma tertinggi
yang disebut sebagai konstitusi. Dengan demikian maka hukum mengikat
bukan karena negara menghendakinya, melainkan merupakan perumusan
dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya,
yaitu yang menjelma dalam hukum itu sendiri. Pendapat ini diutarakan
oleh Prof. Mr. H. Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der
Rechtssouveranitat”. Selanjutnya,, beliau berpendapat bahwa kesadaran
hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu,
yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.
3. Teori Kedaulatan Negara
George Jellinek, dalam bukunya Algemeine Staatslehre mengemukakan
bahwa, negara adalah organisasi yang dilengkapi sesuatu kekuatan aslinya,
kekuatan yang bukan didapat dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi
derajatnya, hukum diciptakan oleh negara sendiri dan setiap gerak gerik
manusia dalam negara itu harus menurut pada negara. Sedangkan negara
sendiri tidak perlu takluk dibawah hukum, karena negara sendiri yang
membuat hukum.9
4. Teori Perjanjian Masyarakat
Dalam bukuya, Thomas Hobbes membentangkan pendapatnya yang
intinya sebagai berikut :
“Pada mulanya manusia itu hidup dalam keadaan berperang. Agar tercipta
suasana damai dan tentram, lalu diadakan perjanjian di antara mereka.
8
Ibid., Hal. 34
9
Ibid.
Setelah itu, disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu
yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan yang
dimiliki oleh peimpin ini adalah mutlak. Timbullah kekuasaan yang
bersifat absolute”.

Artinya bahwa hukum dianggap sebagai kehendak bersama, suatu hasil


konsensus dari segenap anggota masyarakat sehingga orang taat dan
tunduk pada hukum karena mereka berjanji untuk menaatinya.

C. Sebab Negara Berhak Menghukum

Semenjak dilahirkan ke dunia, manusia sudah mempunyai hasrat


untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara taratur tersebut
dipunyainya sejak lahir dan selalu berkembang dalam pergaulan hidupnya.
Namun, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap
teratur juga oleh pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, maka manusia
sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya,
memerlukan seperangkat patokan agar tidak terjadi pertentangan
kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai
keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan
pedoman untuk berperilaku secara pantas.10 Patokan untuk berperilaku
secara pantas tersebut kemudian dikenal dengan sebutan norma atau
kaidah.11
Untuk menjawab pertanyaan apa sebab negara berhak menghukum,
dapat dikemukakan beberapa teori hukum yang berpendapat mengenai
konsekuensi dari pelanggaran hukum bagi yang melanggarnya.
Teori perjanjian masyarakat mencoba menjawab pertanyaan tersebut

di atas dengan menggunakan otoritas negara yang bersifat monopoli itu

pada kehendak manusia itu sendiri yang menghendaki adanya perdamaian


10
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Cet. Ke-
10, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1.
11
Ibid
dan ketentraman di masyarakat. Mereka berjanji akan menaati segala

kekuatan yang dibuat negara dan di lain pihak bersedia pula memperoleh

hukuman jika dipandang tingkah lakunya akan berakibat terganggunya

ketertiban dalam masyarakat. Mereka telah memberikan kuasa kepada

negara untuk menghukum yang melanggar ketertiban.

Selain itu, penganut-penganut teori kedaulatan negara mengemukakan

pendirian yang lebih tegas. Karena negaralah yang berdaulat, maka hanya

negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang yang mencoba

mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Negaralah yang menciptakan

hukum jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di sini

dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan

hukum. Jadi, adanya hukum itu karena adanya negara, dan tidak ada satu

hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Dalam kaitan

dengan hukuman, ciptaan negara itu adalah hukum pidana.

Walaupun terdapat berbagai teori seperti tersebut di atas,

sesungguhnya hak negara untuk menghukum seseorang didasari pemikiran

bahwa negara memiliki tugas berat, yaitu berusaha mewujudkan segala

tujuan yang menjadi cita-cita dan keinginan seluruh warganya. Usaha-

usaha yang berupa hambatan-hambatan, penyimpangan-prnyimpangan

terhadap perwujudan tujuan tadi patut dicegah dengan memberikan

hukuman kepada pelakunnya. Hanya dengan cara demikian, negara dapat

menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.12

12
Lili  Rasjidi,  Dasar-dasar Filsafat Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, Hlm.
70.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

ETIKA DAN KODE ETIK PROFESI HUKUM

Etika Profesi merupakan etika moral yang khusus diciptakan untuk


kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai
identitas, sifat atau ciri dan standarnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan
profesinya. Etika profesi hukum khusus ditujukan kepada profesi yang bergelut di
bidang hukum, utamanya Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dan Notaris untuk
menjaga dan mencegah terjadinya perbuatan menyimpang yang merugikan citra
dan kehormatan profesi serta para pengguna profesi hukum tersebut. Etika profesi
hukum adalah akhlak yang mengatur kewajiban para anggota profesi hukum
(hakim, Jaksa, advokat dan notaris, dll) untuk berperilaku yang dapat disetujui
oleh orang-orang yang adil (that merit the approval of just men).

Etika Profesi Hakim

Etika profesi hakim bersifat universal dengan tujuan akhir atau filosofi
adalah penegakkan keadilan yang sebenarbenarnya atau keadilan sejati (natural
justice). Di Indonesia, etika yang universal tersebut dipadukan dengan situasi,
kondisi, budaya dan kepribadian bangsa yang berfalsafah Pancasila. Hakim
merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak
memihak di siding pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur
undangundang.

SEBAB MENAATI HUKUM


Hukum adalah dalam kompas ilmu untuk manusia, atau sosial ilmu, karena
merupakan bagian integral dan penting dalam komponen manusia masyarakat dan
budaya. Tidak ada kejadian yang dikenal dari suatu keadaan dalam pengalaman
manusia, di mana masyarakat yang heterogen ada dan budaya telah tanpa, atau
sudah bebas dari, hukum. Dimanapun dan kapanpun masyarakat dan budaya yang
ditemukan, ada hukum juga ditemukan, menggenangi seluruh masyarakat sebagai
bagian dari budaya. Alasannya :

 Manusia mematuhi hukum jelas karena hukum itu merupakan suatu


kebutuhan.
 Manusia mematuhi hukum karena memang dari kesadaran manusia itu
sendiri.
 Manusia mematuhi hukum karena adanya sanksi
 Manusia adalah mahluk social.

SEBAB NEGARA BERHAK MENGHUKUM

Supaya menjadi patokan agar tidak terjadi pertentangan kepentingan


sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai keteraturan tersebut.
Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berperilaku secara
pantas.13 Patokan untuk berperilaku secara pantas tersebut kemudian dikenal
dengan sebutan norma atau kaidah.14
Untuk menjawab pertanyaan apa sebab negara berhak menghukum, dapat
dikemukakan beberapa teori hukum yang berpendapat mengenai konsekuensi dari
pelanggaran hukum bagi yang melanggarnya. Diantaranya :

 Teori Perjanjian
 Teori Kedaulatan

13
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Cet. Ke-
10, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1.
14
Ibid
DAFTAR PUSTAKA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH. 2015. “Makalah Filsafat Hukum

(Kenapa taat hukum).” Makalah Filsafat Hukum (Kenapa taat hukum). http://fh-

um2010.blogspot.co.id/2015/02/makalah-filsafat-hukum-kenapa-taat.

RITTY, HYRONIMUS. 2011. “FILSAFAT HUKUM,.”

http://lanlanrisdiana.blogspot.co.id/2013/03/makalah-mengapa-orang-mentaati.

Anwar, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, Malang, 2011, hal. 3.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Cet. Ke-10,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 1.

Ibid

Ibid., Hal. 34

Ibid.

Anda mungkin juga menyukai