Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ETIKA BISNIS ISLAM

PRILAKU BISNIS YANG TERLARANG

(Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Islam)

DosenPengampu :

Zulaikah, M.E

DisusunOleh :

Mahasiswa/i EkonomiSyariah/G

Kelompok 3

Yunita Rahayu 1951010526

Yhopi Arianto Putra 1951010521

Syalsa Dwi Julianda 1951010507

Rida Kartika 1951010470

Sindi Patika Sari 1951010499

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2020/2021

i
KATA PENGANTAR

AssalammualaikumWarohmatullahiwabarakatuh

Bismillahirahmanirrahim,

Dengan menyebut nama Allah SWT, yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah , daninayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaika nmakalah Etika Bisnis Islam ini yang menjelaskan tentang “Prilaku
Bisnis Yang Terlarang”.

Makalah ini kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya . Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Wassalammu’alaikumWarahmatullahiwabarakatuh.

Bandar Lampung, Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................iv

A.Latar Belakang.............................................................................................iv

B.Rumusan Masalah........................................................................................iv

C.Tujuan...........................................................................................................iv

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................1

A.Konsep Bisnis Islam......................................................................................1

B.Prakter Bisnis Yang Terlarang......................................................................2

1.Riba...........................................................................................................2

2.Ghisy.........................................................................................................4

3.Tathfif........................................................................................................6

4.Qimaar.......................................................................................................7

5.Ghaban Fahisy.........................................................................................10

6.Tadlis.......................................................................................................14

7.Ihtikar......................................................................................................15

BAB III PENUTUP..............................................................................................17

A.Kesimpulan.................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakangMasalah
Banyak ayat al-Qur’an dan Hadist yang memberi pengajaran cara bisnis yang
benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil,
pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting.
Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam
pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong
pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral)
dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem
ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai
jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi –baik kapitalisme maupun sosialisme-,
menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an
maupun Hadist, merupakan suatu hal yang niscaya untuk dilakukan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja bisnis-bisnis yang dilarang dalam Islam?
2. Bagaimana cara untuk menghindari bisnis yang dilarang dalam Islam?

C. Tujuan
Tujuan dari penulis menulis makalah ini adalah untuk memenuhi tugas etika
bisnis Islam dan agar penulis dan pembaca mengetahui, dapat memahami dan
mengerti tentang bisnis-bisnis yang terlarang dalam Islam

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Bisnis Dalam Islam


Bisnis merupakan suatu istilah untuk menjelaskan segala aktivitas berbagai
institusi dari yang menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan
masyarakat sehari-hari (Manullang, 2002 : 8). Secara umum bisnis diartikan sebagai
suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau
penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya
dengan caramengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien. Adapun
sektor-sektor ekonomi bisnis tersebut meliputi sector pertanian, sector industri, jasa,
dan perdagangan (Muslich, 2004 : 46).
Lebih khusus Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa,
atau uang yang saling menguntungkan atau member manfaat. Menurut Anoraga dan
Soegiastuti, bisnis memiliki makna“ the buying and selling of goods and services”.
Adapun dalam pandangan Straub dan Attner, bisnis tak lain adalah suatu organisasi
yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang
diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit (YusantodanKarebet, 2002 : 15).
Adapun dalam Islam bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas
bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan
hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan
pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram) (Yusanto dan Karebet, 2002 :
18). Pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Islam mewajibkan setiap muslim,
khususnya yang memiliki tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu
sebab pokok yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan . Untuk
memungkinkan manusia berusaha mencari nafkah , Allah Swt melapangkan bumi
serta menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari rizki .
Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah QS. Al Mulk ayat15 :

َ ‫هُ َو الَّ ِذ ۡى َج َع َل لَـ ُك ُم ااۡل َ ۡر‬


‫ض َذلُ ۡواًل فَامۡ ُش ۡوا فِ ۡى َمنَا ِكبِهَا َو ُكلُ ۡوا ِم ۡن رِّ ۡزقِ ٖه‌ؕ َواِلَ ۡي ِهالنُّ ُش ۡو ُر‬
Artinya: “ Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka
jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya
kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”1

1
Norvadewi,”Bisnis Dalam Perspektif Islam”. Vol 01 No 01, Desember 2015. Hal 35-36

1
B.Praktek Bisnis Yang Terlarang

Dalam bisnis tidak sedikit orang menjual barang dan melakukan praktek
bisnis yang bertentangan dengan agama. Sudah barang tentu hal ini sangat merusak
dan merugikan satu sama lain.
Berikut beberapa contoh praktek bisnis yang dilarang, diantaranya yaitu:

1.Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah),berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (alirtifa').
Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab
kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang
melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau
disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari
sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Secara istilah syar’i menurut A.Hassan, riba adalah suatu tambahan yang
diharamkan didalam urusan pinjam meminjam. Menurut Jumhur ulama prinsip utama
dalam riba adalah penambahan, penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi
bisnis riil.6 Ada beberapa pendapat lain dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Kata riba tidak hanya berhenti
kepada arti "kelebihan". Pengharaman riba dan penghalalan jual beli tentunya tidak
dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang
menjadi penyebab keharamannya. Sebagaimana dalam firman-Nya Surat Al- Baqarah
ayat 275:2

ؕ‌ِّ‫اَلَّ ِذ ۡينَ يَ ۡا ُكلُ ۡونَ الرِّ ٰبوا اَل يَقُ ۡو ُم ۡونَ اِاَّل َك َما يَقُ ۡو ُم الَّ ِذ ۡى يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ۡي ٰطنُ ِمنَ ۡال َمس‬

Artinya : “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.”.

Jenis-Jenis Riba
2
Fitry Styawati”Riba dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadis”. Vol.3 No. 2, Septembdr 2017. Hal
257-258

2
Secara garis besar riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang
piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an, dan riba jual
beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-
Sunnah.

1) Riba akibat hutang-piutang yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah,
yaitu hutang yangdibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
2) Riba akibat jual-beli yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis
barang ribawi.

Riba utang piutang terbagi menjadi dua yaitu riba qardh dan riba jahiliyah.Adapun
riba jual beli terbagi menjadi riba fadl dan riba nasi’ah.

Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan yang disyaratkan terhadap yang
berhutang.Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi
mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi
sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.

Riba jahiliyah Utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak
mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan, dan biasa disebut juga
dengan riba yad. Biasanya tambahan ini bertambah sesuai dengan lama waktu si
peminjam dan membayar utangnya.
a. Riba fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang ditukarkan itu termasuk barang ribawi (emas,
perak,gandum, tepung, kurma dan garam). Contohnya tukar menukar emas
dengan emas,perak dengan perak.
b. Riba Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang ditukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, riba ini muncul karena
adanya perbedaan atau tambahan antara yang diserahkan hari ini dan yang
diserahkan kemudian. Contoh : Seseorang meminjam sekilo gandum dalam
jangka waktu tertentu. Apabila saat pembayaran tiba, pihak yang mempunyai
hutang tidak dapat membayarnya maka ia harus menambah menjadi 1.5 kilo.

3
Yang maksudnya menambah pembayaran utang nya sesuai dengan
pengunduran waktu pembayaran.3

2.Penipuan (Ghisy)

Ghisy merupakan penyembunyian cacat barang dan mencampur antara


barang-barang yang berkualitas baik dengan yang berkualitas buruk. Adapun
langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menghindari ghisy ini, di antaranya
mewaspadai potensi adanya kemudaratan dan kedzaliman. Secara substansi praktik
ghisy atau penipuan ini tertuang dalam klausul pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (pasal 1). Undang-undang ini pun menjadi
payung hukum pemerintah dalam melindungi penjual atau pembeli dari transaksi yag
mengandung unsur penipuan, yang menjelaskan mengenai hak dan kewajiban
konsumen.

Ghisy atau Tadlis Kualitas (Penipuan atau Kecurangan) Pendahuluan Manusia


adalah mahluk ekonomi. Hal ini berartri manusia selalu ingin memenuhi segala
kebutuhan hidupnya dan memiliki kecenderungan akan ketidakpuasan atas apa yang
telah dimilikinya. Dalam memenuhi kebutuhanya manusia melakukan kegiatan
ekonomi. Kegiatan ekonomi ini dapat berupa adanya aktifitas manusia seperti bekerja
atau melakukan berbagai transaksi jual-beli. banyaknya walaupun pada kenyataannya
merugikan salah satu pihak. Di media elektronik misalanya, sering diberitakan
adanya kecurangan pedagang beras yang mencampur beras kualitas buruk ke dalam
beras kualitas baik, kemudian beras tersebut dikemas dengan baik dan dijual seharga
beras kualitas baik.

Transaksi Jual Beli Terlarang: Ghisy atau Tadlis Kualitas (Penipuan atau
Kecurangan) Macam-macam Tadlis Dalam praktiknya, tadlis itu bisa dapat
dikategorigan dalam beberapa jenis, yakni tadlis dalam kuantitas, tadlis dalam
kualitas (ghisy), tadlis dalam harga, dan tadlis dalam waktu.

a. Tadlis dalam Kuantitas Tadlis dalam kuantitas terjadi ketika pihak yang
bertransaksi menyembunyikan informasi berkenaan dengan kuantitas sesuatu
yang ditransaksikan. Misalnya baju sebanyak satu container. Karena
jumlahnya banyak dan tidak mungkin pembeli menghitungnya satu per satu,
maka penjual mengirimkan barang itu kepada pembeli dalam keadaan sudah
dikurangi jumlah (kuantitas) nya. Tadlis dalam kuantitas ini bisa juga
3
Fitry Styawati”Riba dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadis”. Vol.3 No. 2, Septembdr 2017. Hal
259-260

4
dilakukan oleh pembeli, yaitu dengan cara mengurangi jumlah lembar uang
yang dibayarkannya kepada penjual. Jika penjual lalai, atau percaya saja pada
pembeli, maka pengurangan jumlah uang tadi bisa tidak terdeteksi atau
tercium oleh penjual.
b. Tadlis dalam Kualitas (Ghisy) Tadlis dalam kualitas ini terjadi dalam bentuk
penyembunyian informasi tentang kualitas barang yang ditransaksikan.
Misalnya dalam kasus penjualan komputer bekas. Pedagang menjual
komputer bekas dengan kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80% baik
dengan harga Rp. 3.000.000,-. Kenyataannya, tidak semua komputer bekas
yang dijual memiliki kualifikasi yang sama. Sebagiannya ada yang lebih
rendah kualifikasinya, tetapi dijual dengan harga yang sama. Pembeli tidak
dapat membedakan mana komputer yang kualifikasinya rendah dan mana
yang dengan kualifikasinya lebih tinggi. Yang tahu pasti tentang kualifikasi
komputer yang dijualnya adalah penjual.
c. Tadlis dalam Harga Tadlis dalam harga ini terjadi ketika sesuatu barang
dijual dengan harga yang lebih tinggi, atau sebaliknya lebih rendah, dari
harga pasar karena penjual atau pembeli memanfaatkan ketidaktahuan lawan
transaksinya terhadap harga pasar. Misalnya seorang tukang becak yang
menawarkan jasanya kepada turis asing dengan tarif 10 kali lipat daripada
tarif normal. Ketidaktahuan sang turis terhadap tarif yang normal
memungkinkan yang bersangkutan jatuh pada perangkap penawar jasa
sehingga ia menyepakati tarif yang lebih tinggi dari tarif normal. Dalam
istilah fikih, tadlis dalam harga ini disebut ghaban.
d. Tadlis dalam Waktu Tadlis ini terjadi ketika penjual, misalnya, tahu persis
dirinya tidak akan sanggup menyerahkan (mengirim) barang yang dijualnya
pada esok hari, namun dia menyembunyikan ketidaksanggupannya itu dan
tetap menjalin akad dengan pembeli. Landasan Hukum Islam yang Melarang
Ghisy Berdasarkan penjabaran sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa istilah
ghisy atau tadlis dalam kualitas dalam praktik transaksi jual-beli dapat
diartikan sebagai upaya menyembunyikan cacat barang dan mencampur
dengan barang-barang baik dengan yang buruk.
Praktik ghisy atau penipuan ini dapat dilakukan tidak hanya oleh penjual tapi
juga pembeli. Oleh karenanya, melihat dampak yang menyebabkan terjadinya
kerugian di salah satu pihak maka ghisy menurut syariat Islam merupakan transaksi
yang terlarang dan tidak mendapatkan keberkahan. Hal ini seperti yang telah

5
disabdakan Rasulullah Saw, yaitu: "Dua orang yang melakukan jual-beli boleh
melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama
keduanya belum berpisah", Atau sabda Beliau: hingga keduanya berpisah. Jika
keduanya jujur dan menampakkan cacat dagangannya maka keduanya diberkahi
dalam jual belinya dan bila menyembunyikan cacat dan berdusta maka akan
dimusnahkan keberkahan jual belinya". (HR. Bukhari)

3.Tathfif
Kecurangan dalam menakar dan menimbang mendapat perhatian khusus
dalam al-Quran ini telah merampas hak orang lain. Selain itu, praktek seperti ini juga
menimbulkan dampak yang sangat vital dalam dunia perdagangan yaitu timbulnya
ketidakpercayaan pembeli terhadap para pedagang yang curang. Oleh karena itu,
pedagang yang curang pada saat menakar dan menimbang mendapat ancaman siksa
di akhirat.
Allah berfirman: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam?4
Kata wailul itu memiliki arti azab, kehancuran, atau sebuah lembah di neraka
Jahannam.5 Hal ini menunjukkan bahwa pedagang yang melakukan kecurangan
dalam menakar dan menimbang akan mendapatkan azab sehingga ditempatkan di
lembah neraka Jahannam. Oleh karena itu, setiap pedagang hendaknya berhati-hati
dalam melakukan penakaran dan penimbangan agar ia terhindar dari azab.
A. Ilyas Ismail menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa
yang terjadi di Madinah.6 Setibanya di Yathrib (Madinah), Nabi Muhammad saw
banyak mendapat laporan tentang para pedagang yang curang. Abu Juhaynah salah
seorang dari mereka. Ia dikabarkan memiliki dua takaran yang berbeda, satu untuk
membeli dan yang satu lagi untuk menjual. Lalu, kepada Abu Juhaynah dan
penduduk Madinah yang lain, Rasulullah saw membacakan ayat di atas.
Ayat ini memberi peringatan keras kepada para pedagang yang curang.
Mereka dinamakan mutaffifin. Dalam bahasa Arab, mutaffifin berasal dari kata tatfif
4
QS. al-Quran ayat[83] 1-6
5
Al-Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, Tafsir wa Bayan Kalimat al-Quran al-Karim
(Damaskus: Dar Ibn Katsir, 2001), 587.
6
A. Ilyas Ismail, Perilaku Curang, Naver Indonesia (Kamis, 15 Juli 2004).

6
atau tafafah, yang berarti pinggir atau bibir sesuatu. Pedagang yang curang itu
dinamai mutaffif, karena ia menimbang atau menakar sesuatu hanya sampai bibir
timbangan, tidak sampai penuh hingga penuh ke permukaan. Dalam ayat di atas,
perilaku curang dipandang sebagai pelanggaran moral yang sangat besar. Pelakunya
diancam hukuman berat, yaitu masuk neraka wail.
Kecurangan merupakan sebab timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat,
padahal keadilan diperlukan dalam setiap perbuatan agar tidak menimbulkan
perselisihan. Pemilik timbangan senantiasa dalam keadaan terancam dengan azab
yang pedih apabila ia bertindak curang dengan timbangannya itu. Pedagang beras
yang mencampur beras kualitas bagus dengan beras kualitas rendah, penjual daging
yang menimbang daging dengan campuran tulang yang menurut kebiasaan tidak
disertakan dalam penjualan, pedagang kain yang ketika kulakan membiarkan kain
dalam keadaan kendor, tetapi pada saat menjual ia menariknya cukup kuat sehingga
ia memperoleh tambahan keuntungan dari cara pengukurannya itu, semua itu
termasuk kecurangan yang akan mendatangkan azab bagi pelakunya.

4. Qimar

Maisir mengacu pada perolehan kekayaan secara mudah atau perolehan harta
berdasarkan peluang, entah dengan mengambil hak oranglain atau tidak. Qimar
berarti permainan peluang-keuntungan seseorang di atas kerugian yang lain;
seseorang mempertaruhkan uang atau sebagian kekayaannya, dimana jumlah uang
yang dipertaruhkan memungkinkan untuk mendapatkan atau kehilangan jumlah uang
yang sangat besar. Sementara kata yang digunakan dalam al-Qur’an untuk pelarangan
atas judi dan pertaruhan adalah “Maisir” (surat ke-2 ayat 219 dan surat ke-5 ayat 90-
91), literatur Hadis membahas tindakan ini secara umum dengan nama “Qimar”.

Larangan praktik perjudian ini disebabkan karena seseorang akan


mendapatkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi, ramalan atau
terkaan. Dan sekali lagi bukan didapat dari sebuah kerja yang riil. Allah swt telah
melarang perjudian dengan larang yang cukup tegas dan keras. Bahkan syariat
memposisikan harta yang diperoleh dari

perjudian sebagai harta yang bukan termasuk hak milik1. Allah swt berfirman:

َ‫صابُ َواَأْل ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َمي ِْس ُر َواَأْل ْن‬

"Sesungguhnya (minuman) khamar (arak/memabukkan), berjudi (berkurban untuk)


berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan

7
setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberun7tungan."
(QS al-Maidah: 90).8

Dalam istilah muamalah dan ekonomi syariah, judi itu punya dua sebutan,
ada kalanya disebut qimar, dan ada kalanya disebut maisir. Tetapi yang paling lazim,
judi dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan maisir, karena istilah pilihan kata
inilah yang digunakan Allah SWT dalam AlQuran untuk menyebut judi. (Luki
Nugroho, 2018: 8). Namun berkenaan dengan makna tersebut, para ulama
berpendapat bahwa maisir adalah qimar, qimar adalah maisir. Yusuf Qardhawi,
misalnya mengutip penjelasan dalam kitab At Ta’rifat Al Fiqhiyyah menyebutkan
bahwa : Lafaz al-Qimar berasal dari kata Qamara yaitu semua permainan yang
mensyaratkan kalah menang dan si pemenang berhak untuk mengambil harta milik
dari yang kalah. (Yusuf Qardhawi, 2002: 73) Sedangkan menurut KBBI yang
dimaksud judi adalah : Permainan dengan memakai uang atau benda berharga
sebagai taruhan. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan, bahwa judi dalam
bahasa Indonesia yang disebut qimar atau maisir dalam bahasa Arab adalah setiap
bentuk permainan, apapun aktivitasnya, yang di dalamnya terdapat unsur taruhan
sekaligus berlakunya ketentuan kalah-menang dan konsekuensinya si pemenang
berhak mengambil harta yang dipertaruhkan. (Luki Nugroho, 2018: 10).9

Lebih lanjut, para ulama memaparkan kriteria suatu aktivitas bisa terkategori
judi, yakni adanya pihak yang bertaruh; jenis yang dipertaruhkan itu adalah barang
berupa harta; adanya ketentuan menang kalah; dan pemenang mendapatkan harta
yang dipertaruhkan atau pihak yang kalah menyerahkan harta yang dipertaruhkan
kepada si pemenang. Keempat prasyarat itu harus dipenuhi sehingga suatu perbuatan
disebut judi. Dengan demikian, kegiatan yang tidak memuat keempat unsur tersebut,
tidak dapat dituding sebagai praktik judi. Pihak yang berjudi adalah elemen utama
yang pasti ada, orang atau pihak yang bertaruh, dua orang atau lebih yang
kesemuanya terlibat dalam pertaruhan dan permainan yang menentukan menang-
kalah. Misalnya, judi tebak skor, pada momen event turnamen sepak bola besar,
biasanya ketika piala dunia dan piala Eropa. Di saat para pesepakbola sibuk berlaga
di lapangan hijau di negerinya tersebut, maka khususnya di Indonesia sendiri, ada

7
Taringan, Dari Etika, h.45.

8
QS. Al-Maidah (5) : 90.
9
Ainuz Zulfa Fakhirna, 2018.Telaah terhadap konsep Al Maisir dalam Praktek Bermuamalah.
Yogyakarta : Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga.

8
juga pihak yang sibuk bertarung dalam judi tebak skor. Pelaku judi tebak skor itu
umumnya para anak muda atau remaja, pelajar sekolah, SMP/SMA, dan mahasiswa.

Jika terdapat sepuluh orang dan kesepuluh orang tersebut memasang uang
taruhan, kemudian uang taruhan tersebut diserahkan kepada si pemenang, maka
dalam hal ini sudah terjadi praktik judi. Namun, jika dari sepuluh orang itu hanya
sembilan orang yang ikut menyumbang uang, sementara 1 orang (si A) tidak ikut
dalam pengumpulan uang tebak skor tersebut, kemudian si A menebak dengan benar
sekaligus mendapat uang yang dikumpulkan tersebut, maka di sini tidak terjadi
praktik judi, karena hanya terjadi pemberian hadiah yang tentunya dibolehkan di
dalam Islam.10

Sampai di sini dapat dipahami bahwa kedua praktik judi dan pemberian
hadiah lewat sayembara sangat tipis perbedaannya. Hal ini bisa juga kita amati pada
sayembara target penjualan. Deskripsinya ketika sebuah perusahaan otomotif
membuat target minimal penjualan yang harus dicapai oleh semua para sales
representatifnya dengan iming-iming bonus. Siapa pun yang bisa mencapai target
minimal penjualan maka dia akan mendapatkan bonus yang dijanjikan atau
‘dipertaruhkan’.Pertaruhan yang seperti itu dihalalkan sekalipun lagi-lagi yang
diperebutkan adalah harta dengan nominal tertentu. Namun, karena ini sayembara
yang dalam istilah muamalah dan ekonomi syariah disebut ju’alah dan hukumnya
halal, maka sah-sah saja para sales tadi berlombalomba untuk mendapatkan bonus
yang dipertaruhkan.

Kemudian, prasyarat berikutnya yang memvonis bahwa suatu aktivitas itu


disebut judi yaitu jenis yang dipertaruhkan itu adalah barang berupa harta, karena jika
yang dipertaruhkan bukan harta, maka aktivitas tersebut tidak terkategori judi.
Sebagai contoh, ketika yang dipertaruhkan bukan harta melainkan berupa
kesempatan, hak atau sejenisnya, artinya siapa yang menang dalam lomba atau
undian tersebut, maka orang itu akan mendapatkan suatu kesempatan atau hak. Nabi
Muhammad SAW pernah mengundi para istrinya, dalam rangka memilih siapa di
antara mereka yang berhak untuk ikut pergi atau safar bersama Beliau11. Dalam
riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan hadits dari Aisyah RA : ُ ‫صلَّى هَّللا‬
َ ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬

10
.Ainuz Zulfa Fakhirna, 2018.Telaah terhadap konsep Al Maisir dalam Praktek Bermuamalah.
Yogyakarta : Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga.

11
Ainuz Zulfa Fakhirna, 2018.Telaah terhadap konsep Al Maisir dalam Praktek Bermuamalah.
Yogyakarta : Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga.

9
َ ِ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا َأ َرا َد َأ ْن يَ ْخ ُر َج َسفَرًا َأ ْق َر َع بَ ْينَ نِ َساِئ ِه فََأيَّتُه َُّن خَ َر َج َس ْه ُمهَا َخ َر َج بِهَا َرسُو ُل هَّللا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ُ‫ َم َعه‬ 

“Apabila Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam hendak berpergian, beliau


senantiasa mengundi di antara isteri-isterinya. Barang siapa yang keluar undiannya,
dialah yang ikut pergi bersama Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam.”

Selain itu, ketentuan menang-kalah juga menjadi syarat terlaksananya judi.


Dalam hal ini ada prasyarat bahwa setiap yang bertaruh harus ikut terlibat dalam
sebuah permainan untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Kegiatan inti dari permainan tersebut bisa berupa lomba adu tenaga, ketangkasan,
kecerdasan, kreatifitas, dan masih kompetisi serta perlombaan lainnya. Intinya, suatu
aktivitas terkategori judi jika di dalamnya ada penentuan siapa yang menang dan
siapa yang kalah, Karena jika tidak ada sistem penentuan siapa yang menang dan
siapa yang kalah, misalkan semua peserta berhak mendapatkan harta yang
dipertaruhkan, maka hal itu tidak bisa disebut judi.Prasyarat puncak terjadinya judi
adalah pihak pemenang berhak mendapatkan harta taruhan atau harta dari pihak yang
kalah. Terlebih kalau harta atau hadiah taruhan nilainya sangat besar, maka segala
daya upaya pasti dikerahkan oleh semua pihak yang ikut bertaruh demi bisa
mendapatkan seluruh harta yang dipertaruhkan tersebut. Pada sisi inilah salah satu
sebab mengapa judi diharamkan, karena memakan harta pihak lain dengan cara yang
diharamkan. Meskipun terlihat pihak yang kalah meridhai, namun pada hakikatnya
pihak yang kalah tidak akan pernah mau kehilangan hartanya, dan yang diinginkan
adalah juga menjadi pemenang dan harta lawannya menjadi miliknya.12

5.Ghaban Fahisy

Ghabn berasal dari ghabana–yaghbinu–ghabn[an]. Menurut al-Jawhari dalam


Ash-Shihâhfial-Lughah, ar-Razi dalam Mukhtârash-Shihâh dan IbnManzhur di
Lisânal-‘Arab, ghabana secara bahasa artinya khada’a (menipu/memperdaya).
Menurut IbnDuraid dalam Jumhurah al-Lughah dan Sa’di Abu Habib dalam Al-
Qâmûshal-Fiqhi,ghabana artinya naqasha (mengurangi). Menurut Rawwas Qal’ahJi
dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha ghabana artinya ghalabahu wa naqashahu
(mengalahkannya dan menguranginya).

Jika dikatakan ghabanahufi al-bay’iwaasy-syirâ’ maknanya khada’ahu wa


ghalabahu (memperdayanya dan mengalahkannya). Jika dikatakan ghabanafulân[an]
12
Ainuz Zulfa Fakhirna, 2018.Telaah terhadap konsep Al Maisir dalam Praktek Bermuamalah.
Yogyakarta : Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga.

10
maknanya naqashahufi ats-tsamanwaghayyarahu (menguranginya dalam hal harga
dan mengubahnya). Istilah ghabn digunakan dalam jual-beli. Secara istilah menurut
ulama Syafiiyahghabnadalah kelebihan atas harga yang sepadan, tsamanal-mitsli
(Sa’di Abu Habib, Al-Qâmûshal-Fiqhi). Menurut IbnNajimghabn adalah kekurangan
dalam harga di dalam jual-beli (Mawsu’ahal-Fiqhiyahal-Kuwaytiyah, bahasan
khiyâral-ghabn). Adapun Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, ghabn adalah
menjual/membeli sesuatu denan harga lebih dari yang sebanding atau kurang dari
yang sebanding (Nizhâmal-Iqtishâdî, hlm. 193).

Ghabn sendiri ada dua: al-ghabnal-yasîr dan al-ghabnal-fâhisy. Al-Ghabnal-


Yasîrmenurut ulama Hanafiyah adalah harga atau kelebihan/kekurangan yang masih
masuk dalam rentang nilai yang ditentukan oleh para pengestimasi nilai, sedangkan
menurut ulama Syafiiyah adalah apa yang dimungkinkan terjadi dan itu diampuni.

Adapun al-ghabnal-fâhisy, menurut ulama Hanafiyah adalah harga


kelebihan/kekurangan yang tidak masuk dalam rentang nilai yang ditentukan oleh
para pengestimasi nilai, sedangkan menurut ulama Syafiiyah adalah apa yang pada
galibnya tidak dimungkinkan terjadi. Abu al’Abbasal-Fayyumi di dalam Mishbâhal-
Munîr dan Al-Minawi dalam At-Ta’ârif menjelaskan, ghabnfahisy itu jika
tambahannya melebihi apa yang biasa semisalnya.

a.Al-Ghabnal-Fâhisy Haram

Al-Ghabnal-Fahisy (penipuan/kecurangan yang zalim) haram secara syar’i, karena di


dalam hadis sahih ada tuntutan untuk meninggalkan ghabn dengan tuntutan yang
tegas.Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.Dan Anas ra.Bahwa seorang laki-laki
menyatakan kepada Nabi saw. Bahwa ia ditipu (yukhda’u) di dalam jual-beli, lalu
Nabi saw. Bersabda

َ‫ِإ َذا بَايَعْتَ فَقُلْ الَ ِخالَبَة‬

Artinya : Jika engkau berjual-beli maka katakanlah, “Lâkhilâbah” (tidak ada


penipuan) . (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, IbnHibban dari Ibn Umar dan Abu
Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, IbnMajah dan al-Hakim).

Nabi saw. Juga bersabda:

1. ِ َ‫بَ ْي ُع ْال ُم َحفَّال‬


‫ت ِخالَبَةٌ َوالَ ت َِحلُّ ال ِْخالَبَةُ لِ ُم ْسلِ ٍم‬

11
Jual-beli muhaffalah adalah khilâbah (penipuan) dan penipuan itu tidak halal
bagi seorang Muslim (HR IbnMajah, Ahmad dan Abdurrazaq) Al-Khilâbah adalah al-
khadî’ah (penipuan). Hadis-hadis ini telah menuntut agar al-khilâbah (penipuan)
ditinggalkan. Tuntutan itu ditegaskan dengan sabda Nabi saw. “lâtahillu (tidak halal)
alias haram. Dari sini maka al-ghabn (penipuan) hukumnya adalah haram.Hanya saja,
ghabn (penipuan) yang haram itu harus memenuhi dua hal. Pertama: harus berupa
ghabnfâhisy (penipuan yang zalim) karena ’illat pengharaman ghabn adalah karena
realitanya sebagai penipuan dalam hal harga. Tidak akan disebut penipuan jika hanya
sedikit, yaitu masih masuk dalam rentang harga yang biasa terjadi di pasar.Sebab,
selisih harga yang sedikit itu merupakan kemahiran dalam tawar-menawar.Ghabn itu
disebut penipuan hanya jika fâhisy (zalim/keji), yaitu jika sudah melebihi kebiasaan,
atau harganya berada di luar rentang harga yang biasa di pasar. Kedua: orang yang
ditipu itu pada saat akad tidak tahu harga yang biasa berlaku di pasar. Sebab, jika ia
tahu dan tetap menerima transaksi itu, maka artinya ia tidak tertipu atau dicurangi dan
ia menerima harga yang lebih tinggi atau lebih rendah itu disertai dengan
pengetahuannya; dengan itu artinya ia ridha dengan harga itu disertai pengetahuan
dia.

Penentuan kadar ghabn yang termasuk ghabnfâhisy itu mengikuti apa yang
berlaku di pasar, yakni mengikuti penentuan para pelaku pasar atau para pedagang.
Kelebihan atau kekurangan harga ghabnfâhisy dari harga pasar itu tidak ditentukan
dengan kadar sepertiga, seperlima atau lainnya, melainkan tetap dikembalikan
menurut istilah para pedagang, yaitu para pelaku pasar. Jika terjadi perselisihan
tentang apakah terjadighabnfâhisy atau tidak, maka hal itu dikembalikan pada
penentuan nilai oleh para ahli pengestimasi (ahlual-hibrah). Hal itu seperti penentuan
harga yang sepadan (tsamanmitsli) atau upah yang sepadan (ajrual-mitsli).

Jika memenuhi dua ketentuan tersebut, yaitu terjadi ghabnfâhisy dan pihak
yang ditipu tidak mengetahui hal itu pada saat transaksi, maka pihak yang tertipu itu
memiliki khiyar(opsi). Hal itu karena Muhammad bin Yahya bin Habban menuturkan
bahwa kakeknya, yaitu Munqidz bin Amru, sering tertipu dalam jual-beli lalu
mengadu kepada Nabi saw, maka Nabi saw. Bersabda:

ْ ‫ضيْتَ فََأ ْم ِس ْك َوِإ ْن َس ِخ‬


َ‫طت‬ ٍ َ‫ث لَي‬
ِ ‫ال فَِإ ْن َر‬ ِ َ‫ ثُ َّم َأ ْنتَ فِى ُك ِّل ِس ْل َع ٍة ا ْبتَ ْعتَهَا بِ ْال ِخي‬.َ‫ِإ َذا َأ ْنتَ بَايَعْتَ فَقُلْ الَ ِخالَبَة‬
َ َ‫ار ثَال‬
َ ‫فَارْ ُد ْدهَا َعلَى‬
‫صا ِحبِهَا‬

Jika engkau berjual-beli maka katakanlah, “Tidak ada penipuan.” Kemudian


dalam setiap barang yang engkau beli, engkau memiliki khiyar tiga malam. Jika

12
engkau ridha, pertahankan; jika engkau tidak suka maka kembalikanlah kepada
pemiliknya (HR IbnMajah, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).

Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menyatakan bahwa hadis lâkhilâbah (tidak


ada penipuan) itu merupakan dalil adanya khiyar di dalam jual-beli jika terjadi
ghabn(kecurangan).

Sesuai hadis di atas, opsi yang diberikan kepada pihak yang tertipu itu adalah
satu di antara dua hal: Opsi pertama, jika ia ridha ia boleh melanjutkan transaksi itu,
artinya ia pertahankan barang atau harga yang dia dapat. Opsi kedua, jika ia tidak
ridha dengan transaksi itu, ia boleh membatalkannya. Jika ia penjual, maka ia
meminta kembali barangnya dan ia kembalikan harganya, sementara jika ia pembeli
ia kembalikan barangnya dan ia meminta kembali harga yang sudah dia bayarkan.
Pihak yang ditipu (al-maghbûn) tidak memiliki opsi ketiga selain dua opsi itu. Jadi ia
tidak boleh meminta selisih harga transaksi itu dengan harga normal atau meminta
kompensasi. Sebab, Rasul saw. Hanya memberikan dua opsi itu dan tidak
memberikan opsi lainnya.Konsekuensi dari keharamanghabnfâhisy itu maka harta
yang diperoleh dengan melakukan ghabnfâhisy, yaitu melakukan khidâ’ah
(penipuan/kecurangan) merupakan harta yang haram. Selain itu, tindakan
ghabnfâhisy merupakan pelanggaran syariah yang masuk dalam kategori ta’zir.
Untuk memberantasnya supaya tidak berkembang di pasar maka terhadap pelakunya
bisa dikenai sanksi ta’zir yang jenis dan kadarnya menurut ijtihad qadhi, yang
mungkin dalam hal ini adalah qadhihisbah, tentu dengan mempertimbangkan
pengaruhnya terhadap pasar dan perekonomian.

Ghabnfâhisy (kecurangan yang zalim) itu biasanya terjadi karena adanya


informasi asimetris, yaitu informasi pasar, khususnya tentang harga, yang hanya
dimiliki oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak mengetahuinya. Jika informasi itu
simetris (sama-sama diketahui oleh kedua pihak) niscaya tidak akan terjadi
ghabnfâhisy. Kalaupun terjadi transaksi dengan harga di luar harga pasar maka itu
memang disertai keridhaan dan pengetahuan kedua pihak.

Syariah meminimalkan peluang terjadinya hal itu. Di antaranya, syariah


melarang orang kota berjual-beli dengan orang kampung/pedalaman; orang kota
dilarang menjadi makelar untuk orang kampung. Begitu juga syariah melarang
talaqual-jalab. Abu Hurairah menuturkan:

13
ِ َ‫صا ِحبُ الس ِّْل َع ِة فِيهَا بِ ْال ِخي‬
‫ار ِإ َذا َو َر َد‬ ٌ ‫ى صلى هللا عليه وسلم نَهَى َأ ْن يُتَلَقَّى ْال َجلَبُ فَِإ ْن تَلَقَّاهُ ِإ ْن َس‬
َ َ‫ان فَا ْبتَا َعهُ ف‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
‫ق‬
َ ْ‫السُّو‬

Nabi saw. Melarang orang yang mendatang-kan barang dicegat sebelum


sampai ke pasar. Jika seseorang mencegatnya sebelum sampai pasar, lalu ia membeli
darinya, maka pemilik barang memiliki khiyar jika ia sampai pasar (HR at-Tirmidzi
dan Ahmad).Imam at-Tirmidzi mengomentari hadis ini, “Orang-orang yang berilmu
(ulama) tidak suka membeli barang sebelum sampai di pasar, dan itu adalah salah
satu bentuk tipudaya (kecurangan).Berkembangnya informasi asimetris, selain
memberi peluang terjadinya ghabnfâhisy, juga akan menyebabkan distorsi pasar.
Akibatnya, perekonomian bisa terpengaruh.Karena itu, sebagai bagian dari
pelaksanaan ri’ayahsyu’un maka hendaknya negara menaruh perhatian besar untuk
menghilangkan atau meminimal-kan berkembangnya informasi asimetris itu. Untuk
itu, negara hendaknya membentuk badan/lembaga yang memantau perkemba-ngan
pasar dan menampilkannya sebagai informasi yang terbuka untuk semua pihak.
WalLâha’lambiash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

6.Tadlis

Tadlis berasal dari bahasa Arab dengan bentuk mashdar dari kata dallasa-
yudallisu–tadliisan yang mempunyai makna: tidak menjelaskan sesuatu,
menutupinya, dan penipuan. Ibn Manzhur di dalam Lisan al-‘Arab mengatakan
bahwa dallasa di dalam jual-beli dan dalam hal apa saja adalah tidak menjelaskan aib
(cacat)-nya.13 Tadlis juga didefinisikan sebagai “a transaction which part of
information is unknown to one party because of hiding bad information by another
party” (suatu transaksi yang sebagian informasinya tidak diketahui oleh salah satu
pihak karena adanya penyembunyian informasi buruk oleh pihak lainnya).14

Dalam Islam, setiap transaksi harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara
kedua pihak (sama-sama ridha). Karena itu mereka, pihak yang bertransaksi, harus
mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak
yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada suatu yang unkonwn to one party (keadaan
dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini
disebut juga (assymetric information).

Unknown to one party dalam bahasa fiqihnya atau hukum Islam disebut tadlis.
13
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalat (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 75.
14
Lihat: Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, (Bogor:
Jurisprudence Press, 2012), h.99.

14
Tadlis dalam jual-beli, menurut fukaha, ialah menutupi aib barang, dan ini bisa terjadi
baik oleh penjual maupun oleh pembeli. Penjual dikatakan melakukan penipuan
(tadlis) apabila ia menyembunyikan cacat barang dagangannya dari pengetahuan
pembeli. Sedangkan pembeli dikatakan melakukan penipuan (tadlis) manakala ia
memanipulasi alat pembayarannya atau menyembunyikan manipulasi pada alat
pembayarannya terhadap penjual.Dalam praktiknya, tadlis itu bisa dapat
dikategorigan dalam beberapa jenis,yakni tadlis dalam kuantitas, tadlis dalam kualitas
(ghisy), tadlis dalam harga, dantadlis dalam waktu.

7.Ihtikar

Ulama fikih berbeda pendapat mengenai definisi tentang hakikat ikhtikar yang
jumlahnya lebih dari duapuluh pendapat. Perbedaan pendapat ini tidak terbatas atas
mazhab-mazhab yang ada, tetapi di dalam satu mazhab mereka juga berselisih
tentang definisinya. Perbedaan ini dikarenakan mereka mempunyai sistem dan
metode yang berbeda dalam memahami hukum.

Pertama, menurut Hanafiyah ikhtikar diartikan dengan penimbunan bahan


makanan sehingga harganya melonjak tinggi. Kedua, menurut Syafi’iyah ikhtikar
adalah membeli bahan makanan waktu harganya tinggi dan menyimpannya,
kemudian menjualnya dengan harga diatas normal, sehingga menyulitkan orang
banyak. Ketiga, menurut Malikiyah ikhtikar ialah penimbunan barang yang dijual,
karena dengan menyimpannya akan memperoleh keuntungan disebabkan harga di
pasaran tidak stabil. Keempat, menurut Ibnu Hazm az-Zahiri ikhtikar yaitu
penimbunan yang membahayakan manusia adalah haram baik itu dalam pembelian
dan menahan barang yang dijual. Kelima, ikhtkar menurut Imamiyah adalah
mengumpulkan dan menimbun bahan makanan dengan menunggu harganya
membumbung. Keenam, menurut Yusuf Qaradawi ikhtikar ialah menahan barang dari
perputaran di pasar sehingga harganya naik. (Yusufn Qardawi, 1997: 190)

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ikhtikar


(monopoli) adalah menyimpan barang-barang yang dibutuhkan orang banyak baik
dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok dengan tujuan menjualnya kembali di
atas harga normal serta dapat mengendalikan harganya sehingga memperoleh
keuntungan yang banyak.

15
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

16
1. Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah),berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat
(alirtifa').

2. Ghisy merupakan penyembunyian cacat barang dan mencampur antara barang-


barang yang berkualitas baik dengan yang berkualitas buruk. Adapun langkah-
langkah yang dapat digunakan untuk menghindari ghisy ini, di antaranya
mewaspadai potensi adanya kemudaratan dan kedzaliman.

3. perolehan harta berdasarkan peluang, entah dengan mengambil hak oranglain


atau tidak. Qimar berarti permainan peluang-keuntungan seseorang di atas kerugian
yang lain; seseorang mempertaruhkan uang atau sebagian kekayaannya, dimana
jumlah uang yang dipertaruhkan memungkinkan untuk mendapatkan atau
kehilangan jumlah uang yang sangat besar.

4. Tadlis berasal dari bahasa Arab dengan bentuk mashdar dari kata dallasa-
yudallisu–tadliisan yang mempunyai makna: tidak menjelaskan sesuatu,
menutupinya, dan penipuan

5. menurut Hanafiyah ikhtikar diartikan dengan penimbunan bahan makanan


sehingga harganya melonjak tinggi. Kedua, menurut Syafi’iyah ikhtikar adalah
membeli bahan makanan waktu harganya tinggi dan menyimpannya, kemudian
menjualnya dengan harga diatas normal, sehingga menyulitkan orang banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi,Norva.Bisnis Dalam Perspektif Islam(Telaah Konsep,Prinsip dan


Landasan Normatif).,Al-Tijary,Vol.01,No.01,Desember 2015

17
Setyawati,Fitri.Riba Dalam Pandangan Al-Quran dan Hadis. AL-
INTAJ.Vol.13,No.2 , September 2017

TRANSAKSI JUAL BELI TERLARANG GHISY. Diambil pada tanggal 25


Desember 2020 , https://docplayer.info/71334767-Transaksi-jual-beli-terlarang-
ghisy-atau-tadlis-kualitas-penipuan-atau-kecurangan.html

Darmawati, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam , Jurnal Ekonomi Islam,2008

Zulfa,Ainuz Fakhrina. Telaah terhadap Konsep Al-Maisir dalam Praktek


Bermuamalah. Yogyakarta : Fakultas Syariah dan Hukum , Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga

Khoiruddin, Etika Perilaku Bisnis dalam Perspektif Islam , Jurnal Etika Bisnis
dalam Perspektif Islam . ASAS, Vol. 7, No. 1, Januari 2015

18

Anda mungkin juga menyukai