Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Konsep Dasar Ahlak Tasawuf


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ahlak Tasawuf
Dosen pengampu: Muhammad Fauzinudin Fais, M.H.I.

Disusun Oleh:

Emha Bintang Al Ghifary (222105040009)


Ferdy Yudha Kristanto (224105040001)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup dan
telah mengutus rasulNya yang mulia, Muhammad saw. sebagai pembawa risalah
terakhir dan sebaik-baik suri teladan bagi sekalian makhluk.
Ucapan syukur senantiasa terucapkan kehadirat Allah, karena tanpa pertolongan dan
izinNya, tidaklah makalah ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis
haturkan kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Akhlak & Tasawwuf.
Dalam diri manusia kita mengenal dimensi lahir dan batin. Dimensi lahir terkait dan
diatur dengan ilmu fikih, sedangkan dimensi batin inilah yang kemudian terkait dan
diatur dalam ilmu tasawwuf, sehingga ilmu tasawwuf terkadang disebut juga dengan
istilah ‘fikih batin’. Jika seseorang benar-benar telah berhasil memperbaiki sisi
batinnya, maka kelak itu akan termanifestasikan pada sisi lahir kehidupannya
seharihari yang berupa akhlak yang baik, apakah itu akhlak kepada Allah, kepada
sesama manusia maupun akhlak kepada diri sendiri.
Sebagai penutup, penulis berharap makalah ini bisa menjadi wasilah bagi teman-
teman pembaca untuk menggapai berbagai kemanfaatan. Hanya saja kami sangat
menyadari makalah ini jauh dari sempurna, mengingat kapasitas penulis dan waktu
penulisannya yang cukup terbatas, maka dari itu kritik dan saran yang membangun
dari saudara sekalian sangat kami harapkan, agar kita bisa terus melakukan perbaikan
terhadap isi makalah ini.

Jember, 13 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN....................................................................................................1
A.Latar
Belakang………………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
BAB II: KONSEP DASAR AKHLAK DAN TASAWWUF............................................3
A. Definisi Akhlak..........................................................................................................3
B. Ruang Lingkup Ilmu Akhlak.....................................................................................3
C. Akhlak dalam Tinjauan Islam....................................................................................3
D. Cabang dan Pembagian Akhlak.................................................................................4
E. Antara Akhlak dan Etika............................................................................................5
F. Definisi Tasawwuf.....................................................................................................6
G. Urgensi Tasawwuf.....................................................................................................8
H. Tasawwuf dalam Tinjauan Islam...............................................................................9
I. Kaitan antara Tasawuf dan Syari’at..........................................................................11
J. Kaitan antara Tasawwuf dan Akhlak........................................................................13
K. Tujuan Tasawwuf....................................................................................................15
BAB III: PENUTUP.........................................................................................................15
A. Kesimpulan..............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16
iii

BAB I

PENDHAULUAN

A. Latar Belakang
Allah menurunkan Alquran sebagai petunjuk bagi umat manusia, tidak hanya
berisi tentang tuntunan untuk hal-hal yang sifatnya zhahir, tetapi juga berisi tuntunan
agar seorang manusia memiliki sisi batin yang baik. Jika keduanya diamalkan secara
sinergis maka akan terwujudlah insan kamil, manusia yang tidak hanya bagus sisi
zahirnya tetapi juga sisi batinnya.
Diantara dalil yang menjelaskan tentang hal ini adalah sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Umar bin Khattab atau yang kemudian lebih mahsyur dengan
sebutan hadis jibril. Hadis tersebut berisi penjelasan seluruh ajaran islam secara garis
besar yang mencakup apa itu iman, islam dan ihsan. 1 Penjelasan tentang itulah yang
menjadi salah satu dasar atau konsep awal pembahasan tasawwuf, karena didalamnya
tercakup penjelasan tentang muraqabah atau pengawasan Allah terhadap hambanya
dalam berbagai keadaan, khususnya saat beribadah. Kesadaran ini akan menghadirkan
rasa khusyu’, ikhlas, takut dan pengharapan kepada Allah yang mana hal ini akan
menjadikan ibadah semakin baik (Ihsan) dan dapat menghindarkannya dari berbagai
hal yang bisa menggugurkan nilainya sepertu riya, ujub dan sum’ah. 2 Ringkasnya,
sebagaimana dikatakan oleh al-Qadhi ‘Iyadh, hadis ini mencakup penjelasan terkait
ibadah baik dari segi lahir maupun segi batinnya.2
Seseorang yang benar tasawwufnya akan senantiasa memancarkan akhlak
yang baik, karena keadaan alam batin seseorang akan termanifestasikan pada alam
lahirnya berupa akhlak. Seseorang yang bertasaawwuf akan senantiasa menjaga
dirinya dari

1
Ibn Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Juz I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1999), 97.
2
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj, (Oman: Bait al-Afkar
alDauliyyah, 2000), 82.
2
Ibid.

1
kemurkaan Allah dan berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan ridhaNya
dengan menjalankan segala perintahNya.
Akhlak dan tasawwuf itu sangat berkaitan, karena orang yang benar tasawwufnya
pasti akan baik akhlaknya dan orang yang akhlaknya baik mesti lahir karena
kesadarannya akan pengawasan Allah terhadap dirinya.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa permasalahan dasar terkait
konsep akhlak dan tasawwuf, sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep akhlak dalam islam dan keutamaannya?
2. Bagaimana konsep tasawwuf dalam islam dan keutamaannya?
3. Bagaimana dalil atau nash syariat terkait pembahasan ini?

C. TUJUAN
1. Mengetahui dan memahami konsep ahlak dalam islam dan keutamaanya.
2. mengetahui dan memahami konsep tasawuf dalam islam dan keutamaanya.
3. mengetahui dan memahami dalil atau nash syariat terkait pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Akhlak
Secara bahasa kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, bisa
diartikan sebagai sesuatu yang ada dan terbentuk secara mapan dalam diri
manusia, yang darinyalah berasal setiap perbuatan manusia entah baik maupun
buruk, tanpa proses berpikir maupun perencanaan terlebih dahulu (terjadi
secara spontan).3 Akhlak secara umum dapat terbagi menjadi dua. Pertama,
akhlak yang terbentuk dan dipahami secara alami tanpa harus belajar atau
latihan, seperti menghukumi bahwa pemarah, berbohong dan mencuri adalah
akhlak yang buruk. Kedua, akhlak yang bisa dibentuk dengan pembiasaan dan
pelatihan, seperti membiasakan sabar, mengikhlaskan dan bersyukur ditengah
kesempitan.4
Sedangkan secara istilah, akhlak adalah sisi batin dari manusia, sifat-sifatnya
dan makna-makna yang ada didalamnya, entah ia baik ataupun buruk. Baik
atau buruknya akhlak seseorang bisa dilihat dari apa yang biasa tampak dari
perbuatan kesehariannya, hal ini dikarenakan adanya keterkaitan yang sangat
erat diantara sisi lahir dan batin manusia. Jika secara lahirnya ia biasa
menunjukkan perkara-perkara baik, maka itu adalah dalil/petunjuk bahwa ia
memiliki akhlak yang baik pula, begitupun sebaliknya.6
Jadi, akhlak adalah sisi batin seseorang yang darinya terlahir amalan-amalan
lahiriyyah tanpa harus berpikir atau merencanakannya terlebih dahulu, dan
amalan lahiriyyah tersebut yang menjadi dalil akan keadaan akhlak seseorang,
apakah ia baik ataupun buruk.

3
Mujamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasith (tk: Maktabah al-Syuruq ad-
Dauliyyah, 2004), cet. IV, 252.
4
Sa’id bin ‘Ali al-Qahthani, al-Khuluq al-Hasan fi Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah (Riyadh:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2010), 5. 6Ibid., 5-6.

2
B. Ruang Lingkup Ilmu Akhlak
Diantara ruang lingkup ilmu akhlak adalah sebagai berikut.5
1. Menyelidiki terkait sejarah perkembangan akhlak dan berbagai teori yang
terkait dengannya, baik yang klasik maupun kontemporer.
2. Membahas tentang cara menilai sesuatu pekerjaan, apakah ia baik atau buruk.
3. Menyelidiki berbagai faktor penting yang berpengaruh terhadap pembentukan
atau lahirnya tingkah laku manusia.
4. Menerangkan mana akhlak yang baik dan yang buruk berdasarkan Alquran
dan sunnah.
5. Menjelaskan cara-cara yang diperlukan untuk meraih akhlak-akhlak yang
mulia.
6. Menancapkan arti dan tujuan manusia diciptakan, sehingga membangkitkan
semangat manusia untuk selalu beramal baik dan menjauhi segala bentuk
kemaksiatan.

C. Akhlak dalam Tinjauan Islam


Islam menaruh perhatian yang cukup besar terhadap akhlak, agar umat islam
memperhatikan dan menghias dirinya dengan akhlak-akhlak yang baik sesuai
tuntunan syariat, diantaranya Allah berfirman bahwasanya Rasulullah diutus
dengan akhlak yang agung.6 Imam ath-thabari menafsiri kata khuluq pada ayat
tersebut adalah adab Alquran yang Allah ajarkan kepadanya ‫ ﷺ‬dan ini
senada dengan yang disampaikan oleh siti Aisyah bahwa akhlak Rasulullah
adalah akhlak Alquran, yakni sesuai dengan yang diajarkan dalam Alquran.7
Selain itu terdapat sebuah hadis yang menerangkan bahwa tidaklah
Rasulullah diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak umat manusia.
Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh imam Malik dan direkam oleh
muridnya sebagai berikut,
8
. ‫ بعثت ألتمم حسن األخال ق‬:‫وحدثني عن مالك أنه بلغه أن رسول هللا ﷺ قال‬

5
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf (Surabaya: UIN SA Press, 2014), 9.
6
Alquran, 68: 4.
7
Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, Khuluq al-Muslim (Iskandariah: Dar al-Iman, 2004), 6.

3
Kata akhlak juga terkadang disandingkan dengan kesempurnaan iman dan
takwa seorang muslim dalam berbagai hadis, menunjukkan bahwa keduanya
saling terikat satu sama lain.
Dalam hadis misalnya, terdapat banyak sekali riwayat yang berbicara tentang
keutamaan akhlak yang baik, diantaranya adalah, 1). Bahwasanya orang yang
paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, 2).
Akhlak yang baik merupakan salah satu amalan yang paling berat timbangan
kebaikannya kelak diakhirat, 3). Akhlak yang baik jauh lebih baik daripada
dunia dan seisinya, 4). Membersamai sesama manusia dengan akhlak yang
baik merupakan salah satu wasiat Rasulullah untuk umatnya, 5). Akhlak yang
baik merupakan salah satu media dakwah yang paling ampuh dalam menarik
orang lain untuk belajar islam lebih lanjut, dan 6). Akhlak yang baik
merupakan salah satu amalan yang paling banyak memasukkan manusia
kedalam surga.9

D. Cabang dan Pembagian Akhlak


Jika dilihat secara garis besar, dari segi kepada siapa kita berakhlak bisa
dibagi kepada tiga bagian, yakni akhlak kepada Allah, akhlak kepada sesama
manusia dalam bergaul sehari-hari dan akhlak terhadap alam semesta secara
keseluruhan.
Akhlak kepada Allah atau akhlak saat ‘bermuamalah’ kepada Allah
merupakan mayoritas bahasan dalam ilmu tasawwuf, mencakup beberapa
bahasan penting seperti bagaimana harusnya seorang hamba senantiasa merasa
berada dalam pengawasan Allah yang akan menghasilkan rasa antara takut dan
harap kepadaNya, merendahkan diri dihadapan Allah, bersegera dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauh sejauh-jauhnya dari berbagai perkara
yang dimurkai Allah, adab saat beribadah, adab saat berdzikir, adab saat
berdoa, adab saat mendapatkan nikmat dan adab ketika tertimpa musibah.10

8
Malik bin Anas, al-Muwaththa bi Riwayah Yahya bin Yahya al-Laitsi, Ed.: Kulal Hasan ‘Ali
(Beirut: Muassasah al-Risalah Nasyirun, 2013), 692.
9
Al-Qahthani, al-Khuluq al-Hasan..., 7-14.
10
Pembahasan detailnya bisa dilihat dikitab Hidayah as-Salikin karya syaikh Abdussamad al-
Falimbani.

4
Adapun akhlak terhadap sesama manusia, maka ini sangat banyak sekali,
mencakup berbagai macam sifat-sifat baik yang tidak semuanya bisa
dipaparkan disini, seperti sikap sabar, ramah, berani, adil, jujur, ikhlas, wara’,
amanah, lembut, tawakkal, zuhud dan tawadhu’.11 Atau bisa juga dibagi
berdasarkan ruang lingkupnya seperti akhlak ketika perang, akhlak dalam
rumah tangga, akhlak dalam berbicara, akhlak dalam bermasyarakat dan
akhlak dalam berdakwah.12
Sedangkan akhlak terhadap alam semesta, secara umum sudah bisa kita
kenali secara alami, melalui akal dan naluri yang sehat. Seperti cinta
kebersihan, cinta tanaman dan hewan.

E. Antara Akhlak dan Etika


Akhlak terbagi menjadi dua, yakni akhlak terpuji -yang merupakan sifat
para Nabi dan orang-orang yang shalih- dan tercela -yang merupakan sifat
setan13. Untuk mengetahui apakah suatu akhlak itu terpuji atau tercela ialah
dengan melalui teks-teks syari’at sebagai mi’yar atau mizan-nya (standar).
Adapun etika atau etis menurut KBBI memiliki dua arti, 1. Berhubungan
(sesuai) dengan etika, 2. Sesuai dengan asas perilaku yang disepakati secara
umum.14 Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa sesuatu itu dapat
dikatakan etis atau tidak etis adalah tergantung pada kesepakatan yang ada
pada masyarakatnya, baik tertulis maupun tidak tertulis, dan karena ini juga
sesuatu yang dianggap etis oleh sebuah masyarakat bisa saja menjadi tidak etis
oleh masyarakat yang lain.
Lantas bagaimana jika suatu etika yang merupakan hasil kesepakatan umum
suatu masyarakat tidak mempunyai dasar yang spesifik dari sumber-sumber
islam?. Para ulama telah mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak
dijelaskan oleh nashnash syar’i (Alquran dan hadis) secara jelas, atau tanpa
ketentuan tertentu, dan tidak juga didapati penjelasannya melalui pendekatan

11
Al-Qahthani, al-Khuluq al-Hasan..., 16.
12
Mahmud Muhammad, Hadzihi Akhlaquna hina Nakunu Mu’minin Haqqan, cet. II (Saudi:
Dar
Thayyibah, 1997).
13
Mahjudin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, cet. III (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), 9.
14
https://kbbi.web.id/etis.html

5
bahasa, maka ia kembali kepada ‘urf atau adat kebiasaan setempat.15 Misalnya,
dalam Alquran Allah memerintahkan seorang anak agar taat dan hormat
kepada kepada kedua orang tuanya, hanya saja Alquran tidak menjelaskan
secara rinci tentang bagaimana caranya hormat kepada kedua orang tua itu,
maka yang menjadi tolak ukur hormat dan berbakti kepada kedua orang tua
pada keadaan ini adalah ‘urf atau adat setempat selama ia tidak menyelisihi
nash-nash yang sarih. Maka dalam hal ini, menunduk saat berjalan dihadapan
orang tua maupun mencium tangan mereka merupakan salah satu akhlak yang
baik jika ditinjau dari adat orang-orang Indonesia.
Ada sebuah kaidah yang disarikan oleh para ulama, yang juga
merupakan salah satu dari lima kaidah fikih yang pokok, yang terkait erat
dengan bahasan ini, yaitu
‫العادة محكم ة‬
‘Adat dapat menjadi sumber hukum’. Kaidah ini berlaku dengan dengan
syarat bahwa adat atau kebiasaan dalam masyarakat tersebut tidaklah
bertentangan dengan nash-nash syar’i, karena jika keduanya bertentangan
maka nash lebih kuat statusnya daripada urf.16 Beberapa daerah di Indonesia,
seperti pada sebagian sumatra dan kesultanan banjar misalnya, memiliki
prinsip “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”, yang artinya adat
berasaskan syariat dan syariat berasaskan kitabullah (Alquran), yang berarti
meletakkan syariat diatas urf jika terjadi pertentangan diantara keduanya.
Maka jika dalam suatu masyarakat terdapat kebiasaan seperti mabuk-
mabukan, maka ia tidak diperhitungkan sebagai sumber hukum karena telah
menyalahi nash-nash sharih (jelas) yang ada.

F. Definisi Tasawwuf
Kata sufi dan tasawuf menurut Ibn Taimiyyah, belum masyhur pada awal
abad ke-3 dan mulai masyhur digunakan sesudah abad tersebut. Diantara
ulama yang menggunakan istilah tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan
Abu Sulaiman ad-
15
Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i,
jilid I, cet. II
(Riyadh: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 1997), 162.
16
Ahmad Ibn Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, cet. II (Damaskus: Dar
al-Qalam, 1989), 219-220.

6
Daroni.17
Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal kata tasawuf itu sendiri,
diantara mereka ada yang mengatakan kata tasawwuf berasal dari kata s}aff,
karena mereka adalah orang yang berada pada shaf pertama (utama)
dihadapan Allah. Pendapat lain mengatakan asal katanya adalah s}afwah,
dengan maksud bahwa mereka yang bertasawwuf adalah orang-orang yang
paling utama dihadapan Allah diantara makhluk-makhluknya yang lain dan
masih banyak lagi pendapat lain, misalnya yang mengatakan kata tasawwuf
berasal dari kata s}ifah yang berarti orang yang menyucikan hatinya dari
berbagai hal yang bisa mengotori hati dan mengisinya dengan sifat-sifat
terpuji.18 Ringkasnya secara bahasa orang yang bertasawwuf bisa diartikan
sebagai orang yang senantiasa memperbaiki, menyucikan dan mendekatkan
dirinya kepada Allah dengan berbagai caranya.
Adapun secara istilah, tasawuf diartikan sebagai seorang muslim yang
berpegang teguh dengan Alquran dan sunnah, secara konseptual tasawuf
mencakup berbagai aspek seperti akidah, akhlak, jihad (bersungguh-sungguh),
dakwah, doa, dan dasar-dasar iman, islam maupun ihsan yang didalamnya
terdapat muraqabah, musyahadah tanpa keluar dari tuntunan Alquran dan
sunnah.21 Menurut definisi lain yang lebih spesifik, mengatakan bahwa
tasawuf khusus membahas tentang ‘fikih’ batin. Jika para fuqaha’
berijtihad/beristinbath mengeluarkan suatu hukum atas amalan praktis sehari-
hari manusia dari nas-nas syar’i dari sisi zhahirnya, maka para sufi berijtihad
dan mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan amalan-amalan hati atau
amalan batin seorang hamba.19
G. Urgensi Tasawwuf
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia pernah mendengan Rasulullah
bersabda sebagai berikut.

17
Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Jilid 11, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li
Thiba’ah al-
Mushhaf al-Syarif, 2004), 5.
18
Yusuf Muhammad, Mausu’ah al-Yusufiyyah fi Bayan Adillah ash-Shufiyyah (Damaskus:
Maktabah Dar al-Albab, 1999), 10-11. 21Ibid., 12-13.
19
‘Abd al-Bari an-Nadwi, Baina al-Tasawwuf wa al-Hayah (Damaskus: Maktabah Dar al-
Fath, 1963), 21.

7
‫ِة معلمْي ِه مرُج ٌل‬vv‫ى يم ْو مم اْلِقيم مام‬vv‫ل الََّّن اِس ي ْق مض‬vv‫ " إَّن أَّم َّوم‬:‫ول ِهللا يم ُق وُل‬vv‫رُس م‬vv‫مَِس ْع ُت م‬
‫اتم‬vv‫ قم‬:‫ قم مال‬،‫ فممما معِم ل مت ف ميها؟‬:‫ قم مال‬،‫ فمأِتم بِه فم معَّرفمُه نمعممُه فم معمرفم مها‬،‫اْستْش ِهمد‬
‫ال‬vv‫ق م‬vv‫اتم ل مت أِل مْن ي م‬vv‫ولمِكَّن َّم ك قم‬vv‫ م‬،‫ذب مت‬vv‫ مكم‬:‫ال‬vv‫ قم م‬، ‫لُت ف ميك محََّّت اْستْش ِهْدُت‬
‫ُُأ‬ ‫َُُّث ُُأ‬
20
.‫ إلخ‬... ‫ فم مقْد ق ميل ِم مر بِه فمُس ِح مب معلمى موْج ِهِه محََّّت لِق مي ِف الَّن َّ اِر‬، ‫مجريٌء‬
Terjemah bebasnya secara ringkas adalah bahwa kelak akan ada tiga orang
yang pertama kali diadili oleh Allah pada hari kiamat, yang uniknya mereka
adalah orangorang yang tampak secara zhahirnya sebagai orang yang sangat
baik, yakni orang yang mati syahid, dermawan dan qari’ sekaligus ‘alim.
Hanya saja dikarenakan amalan hati mereka semua bermasalah, yakni hanya
mengharap keuntungan-keuntungan duniawi dan tidak ikhlas hanya
mengharap kepada Allah, maka mereka bukannya akan dimasukkan kedalam
surga dengan segala amalan baik tersebut, mereka semua justru akan Allah
seret dan campakkan kedalam neraka-Nya.
Hadis ini menunjukkan akan pentingnya bagi seorang hamba untuk selalu
mengevaluasi niat atau motivasi yang mendasari suatu amalannya, yang juga
merupakan salah satu syarat diterimanya sebuah amalan. Maka untuk melatih
dan mensucikan hati agar bersih dari berbagai penyakit dan lurus mengharap
kepada Allah inilah pelajaran tasawuf disusun dan diajarkan oleh para ulama
dari generasi ke generasi. Oleh karena itu al-Ramli mengatakan bahwa
seorang yang bertasawuf itu disebut sufi, dikarenakan ketekunan dan
keseriusannya dalam membersihkan hatinya, yang dapat ditempuh dan
diperoleh melalui peningkatan intensitas ketaatan kepada Allah dan menjauhi
hawa nafsu, karena memperturutkan nafsu akan meniscayakan dosa dan
kerasnya hati.21
Jika didalam ilmu fikih orang yang paling alim dan tinggi pencapaiannya
di bidang fikih disebut mujtahid mutlak, maka tingkatan tertinggi dalam dunia
tasawwuf disebut wali Allah. Jika pintu nubuwah atau kenabian telah tertutup
bersamaan dengan diutusnya Rasulullah Muhammad sebagai rasul terakhir,
maka tingkat atau derajat wali akan tetap terbuka sampai hari kiamat dan bisa
dicapai oleh siapa saja yang mau berusaha dan dikehendaki oleh Allah.
Syaikhul Akbar dalam dunia tasawuf Ibn al‘Araby menjelaskan,
20
An-Nawawi, Al-Minhaj fi..., 1219-1220.
21
Syamsuddin Muhamad bin Ahmad al-Ramli al-Anshari, Ghayat al-Bayan Syarh Zubad Ibn
Ruslan (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 9-10.

8
‫دقة‬vv‫ة بالص‬vv‫ه الوالي‬vv‫ل ل‬vv‫ فمنهم من تحص‬,‫اص‬vv‫يلها اختص‬vv‫ل ِف تحص‬vv‫بة والتعم‬vv‫ة مكتس‬vv‫ا إن الوالي‬vv‫وقلن‬...
‫دب إليها‬vv‫ ومن الناس من تحصل له بمراقبة هللا والمبادرة ألوامره التي ن‬,‫والقرض الحسن وصلة الرحم‬
22
.‫إلى آخره‬...‫ال التي افترضها عليه‬
Terjemah bebasnya, kami (ibn al-‘Araby) berpendapat bahwa derajat
kewalian dapat diraih oleh setiap orang jika mereka melakukan usaha-usaha
untuk mencapainya dan orang yang dimampukan Allah bersungguh-sungguh
untuk mencapai derajat tersebut berarti ia sedang diistimewakan oleh Allah.
Maka diantara mereka ada yang mendapatkan derajat wali dengan
sedekahnya, dengan ‘pinjaman’ yang baik atau dengan menyambung
hubungan kekeluargaan. Ada yang mendapatkan derajat tersebut dengan selalu
mendekatkan diri kepada Allah dan menyegerakan segala perintahNya. Tentu
dengan menambah amalan-amalan yang sifatnya sunnah, bukan yang wajib.
Karena yang sifatnya yang wajib itu merupakan suatu tanggung jawab dan
harus dilakukan, sedangkan mengerjakan yang sunnah merupakan pertanda
kecintaan seorang hamba kepada Allah.

H. Tasawwuf dalam Dunia Islam


Tasawuf terkadang disebut dengan istilah lain seperti suluk dan tazkiyah al-
nafs (pensucian diri). Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang
mengandung makna tazkiyah, misalnya yang terdapat pada tiga ayat berikut, .
15-14:‫ سورة األعلى‬.‫ موذممكمر اْس مم مربِه فم مصلى‬, ‫قمْد أمْف لم مح ممْن تم مزَّك ى‬
“Sungguh telah beruntunglah orang-orang yang mensucikan dirinya, dan ia
mengingat Tuhannya lalu dia salat”.
. 10- 9 :‫ سورة الشمس‬.‫ موقمْد مخ ماب ممْن مدَّساما‬, ‫قمْد أمْف لم مح ممْن مزَّك اما‬
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya(jiwa), dan sungguh rugi
orang yang mengotorinya”.
Imam Ibnul Jauzi mengatakan makna tazkiyah pada dua ayat diatas
adalah membersihkan jiwanya dari berbagai dosa dan mengisinya dengan

22
Ibn al-Araby, Rahmah min al-Rahman fi Tafsir wa isyarat al-Quran min Kalam al-Syaikh
al-Akbar Muhyiddin ibn al-Araby, ed. Mahmud al-Ghurab , Juz II (tk: Mathba’ah Nadhr,
1989), 310-311.

9
berbagai ketaatan kepada Allah. Hal senada juga dikatakan oleh Imam Sufyan
bin ‘Uyainah dan Qatadah.23
‫ُُأْل‬
‫مو الِذ ي ب ممع مث ِف ا ِّم ي مين مرُس اوال ِم ْن ُهْم ي مْت لو معلْم يِهْم آيماتِه‬
‫موي مزِّك يِهْم موُي معلُم ُهُم اْلِكتم ماب مواْلِح ْك ممةم موإْن مكانوا ِم ْن قم ْبُل ُلمِفي‬
. 2 :‫ سورة الجمعة‬. ‫مضمالٍل ُم بيٍن‬
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Pada ayat diatas setidaknya mengisyaratkan tiga tugas pokok Rasulullah
kepada umatnya. Pertama, membacakan ayat-ayat Alquran yang akan
membimbing dan mengantarkan mereka pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua,
membersikan/menyucikan mereka dari berbagai bentuk kesyirikan, dosa dan
akhlakakhlak jahiliyyah, inilah poin yang sedang dibahas (poin tazkiyyah).
Ketiga, mengajarkan Alquran dan as-sunnah, syariat serta hukum-hukum yang
terkandung didalamnya dan menjelaskan hikmahnya.24 An-Nadwi
menambahkan bahwa makna tazkiyah pada ayat ini maksudnya adalah
mensucikan diri dan menghiasinya atau bertahalli dengan sifat-sifat yang
utama (seperti ikhlas, sabar, syukur dan tawadhu’) serta berpaling atau
bertakhalli dari sifat-sifat buruk (seperti riya, ujub, sombong dan berprasangka
buruk terhadap Allah) yang contohnya dapat kita saksikan pada kehidupan
para sahabat Rasulullah, keikhlasan dan akhlak mereka yang mulia. 25
Sedangkan dalam hadis Rasulullah setidaknya ada dua hadis yang bisa
dipaparkan pada bahasan ini,
Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Rasulullah
yang dikeluarkan oleh imam muslim26, hadis ini berisi tentang pentingnya

23
Ahmad bin ‘Abd al-Halim ibn Taimiyyah, Fashl fi Tazkiyyah an-Nafs (Kuwait: Maktabah
an-Nahj alWadih, 2018), 12.
24
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid XIV
(Damaskus:
Dar al-Fikr, 2009), 564.
25
An-Nadwi, Baina al-Tasawwuf..., 5.
26
An-Nawawi, Al-Minhaj fi..., 1538.

10
memperhatikan amalan hati/batin yang bunyinya sebagai berikut. .‫ِإَّن اللهم الم ي‬
‫ رواه مسلم‬. ‫مْنظُر إملى ُص مورُِكْم موأمْم مواِلُك ْم مولمِكْن ي مْنظُر إملى ُق ُلْو ِبُك ْم موأمْعممالُك ْم‬
“Sesungguhnya Allah tidak memandang pada rupa dan harta kalian, akan
tetapi Allah memandang pada hati dan amal-amal kalian.” Hadis ini
mengisyaratkan bahwa suatu amal hanya akan diterima oleh Allah jika
terpenuhi dua syarat, yang pertama adalah benarnya amalan batin seperti
ikhlas, merasa diawasi Allah dan sebagainya, sedangkan yang kedua adalah
amalan zahirnya juga benar sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan. Jika
salah satunya tidak terpenuhi, maka amalannya tertolak.
Kedua, hadis yang masyhur dengan sebutan hadis Jibril yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah dari Rasulullah dan dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari 27,
tepatnya saat
Rasulullah menjelaskan tentang ihsan dan mendefinisikannya sebagai berikut.
‫إْن‬vv‫أمْن تم ْع بمد اللهم مكأمن مك تم مراُه فم‬
‫ْمَل تمُك ْن تم مراُه فمإنُه ي ممرم اك‬
‘Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau
tidak sanggup melihatnya, maka ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu.’
Ihsan atau menyempurnakan ibadah adalah dengan ikhlas dan khusyu’
didalamnya, mengosongkan pikiran, menghadirkan hati, serta merasa
senantiasa diawasi oleh yang ia sembah, yakni Allah. Hal ini akan
menghadirkan ma’rifat dan khasyyah kepada Allah. Adapun imam Nawawi
mengatakan, maksud hadis ini adalah jika kalian tidak bisa melihat Rabb
kalian, maka teruslah perbaiki kualitas ibadah kalian, karena sesungguhnya ia
senantiasa mengawasimu.31
Ringkasnya, tasawuf dalam artian tazkiyyah al-nafs atau membersihkan sisi
batin manusia dan memperbagus ibadah kepada Allah adalah disyariatkan dan
sangat dianjurkan dalam nas-nas syar’i.
I. Kaitan antara Tasawwuf dan Syari’at
Sebaik-baiknya ‘sufi’ adalah Rasulullah ‫ ﷺ‬dan Rasulullah tidaklah
pernah meninggalkan syari’at, karena itu tidaklah mungkin derajat ‘wali’ atau
‘sufi’ bisa dicapai kecuali dengan melalui jalur syari’at begitupun juga dengan

27
Ibn Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Oman: Bait al-Afkar al-
Dauliyyah, 2000), 305-306. 31Ibid., 306.

11
para sahabat. Ini juga yang diisyaratkan dalam hadis Rasulullah yang berisi
keterangan bahwasanya sudah sepantasnya seorang hamba mendekatkan diri
kepada Allah dengan apa-apa yang telah diwajibkan kepadanya dan jika ingin
mendapatkan cinta Allah maka hendaklah ia senantiasa mengerjakan amalan-
amalan sunnah.28
Imam al-Alusi menjelaskan terkait hal ini saat menafsirkan Alquran surah
Yunus ayat 62-64, bahwasanya “barangsiapa yang keluar dari tuntunan syariat
yang terang, walaupun hanya sejengkal saja, sungguh ia telah jauh dari derajat
kewalian sekian masa lamanya, maka tidak semestinya kata ‘wali’ disematkan
kepadanya, walaupun ia sanggup dan telah mendatangkan beribu-ribu
keajaiban”.29
Hal senada juga disampaikan oleh ibn al-‘Araby dalam muqaddimah
‘fushush’nya, bahwa ia adalah seorang yang terikat dan mengikatkan diri
kepada syariat islam yang dibawa oleh nabi Muhammad ‫ ﷺ‬berikut
ungkapan beliau,
‫ه‬vv‫ وحشرنا ِف زمرت‬,‫"ومن هللا أرجوا أن أكون ممن أيد فتأيد وقيد بالشرع المحمج المطهر فتقيد وقيد‬
30
" .‫كما جعلما من أمته‬
Terjemahnya, “dan hanya kepada Allah-lah aku mengharap, semoga saja aku
termasuk golongan orang-orang yang ditolong dan tertolong dengan
pertolongan Allah, diikatkan dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad
‫ ﷺ‬sehingga aku terikat dan mengikatkan diri kepada syariatnya, dan aku
berharap kami dikumpulkan sebagai pengikut nabi Muhammad kelak di
akhirat.”.

Imam al-Syafi’i dalam salah satu syairnya bahkan mengatakan,

28
Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-fatawa, 159-160.
29
Syihabuddin Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Juz 11, (Beirut: Ihya at-Turats al-‘Arabi, tt),
179. Teks,
‫ فمن خرج عنها ق يد شبر بعد‬,‫ اتباع الشريعة الغر اء وسلوك المحجة البيضاء‬,‫‘وأحسن ما يعتمد عليه في معرفة الولي‬
.’‫عن الوالية بمراحل فال ينبغي أن يطلق عليه اسم الولي ولو أتى بألف ألف خارق‬
30
Ibn Araby, Fushush al-Hikam, ed. Abdurrazzaq al-Qasyani (Kairo: Dar Afaq, 2016), 48.

12
‫اك‬vv‫فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا* فإني وحق هللا إي‬
‫ كيف‬,‫ه ت اقى * و ذا جهول‬vv‫أنصح فذالك قاٍس َل يذق قلب‬
31
‫ذو الجهل يصلح ؟‬
Yang terjemah bebasnya adalah jika ada orang yang memisahkan antara fakih
dan tasawuf, maka itu adalah satu bentuk kejahilan. Karena tidak mungkin
seseorang bisa bertasawuf sedangkan ia tidak tahu apa-apa yang Allah
perintahkan maupun yang Allah larang kepadanya, pun juga seorang faqih jika
ia tidak bertasawuf, ia tidak akan mendapatkan manis atau ruh-nya ibadah.
Dari sini jelaslah dalam pandangan para ulama bahwa tidak ada pertentangan
antara bertasawuf dan menjalankan syariat, akan tetapi bahwa keduanya saling
berhubungan. Jika hakikat atau ma’rifat diibaratkan dengan mutiara didasar
laut, maka laut itu sendiri adalah syari’at, tidak akan mungkin seseorang akan
mendapatkan mutiara didasar laut, tanpa bercebur kedalam laut terlebih
dahulu.
J. Kaitan antara Tasawwuf dan Akhlak
Ada keterkaitan yang sangat erat antara akhlak dan tasawuf, bahkan al-Ghazali
mendefinisikan tasawuf sebagai akhlak itu sendiri.
‫لكون‬v‫ال ألنهم يس‬v‫ زاد عليك بالخلق زاد عليك بالتصوف فالعباد أجابت نفوسهم األعم‬32‫التصوف خلق ف ن‬
‫بنور اإلسالم‬
33
.‫والز اد أجابت نفوسهم إلى بعض األخالق لكونهم سلكوا بنور اإلمان‬
Terjemah bebasnya, tasawwuf itu adalah budi pekerti, maka siapapun
yang menambah akhlaknya maka ke-sufi-annya juga akan bertambah, jiwa
seorang hamba ahli ibadah merespon dan melaksanakan berbagai amal shalih
berdasarkan petunjuk(cahaya) islam (syariat), dan jiwa orang-orang zuhud
merespon dan berhias

dengan sebagian akhlak (karimah) dengan tuntunan(cahaya) keimanan


mereka. Dari pernyataan diatas tergambar jelas dalam pemikiran al-Ghazali

31
Abdurrahman al-Mushthawi, Diwan al-Imam al-Syafi’i, cet. III (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
2005), 4243.
32
Menurut penulis tulisan yang benar adalah "‫ "فمن‬atau “‫ ”من‬bukan “‫”فن‬.
33
Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum Siregar, Akhlak Taswwuf (Jakarta: Rajawali
Press, 2015),
6.

13
bahwa akhlak dan tasawuf itu saling terkait, bahkan tak bisa terpisahkan satu
dengan yang lain.
K. Tujuan Tasawwuf
Tujuan dari seluruh ajaran tasawwuf adalah menghiasi diri degan sifat-sifat
yang utama, berpaling dari sifat-sifat tercela, juga agar bisa berakhlak seperti
akhlaknya Rasulullah dan meneladani sifat-sifat batin beliau. 34 Sehingga
ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba pada akhirnya tidak hanya
berfungsi sebagai penggugur kewajiban dari Allah semata, tetapi akan
meninggalkan bekas-bekas kebaikan pada kesehariannya. Karena itulah
muncul ungkapan, “orang yang paham fikih akan tetapi tidak tau tasawwuf,
maka ibadahnya akan terasa kering”, yakni orang yang hanya menjalankan
syariat sekedar memuhi syarat dan rukunnya saja, tanpa menyadari bahwa ia
senantiasa berada dalam pengawasan Allah, sehingga ia tidak mendapatkan
rasa khusyu’ dan manisnya nikmat bisa beribadah.
Ringkasnya, tujuan bertasawuf adalah untuk memperoleh ‘hubungan khusus’
dengan Allah dan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) dalam
pandangan Allah.

BAB III
34
An-Nadwi, “Baina al-Tasawwuf wa...”, 6.

14
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak adalah sesuatu dari sisi batin manusia yang darinya berasal
perbuatan lahiriyyahnya secara spontan tanpa disengaja dan dipikirkan
terlebih dahulu. Adapun baik atau buruknya akhlak seseorang dapat diukur
dengan melihat amalan lahirnya, jika amalan lahirnya biasa menampakkan
nilai-nilai kebaikan, maka itu menjadi pertanda bahwa akhlaknya baik.
Begitupun sebaliknya. Akhlak ada yang terbentuk secara alami dan ada juga
yang bisa dibentuk dan diperbaiki dengan latihan dan pembiasaan. Kata
akhlak sering disepadankan dengan adab, budi maupun rasa. Pembahasan
mengenai akhlak memiliki cabang yang sangat banyak, hanya secara umum
dapat dibagi pada akhlak kepada Allah, manusia dan alam semesta. Seluruh
umat islam diwasiatkan oleh Rasulullah untuk menghiasi dirinya dengan
akhlak-akhlak yang baik.
Sufi atau orang yang bertasawuf adalah orang-orang yang hatinya
lurus/ikhlas menuju kepada Allah, maka ilmu tasawuf adalah ilmu yang
mempelajari tentang amalan-amalan batin, seperti senantiasa merasa dilihat
oleh Allah yang menghasilkan rasa khusyu’ dan takut. Tujuan atau buah dari
mempelajari tasawwuf adalah mampu menghiasi diri dengan sifat-sifat
keutamaan dan menjauhi segala sifat buruk, serta mampu menyempurnakan
ibadah, sehingga tidak hanya memenuhi syarat dan rukunnya secara fikih,
akan tetapi juga memberi kesan mendalam bagi seorang ahli ibadah.
Menghias diri dengan akhlak-akhlak yang baik dan mensucikan diri karena
Allah dalam pengertian diatas adalah disyariatkan, saling terikat, berbanding
lurus dan tidak bertentangan satu dengan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

15
Al-Araby, Ibn. 1989. Rahmah min al-Rahman fi Tafsir wa isyarat al-Quran min Kalam
al-Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibn al-Araby. Ed. Mahmud al-Ghurab. Juz II.
Tk: Mathba’ah Nadhr

___________. 2016. Fushush al-Hikam. Ed. Abdurrazzaq al-Qasyani. Kairo: Dar Afaq
Al-‘Asqallani, Ibn Hajar. 2000. Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari. Oman: Bait
al-Afkar al-Dauliyyah

Al-Zarqa, Ahmad Ibn Muhammad. 1989. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. cet. II.
(Damaskus: Dar al-Qalam

Al-Alusi, Syihabuddin as-Sayyid Mahmud. Tt. Ruh al-Ma’ani. Juz 11. Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-‘Arabi Anas, Malik ibn. 2013. al-Muwaththa bi Riwayah Yahya bin Yahya

al-Laitsi. Tahqiq: Kulal Hasan ‘Ali. Beirut: Muassasah al-Risalah Nasyirun Al-
Anshari, Syamsuddin Muhamad bin Ahmad al-Ramli. 1994. Ghayat al-Bayan Syarh
Zubad Ibn Ruslan. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah

Al-Hanbali, Ibn Rajab. 1999. Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Juz I. Beirut: Muassasah al-
Risalah
Mahjudin. 1999. Kuliah Akhlaq Tasawuf. cet. III. Jakarta: Kalam Mulia

Muhammad, Yusuf. 1999. Mausu’ah al-Yusufiyyah fi Bayan Adillah ash-Shufiyyah.


Damaskus: Maktabah Dar al-Albab

Mujamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. 2004. Mu’jam al-Wasith. Cet. IV. Tk: Maktabah
alSyuruq ad-Dauliyyah

Al-Mushthawi, Abdurrahman. 2005. Diwan al-Imam al-Syafi’i. cet. III. Beirut: Dar
alMa’rifah

An-Nadwi, ‘Abd al-Bari. 1963. Baina al-Tasawwuf wa al-Hayah. Damaskus:


Maktabah Dar al-Fath

Nasution, Ahmad Bangun & Rayani Hanum Siregar. 2015. Akhlak Taswwuf. (Jakarta:
Rajawali Press

An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. 2000. Al-Minhaj bi Syarh S{ah}i>h} Muslim ibn
Hajjaj.
Oman: Bait al-Afkar al-Dauliyyah

Al-Qahthani, Sa’id bin ‘Ali. 2010. Al-Khuluq al-Hasan fi Dhau’i al-Kitab wa


alSunnah. Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah
Al-Suyuthi, Abdurrahman. 1997. al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh
al-Syafi’i. jilid I. cet. II. Riyadh: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz

Taimiyyah, Ibn. 2004. Majmu’ al-Fatawa. Jilid 11. Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd
li Thiba’ah al-Mushhaf al-Syarif

____________. 2018. Fashl fi Tazkiyyah an-Nafs. Kuwait: Maktabah an-Nahj alWadih

16
Az-Zuhaili, Wahbah. 2009.Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-
Manhaj.
Jilid XIV. Damaskus: Dar al-Fikr

17

Anda mungkin juga menyukai