Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAIDAH KE 1 AL UMURU BI MAQASHIDIHA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Qowa’id Fiqhiyah Iqtishodiah
Dosen Pengampu:Lamlam Pahala,M.Ag

Disusun Oleh :

Alya Fatimah
Ipras
Neng ikeu
Sovi nur fauziah
Risman ismail
Yana yulio

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SILIWANGI GARUT


PRODI PERBANKAN SYARIAH
TAHUN AKADEMIK 2020-2021
Jl. Raya Tutugan No. 117 Leles Haruman Kabupaten Garut, Jawa Barat
44152
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam nimat,
rahmat hidayat nya . penulis ucapkan terimakasih kepada dosen serta teman teman sekalian
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini , baik bantuan berupa moril maupun
berupa materil, sehingga makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah di tentukan
Penulis menyadari, dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
serta banyak kekurangan, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian
kepada dosen beserta teman-teman sekalian, yang kadang kala hanya menuruti egoisme
pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk untuk
memperbaiki makalah di masa yang akan datang.
Harapan yang paling besar dari penyusun makalah ini ialah, mudah-mudahan apa
yang penulis susun ini dapat bermanfaat, baik untuk pribadi maupun orang lain, yang ingin
mengambil hikmah dari makalah kami yang berjudul “ Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah
Ushuliyah”.
Demikian penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terimakasih dan
semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Garut ,November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1


A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................1
C. Tujuan Masalah .......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................................2


A. Pengertian Al-Umuru Bi Maqashidiha. .................................................................2
B. Sumber Asal Dalil Kaedah Al-Umuru Bi Maqashidiha. ......................................3
C. Contoh-Contoh Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha. ...........................................7

BAB III PENUTUP .............................................................................................................9


A. Kesimpulan ..............................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Umuru bi maqasidiha merupakan salah satu daripada kaedah yang digunakan
oleh para Fukaha‟dalam Qawa‟id Fiqhiyyah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh
kita akan mengetahui dan menguasai kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam
waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial,
ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem
yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama,
yaitu al-Umurubi Maqasidiha. Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perintah dan menjauhi larangannya. Ataukah dia tidak niat karena Alah
tetapi agar disanjung orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Al-Umuru bi maqasidiha dalam qowaid fiqiyah?
2. Bagaiman Sumber Asal Dalil Kaedah Al-Umuru Bi Maqashidiha.?
3. Apa Saja Contoh-Contoh Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha.?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Apa pengertian Al-Umuru bi maqasidiha dalam qowaid fiqiyah.
2. Mengetahui Bagaiman Sumber Asal Dalil Kaedah Al-Umuru Bi Maqashidiha.
3. Mengetahui Apa Saja Contoh-Contoh Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Umuru Bi Maqashidiha


Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari
dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid. Secara etimologi lafadz al-umuru
merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan
perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai
perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan
dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hokum syara‟
sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.1
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad
mashdar mimi dari fi‟il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-
wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu
adalah ali‟timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan
menuju.
Makna Niat, Kata niat ‫ النيّﺔ‬dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk
mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa.
Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah). Dapat
diambil benang merah bahwa makna niat tidak keluar dari makna literar linguistiknya,
yaitu maksud atau kesengajaan. Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara
bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti
mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan
tindakan.
Dalam pengertian yang lebih khas, qa‟idah dapat juga bermakna ajaran, garis
panduan, formula, pola atau metode. Qa‟idah memiliki makna yang sama dengan
„asas‟ atau „prinsip‟ yang mendasari suatu bangunan, agama atau yang semisalnya (al-
Nadwi, 1991).

1
Abi Saskia, “Al-Umuru Bi Maqashidihah” (http://fikihilmiah.blogspot.com/2012/01/bab-ii-pembahasan-
al-umuru-bi.html, diakses pada 17 November 2020, 15:06)

2
Kaidah pertama menegaskan bahwa semua urusan sesuai dengan maksud
pelakunya kaidah itu berbunyi: ‫“( األمور ﺑمقـاصدها‬segala perkara tergantung kepada
niatnya”). Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada
Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia tidak niat
karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain. 2
Niat itu diperlukan karena Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah
dengan yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan
lain-lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari
atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori
kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk
mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan
maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi
Allah. Jika seseorang mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat maka
berarti ia mandi biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan
berwudhu. Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda
dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti
halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur‟an. Dan juga termasuk amalan yang tidak
membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat itu kita
bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun
dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu‟, mandi besar, shalat dan puasa.
B. Sumber Asal Dalil Kaedah
a. Dalil Al-Quran
QS. AL-Bayyina ayat 5

Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595],
2
Abu Damid Muhammad bin Muhammad al-Ghazal, ihya Ulumi ad-diin, (Jakarta:Hidayah, 1996)Jilid 4,5I2

3
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
Itulah agama yang lurus. (QS. AL-Bayyina ayat 5).

QS. Ali Imron ayat 145

‫ٱ‬
‫ٱ‬ ‫ۦ‬ ‫ٱ‬ ‫ۦ‬
‫ٱ‬

sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.
dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali
Imron ayat 145).

b. Dalil Hadist
1. HR.Anas Ibn Malik ra
‫العمل لمن نيﺔ ل‬
Artinya:
“Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat”(.)

2. HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits


‫انمااالعمالﺒالنياﺕ‬
Artinya:
“keabsahan amal-amal tergantung pada niat”.3

3
Ma‟shum Zainv Al-Hasim, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah, ( Jombang : Darul Hikmah,
2010), hal.26.

4
c. Cabang Kaidah Al Umuru Bimaqashidiha.
Dari qaidah tersebut terdapat beberapa qaidah lain dibawahnya antara lain
sebagai berikut:
. ‫العﺒرﺓ فى العقــود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمﺒاني‬
Artinya:
“pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata
dan ungkapannya”
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud si
pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap sebagai suatu akad
yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat diketahui.
Contoh: apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu
selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah,
tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad
jual beli dengan segala akibatnya.4
‫ﻜُلﱡ مَا ﻜَانَ لﻪُ ﺃصْلٌ فَﻼَ يَنْﺗَقِلُ عَنْ ﺃَصْلِﻪِ ﺒِمُﺠَرﱠدِ النﱢيَﺔ‬
Artinya:
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”
Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai
kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita
berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan
puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal
untuk dilaksanakan.
1. ِِ ‫الَ ﺜَوَاﺐَ ﺇِالﱠ ﺒِالنﱢيَﺔ‬
Artinya:
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan
yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah
maupun ibadah yang „ammah. Bahkan An-Nawawi mengatakan bahwa untuk
membedakan antara ibadah dengan adat, hanya dengan niat. Sesuatu perbuatan adat,

4
Firdaus., Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah., (Padang: IAIN PRESS, 2010), hal. 53-58.

5
tetapi kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia
berubah menjadi ibadah yang berpahala
Contoh : seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari
orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer, dalam
hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat untuk
membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan
pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin
mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang
diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang
akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak
berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.5

2. ‫اللفع عَلَى نِيَﺔِ الﻼَفِغ‬


ِ ُ‫مَقَاصِد‬
Artinya:
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu
dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud
dari perkataannya tersebut.
Contoh : kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan
sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan
yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik,
maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang
yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya
sekedar bercanda.

3. ِ‫واﺨْﺗَلَﻑَ اللِﺳَانُ وَالﻗَلْﺏُ فَالمُعْﺗَﺒَرُ مَا فِي الﻗَلْﺏ‬


Artinya:
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang dijadikan
pegangan adalah yang didalam hati”.

5
8uyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 234.

6
Contoh : dari kaidah di atas yaitu sebagai berikut, apabila di dalam hati kita
bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi pada saat diucapkan
kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita hanya ingin jalan-jalan saja.
Maka yang dijadikan pegangan itu adalah yang ada di dalam hati.

4. ‫ومايشترط فيﻪ التعرض فالﺨطأ فيﻪ مﺒطل‬


Artinya:
“Sesuatu yang (dalam niat) harus dipastikan, maka kesalahan dalam
pemastiannya akan membatalkan perbuatan.”
Contoh : orang menjalankan shalat duhur dengan niat shalat Ashar, puasa
arafah dengan niat puasa asyura, membayar kafarat pembunuhan dengan niat kafarat
Dhihar, kesemuanya tidak sah.

5. ‫ومايﺠﺐ التعرض لﻪ جملﺔ وال يشترط ﺗعيينﻪ ﺗفصيﻼاذاعينﻪ وﺃخطأ ضر‬


Artinya:
“Seseuatu yang (dalam niatnya) harus disebutkan secara garis besar, tidak
harus terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan nyatanya salah, maka
membahayakan perbuatan”
Contoh : Orang shalat berjamaah dengan niat makmum pada Umar, kemudian
ternyata yang menjadi makmum adalah Zaid, maka tidak sah makmumnya.
Orang shalat jenazah dengan niat menyembayangkan mayit laki-laki,
kemudian ternayata mayitnya perempuan, shalatnya tidak sah. Demikian pula kalau
dalam niatnya disebutkan jumlah mayit, dan ternyata jumlahnya tidak cocok, maka
shalatnya harus diulang.

C. Contoh Kaidah Al- Umuru Al-Umuru Bi Maqashidiha.


Contoh penerapannya:Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat
memakan atau menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli
dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan
menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah
uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya,

7
maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia
mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama
dengan ghashib (orang yang merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia
harus menggantinya secara mutlak.
Orang yang mempunyai niat untuk melakukan dosa besar seperti membunuh,
namun tidak sempat melakukannya maka niatnya itu dikira tetap berbuat.
Apabila dua muslim berkelahi dengan saling menghunus pandang, yang
terbunuh dan yang membunuh kedua-duanya masuk dalam neraka. Diriwaytkan, aku
bertanya: wahai Rasullulah! ini adalah balasan bagi orang yang membunuh( masuk
neraka adalah patut ), tetapi bagaimana dengan orang yang dibunuh? Rasullulah
menjawab karena ia juga berniat untuk membunuh lawannya.6

6
https//bocahhukum.blogspot.com.2018/06 diakses pada jam 23:00

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaedah al-Umur Bi Maqasidiha merupakan salah satu kaedah Fiqhiyyah yang
boleh digunakan oleh ahli fuqaha‟ pada hal-hal dalam menyelesaikan masalah ummat
yang tidak terdapat didalam nas al-Quran dan al-hadith, sama ada menggunakan
kedah ijtihad, qiyas dan sebagainya, ulamak pada hari ini juga perlu bijak
menggunakan fikiran mereka dalam mengeluarkan hukum, dimana hukum yang
dikeluarkan mestilah bersumberkan al-Quran, al-Hadith, Qiyas dan ijmak Ulamak
kerana setiap masalah yang berlaku berbeza mengikut peredaran zaman, dan agar
hukum yang dikeluarkan bersesuaian dan bertepatan dengan keadaan zaman tersebut.
Dapat disimpulkan juga disini, bahawa setiap sesuatu perbuatan Mukallaf itu
akan dikira berdasarkan niatnya, jika niatnya kearah kebaikkan maka dia akan
mendapat pahala, namun jika sebaliknya ia akan mendapat kemurkaan daripada Allah
swt. Niat juga merupakan salah satu alat pengukur bagi perbuatan seseorang mukallaf
sama ada dari segi ibadah,muamat,muanakahat mahupun jenayah. Sesuatu aidabat itu
akan sempurna jika sesuatu perbuatan itu disertakan dengan niat.

9
DAFTAR PUSTAKA
 AbiSaskia,“Al-UmuruBiMaqashidihah”(http://fikihilmiah.blogspot.com/2012/01/bab-
ii-pembahasan-al-umuru-bi.html, diakses pada 17 November 2020,
 Abu Damid Muhammad bin Muhammad al-Ghazal, ihya Ulumi ad-diin,
Jakarta:Hidayah, 1996, Jilid 4,5I2
 Ma‟shum Zainv Al-Hasim, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah, Jombang :
Darul Hikmah, 2010.
 Firdaus., Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah., Padang: IAIN PRESS,2010.
 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
 https//bocahhukum.blogspot.com.2018/06

10

Anda mungkin juga menyukai