“TASAWUF AKHLAKI”
Yusrin (230106070)
Hairunnisa (230106069)
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Pengertian Tasawuf Akhlaki.....................................................................2
B. Tokoh dan Ajaran-ajaran Tasawuf Akhlaki..............................................8
A. Kesimpulan................................................................................................11
B. Saran..........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk menjadi kholifah
atau pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari fitrahnya ini, Allah SWT
menganugrahkan dua potensi penting dalam diri manusia, yaitu akal dan
nafsu. Segala amal dan usaha di dalam hidup kita adalah dorongan dari fikiran
dan nafsu. Di dalam batin lah terletak pertimbangan di antara buruk dan baik,
cantik juga jelek. Apakah kebatinan itu? Apakah kerohanian itu?-inilah yang
senantiasa menjadi pertanyaan dan penyelidikan dari para ahli sejak dahulu
hingga sekarang, dan sampai nanti selama fikiran masih ada pada manusia.
Setelah mencari diri di dalam diri, di dalam menghadapi kesukaran tetapi
indah, timbul pulalah bermacam-macam soal lain. Dan soal yang paling
penting, dan ibunya segala soal itu ialah soal tentang Yang Ada (Yang Maha
Esa). Ahli-ahli yang mencari cara menuju Yang Maha Esa tersebut
menggunakan jalan perasaan. Berkat kesungguhan hatinya, para ahli
merenung di dalam alam rasa, dan puaslah mereka dengan rasa itu. Para ahli
inilah yang disebut ahli Tasawuf.
Hidup kerohanian, hidup kebatinan atau tasawuf, sudahlah lama umurnya
dan telah ada pada setiap bangsa. Kadang-kaang tasawuf menjadi tempat
pulang dari orang yang telah lelah berjalan. Tasawuf menjadi tempat lari dari
orang yang terdesak. Tetapi pun Tasawuf telah menjadi penguat pribadi bagi
orang yang lemah. Dan Tasawuf pun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi
orang yang telah kehilangan tempat tegak. Di dunia modern seperti saat ini,
pemuda yang digadang sebagai penerus bangsa, dan pemimpin bumi
selanjutnya, haruslah mengetahui hakikat dirinya sebagai manusia.
Sebagaimana disebutkan diatas mengenai urgensi ilmu Tasawuf, Ilmu ini
menjadi dasar yang penting mengingat sikap hidup remaja-remaja kita yang
kini sebahagian telah lalai dalam melakukan syariat Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian tasawuf akhlaki?
2. Siapa saja tokoh dan ajaran-ajaran tasawuf akhlaki?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Rifay Seregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sufisme, (Jakarta; PT Raja grapindo persada,
2002),hlm.96
2
Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat
memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai
sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan
manusia. Agar mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan
bermasyarakat atau bersosial, para pakar tasawuf membentuk spesifikasi
kajian tasawuf pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasrkan pada sabda Nabi
Muhammad SAW.:
أل
(رواه أ حمد والبيهقى. إَّن َم ا ُب ِع ْث ُت ُأِلَت ّم َم َم َك اِر َم ا ْخ اَل ِق
Artinya: “sesungguhnya aku telah diutus (dengan tujuan) untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dengan ilmu
akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia
dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf
akhlaki dapat terealisasi secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah
kepada Allah SWT. dibuktikan dalam kehidupan sosial.
Menurut referensi lain Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang
membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan
pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat,
guna mencapai kebahagiaan yang optimal.2
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat
mengantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa.
Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari Dzat Allah Yang
Suci. Segala sesuatu itu harus sempurna dan suci, sekalipun tingkat
kesempurnaan dan kesucian itu bervariasi menurut dekat atau jauhnya dari
sumber asli.
Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa, memerlukan
pendidikan dan pelatihan mental yang panjang. Oleh karena itu, pada tahap
pertama teori dan amalan tasawuf diformulasikan dalam bentuk pengaturan
sikap mental dan pendisiplinan peilaku. Dengan kata lain, untuk berada di
hadirat Allah dan sekaligus mencapai tingkat kebahagiaan yang optimum,
2
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Rajagrafindo,
2015), hlm. 20-21.
3
manusia harus lebih dulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-
ciri ketuhanan melalui penyucian jasmani dan rohani yang bermula dari
pembentukan pribadi yang bermoral paripurna.
Sejalan dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi berkeyakinan bahwa
kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spritual. Berangkat dari
falsafah hidup itu, sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangannya
terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan hidup
duniawi bukanlah tujuan, tetapi hanya jembatan. Oleh karena itu, dalam
rangka pendidikan mental, yang pertama dilakukan adalah menguasai
penyebab utamanya, yaitu hawa nafsu.
Menurut Al-Ghazali, tidak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin
mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan
akhlak. Kalau bukan karena adanya kompetisi dalam atribut-atribut kebesaran
duniawi, tentu tidak akan ada tindakan-tindakan manipulasi, seperti korupsi,
fitnah, riya’ sombong dan takabur.
Metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada
kehidupan duniawi. Ini berarti melepaskan kesenangan duniawi untuk
mencintai Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu.
Bagi sufi, keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta,
otoritas dan bentuk tubuh; melainkan dari akhak pribadi yang diterapkannya.3
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang
buruk diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Itulah
sebabnya pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohaniyan yang cukup berat.
Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu; menekan bahwa hawa nafsu sampai
ke titik terendah; dan apabila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali.
Pendekatan yang digunakan tasawuf akhlaki adalah pendekatan akhlak yang
terdiri dari:
1. Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat
lahir dan maksiat batin. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari
3
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 209.
4
akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan
timbulnya akhlak tercela lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan
duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuk dan berusaha melenyapkan dorongan
hawa nafsu.
Menurut kaum sufi kemaksiatan pada dasarnya dapat di bagi menjadi
dua yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat
tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir, seperti tangan, mulut, dan mata.
Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin
yaitu hati.
Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, oleh kaum sufi dipandang
penting karena sifat-sifat ini merupakan najis maknawi (najasah
ma’nawiyyah). Adanya najis-najis ini pada diri seseorang,
menyebabkannya tidak dapat dekat dengan tuhan. Hal ini sebagaimana
mepunyai najis dzat (najasah dzatiyyah), yang menyebabkan seseorang
tidak dapat beribadah kepada tuhan.
Sikap mental yang tidak sehat sebenarnya diakibatkan oleh keterikatan
pada kehidupan duniawi. Keterikatan itu, menurut pandangan para sufi,
memiliki bentuk yang bermacam-macam. Bentuk yang dapat dipandang
sangat berbahaya adalah sikap mental riya’. Menurut Al-Ghazali, sifat
ingin disanjung dan ingin di agungkan, menghalangi seseorang menerima
kebesaran orang lain, termasuk untuk menerima keagungan Allah. Hasrat
yang ingin disanjung itu sebenarnya tidak lepas dari adanya perasaan
paling unggul, rasa superioritas, dan merasa ingin menang sendiri.
Kesombongan dianggap sebagai dosa besar kepada Allah. Oleh karena itu,
Al-Ghazali menyatakan bahwa kesombongan sama dengan penyembahan
diri, bentuk lain dari politeisme.4
2. Tahalli
Tahalli ialah upaya menghiasi diri dengan akhalak terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak
tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
4
Mustafa Zahri, Kunci memahami ilmu tasawuf, (Surabaya; PT Bina ilmu, 1973),hlm.74-75
5
dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu
berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat “luar”
maupun yang bersifat “dalam”. Kewajiban yang bersifat “luar” adalah
kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji. Adapun
kewajiban yang bersifat “dalam”, contohnya yaitu iman, ketaatan dan
kecintaan kepada Tuhan. Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang
telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap
pembersihan diri dari segala sikap mental yang buruk dapat dilalui
(takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya yang disebut
tahalli. Sebab apabila suatu kebiasaan telah di lepaskan tetapi tidak ada
penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh
karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan, harus segera diisi dengan
kebiasaan baru yang baik.5
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang
tercela atau (takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji
(tahalli), segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan
niat yang ikhlas. Ia akan ikhlas kepada Allah, ikhlas mengabdi kepada
masyarakat, ikhlas berbuat baik dan ikhlas memberi bantuan kepada
sesama. Ikhlas artinya dalam melakukan perbuatan tidak mengharapkan
suatu balasan. Seluruh hidupnya diikhlaskan untuk mencari keridhaan
Allah semata. Manusia yang seperti inilah yang dapat mendekatkan diri
kepada Tuhan.
Berikut contoh sikap atau perilaku dalam upaya menghiasi diri dengan
akhlak terpuji:
a. Tobat, artinya memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan dan
dosa-dosa yang telah diperbuat dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
b. Wara’, artinya meninggalkan segala keragu-raguan antara yang halal
dan yang haram atau syubhat.
c. Zuhud, artinya pola hidup yang menghindari dan meninggalkan
keduniawian karena ibadah kepada Allah SWT. serta lebih mencintai
kehidupan akhirat.
5
Samsul Munir Amin, Ilmu tasawuf, (Jakarta; Amzah, 2012),hlm.215
6
d. Fakir, artinya tidak meminta lebih dari apa yang telah diberikan Allah
SWT. (selalu merasa cukup).
e. Sabar dimaksudkan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah
SWT., sabar dalam menahan hawa nafsu, dan sabar dalam menerima
cobaan-cobaan dari Allah SWT.
f. Tawakal, artinya bersandar atau memercayakan diri kepada Allah SWT.
dalam menghadapi setiap kepentingan.
g. Rida, artinya menerima segala apa yang telah ditakdirkan dan
ditentukan Allah SWT.6
3. Tajalli
Tajalli merupakan terbukanya dinding penghalang (tabir) yang
membatasi manusia dengan Allah SWT. sehingga tercapai sinar ilahi. Hal
ini dapat dilihat setelah seseorang mampu menguasai dirinya serta dapat
menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya maka hatinya akan menjadi
jernih serta memancarkan ketenangan dan ketentraman. Setiap calon sufi
perlu mengadakan latihan-latihan jiwa (riyadhah), berusaha membersihkan
dirinya dari sifat-sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat-sifat keji dan
melepaskan segala sangkut paut dengan dunia. Setelah itumengisi dirinya
dengan sifat-sifat terpuji, segaa tindakannya selalu dalam rangka ibadah,
memperbanyak dzikir, dan menghindarkan diri dari segala yang dapat
mengurangi kesucian diri baik lahir maupun batin. Seluruh hati semata-
mata diupayakan untuk memperoleh tajalli dan menerima pancaran nur
ilahi. Apabila tuhan telah menembus hati hambanya dengan nurnya maka
berlimpah ruahlah rahmat dan karunianya. Pada tingkat ini seorang hamba
akan memperoleh cahaya yang terang benerang, dadanya lapang dan
terangkatnya tabir rahasia dalam malakut. Pada saat itu, jelaslah segala
hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh kotoran jiwa.
Para sufi sependapat bahwa satu-satunya cara untuk mencapai tingkat
kesempurnaan, kesucian jiwa yaitu dengan mencintai Allah dan
memperdalam rasa cinta tersebut. Dengan kesuciaan jiwa, jalan untuk
mencapai tuhan akan terbuka. Tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan
6
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 115-116.
7
terlaksananya tujuan dan perbuatan yang dilkakukanpun tidak dianggap
sebagai perbuatan baik.7
8
e. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, hari kiamat yang akan menagih janjinya.
f. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal sholeh.
9
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I al-Ghazali. Secara
singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-
Ghazali karena dilahirka di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan,
Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk
mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ajaran tasawuf Al-Ghazali yaitu dalam tasawufnya memilih tasawuf
sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah nabi Muhammad SAW.
ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah. Dari paham
tasawufnya, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang
memengaruhi para filsuf islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan
Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham
ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat
dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak islam.9
BAB III
9
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 215.
10
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Ilmu Tasawuf diperlukan untuk pendalaman agama Islam.
Menomorsatukan urusan akhirat amat penting dan salah satu cara
melakukannya adalah dengan mempelajari tasawuf akhlaki. Di dalam materi
ini terkandung bagaimana jalan untuk menjadi sebenar-benar penghamba,
lebih dekat dengan Allah dengan cara membersihkan diri dari sifat tercela.
Semoga dengan pembahasan tasawuf akhlaki serta pemaparan makalah ini
dapat lebih meningkatkan ilmu dan iman para pembaca..
DAFTAR PUSTAKA
11
Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah.
Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Siregar. 2015. Akhlak tasawuf. Jakarta: PT
Rajagrafindo.
Solihin, M. dan Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Zahri, Mustafa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Rahman, Abd. 2020. Tasawuf akhlaki. Jakarta; CV kaffah learning center.
Siregar, Rifay. 2002. Tasawuf dari sufismeklasik ke Neo-sufisme. Jakarta; PT Raja
grapindo persada.
12