DOSEN PEMBIMBING :
H. IMAM WAHYUDI M.Pd.I
DISUSUN OLEH :
LILIS MUFARICHA
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kami semua, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas yang telah diberikan kepada kami berupa makalah dengan judul “Ruang
Lingkup Pengembangan Nilai-nilai Agama pada Anak Usia Dini.”.
Dalam penyusunan makalah ini kami yakin masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, kami mengharap kepada bapak dosen khususnya dan para pembaca umumnya
untuk memberikan saran dan kritik, Untuk itu kami menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Hanya kepada Allah SWT kami memohon semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................ 1
B. Rumusan Maslah............................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan......................................................... 2
D. Manfaat........................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ........................................................................... 9
B. Saran...................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Badudu Zein (1996), anak adalah keturunan pertama (setelah ibu dan bapak).
Anak-anak adalah manusia yang masih kecil yang belum dewasa dan memiliki berbagai
potensi laten untuk tumbuh dan berkembang.
Nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses
pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak
memperoleh pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan sebagai pengalaman
belajarnya., akan dimungkinkan menimbulkan ketidakpedulian yang cukup tinggi dalam
menghayati apa yang telah dipelajarinya.
Rasa keagamaan dan nilai-nilai keagamaan akan tumbuh dan berkembang pada diri
anak seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan psikis maupun fisik anak itu sendiri.
Demikian pun dengan pengetahuan keagamaan, anak usia dini perlu diperkenalkan
dengan keberadaan Tuhan dalam kehidupannya. Anak menjadi mengenal tuhan dari bahasa
yang diucapkan oleh orang dewasa yang ada disekelilingnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam makalah ini
meliputi :
C. Tujuan Penulisan
Untuk dijadikan pra-syarat tugas mata kuliah Metode pengembangan moral dan nilai
keagamaan sekaligus ingin mengetahui secara jelas tentang pengembangan nilai-nilai agama
bagi anak usia dini, sehingga bisa untuk menambah wawasan dan pemahaman lebih lanjut
tentang psikologi perkembangan anak.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut pandangan ajaran agama khususnya islam, setiap manusia yang lahir berada
dalam keadaan suci, dan faktor penentu kualitas keagamaan anak itu sendiri banyak
ditentukan oleh peran serta kedua orang tuanya. Landasan itu memberi makna bagi kita
bahwa ternyata faktor lingkungan keluarga adalah peringkat pertama yang akan memberi
warna dasar bagi nilai-nilai keagamaan anak. Dengan demikian peran serta orang tua tidak
boleh asal dan hanya sekedarnya saja pada saat memulai pengenalan pengetahuan dan
pengembangan nilai-nilai keagamaan anak. Agar anak memiliki kualitas pondasi agama yang
kokoh , maka orang tua harus berperan serta secara berkualitas.
Menurut Badudu Zein (1996), anak adalah keturunan pertama (setelah ibu dan bapak).
Anak-anak adalah manusia yang masih kecil yang belum dewasa dan memiliki berbagai
potensi laten untuk tumbuh dan berkembang.
Nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses
pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak
memperoleh pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan sebagai pengalaman
belajarnya., akan dimungkinkan menimbulkan ketidakpedulian yang cukup tinggi dalam
menghayati apa yang telah dipelajarinya.
Lain halnya dengan anak yang mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam
keluarganya, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat agamis, kawan
sebayanya taat beribadah, ditambah dengan pengalaman-pengalaman keagaamaan yang baik
disekolah maupun tempat-tempat ibadah maka dengan sendirinya anak itu akan memiliki
kecenderungan untuk hidup dengan kebiasaan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Rasa keagamaan dan nilai-nilai keagamaan akan tumbuh dan berkembang pada diri
anak seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan psikis maupun fisik anak itu sendiri.
Demikian pun dengan pengetahuan keagamaan, anak usia dini perlu diperkenalkan
dengan keberadaan Tuhan dalam kehidupannya. Anak menjadi mengenal tuhan dari bahasa
yang diucapkan oleh orang dewasa yang ada disekelilingnya.
Dalam ilmu pendidikan kondisi fisik anak sangat jauh berbeda dengan orang dewasa,
dalam banyak hal. Anak-anak sesuai dengan fisiknya yang kecil, dalam pandangan pikiran
dan kemampuannya pun memiliki keterbatasan dibandingkan dengan kemampuan orang
dewasa. Jadi, akan sangat tidak manusiawi apabila ada diantara kita yang mengukur
kemampuan anak dengan ukuran dan kriteria kemampuan orang dewasa dan memperlakukan
anak disamakan dengan orang dewasa.
a. Unreflective
Istilah unreflective menurut Jhon Eckol (1995) dapat dimaknai sebagai tidak
mendalam, tidak/kurang dapat memikirkan secara mendalam atau anak tidak dapat
merenungkannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan yang berkaitan
dengan hal yang abstrak, seperti pengetahuan/ajaran agama, tidak merupakan hal yang harus
diperdulikan dengan serius.
Secara nyata kita dapat menemukan bahwa hakikat pemahaman dan kemampuan anak
dalam mempelajari nilai-nilai agama yang sering menampilkan suatu hal yang tidak
serius (seperti layaknya orang dewasa), bercanda, main-main dan asal mengikuti apapun
yang diperintahkan kepadanya.
b. Egocentris
Sifat yang kedua ini memiliki makna bahwa pada diri anak sesuai dengan
perkembangan kejiwaannya lebih mementingkan kemauan dirinya sendiri dalam segala hal.
Tidak perduli dengan urusan orang lain dan lebih terfokus pada hal-hal yang
menggantungkan dirinya. Demikian pun dengan sifat anak pada saat mempelajari nilai-nilai
agama yang dipelajarinya.
c. Misunderstand
Ketika kita membicarakan berbagai hal yang bersifat abstrak, (seperti masalah-
masalah ajaran agama) kepada orang dewasa, kitatidak dapat menjamin bahwa apa yang kita
maksud akan mampu dipahami dengan 100% benar oleh orang dewasa.
Demikian pula, sangat mungkin hal itu (misunderstand) akan muncul dikalangan anak-
anak di usia prasekolah, ketika kita mengenal berbagai hal yang terkait dengan
pengembangan nilai-nilai agama. Dilandasi oleh belum semampunya komponen psikologis
dan fisiologis anak didik, tentu akan banyak hal yang dapat kita tangkap, seperti terjadinya
salah persepsi ketika mereka belajar memahami makna dari sebuah ajaran/pengetahuan
agama yang bersifat abstrak tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh sistem pendidikan neo humanis dalam masalah
spiritualitas dikatakan bahwa: bagi anak kecil, segala-galanya itu semua hidup, dan menjadi
sumber kekaguman (I. Ketut, 1999:84).
Anak usia dini sekitar 3 sampai 6 tahun, berada pada fase perkembangan kosa
yang sangat pesat. Seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth B. H. 1997:188): setiap
anak belajar berbicara, mereka berbicara hampir tidak putus-putusnya. Keterampilan
baru menimbulkan rasa penting bagi mereka.
1. Aplikatif
Sifat yang pertama ini memiliki makna bahwa yang harus anak dapatkan pada saat
mereka mengikuti proses pembinaan dan pengembangan nilai-nilai agama, adalah
pembelajaran terapan, materi yang berkaitan dengan kegiatan rutin anak sehari-hari, dan
materi yang memang sangat dibutuhkan/dapat dilakukan anak dalam kehidupannya.
2. Enjoyable
Topik kegiatan inti dari pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak salah satunya adalah memberi kesempatan kepada anak untuk bermain
dengan belajar tentang kehidupan religius (Early Childhood Education & Development
centre, 2003:14).
Berdasarkan pada pernyataan tersebut maka dapat kita pahami bahwa sifat-sifat
materi pembelajaran nilai-nilai agama yang harus disiapkan oleh guru dan orang tua adalah
harus bersifat menyenangkan bagi anak, membuat anak bahagia, dan menjadikan anak
mencintai/menyukai aktivitasnya.
Jadi dapat dikatakan bahwa pemilihan materi yang selektif adalah sesuatu hal yang
esensial keberadaannya. Sebab bisa jadi anak tidak akan menyukai kegiatan pengembangan
nilai-nilai agama hanya karena guru dan orang tua yang kurang mampu menentukan materi
yang cocok dengan kebutuhan anak. Hindari pemberian materi yang sifatnya menjenuhkan
dan membosankan anak, sehingga anak akan kurang berminat untuk mengikutinya.
Kualitas dan kuantitas materi pembelajaran nilai-nilai agama, juga harus menjadi
salah satu pertimbangan para guru dan orang tua, agar materi yang disajikan dapat
dilakukan/dipraktekkan sesuai dengan kemampuan anak.
Ruang lingkup tentang hal tersebut dapat diberikan, seperti praktek kepribadian yang
ringan (sikap berdoa, sikap bersalaman, praktek wudhu, gerakan shalat.)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, Nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui proses
pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya sejak kecil. Seorang anak yang tidak
memperoleh pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan sebagai pengalaman
belajarnya., akan dimungkinkan menimbulkan ketidakpedulian yang cukup tinggi dalam
menghayati apa yang telah dipelajarinya.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
http://blog.tp.ac.id/ruang-lingkup-pengembangan-nilai-nilai-agama-bagi-anak-taman-kanak-
kanak
http://lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/fullchapter/05110130.pdf
http://rivafauziah.files.wordpress.com/2009/08/pengambangan-taman-kanak-kanak-
cianjur1.pdf