Disusun Oleh :
Ahmad. Maulal Karomah
(22.12.07.24.0729)
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3
A. Kesimpulan ......................................................................................15
B. Saran ................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................16
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harun Nasution menurut pengertian agama berdasarkan asal kata yaitu: al-
Din, religi (relegere, religare), dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang
atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin)
atau relegere berarti mengumpukan dan membaca. Kemudian religare berarti
mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a=tidak; gam=pergi. mengarti arti tidak
pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-menurun. (Harun Nasution, 1974: 10)
Setiap manusia akan berbeda dalam pengertian agama, namun akan tetap
sama dalam permaknaannya (tafsir). Dalam hal peribadatan agama akan
menunjukkan jalan kelurusan bagi manusia untuk sentiasa mengabdikan dirinya
kepada Tuhannya.2
1
Jalaluddin. 2005. PSIKOLOGI AGAMA. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hal. 7
2
QS. Adz-Dzariyat(51): 56
1
Sehingga akan dapat dipahami seberapa jauh pemahaman agama pada
anak dan proses penerimaan agama pada anak dan menjadi bentuk kepribadian
agama pada si anak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengalaman keagamaan pada anak?
2. Bagaimana sifat agama pada anak?
3. Bagaimana teori pertumbuhan agama pada anak?
4. Bagaimana kesadaran beragama pada anak?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengalaman keagamaan pada anak
2. Untuk mengetahui sifat agama pada anak
3. Untuk mengetahui pertumbuhan agama pada anak
4. Untuk mengetahui kesadaran beragama pada anak
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Semisal: “Di dapur rumah bibi Andi, Andi melihat kue donat. Andi
pun tidak memakannya, dengan alasan “itu bukan milik saya. Milik bibi
saya.” Sedangkan Andi anak sholeh dan rajin shalat.”
Perkembangan kebaikan yang menjadi salah satu ciri khas agama sang
anak menjadikan anak lebih berkembang dan maju baik dalam segi jasmani
maupun psikis.
Sesuai dengan ciri khas yang mereka (anak-anak) pada umumnya miliki,
maka sikap agama pada anak-anak mengikuti pola ideas concept on outhority.
“Konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari
luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia
muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri
mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang dikerjakan dan
diajarkan orang dewasa dan orangtua mereka tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orangtua mempunyai pengaruh
terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki.”
Dengan demikian, sikap keagamaan pada anak berdasarkan atas kebiasaan
anak terhadap tingkah laku sebagai media pendidikan baik dari orang tua, guru
maupun lingkungan.
3
Ibid,. Hal. 70-74
4
terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah
merasa puas denganketerangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk
menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
b. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak,
maka akan tumbuh keraguan pada egonya. Semakin bertumbuh semakin
meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan keagamaannya anak akan
5
semakin egois dalam pemahaman agamanya. Dalam diri anak akan menuntut
pemahaman yang lebih dari pemahaman sewaktu ia kecil. Dalam hal ini, anak
yang kurang kasih sayang dan mendapati tekanan, anak berego rendah dan
akan mengganggu pertumbuhan keagamaannya.
c. Anthromorphis
Pada umumnya, konsep ketuhanan pada anak lebih kepada pemikiran yang
lebih spesifik. Anak akan berpikir bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan
manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat
di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap. Surga terletak di langit dan
untuk tempatorang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat
segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya
orang mengintai. Pada anak berusia 6 tahun, menurut penelitian Praff ,
pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut :
6
“Kenapa Tuhan setiap agama berbeda-beda?”
“Apakah Tuhan tidur? Apa juga makan? Apa Tuhan punya anak
dan berapa
anaknya? Apa Tuhan bisa mati?”
Dari kenyataan yang kita alami ternyata, kehidupan beragama pada anak
mula-mulanya tumbuh secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu,
kedua hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada
anak masa selanjutnya, tetapi penyelidikan hal itu berpengaruh pada keagamaan
anak di masa dewasa. Bukti menunjukkan bahwa banyak para orang dewasa taat
dan patuh kepada ajaran agamanya berdasarkan pengalaman mereka di masa
anak-anak yang diajarkan nilai-nilai keagamaan. Sebaliknya, belajar agama di usia
dewasa mengalami kesukaran. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara
keagamaan yang bersifat ritualis (praktik) merupakan hal yang berarti dan
merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama anak-anak.
7
e. Imitatif
f. Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan sifat dan tanda terakhir pada anak.
Berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini
belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan
lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan
anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa
kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa
takjub.
Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep ke-Tuhanan lebih banyak oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
4
Jalaluddin. 2005. PSIKOLOGI AGAMA. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hal. 66-67
8
perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih
menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang
masuk akal..
Tingkat ini dimulai sejak anak mulai masuk Sekolah Dasar hingga ke
(masa usia) adolesense.Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul
melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa
lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional,
hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal
itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan
yang mereka lihat dikelola oleh orag dewasa dalam lingkungan mereka. Segala
bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh nikmat.
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi
sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang
individualistis ini terbagi atas tiga golongan yaitu :
9
Sadar; dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah “insaf; merasa;
tahu dan mengerti”. Setiap kesadaran yang jatuh pada seseorang akan membawa
kebutuhan jiwa dan fisik. Dapat kita pahami, “sewaktu kita lapar, maka kita
membutuhkan makanan dan minuman. Sewaktu kita capek atau letih, maka yang
kita butuhkan ialah istirahat. Saat badan terasa pegal atau demam, maka upaya
yang kita lakukan ialah urut badan atau minum minuman herbal atau berobat ke
dokter, dan sebagainya.” Kesadaran ini sangat umum kita temukan, terlebih
kepada anak-anak kita. Tapi, tidak banyak kita temukan yaitu kesadaran anak
dalam hal kejiwaannya.
“Pada waktu lahir, anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi untuk
berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran
beragama, tetapi telah memiliki potensial kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan
ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat
dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orangtuanya.
Keadaan jiwa orangtua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak
sejak janin di dalam kandungan. Selaras dengan perkembangan kepribadian,
kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau
berlanjut dan tidak pernah terputus-putus.5
Hal ini bisa kita amati dalam sikap keseharian anak-anak dalam
membentuk jiwa keagamaannya atau nilai spiritualitasnya. Sadar atau tidak sadar,
anak-anak akan cenderung mencontoh kepada apa yang ia anggap itu
menyenangkan daripada berpikir secara logis atau rasional dan kritis. Anak-anak
cenderung pada sifat kemudahan. Sedangkan kemudahan bisa diartikan sebagai
“pengabaian” dalam konteks anak. Inilah yang menjadi alasan kuat kecendrungan
kejiwaan anak tergantung pada orangtuanya.
5
Abdul Aziz Ahyadi. 1995. PSIKOLOGI AGAMA: KEPRIBADIAN MUSLIM
PANCASILA. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo. Hal. 40
10
Dalam pembahasan ini dapat kita hubungkan pada sabda Rasulullah SAW. :
كل مولود يولد علي الفطرة فأبواه يهو دانه أو ينصرانه أو يمجسانه
Sehingga, orangtua yang lingkungannya gelap akan gelap pada anak, maka
terang adalah kebaikan bagi anak. Namun, seiring waktu berjalan, maka kesadaran
anak akan muncul bersamaan dengan pola pikir yang berubah dari waktu ke
waktu. Dulu yang terbiasa makan disuapi ibu, maka anak akan mencoba makan
dengan sendiri, dulu membaca buku sebelum tidur, maka sekarang anak mencoba
belajar untuk membaca dengan sendiri tanpa memerlukan bantuan ibu. Pola pikir
ini akan mengubah anak juga kepada perilaku yang lebih dari sebelumnya. Pola
pikir ini ialah kesadaran dalam pengertian pengaruh lingkungan sebagai sumber
kedua dari kesadaran jiwa anak(hati) sebagai sumber utama.
11
beragama kepada si anak yang berhubungan dengan pengalaman ke-Tuhanan
hendaknya menekankan pada pemuasan kebutuhan afektif. Usahakanlah agar si
anak dapat menghayati dan merasakan bahwa Tuhan itu adalah pemberi kue,
mainan, dan berbagai kenikmatan lainnya. Tuhan adalah Maha Pengasih,
Penyayang, Pelindung, Pemberi Rasa aman dan tentram serta pemuas kebutuhan
alam perasaan lainnya, Untuk itu orangtua harus bersikap pengasih, penyayang,
pelindung, dan pemuas kebutuhan emosional lainnya.
Ia menginginkan kekuatan dan keistimewaan itu tanpa usaha yang ulet dan
tabah. Ajaran orangtua dan gurunya tentang keimanan belum betul-betul dihayati
dan belum merupakan bagian pusat pemikirannya. Penerimaan akan adanya
Tuhan dapat menenangkan jiwanya dan menimbulkan kesiapan untuk menghadapi
tantangan dari lingkungan.
12
menuju tanggapan kepada Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara. Hubungan
dengan Tuhan sedikit demi sedikit mulai disertai pemikiran dan logika. Tuhan
bukan hanya pencipta dirinya, tetapi Tuhan adalah pencipta alam semesta yang
melimpahkan rahmat-Nya bagi seluruh makhluk. Rahmat Tuhan yang diberikan
kepadanya hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari kasih sayang Tuhan yang
terbatas. Dengan kepercayaan adanya rahmat Tuhan, si anak mampu mengadakan
hubungan yang harmonis dengan dunia luar.Ia benar-benar beriman bahwa Tuhan
yang menciptakan alam mulai menarik perhatiannya.
Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada
dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama
perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial dan
13
mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku
yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.
Kegiatan ibadah seperti : shalat, puasa, dan berdoa yang pada mulanya
hanya mneiru tingkah laku orangtua atau karena diperintahkan kepadanya, lambat
laun semakin dihayati dan dilaksanakan dengan kesungguhan . Ia betul-betul
mencari keridhaan Allah dan memohon pertolongan-Nya dalam menghadapi
berbagai kesukaran yang timbul dari dalam dirinya sendiri atau dari lingkungan.
Peningkatan rasa ke-Tuhanan dalam hubungan emosional yang diperkuat dengan
ikatan moral akan dapat menumbuhkan penilaian, bahwa kebaikan tertinggi
adalah mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Sedangkankejahatan terbesar adalah durhaka kepada Allah dan mendustai agama.
Akhirnya si anak berusaha menyesuaikan dirinya dengan ajaran dan kehendak
Tuhan.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Psikologi umum secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan
manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan
kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri hampir
sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab.
Psikologi agama adalah Ilmu yang mempelajari kehidupan beragama
seseorang dalam ruang lingkup kesehariannya pada tingkahlaku dan sikapnya
dalam merealisasikan ilmu keagamaannya.
Kehidupan keagamaan anak pada penggambaran Tuhan lebih bersifat
afektif dan konkret disebabkan keinginan yang menjadi faktor utama dibalik
kebutuhan secara sadar.
Dalam proses pendekatan-penanaman nilai keagamaan pada anak dalam
kehidupan kesehariannya dapat dilalui melalui penyontohan dan sikap prinsip
pribadi nilai agama yang menjadi nilai terapan orang tua maupun lingkungan
sekitarnya.
B. Saran
Setiap manusia dekat pada kesalahan yang bersifat khilaf. Maka, penulis
mengharapkan sapaan dan teguran kepada Bapak dosen dalam menilai karya
ilmiah yang telah dibuat. Guna perbaikan karya tulis yang lebih baik dan
bermanfaat kedepannya.
15
DAFTAR PUSTAKA
16