Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

JIWA KEAGAMAAN ANAK INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah


BAHASA INDONESIA
Dosen pengampun : Bahruddin Zaini, M.Pd

Disusun Oleh :
Ahmad. Maulal Karomah
(22.12.07.24.0729)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYA’RIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ZAINUL HASAN GENGGONG
KRAKSAAN PROBOLINGGO
2022-2023

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1


B. Rumusan Masalah ..............................................................................2
C. Tujuan Masalah .................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3

A. Pengalaman Keagamaan Pada Anak..................................................3


B. Sifat Agama Pada Anak......................................................................3
C. Teori Pertumbuhan Pada Anak...........................................................8
D. Kesadaran Beragama Pada Anak .......................................................9

BAB III PENUTUP......................................................................................15

A. Kesimpulan ......................................................................................15
B. Saran ................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................16

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang


berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi).
Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri hampir sama pada diri manusia
dewasa, normal dan beradab.1

Harun Nasution menurut pengertian agama berdasarkan asal kata yaitu: al-
Din, religi (relegere, religare), dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang
atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin)
atau relegere berarti mengumpukan dan membaca. Kemudian religare berarti
mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a=tidak; gam=pergi. mengarti arti tidak
pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-menurun. (Harun Nasution, 1974: 10)

Dapat disimpulkan Psikologi agama adalah Ilmu yang mempelajari


kehidupan beragama seseorang dalam ruang lingkup kesehariannya pada
tingkahlaku dan sikapnya dalam merealisasikan ilmu keagamaannya.

Setiap manusia akan berbeda dalam pengertian agama, namun akan tetap
sama dalam permaknaannya (tafsir). Dalam hal peribadatan agama akan
menunjukkan jalan kelurusan bagi manusia untuk sentiasa mengabdikan dirinya
kepada Tuhannya.2

Berbeda dengan anak-anak. Masa perkembangan anak-anak menunjukkan


alur kehidupan dalam membuka cakrawala ilmu agama yang menjadi logo tebal
bagi si anak di kehidupan masa depan. Dalam pembahasan ini, penulis akan
membahas dalam uraian per bab mengenai perkembangan agama pada anak yang
disertai contoh dan faktor perkembangannya.

1
Jalaluddin. 2005. PSIKOLOGI AGAMA. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hal. 7
2
QS. Adz-Dzariyat(51): 56

1
Sehingga akan dapat dipahami seberapa jauh pemahaman agama pada
anak dan proses penerimaan agama pada anak dan menjadi bentuk kepribadian
agama pada si anak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengalaman keagamaan pada anak?
2. Bagaimana sifat agama pada anak?
3. Bagaimana teori pertumbuhan agama pada anak?
4. Bagaimana kesadaran beragama pada anak?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengalaman keagamaan pada anak
2. Untuk mengetahui sifat agama pada anak
3. Untuk mengetahui pertumbuhan agama pada anak
4. Untuk mengetahui kesadaran beragama pada anak

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengalaman Ke-Tuhanan Pada Anak

Cerita ke-Tuhanan saat seseorang masih kecil sangat beragam.


Keberagaman atas banyaknya keinginan yang diinginkan anak-anak saat meminta
kepada Tuhannya. Permintaan ini atas dasar keinginan anak bukan pada
kebutuhan. Dalam hal ini, semisal, ia menginginkan permen, bola kaki, bisa
sekolah. Maka sangat sedikit ditemukan seorang anak yang memohon kepada
Tuhannya untuk bertemu dengan-Nya, menjadi kekasih-Nya, disejukkan hatinya
walaupun dalam lingkungan kita pernah terdengar akan hal yang sama, namun
perlu diperhatikan dengan seksama. Karena anak-anak tidak mengetahui
bagaimana nilai Tuhan tersebut. Anak-anak mengetahui nilai Tuhan hanya dari
segi pemuasan yang ia rasa butuh pada suatu keinginan kepada Tuhannya. Saat
anak bermohon, maka akan cenderung pada emosional dan afektif. Rasa
emosional ini terbentuk pada anak atas jalinan antara anak dengan orangtua.
Jalinan yang terbentuk sebab kasih sayang dan bahagia mengarah pada proses
identifikasi yaitu proses anak melihat dan menghayati setiap tingkah laku pada
orangtuanya yang hampir secara keseluruhan tanpa disadari. Orangtua akan
menjadi idola bagi si anak. Sehingga dalam praktek beribadah pun menjadi
motivasi bagi si anak.

B. Sifat Agama Pada Anak

Pada umumnya anak-anak akan lebih menyukai suatu hal yang


memotivasi, dalam arti sesuai dengan keinginannya. Namun dalam kaitan
keinginan ini muncul dua kategori :

1. Berdasarkan ingin saja yang berlandaskan hawa nafsu;


2. Berdasarkan keinginan yang berada dalam pola aturan tetap anak.

Pertanyaannya ialah apakah anak-anak tidak seperti remaja atau dewasa


yang bisa memahami apa yang diinginkan?.

3
Semisal: “Di dapur rumah bibi Andi, Andi melihat kue donat. Andi
pun tidak memakannya, dengan alasan “itu bukan milik saya. Milik bibi
saya.” Sedangkan Andi anak sholeh dan rajin shalat.”

Telaah secara tidak langsung mengartikan Andi memahami bahwa tidak


sopannya mengambil makanan tanpa seizin bibinya walaupun setiap dari dapur,
apalagi Andi yang masih anak-anak. Mengenai hal itu bisa diwajarkan.

Kesadaran tersebut akar dari dalam diri.”Sifat”. Hakekat sifat berdasarkan


KBBI ialah “tabiat (nomina)” atau dikenal dasar watak (dibawa sejak lahir).

Perkembangan kebaikan yang menjadi salah satu ciri khas agama sang
anak menjadikan anak lebih berkembang dan maju baik dalam segi jasmani
maupun psikis.

Sesuai dengan ciri khas yang mereka (anak-anak) pada umumnya miliki,
maka sikap agama pada anak-anak mengikuti pola ideas concept on outhority.
“Konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari
luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia
muda telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri
mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang dikerjakan dan
diajarkan orang dewasa dan orangtua mereka tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kemaslahatan agama. Orangtua mempunyai pengaruh
terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki.”
Dengan demikian, sikap keagamaan pada anak berdasarkan atas kebiasaan
anak terhadap tingkah laku sebagai media pendidikan baik dari orang tua, guru
maupun lingkungan.

Bentuk dan sifat agama pada diri anak dibagi atas3 :

a. Unreflective (Tidak Mendalam)

Dalam Penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri


anak, 73 % mereka menganggap Tuhan ini bersifat manusia. Dalam suatu sekolah
bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya
untuk membuat bantal. Dengan demikian, anggapan mereka terhadap ajaran
agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka

3
Ibid,. Hal. 70-74

4
terima tidak begitu mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah
merasa puas denganketerangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
Meskipun demikian, pada beberapa anak memiliki ketajaman pikiran untuk
menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.

Penelitian Praff mengemukakan dua contoh tentang hal itu :

1. Suatu peristiwa, seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa


Tuhan selalu mengabulkan permintaan hamba-Nya. Kebetulan, seorang anak
lalu di depan sebuah toko mainan. Sang anak tertarik pada sebuah topi
berbentuk kerucut. Sekembalinya ke rumah, ia langsung berdoa kepada Tuhan
untuk apa yang dinginkannya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka
ia ditegur. Ibunya berkata dalam berdo’a tidak boleh memaksakan Tuhan
untuk mengabulkan barang yang yang diinginkannya itu. Mendengar hal
tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan, “mengapa”.
2. Seorang anak perempuan diberitahukan tentang do’a yang dapat
menggerakkan sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka suatu
kesempatan anak itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan
gunung-gunung yang ada di daerah Washington ke laut. Karena keinginannya
tidak terwujud, maka semenjak itu ia tidak mau berdoa lagi.

Dua contoh di atas menunjukkan anak itu sudah menunjukkan pemikiran


yang kritis, walaupun bersifat sederhana. Menurut penelitian, pikiran kritis
baru timbul pada umur 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral. Di usia
tersebut, bahkan anak kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang
korektif. Di sini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran
agama pada aspek-aspek yang bersifat konkret.

b. Egosentris

Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak,
maka akan tumbuh keraguan pada egonya. Semakin bertumbuh semakin
meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan keagamaannya anak akan

5
semakin egois dalam pemahaman agamanya. Dalam diri anak akan menuntut
pemahaman yang lebih dari pemahaman sewaktu ia kecil. Dalam hal ini, anak
yang kurang kasih sayang dan mendapati tekanan, anak berego rendah dan
akan mengganggu pertumbuhan keagamaannya.

c. Anthromorphis

Pada umumnya, konsep ketuhanan pada anak lebih kepada pemikiran yang
lebih spesifik. Anak akan berpikir bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan
manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat
di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap. Surga terletak di langit dan
untuk tempatorang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat
segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya
orang mengintai. Pada anak berusia 6 tahun, menurut penelitian Praff ,
pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut :

“Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar


dan besar. Tuhan tidak makan dan hanya minum embun.”

Subandi (2013) melaksanakan sebuah survey terhadap mahasiswa


Fakultas Psikologi UGM tentang pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan
agama yang pernah muncul pada masa kekanak-kanakan mereka dulu. Seperti
pada anak-anak yang beragama Kristen, anak-anak yang beragama Islam juga
banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar agama, seperti terungkap
di bawah ini :

“Mengapa ada Tuhan ?”

“Bagaimana bentuk Tuhan? Apakah bentuknya seperti awan-


awan pada Power
Ranger?”

“Tuhan itu tinggal dimana?”

“Apakah Tuhan itu laki-laki atau perempuan?”

“Sebesar apakah Allah? Apa melebihi Ultraman?”

6
“Kenapa Tuhan setiap agama berbeda-beda?”

“Mengapa harus shalat? Kenapa harus puasa?”

“Mengapa saya menganut agama Islam?”

“Mengapa hanya laki-laki saja yang disunat?”

“Nabi Muhammad itu ganteng apa enggak?”

“Apakah suatu saat setan dapat mengalahkan Tuhan?

“Apakah Tuhan sebesar bulan?”

“Bagaimana Tuhan menciptakan alam?”

“Apakah Tuhan tidur? Apa juga makan? Apa Tuhan punya anak
dan berapa
anaknya? Apa Tuhan bisa mati?”

“Tuhan itu sehari-harinya ngapain saja?

d. Verbalis dan Ritualis

Dari kenyataan yang kita alami ternyata, kehidupan beragama pada anak
mula-mulanya tumbuh secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan tuntunan yang diajarkan kepada mereka. Sepintas lalu,
kedua hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada
anak masa selanjutnya, tetapi penyelidikan hal itu berpengaruh pada keagamaan
anak di masa dewasa. Bukti menunjukkan bahwa banyak para orang dewasa taat
dan patuh kepada ajaran agamanya berdasarkan pengalaman mereka di masa
anak-anak yang diajarkan nilai-nilai keagamaan. Sebaliknya, belajar agama di usia
dewasa mengalami kesukaran. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara
keagamaan yang bersifat ritualis (praktik) merupakan hal yang berarti dan
merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama anak-anak.

7
e. Imitatif

Pada umumnya, kehidupan keseharian anak-anak dalam tindakannya


bersifat meniru. Anak-anak lebih cenderung meniru pada lingkungan sekitarnya.
Baik disadari atau tidak, hal ini akan berpengaruh positif pada pendidikan
keagamaan anak. Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak
mendapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi
pemilik kematangan agama yang kekal.

Walaupun anak mendapat ajaran agama tidak semata-mata berdasarkan


yang mereka peroleh sejak kecil, namun pendidikan keagamaan (religious
paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan
(religious behaviour) melalui sifat meniru itu.

f. Rasa Heran

Rasa heran dan kagum merupakan sifat dan tanda terakhir pada anak.
Berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini
belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan
lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan
anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa
kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa
takjub.

C. Teori Pertumbuhan Agama Pada Anak

Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu


melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam tingkatan The Development of Religious
on Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu
menjadi tiga tingkatan yaitu4 :

1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)

Tingkatan ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep ke-Tuhanan lebih banyak oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat

4
Jalaluddin. 2005. PSIKOLOGI AGAMA. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hal. 66-67

8
perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih
menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang
masuk akal..

2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)

Tingkat ini dimulai sejak anak mulai masuk Sekolah Dasar hingga ke
(masa usia) adolesense.Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul
melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa
lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional,
hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal
itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan
yang mereka lihat dikelola oleh orag dewasa dalam lingkungan mereka. Segala
bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh nikmat.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi
sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang
individualistis ini terbagi atas tiga golongan yaitu :

a. Konsep ke-Tuhanan yang konvesional dna konservatif dengan dipengaruhi


sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal (perorangan)
c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos
humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini
setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern , yaitu perkembangan usia dan
faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.

D. Kesadaran Beragama Pada Anak

9
Sadar; dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah “insaf; merasa;
tahu dan mengerti”. Setiap kesadaran yang jatuh pada seseorang akan membawa
kebutuhan jiwa dan fisik. Dapat kita pahami, “sewaktu kita lapar, maka kita
membutuhkan makanan dan minuman. Sewaktu kita capek atau letih, maka yang
kita butuhkan ialah istirahat. Saat badan terasa pegal atau demam, maka upaya
yang kita lakukan ialah urut badan atau minum minuman herbal atau berobat ke
dokter, dan sebagainya.” Kesadaran ini sangat umum kita temukan, terlebih
kepada anak-anak kita. Tapi, tidak banyak kita temukan yaitu kesadaran anak
dalam hal kejiwaannya.

Melihat perilaku keseharian anak-anak, terutama di Indonesia. Anak-anak


cenderung kepada kasih sayang ibu. Sedangkan ayah adalah bagian kedua bagi
anak. Tapi, ini masih diperdebatkan, dikarenakan semua tergantung pada situasi
dan kondisi. Bilamana sang ibu telah tiada, maka peran ayah menjadi bagian
keibuan serta penafkah bagi anak.

“Pada waktu lahir, anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi untuk
berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran
beragama, tetapi telah memiliki potensial kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan
ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat
dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orangtuanya.
Keadaan jiwa orangtua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak
sejak janin di dalam kandungan. Selaras dengan perkembangan kepribadian,
kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau
berlanjut dan tidak pernah terputus-putus.5

Hal ini bisa kita amati dalam sikap keseharian anak-anak dalam
membentuk jiwa keagamaannya atau nilai spiritualitasnya. Sadar atau tidak sadar,
anak-anak akan cenderung mencontoh kepada apa yang ia anggap itu
menyenangkan daripada berpikir secara logis atau rasional dan kritis. Anak-anak
cenderung pada sifat kemudahan. Sedangkan kemudahan bisa diartikan sebagai
“pengabaian” dalam konteks anak. Inilah yang menjadi alasan kuat kecendrungan
kejiwaan anak tergantung pada orangtuanya.
5
Abdul Aziz Ahyadi. 1995. PSIKOLOGI AGAMA: KEPRIBADIAN MUSLIM
PANCASILA. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo. Hal. 40

10
Dalam pembahasan ini dapat kita hubungkan pada sabda Rasulullah SAW. :

‫كل مولود يولد علي الفطرة فأبواه يهو دانه أو ينصرانه أو يمجسانه‬

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci, kemudian kedua orangtua


yang menjadikannya Yahudi, Nashari, atau Majusi.”

Sehingga, orangtua yang lingkungannya gelap akan gelap pada anak, maka
terang adalah kebaikan bagi anak. Namun, seiring waktu berjalan, maka kesadaran
anak akan muncul bersamaan dengan pola pikir yang berubah dari waktu ke
waktu. Dulu yang terbiasa makan disuapi ibu, maka anak akan mencoba makan
dengan sendiri, dulu membaca buku sebelum tidur, maka sekarang anak mencoba
belajar untuk membaca dengan sendiri tanpa memerlukan bantuan ibu. Pola pikir
ini akan mengubah anak juga kepada perilaku yang lebih dari sebelumnya. Pola
pikir ini ialah kesadaran dalam pengertian pengaruh lingkungan sebagai sumber
kedua dari kesadaran jiwa anak(hati) sebagai sumber utama.

Jalaluddin menyebutkan bahwa perkembangan kesadaran agama pada


anak terdiri dari beberapa fase dan setiap fase secara umum memiliki ciri-ciri
tertentu, diantaranya6 :

a. Pengalaman Ke-Tuhanan Yang Lebih Bersifat Afektif, Emosional dan


Egosentris

Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional


secara otomatis antara anak dan orangtua. Hubungan emosional ini dapat berupa
kasih sayang dan kemesraan antara orangtua dan anak yang akan menimbulkan
orises identifikasi yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya
disadari oleh anak terhadap sikap dan perilaku orangtua. Orangtua merupakan
tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orangtua akan ia
ikuti. Si anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan
yang bersifat egosentris. Pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri,
kepentingan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan dorongan biologisnya. Jika
disuruh berdo’a makan si anak akan memohon kepada Tuhan agar diberi mainan,
permen, kue, mercon, dan sebagainya. Oleh karena itu penanaman kesadaran
6
Abdul Aziz Ahyadi. 1995. PSIKOLOGI AGAMA: KEPRIBADIAN MUSLIM
PANCASILA. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo. Hal. 40-43

11
beragama kepada si anak yang berhubungan dengan pengalaman ke-Tuhanan
hendaknya menekankan pada pemuasan kebutuhan afektif. Usahakanlah agar si
anak dapat menghayati dan merasakan bahwa Tuhan itu adalah pemberi kue,
mainan, dan berbagai kenikmatan lainnya. Tuhan adalah Maha Pengasih,
Penyayang, Pelindung, Pemberi Rasa aman dan tentram serta pemuas kebutuhan
alam perasaan lainnya, Untuk itu orangtua harus bersikap pengasih, penyayang,
pelindung, dan pemuas kebutuhan emosional lainnya.

b. Keimanannya Bersifat Magis dan Anthropomorphis Yang Berkembang


Menuju Ke Fase Realistik

Keimanan si anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan


sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi lebih merupakan bagian dari
kehidupan alam perasaan yang berhubungan dengan kebutuhan jiwanya akan
kasih sayang, rasa aman, dan kenikmatan jasmaniah.Walaupun anak sekitar
delapan tahun sikap anak makin tertuju ke dunia luar, namun hubungan anak
dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan
pribadinya dengan sesuatu yang gaib dan dibayangkan secara konkret. Tuhan
dihayati secara konkret sebagai pelindung bagi si anak. Kadang-kadang si anak
mempercayai kemampuan orang yang dikeramatkan untuk mendapatkan benda
magis dari Tuhan yang digunakan sebagai penangkal bahaya, pelindung diri dan
pekasih. Ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi
Sulaiman untuk digunakan sebagai alat bagi pemenuhan pemuasan kebutuhan
dan keinginannya yang bersifat egisentris, konkret dan segera.

Ia menginginkan kekuatan dan keistimewaan itu tanpa usaha yang ulet dan
tabah. Ajaran orangtua dan gurunya tentang keimanan belum betul-betul dihayati
dan belum merupakan bagian pusat pemikirannya. Penerimaan akan adanya
Tuhan dapat menenangkan jiwanya dan menimbulkan kesiapan untuk menghadapi
tantangan dari lingkungan.

Dengan bertambahnya umur, pemikiran yang bersifat tradisional konkret


beralih pada nilai wujud atau eksistensi hasil pengamatan, Pemikiran tentang
Tuhan semakin menuju kepada kebenaran yang diajarkan oleh para pendidiknya.
Pengamatan kepada Tuhan tadinya yang bersifat konkret emosional berubah

12
menuju tanggapan kepada Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara. Hubungan
dengan Tuhan sedikit demi sedikit mulai disertai pemikiran dan logika. Tuhan
bukan hanya pencipta dirinya, tetapi Tuhan adalah pencipta alam semesta yang
melimpahkan rahmat-Nya bagi seluruh makhluk. Rahmat Tuhan yang diberikan
kepadanya hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari kasih sayang Tuhan yang
terbatas. Dengan kepercayaan adanya rahmat Tuhan, si anak mampu mengadakan
hubungan yang harmonis dengan dunia luar.Ia benar-benar beriman bahwa Tuhan
yang menciptakan alam mulai menarik perhatiannya.

Kepercayaan pada hantu, azimat, benda keramat yang memiliki kekuatan


gaib adalah sejalan dengan fungsi kognitifnya yang mempersepsikan segala
sesuatu sebagai bernyawa dan dinamis. Pada orang primitif dikenal adanya
animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa batu, gunung, pepohonan,
topan, petir, patung dan tempat angker mempunyai kekuatan spiritual dan
bernyawa. Mereka memberikan sesajen agar jangan dimarahi dan mudah untuk
meminta pertolongan. Pengamatan yang bersifat physiognomis dengan
menganggap segala sesuatu mempunyai kehidupan spiritual dilanjutkan dengan
personifikasi itu dapat membawa si anak pada tanggapan yang bersifat
anthropomorphis terhadap Tuhan. Tuhan diberi ciri-ciri dan sifat-sifat manusia.
Tuhan dianggap memiliki istri, beranak, bertelinga, dan bermata sebagaimana
manusia memiliki sifat dan ciri-ciri tersebut. Adanya peragaan konkret tentang
Tuhan sejalan dengan pemikiran yang belum mampu berpikir abstrak. Kalau
dikatakan bahwa Tuhan adalah Maha Melihat si anak membayangkan betapa
besarnya mata Tuhan. Baru setelah anak berpikir secara abstrak dan logik, ia akan
memahami bahwa Tuhan itu tidak dapat ditangkap dengan pancaindera dan tidak
mungkin dibayangkan oleh khayalan pikiran.

c. Peribadatan Anak Masih Merupakan Tiruan dan Kebiasaan Yang Kurang


Dihayati

Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada
dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama
perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial dan

13
mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku
yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.

Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi, disiplin


dan tumbuhnya kesadaran moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin,
perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Surga,
neraka dan kehidupan akhirat tidak lagi hanya merupakan khayalan, akan tetapi
keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekangdiri dari perbuatan salah dan
mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran. Tuhan bukan hanya
sebagai pemberi kepuasan emosional, tetapi juga Hakim Yang Maha Adil sebagai
keharusan dalam kehidupan bermoral. Tuhan akan selalu mengawasi dan
mengetahui segala sikap dan perilakunya serta akan memberikan pertolongan dan
ganjaran apabila ia berbuat kebaikan.

Kegiatan ibadah seperti : shalat, puasa, dan berdoa yang pada mulanya
hanya mneiru tingkah laku orangtua atau karena diperintahkan kepadanya, lambat
laun semakin dihayati dan dilaksanakan dengan kesungguhan . Ia betul-betul
mencari keridhaan Allah dan memohon pertolongan-Nya dalam menghadapi
berbagai kesukaran yang timbul dari dalam dirinya sendiri atau dari lingkungan.
Peningkatan rasa ke-Tuhanan dalam hubungan emosional yang diperkuat dengan
ikatan moral akan dapat menumbuhkan penilaian, bahwa kebaikan tertinggi
adalah mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Sedangkankejahatan terbesar adalah durhaka kepada Allah dan mendustai agama.
Akhirnya si anak berusaha menyesuaikan dirinya dengan ajaran dan kehendak
Tuhan.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Psikologi umum secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan
manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan
kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri hampir
sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab.
Psikologi agama adalah Ilmu yang mempelajari kehidupan beragama
seseorang dalam ruang lingkup kesehariannya pada tingkahlaku dan sikapnya
dalam merealisasikan ilmu keagamaannya.
Kehidupan keagamaan anak pada penggambaran Tuhan lebih bersifat
afektif dan konkret disebabkan keinginan yang menjadi faktor utama dibalik
kebutuhan secara sadar.
Dalam proses pendekatan-penanaman nilai keagamaan pada anak dalam
kehidupan kesehariannya dapat dilalui melalui penyontohan dan sikap prinsip
pribadi nilai agama yang menjadi nilai terapan orang tua maupun lingkungan
sekitarnya.

B. Saran

Metode penulisan penulis disesuaikan pada kebutuhan tugas pada mata


kuliah Psikologi Agama dan proses penguraian dan penjelasan berdasarkan
referensi buku dan kitab Al qura dan Hadits dan sedikit tambahan pemikiran
dari penulis.

Setiap manusia dekat pada kesalahan yang bersifat khilaf. Maka, penulis
mengharapkan sapaan dan teguran kepada Bapak dosen dalam menilai karya
ilmiah yang telah dibuat. Guna perbaikan karya tulis yang lebih baik dan
bermanfaat kedepannya.

Semoga bermanfaat dan bernilai lebih di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Aamien

15
DAFTAR PUSTAKA

 Kitab Al Quran dan Hadits


 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
 Abdul Aziz Ahyadi. 1995. PSIKOLOGI AGAMA: KEPRIBADIAN
MUSLIM PANCASILA. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo.
 Kautsar Muhammad al-Minawi. 2009. HAK-HAK ANAK DALAM ISLAM.
Penerbit Satusta : Yogyakarta.
 Jalaluddin. 2005. PSIKOLOGI AGAMA. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
 Subandi. 2013. PSIKOLOGI AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL.
Pustaka pelajar: Yogyakarta

16

Anda mungkin juga menyukai