Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Usia dini merupakan periode awal dalam rentang pertumbuhan dan perkembangan

anak. Anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun. Pada masa ini

semua potensi anak berkembang sangat cepat, anak mengalami masa keemasan yang

merupakan masa anak mulai peka atau sensitif untuk menerima berbagai rangsangan dari

lingkungannya. Menurut (Ariyanti, 2016) anak usia dini adalah kelompok anak yang berada

dalam proses pertumbuhan dan perkembangan unik. Menurut Sujiono (dalam Suryana dan

Hijriani. 2021: 1078) Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu

proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya.

Anak merupakan seseorang dengan potensi yang luar biasa, yang harus diberikan

stimulasi sejak usia dini. Pendidikan untuk anak usia dini diatur dalam PP Tahun 2003 No.20

(dalam Sumiyati, dkk. 2021: 1261) yang menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD) adalah suatu usaha yang diperuntukkan bagi anak-anak, dimulai dari lahir hingga

berusia enam tahun, dilakukan dengan cara memberikan stimulasi pendidikan supaya dapat

membantu pertumbuhan dan perkembangan fisik motorik serta perkembangan mental, agar

anak mempunyai kesiapan dalam memasuki pendidikan pada tingkat selanjutnya.

Pendidikan anak usia dini dapat diartikan sebagai usaha mempersiapkan lingkungan

yang dapat mendukung proses belajar, pertumbuhan dan pengembangan diri anak (Suryana

dan Hijriani. 2021: 1078). Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu proses pemberian

rangsangan agar potensi yang ada pada anak dapat berkembang secara optimal (Watini, 2019:

82). Sejalan dengan pendapat menurut (Apriyansyah, 2018: 14) pendidikan anak usia dini

merupakan seluruh upaya dan tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam

proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan pada anak dengan menciptakan suasana

lingkungan dimana anak dapat dengan bebas mengeksplorasikan pengalaman yang


memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengetahui dan memahami pengelaman

belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru, dan

bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatakan potensi dan

kecerdasan anak. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 146 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 tentang Pendidikan Anak Usia

dini pasal 1 bahwa pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disingkat PAUD merupakan

suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam)

tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

pertumbuhan, perkembangan jasmani dan rohani supaya anak siap dalam memasuki

pendidikan lebih lanjut.

Oleh karena itu, pada masa usia dini sangat penting untuk memberikan rangsangan

atau stimulasi yang tepat kepada anak, sehingga dapat mengoptimalkan aspek-aspek

perkembangan anak. Didasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia (Permendikbud) No 137 tahun 2014 tentang standar pencapaian perkembangan

anak (STTPA), terdapat 6 aspek perkembangan yang harus di optimalkan pada anak usia dini.

Aspek-aspek perkembangan tersebut terdiri dari aspek nilai agama dan moral, fisik-motorik,

kognitif, bahasa, sosial emosional, dan seni. Adapun untuk mengoptimalkan aspek-aspek

perkembangan pada anak usia dini dapat dilakukan saat anak-anak ikutserta dalam

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hal ini karena tujuan utama dari pelayanan PAUD

adalah untuk mengoptimalkan keenam aspek perkembangan anak usia dini. Hal ini

sependapat menurut Suryana dan Hijriani (2021: 1079) yang menyatakan bahwa pada

hakikatnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah tempat sarana dalam pemberian

upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan menyediakan kegiatan

pembelajaran yang dapat menstimulaasi keenam aspek perkembangan anak usia dini.

Sehingga pencapaian perkembangan yang optimal ketika anak lulus dari TK akan membuat
anak memiliki kesiapan sekolah yang lebih baik. Kesiapan sekolah akan membuat anak

mampu mengikuti pembelajaran, memiliki minat belajar yang positif, dan mencapai prestasi

akademik yang lebih baik ketika masuk Sekolah Dasar (Deliviana, 2017).

Mengenai pentingnya menanamkan nilai-nilai agama kepada anak usia prasekolah,

Zakiah Daradjat yang dikutip Syamsu Yusuf (2011: 178) mengemukakan bahwa umur TK

adalah umur yang paling subur kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama,

melalui permainan dan perlakuan dari orang tua dan guru. Keyakinan dan kepercayaan orang

tua kepada guru TK itu akan mewarnai pertumbuhan agama pada anak. Nilai agama dan

moral adalah pendidikan dengan melalui ajaran agama yaitu berupa bimbingan dan asuhan

terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami,

menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama yang diyakininya secara menyeluruh

serta menjadikan agama sebagai pandangan hidup demi keselamatan dan kesejahteraan

didunia dan diakhirat kelak.

Metode pembelajaran yang relevan salah satu hal yang sangat penting untuk

membantu dalam penyampaian materi pelajaran kepada anak usia dini, terutama dalam

hal pengenalan dan penanaman nilai-nilai moral agama kepada anak usia dini. Dalam

hal ini, metode menempati peranan yang tidak kalah penting dengan komponen

lainnya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak ada satupun kegiatan belajar mengajar

yang tidak menggunakan metode dalam mengajar. Dalam proses pembelajaran guru

tidak hanya menggunakan satu metode saja karena hal tersebut bisa membuat jenuh

peserta didik yang akan mengakibatkan gagalnya penyampaian pesan-pesan keilmuan

antara gurudan peserta didik. Sehingga hal ini tidak dapat difungsikan oleh guru sebagai

alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan mengajar. Dapat disimpulkan penggunaan metode

yang tepat dan bervariasi akan dapat dijadikan sebagai alat motivasi ekstrinsik

dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.


BAB II
PENTINGNYA NILAI MORAL DAN AGAMA BAGI ANAK USIA DINI

Adapun kata agama terdiri dari a= tidak; gam=pergi) mengandung arti tidak

pergi, tetap ditempat atau diwarisi turun temurun (Jalaludin,2009:12). Dalam kamus

bahasa Indonesia, nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan. Menurut Nurdin (1993.25) nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun

perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada

pola pemikiran, perasaan dan perilaku. Dengan demikian nilai dapat dirumuskan sebagai

sifat yang terdapat pada sesuatu yang menempatkan pada posisi yang berharga dan

terhormat yakni bahwa sifat ini menjadikan sesuatu itu dicari dan dicintai, baik

dicintai oleh satu orang maupun sekelompok orang, contoh hal itu adalah nasab bagi

orang-orang terhormat mempunyai nilai yang tinggi, ilmu bagi ulama` mempunyai

nilai yang tinggi dan keberanian bagi pemerintah mempunyai nilai yang dicintai

dan sebagainya.

Apabila nilai-nilai agama tidak diberikan pada anak sejak kecil, maka akan

mengakibatkan hal-hal sebagai berikut.

a. Tidak terdapat unsur keagamaan dan kepribadian pada diri anak sehingga sukar

baginya untuk menerima ajaran itu kalau sudah dewasa.

b. Mudah melakukan segala sesuatu menurut dorongan emosionalnya tanpa

memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Sebaliknya, apabila dalam kepribadian anak terdapat nilai-nilai agama dan moral

yang kokoh, maka segala keinginan dan kebutuhan dapat dipenuhi dengan cara

yang wajar dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku. Pembelajaran agama

bertujuan untuk membina dan menyempurnakan pertumbuhan dan kepribadian


anak. Pembentukan kepribadian ditujukan pada jiwa anak itu sendiri melakukan segala

perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Serta pembelajaran agama juga

ditujukan pada pikiran anak bahwa ajaran agama harus diketahui dengan sungguh-

sungguh agar kepercayaan kepada Tuhan menjadi sempurna

Menurut pendapat Al-Abrasyi, bahwa pemeliharaan kesehatan lebih baik

daripada perawatan, dan anak-anak haruslah sejak kecil dibiasakan pada adat kebiasaan

terpuji sehingga menjadi kebiasaannya pula bila ia sudah besar. Pemeliharaan seorang

bapak terhadap anaknya ialah dengan jalan mendidik, mengasuh, dan mengajarnya

dengan akhlak atau moral yang tinggi dan menjauhkannya dari teman-teman

yang jahat. Meskipun kelihatan pada si anak tanda-tanda kecerdasan, sepantasnya ia

diawasi juga secara baik. Apabila ia memperlihatkan sifat malu dan berlaku

sopan, meninggalkan pula sifat-sifat yang kurang baik lainnya, itu adalah tanda-tanda akan

bersinarnya cahaya pikirannya sehingga ia dapat melihat mana yang baik dan mana yang

jelek (Al Abrasyi, 2003: 123).

Menurut Syamsi(2011:224-228), agar mudah menanamkan keyakinan dan

ajaran Keagamaan yang benar kepada anak harus memperhatikan beberapa poin berikut.

1. Jawablah pertanyaan anak mengenai soal-soal agama dengan jawaban

yang sederhana serta mudah dimengerti dan dicerna.

2. Jangan sampai tafsir ilmu tentang agama yang belum layak didengar

anak-anak.

3. Berusahalah agar anak tertarik belajar agama.

4. Jangan pernah menakut-nakuti anak dengan murka dan azab Tuhan atau

neraka dan kepedihannya.

5. Ajarkan anak agar mengimani Ketetapan Tuhan.

6. Ajarkan anak untuk selalu mensyukuri nikamatyang telah diberikan Tuhan


7. Jauhkan mereka dari majalah dan bacaan tak senonoh atau gambar dan

tayangan porno, serta cerita tentang kejahatan dan sek

8. Tanamkan dalam diri anak rasa cinta pada keindahan alam semesta.

9. Ajarkan kepada anak agar memohon dan memintapertolongan hanya

kepada Tuhan.
BAB III
MODEL PEMBELAJARAN MENGEMBANGKAN NILAI MORAL DAN AGAMA
ANAK USIA DINI

Hampir setiap metode pembelajaran pasti ada kelebihan dan kekurangannya, bagi

seorang guru Pendidikan anak Usia Dini harus memahami kelebihan dan

kekurangan dari metode yang digunakan untuk menyampaikan materi kepada anak-anak

terutama metode yang digunakan untuk menyampaikan pesan moral agama. sehingga

proses pembelajaran yang dilaksanakan tidak terhambat. Upaya yang dapat

dilakukan guru dalam menangani hambatan dalam penanaman nilai keagamaan yang

dihadapi anak didik dengan cara mengetahui terlebih dahulu kebutuhan individual anak-

anak, ketertarikan anak-anak, rasa takut dan frustasi dan yang memiliki. Pertimbangan

keputusan yang bagus tentang kejadian-kejadian di dalam kelas dapat memperkirakan

situasi masalah secara efektif. Guru harus merespon terhadap perilaku anak,

mendengarkan keluhan anak, menciptakan kepercayaan, ketenangan dalam diri anak,

memberikan pandangan yang bervariasi, mengerti akan metode dan menyediakan media

untuk mengkaji materi penanaman nilai-nilai agama pada anak.

Depdiknas (2004: 12) mendefinisikan bahwa Metode bercerita adalah cara bertutur

kata penyampaian cerita atau memberikan penjelasan kepada anak secara lisan, dalam upaya

mengenalkan ataupun memberikan keterangan hal baru pada anak”. Metode bercerita ini

cenderung lebih banyak digunakan, karena anak TK dan SD biasanya senang jika

mendengarkan cerita dari guru. Agar bisa menarik minat anak untuk mendengarkan, tentunya

cerita yang dibawakan harus tepat sesuai dengan usia anak dan memuat nilai-nilai moral yang

hendak disampaikan oleh guru kepada anak. Penerapan metode bercerita pada anak,

berdasarkan kemampuan yang diharapkan mencapai beberapa pengembangan seperti bahasa,


moral, sosial emosional dan dapat memberikan pengetahuan atau informasi baru bagi anak

setelah anak mendengarkan cerita. Dalam membawakan cerita harus sesuai dengan tahap

perkembangan anak, baik dari bahasa, media dan langkah-langkah pelaksanaannya, agar

lebih efektif, komunikatif, dan menyenangkan bagi anak.

Bercerita merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam

pengembangan nilai moral untuk anak usia dini. Melalui metode bercerita, dapat disampaikan

beberapa pesan moral untuk anak. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Otib Satibi

Hidayat (2005:4.12), bahwa “Cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai

moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya”. Sedangkan, Moeslichatoen

(2004:169) menjelaskan bahwa “Sesuai dengan tujuan metode cerita adalah menanamkan

pesan-pesan atau nilai-nilai sosial, moral, dan agama yang terkandung dalam sebuah cerita”

Metode bercerita dapat mengubah etika anak-anak karena sebuah cerita mampu

menarik anak-anak untuk menyukai dan memperhatikan, serta merekam peristiwa dan

imajinasi yang ada dalam cerita. Selain itu bercerita dapat pula memberikan pengalaman dan

pembelajaran moral melalui sikap-sikap dari tokoh yang ada dalam cerita. Untuk mengetahui

adanya peranan metode bercerita dalam mengembangkan nilai-nilai moral pada anak TK dan

SD maka telah diperoleh hasil pengamatan dari kajian tulisan jurnal.

Ada tiga aspek yang diamati dalam mengembangkan nilai-nilai moral pada anak

melalui metode bercerita, sebagai berikut:

a. Menghargai Teman

Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto (2007:702)

menyatakan bahwa “Menghargai mempunyai arti bermacam-macam, diantaranya memberi,

menentukan, menilai, membubuhi harga, menaksir harga, memandang penting (bermanfaat,

berguna), menghormati”. Menghargai merupakan sebuah ungkapan yang terdengar

sederhana, tetapi banyak orang yang lalai dalam mengaplikasikannya. Saling menghargai
dapat diaplikasikan dengan mudah. Hal ini dapat dimulai dalam lingkungan keluarga,

sekolah, dan masyarakat.

Seperti halnya menghargai teman di TK dan SD yang dapat dinilai dari beberapa

pencapaian indikator, yaitu apabila anak sudah mampu mengucapkan terima kasih jika

memperoleh sesuatu dari teman, misalnya bantuan maupun pemberian berupa barang, apakah

anak mau meminjamkan barang miliknya kepada temannya, apakah anak dapat menolong

temannya yang dalam kesulitan, misalnya menolong teman ketika terjatuh, apakah anak tidak

memilih-milih teman atau berteman sama siapa saja, apakah anak tidak mengganggu teman

yang masih belajar atau suka mengolok-olok temannya, dan apakah anak dapat berbagi

makanan bersama temannya.

Melalui aspek menghargai teman, masih ada beberapa anak yang belum masuk dalam

kategori berkembang sangat baik. Hal ini disebabkan, pada anak usia TK dan masih sangat

dominan dengan sikap egosentrisnya sehingga masih ada anak yang sulit bergaul, tidak mau

kalah, dan mau menang sendiri, tetapi dilihat dari hasil pengamatan selama penelitian

berlangsung menunjukkan penanaman nilai-nilai moral melalui metode bercerita.

b. Sopan Santun

Secara etimologis, sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan

santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Sesuai Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2005:1084), sopan santun dapat diartikan, sebagai berikut: sopan ialah

hormat dengan tak lazim (akan, kepada) tertib menurut adab yang baik. Atau bisa dikatakan

sebagai cerminan kognitif (pengetahuan). Santun, yaitu halus dan baik (budi bahasanya,

tingkah lakunya); sopan, sabar; tenang. Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik

(penerapan pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan). Jika digabungkan kedua kalimat

tersebut, sopan santun adalah pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalui
sikap, perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan tata krama;

peradaban; kesusilaan”.

Pentingnya nilai moral ditunjukkan melalui sikap sopan santun yang dimiliki oleh

setiap individu. Oleh karena itu, agar anak dapat belajar sopan santun di TK dan di SD maka

aspek sopan santun dianggap bisa menanamkan nilai-nilai moral melalui metode bercerita di

TK dan anak SD selanjutnya. Penilaian aspek sopan santun, dilihat dari beberapa indikator,

yaitu Jika anak mampu menunjukan sikap berdoa yang baik, anak tertib saat belajar, anak

dapat memakai pakaian yang rapi, anak mampu berbicara sopan atau tidak berteriak, anak

mampu bersikap baik dan sopan pada saat makan, dan bersikap ramah pada siapa saja,

misalnya mencium tangan ibu guru.

c. Tanggung Jawab

Tanggung jawab dalam Kamus Bahasa Indonesia (2005:1139) adalah keadaan wajib

menaggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah

kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak

disengaja”. Mengingat pentingnya sifat tanggung jawab pada diri seseorang, maka sikap

tersebut akan lebih baik jika ditanamkan sedini mungkin, agar anak terbiasa menunjukan

sikap yang bertanggung jawab, seperti mengatasi masalahnya sendiri.

Aspek tanggung jawab penilaiannya, dilihat dalam pencapaian beberapa indikator,

yaitu jika anak mampu mengurus dirinya sendiri (misalnya memakai sepatu sendiri), anak

mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, (misalnya mewarnai gambar dengan baik

hingga selesai), Meminta maaf jika sudah berbuat salah, dapat menyimpan kembali buku dan

alat tulis yang sudah dipakai ketempatnya, membuang sampah pada tempatnya, dan Anak

dapat merapikan peralatan makan dan minum sendiri.

Aspek tanggung jawab meningkat cukup baik, meskipun masih saja terdapat beberapa

kendala, seperti anak belum terlalu memahami arti tanggung jawab apabila tidak
mengalaminya. Oleh karena itu, perlu penjelasan dan pengajaran setiap harinya tentang

pentingnya bertanggung jawab.

d. Nilai Religius

Perasaan keagamaan termasuk perasaan yang luhur dalam jiwa seseorang

menggerakkan hati seseorang agar ia lebih banyak melakukan perbuatan yang baik. Oleh

kaerna itu, perlu memperkenalkan agama sejak dini pada anak-anak. Anak mempunyai

keyakinan beragama, yang diperoleh dari lingkungan rumah ataupun sekolahnya misalnya

anakanak diajarkan memikirkan tuhan sebagai seseorang yang akan marah dan

menghukumnya jika dia melakukan tindakan tidak terpuji.

Upaya peningkatan nilai religius anak dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Misalnya, memperkenalkan kepada anak anjuran salam-salaman untuk saling memaafkan,

memperkenalkan pada anak mengenai berbagai tempat ibadah, dan memperkenalkan ajaran

agama dan tindakan terpuji kepada anak melalui mata pelajaran agama dan PPKn. Dengan

demikian, pengenalan konsep moral dan agama akan mencegah anak dari perbuatan buruk

dan meningkatkan perbuatan baiknya. Anak akan mempunyai keyakinan bahwa dengan

berbuat baik ia akan masuk surga. Demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini anak berpikir

tentang konsep tuhan, surga, neraka, malaikat ataupun dosa.


BAB IV
KESIMPULAN

1. Penerapan metode bercerita pada anak TK dan SD dapat digunakan untuk

mengembangkan nilai menghargai teman, sopan santun, dan tanggung jawab.

2. Guru harus membawakan cerita sesuai dengan tahap perkembangan anak, baik dari

bahasa, media dan langkah-langkah pelaksanaannya, agar lebih efektif, komunikatif, dan

menyenangkan bagi anak.

3. Penerapan metode bercerita dengan anak TK dan SD biasanya dilakukan di dalam

maupun diluar ruangan kelas disesuaikan dengan tema dan kebutuhan anak dibantu

media buku cerita.

4. Guru juga dapat memanfaatkan olah vokal yang dimilikinya untuk menirukan karakter

tokoh-tokoh yang ada dalam cerita untuk menarik perhatian anak dalam mendengarkan

cerita. Adapun untuk mengatasi anak yang masih dalam tahap berpikir abstrak, guru

harus menggunakan alat peraga saat bercerita, seperti boneka tangan, tanaman, benda-

benda tiruan atau cerita bergambar.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, M. (2003) Prinsip-Prinsip Dasar Pendidik Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Daradjat, Z.(2001). Kesehatan Mental.Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.

Depdikbud. 2004.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Jalaluddin. (2009) Psikologi Keagamaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Montessori, M. (2009)The Montessori Method:The origin of an Education Innovation.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hidayat, Otib Satibi. 2006. Metode Pengembangan Moral dan Nilai-nilai Agama. Jakarta:
Universitas Terbuka
Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman Kanak Kanak
dan Raudhatul Athfal. Jakarta: Depdiknas.

Anda mungkin juga menyukai