Anda di halaman 1dari 7

Vidya Samhita : Jurnal Pelelitian Agama

Volume 1, Nomor 1, 2020. pp 128 – 134


p-issn : 2460 – 3376, e-issn : 2460 – 4445
https://www.ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs/index

PENGUATAN NILAI AGAMA DALAM PERKEMBANGAN


MORAL ANAK USIA DINI

OLEH
Nyoman Wiraadi Tria Ariani1*, I Gde Dhika Widarnandana2
1 Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar
2 Universitas Dhyana Pura

Email Corresponding : 1 nyomantria@uhnsugriwa.ac.id 2 gdedhika@undhirabali.ac.id

Abstrak
Pendidikan Anak Usia Dini berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh
potensi yang dimiliki anak pada usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan
dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan
selanjutnya. Penguatan nilai agama sebaiknya dikembangkan sejak dini agar saat dewasa anak dapat
menghadapi dilema kehidupan dan dapat menjaga keseimbangan hidup. Agama mencakup keyakinan
atau kepercayaan, pemujaan terhadap apa yang diyakini, dan aturan untuk menjalin hubungan dengan
orang-orang berdasarkan sistem kepercayaan dan sistem ibadah. Tertanamnya nilai moral yang
mapan pada anak-anak akan membuatnya mampu berperilaku sopan dan santun kepada siapa pun,
dan mampu menghormati orang lain. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka. Penguatan
nilai agama tercermin dalam perkembangan moral anak sehingga anak menjadi tahu yang baik dan
buruk, benar maupun salah. Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral dapat diberikan
kepada anak sesuai dengan usianya menggunakan metode keteladanan, diskusi, bermain peran,
outbond, bernyanyi, karyawisata, pembiasaan, bermain, dan bercerita.
Kata Kunci: nilai agama, perkembangan moral, anak usia dini

I. PENDAHULUAN
Pada tahapan anak usia dini merupakan masa emas perkembangan karena pada masa ini seorang
anak akan sangat mudah untuk dibentuk perilaku dan pengetahuannya sehingga pada masa ini akan
menentukan pada proses perkembangan anak di masa selanjutnya (Sufa & Setiawan, 2017). Menurut
Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
mengatur pendidikan anak usia dini mengarahkan mengoptimalkan perkembangan anak sejak awal
kelahiran hingga berumur 6 tahun yang bertujuan untuk mendorong tumbuh kembang anak dengan
memberikan stimulasi pendidikan (Oktarina & Maemonah, 2019). Pendidikan Anak Usia Dini memiliki
potensi untuk mengembangkan keterampilan sosial, bahasa dan komunikasi serta keterampilan
motorik pada anak-anak usia dini. Hal ini dapat dilakukan apabila lingkungan pendidikan dapat
memacu imajinasi mereka dan lingkungan pendidikan menyenangkan bagi anak. Pada masa emas ini,
salah satu pendidikan yang patut berkembang adalah penguatan nilai agama (Aunurrahman, 2009).
Penguatan nilai agama sebaiknya dikembangkan sejak dini agar saat dewasa anak dapat menghadapi
dilema kehidupan dan dapat menjaga keseimbangan hidup dengan menggunakan penguatan nilai-
nilai agama (Zelvi, 2017).
Penguatan nilai-nilai agama pada anak usia dini sangat erat kaitannya dengan perkembangan
moralnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), moral memiliki makna akhlak atau

128
tingkah laku yang susila, sedangkan moralitas dimaknai dengan kesusilaan. Perkembangan moral
mengacu pada aspek budi pekerti, nilai moral dan keagamaan (Kilpatrick, 1993). Oleh karena itu, peran
lingkungan keluarga dan sekolah sangat penting dalam penguatan nilai-nilai agama dalam
perkembangan moral anak usia dini karena keluarga yang pertama kali mengajarkan perilaku baik
buruk pada anak sehingga berdampak pada pembelajaran etika, dan moralitas dengan benar. Peran
keluarga menjadi pondasi awal perkembangan dan pendidikan anak, tak hanya pendidikan di sekolah,
namun juga seluruh aspek yang dapat menjadi acuan sebagai sumber pendidikan.
Anak-anak membentuk nilai-nilai moral melalui interaksi timbal balik dengan lingkungannya
(Dahl & Killen, 2018). Pendidikan moral yang diberikan keluarga pada anak mengajarkan anak agar
dapat membedakan yang benar maupun salah, sehingga anak dapat berperilaku dengan baik.
Perkembangan moral pada anak bukan merupakan warisan orang tua, melainkan didapat dengan
penanaman nilai-nilai moral melalui pendidikan dan penguatan nilai-nilai agama pada anak (Usakli,
2010). Melalui peran keluarga saat memberikan proses penguatan nilai-nilai agama dalam
perkembangan moral yang baik, maka perilaku anak yang baik pula yang terbentuk dikemudian hari.
Perkembangan moral menjadi faktor penentu bagaimana anak dalam bertingkah laku untuk masa
depannya (Putri, 2017).
Penanaman nilai moral yang baik pada anak akan membentuk anak untuk berperilaku sopan dan
santun kepada siapa pun, mampu menghormati orang lain yang lebih tua darinya, patuh kepada
aturan, bersikap sabar, jujur serta mau menghargai orang lain (Nurhayati dkk., 2019). Moral
merupakan bentuk atau hasil dari nilai-nilai yang hitam putih, yakni antara benar dan salah, yang
dapat berimplikasi pada aturan yang berpengaruh pada perilaku anak (Fatmawati & Supriyanto, 2018).
Perkembangan moral berkaitan erat dengan tingkat pengendalian diri yang dapat dilakukan seseorang
terkait dengan aturan sosial (Ozbey, 2014). Perkembangan moral merupakan proses yang terjadi
sepanjang hidup yang tercermin pada tingkah laku, budi pekerti, akhlak maupun pembentukan
karakter pada anak seiring bertambahnya usia anak (Nurjanah, 2018). Dengan demikian, sangat
penting untuk melakukan penguatan nilai-nilai agama dalam perkembangan moral anak usia dini.

II. PEMBAHASAN
Indonesia memiliki ragam budaya, latar belakang sosial, adat istiadat, agama, dan berbagai
macam keanekaragaman unsur sosial sehingga anak Indonesia mempunyai beranekaragam perbedaan
dan hal ini perlu dicermati pada saat memberikan penguatan nilai-nilai agama dan pendidikan moral.
Perbedaan ini dapat ditunjukan kepada anak sebagai suatu materi pendidikan untuk dipahami dan
disikapi dengan bijaksana. Oleh karena itu, pendidikan dasar yaitu pendidikan anak usia dini di
Indonesia menitikberatkan pada pengembangan kepribadian dengan penguatan nilai agama dalam
perkembangan moral anak usia dini sehingga muatan multikultur menjadi penting. Pada masa ini,
kesempatan anak untuk mengenal berbagai perbedaan sebagai bagian dari keragaman budaya
Indonesia diperluas. Kemudian, pemahaman anak terhadap perbedaan ini diharapkan akan semakin
meningkatkan pemahaman antarbudaya dan membangun sikap toleran pada anak sehingga
berdampak pada keterampilan anak untuk berinteraksi dengan orang lain atau kelompok lain.

2.1. Penguatan Nilai Agama Anak Usia Dini


Agama adalah jalan bagi umat manusia untuk mencapai tujuan yang sangat suci dan mulia
(Kurnia, 2015). Menurut Endang Saifuddin Ansri (dalam Kurnia, 2015) keagamaan memuat unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Sistem Credo (sistem kepercayaan atau kepercayaan) untuk hal-hal selain manusia absolut.
2. Sistem Ritus (sistem pemujaan) untuk manusia absolut.
3. Sistem Norma (kaidah) yang membereskan berkenaan anatara sesama manusia.
4. Sistem moral atau sering disebut "moralitas" yang berkenaan dengan etika, nurani, sopan
santun.

129
Oleh karena itu, dalam arti luas, agama mencakup keyakinan atau kepercayaan, pemujaan
terhadap apa yang diyakini, dan aturan untuk menjalin hubungan dengan orang-orang berdasarkan
sistem kepercayaan dan sistem ibadah (Ananda, 2017). Menurut Hidayat (2008) tujuan pendidikan
anak usia dini untuk mengembangkan nilai-nilai agama adalah menumbuhkan iman dan cinta kepada
Tuhan, mendorong anak untuk menyembah Tuhan, memperoleh perilaku dan kelakuan anak
berdasarkan nilai-nilai keagamaan serta menolong anak jadi lebih memilliki iman serta taat kepada
Tuhan. Menurut Henry Hazlitt (2003): ciri-ciri pemahaman nilai keagamaan pada anak usia dini yang
mengikuti kegiatan Taman Kanak-kanak (TK) adalah sebagai berikut:
1. Unreflective: Kemampuan anak memahami dan mempelajari nilai-nilai agama biasanya
menunjukkan bahwa mereka tidak seserius itu. Anak melakukan tindakan keagamaan atas
kelakuan yang naif dan berkarakteristik serta adanya ketidakmampuan anak untuk menguasai
rancangan keagamaan secara meluas.
2. Egocentris: Saat menekuni nilai keagamaan, anak TK kadang tidak bisa bertindak bersama.
Anak-anak menaruh lebih banyak energi atas kejadian yang berguna bagi mereka.
3. Misunderstand: Anak-anak menghadapi kesalahpahaman ketika memahami doktrin agama
yang sebagian besar abstrak.
4. Verbalis dan Ritualis: Dengan memperkenalkan istilah-istilah agama, metode membaca dan
berekspresi, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan nilai agama, misalnya latihan
memori, pengucapan, demonstrasi, dll.
5. Imitative: Anak-anak bisa belajar banyak hal dengan mata kepala sendiri. Mereka meniru banyak
hal yang dia pikir dia pelajari.

2.2. Perkembangan Moral Anak Usia Dini


Perkembangan moral pada anak berpengaruh terhadap perilaku atau sikap yang diaktualisasikan
olehnya kepada orang tua maupun terhadap sesamanya. Pokok pertama yang terpenting dalam
pendidikan moral adalah menjadi pribadi yang bermoral dalam arti seorang anak dapat belajar apa
yang diharapkan kelompoknya. Harapan tersebut diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam
bentuk hukum, kebiasaan, dan peraturan. Inilah bukti bahwa untuk membentuk manusia bermoral,
diperlukan perangkat yang komprehensif dan memerlukan proses pembinaan yang panjang.
Pendidikan moral yang tepat dapat dioptimalkan dengan memahami perkembangan moral.
Menurut Kohlberg (dalam Slavin, 2006) perkembangan moral berada pada beberapa tingkatan
yaitu:
1. Tingkat 1, tingkat yang paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral
prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral
(secara kokoh). Namun sebagian anak usia dini ada yang sudah memiliki kepekaan atau
sensitivitas yang tinggi dalam merespon lingkungannya positif dan negatif. Pada tahap ini,
anak melihat suatu kegiatan dianggap salah atau benar berdasarkan hukuman dan kepatuhan
(punishment dan obedience orientation) serta individualisme dan orientasi tujuan instrumental
(individualism and instrumental purpose). Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, suatu
tindakan dinilai benar atau salah tergantung pada akibat dari kegiatan tersebut. Suatu kegiatan
yang membuat ibu marah dianggap salah dan suatu kegiatan yang membuat ibu senang
dianggap baik atau benar. Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan
otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karana takut ancaman atau hukuman dari
otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi empat tahap: (1) tahap orientasi terhadap kepatuhan dan
hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh
adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak,
akan mendapat hukuman. (2) tahap relativistik hedonosme pada tahap ini anak tidak lagi
secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain

130
yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi
yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).
2. Tingkat 2, konvensional, yakni anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima
dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi mengenai anak
yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai
baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila
sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat. (2) tahap
mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik
dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi
juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada
sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat 3, pasca konvensional. Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari
hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi terhadap
perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik
antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai
kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat. (2) tahap
universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik
(baik/buruk, benar/salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu
perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Selanjutnya, Piaget (dalam Slavin, 2006) menyatakan perkembangan moral berlangsung dalam 2 (dua)
tahap, yaitu:
1. Tahap Realisme Moral, moralitas oleh pembatasan (usia kurang 12 tahun). Usia 0-5 tahun: pada
tahap ini perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran
atau penilaian. Anak menilai tindakan berdasar konsekuensinya. Usia 7/8-12 tahun: pada tahap
ini anak menilai perilaku atas dasar tujuan. Konsep tentang benar/salah mulai dimodifikasi
(lebih fleksibel). Konsep tentang keadilan mulai berubah.
2. Tahap Operasional Formal, moralitas dengan analisis (usia diatas 12 tahun). Anak mampu
mempertimbangkan segala cara untuk memecahkan masalah serta anak mampu beerpikir
secara nalar atas dasar hipotesis dan dalil sehingga ia dapat melihat masalah dari berbagai
sudut pandang.
Kemudian Lickona (1991) menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral
action, diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan, yang dimulai dari proses moral
knowing, moral feeling, dan moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.
Dengan demikian, diharapkan potensi anak dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek
kecerdasan intelektual, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, maupun
menentukan mana yang bermanfaat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral menurut Hurlock, (dalam Slavin, 2006)
adalah:
1. Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak
dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus
dilakukan.
2. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang
diharapkan dan melanggar aturan.
3. Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam
pergaulan dengan orang lain.

131
2.3. Metode Penguatan Nilai Agama Dalam Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral anak dapat dikembangkan melalui metode
sebagai berikut:
1. Metode keteladanan
Memberikan contoh keteladanan dengan menempatkan diri sebagai fasilitator,
pemimpin, orangtua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu
anak dalam melakukan refleksi (Machsunah, 2017).
2. Metode diskusi
Mendiskusikan tentang suatu kejadian atau peristiwa. Misalnya meminta anak
memperhatikan sebuah tayangan video, kemudian selanjutnya anak diajak berdiskusi
mengenai tayangan tersebut. Hal yang didiskusikan seperti mengapa melakukan
tindakan dalam video, mengapa anak itu dikatakan baik, dan sebagainya (Sapendi, 2015).
3. Metode bermain peran
Dengan bermain peran anak akan mempunyai kesadaran merasakan jika ia menjadi
seseorang yang dia perankan dalam kegiatan bermain peran (Risnawati, 2012).
4. Metode Outbond
Melalui kegiatan outbond, anak akan dengan leluasa menikmati segala bentuk tanaman,
hewan, dan alam. Cara ini dilakukan agar anak tidak hanya memahami apa yang
diceritakan atau dituturkan oleh guru atau pendidik di dalam kelas. Melainkan anak
diajak langsung melihat atau memperhatikan sesuatu yang sebelumnya pernah
diceritakan di dalam kelas, sehingga apa yang terjadi di kelas akan ada sinkronisasi
dengan apa yang tampak di lapangan atau alam terbuka (Yunaida, Hana; Rosita, Tita,
2018).
5. Metode Bermain
Dengan bermain banyak terkandung nilai-nilai mau mengalah, kerjasama, tolong
menolong, budaya antri dan menghormati teman. Nilai moral mau mengalah terjadi
manakala anak mau mengalah terhadap teman lainnya yang lebih membutuhkan untuk
satu jenis mainan. Pengertian dan pemahaman terhadap nilai moral mau menerima
kekalahan atau mengalah adalah salah satu hal yang harus ditanamkan sejak dini
(Rozalena, 2017). Krogh dan Slentz (2011) menyatakan bahwa belajar pada anak usia dini
adalah bermain. Melalui bermain dapat memberi kesempatan bagi anak untuk
bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara
menyenangkan. Selain itu, bermain juga dapat membantu anak mengenal tentang diri
sendiri, dengan siapa ia hidup, dan di lingkungan mana ia hidup.
6. Metode Pembiasaan
Terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-
pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada
berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap
salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum
masuk kelas dan sebagainya (Rozalena, 2017).
7. Metode karyawisata
Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan
pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai
seperti: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan
(Mahyumi Natina, 2012).
8. Metode Bernyanyi
Bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat
anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk
membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa
melalui ungkapan kata dan nada. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang

132
dikenal- kan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara
baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa (Sabiati Amin 2016).
9. Metode Bercerita
Metode bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai
moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Ketika bercerita seorang
guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang
belum mampu berpikir secara abstrak (Zainab, 2012).

Menurut Masganti (2014) kegiatan yang dapat dilakukan untuk penguatan nilai agama dalam
perkembangan moral anak, antara lain:
1. Kegiatan sehari-hari, yaitu aktivitas tersusun, seperti sholat, ibadah bersama khusus,
keteraturan, serta menjaga kebersihanjdan Kesehatan diri.
2. Kegiatan spontan adalah kegiatan yang tidak direncanakan untuk kegiatan khusus,
seperti menyapa, menangani sampah di lokasinya, mengantri, mengatasi pertengkaran,
dll.
3. Kegiatan modeling adalah kegiatan yang berupa tingkah laku sehari-hari, seperti berdoa,
berpakaian rapi, berbicara dengan ramah, membantu, memuji orang lain atas kebaikan
dan atau kesuksesannya, sabar, dll. Selain itu, pengembangan nilai-nilai agama harus
dilakukan melalui kegiatan yang komprehensif dan kegiatan khusus. Melalui
pengembangan keterampilan dasar, dilakukan kegiatan pengembangan materi secara
menyeluruh dalam bentuk nilai-nilai agama. Kegiatan khusus mengacu pada rencana
kegiatan yang tidak mencakup kegiatan pelaksanaan atau yang tidak harus dikaitkan
dengan pengembangan keterampilan dasar lainnya, sehingga diperlukan waktu dan
pemrosesan khusus.

III. KESIMPULAN.
Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral anak usia dini sangat penting karena dengan
membekali anak dengan pendidikan agama dan moral, anak dapat belajar mengenal dan memahami
perilaku baik dan buruk, sopan santun, toleransi dan nilai-nilai lainnya. Penguatan nilai-nilai agama
pada anak usia dini sangat erat kaitannya dengan perkembangan moralnya. Perkembangan moral
mengacu pada aspek budi pekerti, nilai moral dan keagamaan. Penguatan nilai agama dalam
perkembangan moral dapat diberikan kepada anak sesuai dengan usianya menggunakan metode
keteladanan, diskusi, bermain ,peran, outbond, bernyanyi, karyawisata, pembiasaan, bermain, dan
bercerita.

DAFTAR PUSTAKA
Ananda, R. (2017). Implementasi Nilai-nilai Moral dan Agama pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi :
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 19. doi: 10.31004/obsesi.v1i1.28
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Essa, E. L. (2011). Introduction to Early Childhood Education. Canada: Wadsworth Cengage Learning.
Dahl, A., & Killen, M. (2018). A developmental perspective on the origins of morality in infancy and
early childhood. Frontiers in Psychology, 9(SEP), 1–6. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01736
Fatmawati, N., & Supriyanto, D. (2018). Pengaruh Metode Bercerita (Tentang Kisah – Kisah Nabi dan
Rosul) Terhadap Perkembangan Nilai Agama dan Moral Anak Usia 4-5 Th di 13 RA. Perwanida
Raci Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan Tahun Ajaran 2017-2018. PROCEEDING: The
Annual International Conference on Islamic Education, 3(2), 332– 337.
http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/proceedings/article/view/285
Hidayat, O. S. (2000). Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama. Jakarta: Universitas
Terbuka

133
Kilpatrick, William. 1993. Why Johnny can't tell right from wrong: And what we can do about it. Simon
and Schuster.
Krogh, Suzanne L., and Kristine L. Slentz. (2011). Early Childhood Education: Yesterday, Today, and
Tomorrow. London: Routledge.
Kurnia, Y. (2015). Pengembangan Kemampuan Nilai-nilai Agama dan Moral di TK. Bandung: PPPPTK
TK dan PLB.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
Machsunah, Yayuk Chayatun. 2017. Penanaman Pendidikan Karakter Melalui Keteladanan Pendidik
(Studi Kasus Di Lbb Taman Pintar: Sahabat Sekolah Anak Lamongan). Journal Stkip Pgri
Lamongan, Vol.1 No.2
Masganti, S. (2014). Psikologi Agama. Medan: Perdana Puplishing.
Nurhayati, N., Awalunisah, S., & Amrullah, A. (2019). Keefektifan Metode Role Play Terhadap Nilai
Moral Anak Usia 5-6 Tahun. Jurnal Akrab Juara, 4(2), 181–195.
http://akrabjuara.com/index.php/akrabjuara/article/view/576
Nurjanah, S. (2018). Perkembangan Nilai Agama Dan Moral (Sttpa Tercapai). Jurnal Paramurobi, 1(1).
Oktarina, A., & Maemonah. (2019). Filsafat Pendidikan Maria Montessori Dengan Pendidikan
Aud.Jurnal UIN Jogyakarta, VI(2), 64–88. Diambil dari
https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/bunayya/article/view/7277
Ozbey, S. (2014). A Study on Preschool Children ’ s Perceptions of Moral and Social Rules. International
Journal of Humanities and Social Science, 4(11), 149–159.
Putri Hana Pebriana. (2017). Ananlisis Kemampuan Berbahasa dan Penanaman Moral Pada Anak Usia
Dini Melalui Metode Mendongeng, 1 (2). https://doi.org/10.31004/obsesi.v1i2.25
Risnawati, Vivit. 2012. Optimalisasi Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Melalui Sentra Main Peran
Taman Kanak-Kanak Padang. Jurnal Pesona Paud, Vol.1.No. 2
Rozalena Rozalena, Muhammad Kristiawan. 2017. Pengelolaan Pembelajaran Paud Dalam
Mengembangkan Potensi Anak Usia Dini. Jurnal Mnajemen, Kepemimpinan, Supervisi
Pendidikan, Vol 2, No 1 https://jurnal.univpgri-
palembang.ac.id/index.php/JMKSP/article/view/1155 DOI:
http://dx.doi.org/10.31851/jmksp.v2i1.1155
Sapendi, Sapendi. 2015. Internalisasi Nilai-Nilai Moral Agama Pada Anak Usia Dini. At-Turats, Vol. 9.
No. 2
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America: Johns
Hopkins University.
Sufa, F. F., & Setiawan, H. Y. (2017). Analisis Kebutuhan Anak Usia Dini Usia 4-6 Tahun Pada
Pembelajaran Berbasis Komputer Anak Usia Dini. RESEARCH FAIR UNISRI, 1(1).
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Media Pustaka Phonix.
Usakli, H. (2010). Early childhood education: The case of Turkey. Sage Journals, 11(2), 215– 218.
https://doi.org/10.2304/ciec.2010.11.2.215
Yunaida, Hana; Rosita, Tita. 2018. Outbound Berbasis Karakter Sebagai Media Pembelajaran Anak Usia
Dini. Comm-Edu (Community Education Journal), Vo. 1 No.1
Zainab, Zainab. 2012. Peningkatan Perkembangan Moral Anak Melalui Metode Cerita Bergambar Tk
Lembah Sari Agam. Jurnal Pesona Paud, Vol 1. No.03
Zelvi, A. (2017). Proses Penanaman Nilai-Nilai Agama Pada Anak Usia Dini Dalam Keluarga Di
Kampung Gambiran Pandeyan Umbulharjo. Pendidikan Anak Usia Dini, 20–33.

134

Anda mungkin juga menyukai