PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menunjang sebuah proses
penanaman ilmu pengetahuan apalagi yang ingin di berikan kepada anak usia dini. Sebuah
proses pendidikan membutuhkan sebuah pemikiran dan sebuah cara yakni berfilsafat dalam
hal memberikan yang terbaik bagi pendidikan demi kemajuan pendidikan bangsa dan demi
tercapainya tujuan pendidikan bagsa yang jelas tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Dalam filsafat pendidikan anak usia dini ada hal sangat perlu di oerhatikan dan dipikirkan
secara matang sebelum menghadapi anak dalam proses pembelajaran yakni bagaimana peran
seorang guru dalam memberikan pelajaran dan bagaimana seorang guru mampu untuk
memancing kekreatifitasan anak demi pembentukan karakter anak yang baik.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan pondasi bagi perkembangan kualitas sumber
daya manusia selanjutnya. Karena itu peningkatan penyelenggaraan PAUD sangat memgang
peranan yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa mendatang. Arti penting mendidik
anak sejak usia dini dilandasi dengan kesadaran bahwa masa kanak-kanak adalah masa
keemasan (the golden age), karena dalam rentang usia dari 0 sampai 5 tahun, perkembangan
fisik, motorik dan berbahasa atau linguistik seorang anak akan tumbuh dengan pesat. Selain
itu anak pada usia 2 sampai 6 tahun dipenuhi dengan senang bermain. Konsep bermain
sambil belajar serta belajar sambil bermain pada PAUD merupakan pondasi yang
mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam, sehingga
dikemudian hari anak bisa berdiri kokoh dan menjadi sosok manusia yang berkualitas.
Melalui makalah ini kami mencoba menjelaskan untuk bisa mempelajari dan memahami
tentang konsep pendidikan AUD yang merupakan sebuah hal yang penting untuk masa depan
anak mendatang.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam hal ini
adalah:
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari permasalahan dalam
makalah ini adalah:
Penulisan dalam makalah ini adalah penulisan yang bersifat studi perpustakaan yang bercorak
deskriptif, dimana penulis berusaha memahami dan menafsirkan dengan data-data yang ada
di beberapa referensi buku-buku maupun sumber media, baik cetak maupun elektronik untuk
mendapatkan data yang relevan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian PAUD
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada hakikatnya ialah pendidikan yang diselenggarakan
dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh
atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek kepribadian anak. Secara institusional,
Pendidikan Anak Usia Dini juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang menitikberatkan pada pada peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan
perkembangan, baik kordinasi motorik, kecerdasan emosi, kecerdasan jamak, maupun
kecerdasan spiritual.
Sementara itu, secara yuridis istilah anak usia dini di Indonesia ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai dengan usia enak tahun. Lebih lanjut pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia
Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan
usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Menurut dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004, dikutip dalam Suryadi & Ulfah,
2015: 18) yang menegaskan bahwa pendidikan anak usia dini adalah pemberian upaya untuk
menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan
menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak. Sejalan dengan itu, menurut Arif
Sulityo dalam bolgnya (https://arifsulistyo.wordpress.com/jurusan-pls/pengertian-paud/,
diakses 6 September 2017) menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah
jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya
pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah
suatu jenjang pendidikan yang berupaya memberikan pembinaan kepada anak usia dini
dengan menggunakan cara bermain sambil belajar dengan tujuan dapat merangsang
perkembangan anak sehingga anak usia dini siap untuk malnjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya.
PAUD memegang peranan yang sangat penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan
anak selanjutnya karena merupakan fondasi bagi dasar kepribadian anak. Anak yang
mendapatkan pembinaan yang tepat dan efektif sejak usia dini akan dapat meningkatkan
kesehatan serta kesejahteraan fisik dan mental, yang berdampak pada peningkatan prestasi
belajar anak, etos kerja anak, dan produktivitas sehingga mampu mandiri dan
mengoptmalkan potensi dirinya.
Sementara itu, menurut Mulyasa (2014: 49) pentingnya PAUD juga dapat ditinjau dari
perkembangan otak manusia bahwa tahap perkembangan otak anak usia dini menempati
posisi yang paling vital, karena sebagian besar perkembangan otak dicapai pada masa usia
dini. Lebih jelasnya bayi lahir telah mencapai perkembangan otak 25% orang dewasa. Untuk
menuju kesempurnaan perkembangan otak manusia 50% dicapai hingga usia 4 tahun, 80%
hingga usia 8 tahun dan selebihnya diproses hingga anak usia 18 tahun.
Dengan demikian, usia dini memegang peranan yang sangat penting karena perkembangan
otak mengalami lompatan dan berjalan sedemikian pesat. Pendidikan anak usia dini dapat
dijadikan sebagai cermin untuk melihat keberhasilan anak di masa mendatang. Anak yang
mendapatkan layanan yang baik semenjak usia dini memiliki harapan lebih besar dalam
meraih sukses di masa mendatang.
2. Anak Bagaikan Mutiara yang Indah
Al-Ghazali mengumpamakan keadaan jiwa anak usia dini dengan mutiara yang indah bening
dan bersih sedikit pun tidak ada noda. Perumpamaan itu bukan sesuatu yang berlebihan
karena Nabi sendiri menyebutkan dengan istilah Fitrah daam hadisnya. Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
atau Majusi. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah). Rajukan tersebut memberikan
pengertian, bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal, ikut memengatuhi dinamika dan arah
pertumbuhan fitrah seoarng anak. Semakin baik penempaan fitrah ynag dimiliki manusi,
maka akan semakin baiklah kepribadiannya.
Kata fitrah diartikan sebagai potensi yang diberikan Allah kepada manusia mampu
melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah kepadanya. Potensi meliputi potensi
seluruh dimensi manusia. Dalam konteks ini sebagai contoh dari sekian banyak potensi yang
dimiliki manusia di antara potensi tersebut adalah: pertama, potensi berjalan tegak dengan
menggunakan kedua kaki, merupakan bentuk potensi jasadiah. Kedua, kemampuan manusia
untuk menarik suatu kesimpulan dan sejumlah premis merupakan bentuk potensi
akhlaknya. Ketiga,kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih,
bahagia, tenteram, dan sebaginya, merupakan bentuk potensi rihaniahnya.
“Apa yang dilakukan oleh orangtua atau pendidik tentu akan ditiru oleh anak didik. Karena
itu sebagai orangtua atau pendidik harus memberikan contoh nyata atau keteladanan yang
baik pada anak-anak. Memang anak-anak adalah cerminan orangtuanya. Tetapi bukan hanya
dari orangtua saja, anak-anak akan meniru dari lingkungan sekitar atau media lain seperti
televise, playstation, juga teman sebaya, dan saudara-saudaranya yang lebih dewasa.”
Dengan demikian, menjadi karakter dasar anak sangat mudah dan cepat untuk menirukan apa
yang dilihatnya dari luar berupa gerakan atau pembuatan orang lain, terutama sekali yang
menjadi orangtua dan pendidiknya sebagai pihak yang dianggapnya sebagai panutan.
Kenyataan ini harus menjadi perhatian, jika menginginkan anak tumbuh dengan kebiasaan-
kebiasaan yang baik dan akhlak yang terpuji sehingga secara bertahap ia memiliki
kepribadian yang luhur. Karena itu terutama bagi orangtua dan pendidiknya, baik disadari
atau tidak, jangan seklai-kali menunjukkan apalagi mengajarkan suatu pola perbuatan yang
tidak baik.
4. Kecenderungan Pendidikan Berbasis Karakter
Menurut Doni Koesoemah (dikutip dalam El-Khuluqo, 2015: 48) istilah karakter dianggap
sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau
sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan bawaan seseorang sejak lahir.
Karakter dalam pendidikan mempertanyakan secara kritis gambaran manusia macam apa
dalam kepala kita. Data-data indrawi manusia secara spontan mampu membedakan antara
orang yang baik dan orang yang jahat. Antara orang yang memiliki keutamaan dan mereka
yang tidak memiliki keutamaan. Bisa dikatakan bahwa dari sananya ada orang yang memiliki
bakat untuk enjadi orang baik, dan sebagian lain berbakat menjadi orang jahat. Jika
pandangan ini benar, maka tidak ada gunanya bagi manusia sebab karakter baik atau buruk
itu sudah ada dari sananya, usaha apa pun akan tetap mengondisikan seseorang sesuai dengan
karakternya. Akan tetapi, pandangan ini tetap saja tidak memuaskan, sebab bahwaa dalam
kenyataannya ada orang yang dulunya jahat sekarang menjadi baik. dan sebaliknya, ada
orang yang dulunya baik dan sekarang menjadi jahat.
Perubahan dari baik menjadi jahat atau sebaliknya dari jahat menjadi baik, mengindikasikan
bahwa manusia mempunyai daya-daya yang dinamis yang bisa berubah. Jadi, pendidikan
karakter merupakan sebah kesempatan, bukan asset yang telah dimiliki. Pendiidkan karakter
adalah sebuah peluang bagi penyempurnaan diri manusia. Dengan demikian bisa dipahami
pendidikan karakter sebagai sebuah usaha manusia untuk menjadikan dirinya sebagai
manusia yang berkeutamaan. Pendidikan karakter merupakan hasil dari usaha manusia dalam
mengembangkan dirinya sendiri.
Pendidikan karakter yang mengembangkan keutamaan hidup tidak ada bedanya dengan
sesorang yang belajar mengemudikan mobil. Mulanya tidak pandai mengemudikan mobil,
dengan berlatih terus menerus ia sampai pada kemampuan dan keterampilan menyetir mobil.
Artinya, ia menambahkan suatu kualitas dalam kepribadiannya, yaitu kemampuan menyetir
mobil.
Selain itu pula, pendidikan karakter dianggap sebagai pengembangan satu kemampuan teknis
di antara keterampilan lain yang mungkin dimiliki manusia, seperti main music teater,
olahraga, dan lain-lain. Manusia yang tadinya tidak memiliki karakter, melalui pelatihan
lantas memiliki kualitas tambahan yang disebut kemampuan untuk berbuat baik, bertanggung
jawab, dan lain-lain.
5. Pendidikan karakter
Menurut Ki Hadjar Dewantara dikutip dalam El-Khuluqo (2015: 51), pendidikan karakter
adalah watak atau karakter merupakan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga
menjadi tanda khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Ki Hadjar
Dewantara menyebut karakter itu denga nama budi pekerti atau watak, pikiran dan tubuh
anak. Orang yang telah mempunyai kecerdasan budi pekerti itu senantiasa memikir-mikirkan
dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan
tetap. Itulah sebabnya, tiap-tiap orang itu dapat kita kenal wataknya dengan pasti, yaitu
karena watak atau budi pekerti itu memang bersifat tetap dan pasti buat satu-satunya manusia
sehingga dapat dibedakan orang yang satu daripada yang lain.
Konsep pendidikan karakter menurut Ki Hadjar Dewantara dipandang sangat perlu bahkan
wajib diberikan kepada anak agar mereka kelak menjadi manusia yang berpribadi dan
bersusila. Oleh karena itu ia menjabarkan pendidikan berkarakter ini dengan empat tahap
langkah-langkah yang perlu diperhatikan yang diambil dari ajaran Islam, yaitu Syari’at,
Hakikat, Tarikat dan Ma’rifat.
Tingkat syari’at, cocok diberikan kepada anak-anak yang masih kecil (tingkat
TK). Mertodenya ialah membiasakan berperilaku atau berbuat baikk menurut peraturan atau
norma umum di masyarakat. Anak-anak tak perlu diberikan teori budi pekerti tetap langsung
dibiasakan berkarakter yang baik misalnya mengucapkan salam ketika bertemu teman,
menyatakan hormat ketika bertemu orangtua dan sebagainya.
Tingkat Hakikat, diberikan pada anak SD, periode ini dibiasakan untuk berbuat dan
berprilaku baik menurut ketentuan atau ukuran umum. Akan tetapi dalam waktu bersamaan
mulai perlu diberi pula pengertian-pengertian sederhana mengenai mengapa ia harus berbuat
yang demikian. Contohnya, di samping mereka dibiasakan mengucap salam sewaktu bertemu
teman, maka mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucapkan salam itu,
misalnya saja ucapan salam itu dapat menimbulkan ikatan dan keakraban antara teman.
Tingkat Tarikat, diberikan kepada anak tingkat SLTP, pada periode ini anak-anak tetap saja
dibiasakan berprilaku dan berbuat baik menurut ketentuan umum, juga diberikan pengertian
mengenai pentingnya hal itu dilakukan. Tetapi bersamaan waktunya juga disertai dengan
aktivitas pendukung yang cocok. Misalnya saja bagaimana anak-anak itu berkesenian,
berolah puisi, berolahraga, dan bersastra ria sambil berolah budi. Contohnya, anak-anak
SLTP dilatih menari “halus” sambil menjelaskan makna-makna gerakan yang ada di
dalamnya untuk menanamkan konsep berkarakter.
Tingkat yang terakhir adalah tingkat ma’rifat, cocok diberikan pada anak-anak SMA/SMK.
Dalam periode ini anak-anak disentuh pemahaman dan kesadarannya sehingga kalau ia
berlaku dan berbuat baik itu bukan semata-mata kebiasaan dan pengertiannya, akan tetapi
memang telah memiliki kesadaran di dalam lubuk hatinya untuk melakukan hal yang
demikian itu.
Dengan adanya budi pekerti atau karakter itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia
merdeka berpribadi, dapat memerintah atau meguasai diri sendiri mandiri, inilah manusia
yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan karakter dalam garis besarnya.
Menurut Winie dikutip dalam El-Khuluqo (2015: 56) memahami bahwa istilah karakter
memiliki dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia mneunjukkan bagaimana seseorang
bertingkah laku. Apabila seseorang berprilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang
tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berprilaku jujur,
suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. kedua, istilah
karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut’ orang yang
berkarakter’ (a person of character)apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Sedangkan Imam Ghazali dikutip dalam El-Khuluqo (2015: 56) menganggap bahwa karakter
lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu
dipikirkan. Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan
kekuatan moral berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang
yang mempunyai kualitas (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun
kaakter, secara implicit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari
dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negative atau buruk.
Islam mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kecendrungan fitrah untuk mencintai
kebaikan. Namun, fitrah ini adalah bersifat potensial, atau belum termanifestasi ketika anank
dilahirkan. David Brooks dan F. Goble dikutip dalam El-Khuluqo (2015: 58) mengatakan
bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan
pembentukan karakter, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk
lagi. Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai
kebajikan baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas sangat penting
dalam pembentukan karakter seorang anak.
Fitrah manusia adalah cenderung kepada kebaikan ini, masih mengakui adanya pengaruh
lingkungan yang dapat menganggu proses tumbuhnya fitrah. Hal ini memberikan
pembenaran perlunya faktor atau lingkungan, budaya, pendidikan dan nilai-nilai perlu
disosialisasikan kepada siswa. Namun dalam proses tumbuh kembangnya pasti akan
dikelilingi oleh sifat-sifat buruk berusaha tumbuh menyaingi pertumbuhan fitrah tersebut,
maka sejak usia sekolah dididik dengan nilai-nilai yang akan menyuburkan fitrah atau
kesucian manusia untuk tumbuh kukuh.
Jadi beberapa pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya karakter atau kepribadian manusia adalah ditentukan oleh dua faktor, yaitu
faktor alami atau fitrah, sosialisasi atau pendidikan.
Secara historis pendidikan karakter merupakan misi utama para nabi. Muhammad Rasulullah
sedari awal tugasnya memiliki suatu pernyataan unik, bahwa dirinya diutus untuk
menyempurnakan karakter (akhlaq). Muhammad Rasulullah mengindikasikan bahwa
pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang
dapat menciptakan peradaban. Pada sisi lain, bahwa masing-masing manusia telah memiliki
karakter tertentu, namun perlu disempurnakan.
Pendidikan karakter yang dilakukan di instansi pendidikan dapat dilakukan dengan selalu
memberikan arahan mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap perkembangan
umur anak. Penerapan pendidikan karakter di instansi pendidikan dapat mengikuti pilot
project SBB dan tingkat pendidikan karakter milik yayasan Indonesia Haritage
Foundation.Penerapan model tersebut adalah sebagai berikut, memakai acuan nilai-nilai dari
9 pilar karakter, yaitu cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung
jawab; kejujuran atau amanah dan bujaksana; hormat dan santun, dermawan, suka menolong
dan gotong royong; percaya diri, kreatif dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik
dan rendah hati; toleransi, kedamaian dan kesatuan.
Selanjutnya dalam upaya pembangunan karakter bangsa yang sangat berperan penting adalah
generasi muda karena para generasi muda adalah penerus bangsa yang akan menentukan
masa depan dan integritas bangsa Indonesia. Tiga peran penting generasi muda dalam upaya
pembangunan karakter bangsa adalah: 1) sebagai pembanguun kembali karakter bangsa yang
positif. Esensi peran ini adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral di atas kepentingan-kepentingan sesaat sekaligus
upaya kolektif untuk menginternalisasikannya pada kegiatan dan aktivitasnya sehari-hari; 2)
sebagai pemberdaya karakter. Pembangunan kembali karakter bangsa tentunya tidak akan
cukup jika tidak dilakukan pemberdayaan terus menerus. Sehingga generasi muda juga
dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter. Bentuk praktisnya adalah
keemauan dan hasrat yang kuat dari generasi muda untuk menjadi role model dari
pembangunan karakter bangsa yang positif. Sebagai perekyasa karakter sejalan dengan
perlunya aktivitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa. Peran ini menuntut
generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran; dan 3) meningkatkan daya saing bangsa
dalam bentuk kemajuan ilmu teknologi.
Menurut Porter dalam Syamsuddin (dalam El-Khuluqo, 2015: 64) pemahaman daya saing
sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki oleh suatu entitas dibanding dengan entitas
lainnya, bukan baru muncul di era abad ke-21 sekarang ini. Peran daya saing dalam
mewujudkansuatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya suatu keniscayaan
semenjak masa lampau. Daya saing disini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat
luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi, menurut Porter hanya sebatas
mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu
entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.
Menurut Oetomo (dalam El-Khuluqo, 2015: 64) peran media ada tiga, yaitu sebagai
penyampai informasi, edukasi dan hiburan. Pran strategis ini hendaknya dapat didayagunakan
pemerintah bekerjasama dengan pemilik media untuk menayangkan informasi yang positif
dan mendukung terciptanya karakter bangsa yang kompetitif. Ketiga langkah diatas hanyalah
sebagaian dari langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia untuk
membangun karakter bangsa ini. Masih banyak cara yang dapat ditempuh agar bangsa ini
menjadi bangsa yang memiliki kapasitas dan daya saing yang tinggi juga memiliki karakter
yang positif, displin dan sebagainya.
Dengan demikian, pendidikan karakter harus dapat mengembangkan semua potensi anak
sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini, perkembangan anak harus seimbang,
baik dari segi akademik maupun dari sosial dan emosinya. Pendidikan selama ini hanya
memberikan penekanan pada aspek akademik saja dan untuk mengembangkan aspek sosial,
emosi, kreativitas dan bahkan motorik anak hanya dipersiapkan untuk dapat nillai bagus,
namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup.
Pembinaan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensional.
Sangat luas karena terkait dengan pengembangan multiaspek potensi-potensi keunggulan
bangsa dan bersifat multidimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang
hingga saat ini sedang dalam proses “menjadi”. Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa
karakter merupakan hal yang sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya
karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Karakter berperan sebagai
“kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing. Karakter tidak datang
dengan sedirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang
bermartabat.
Pembinaan karakter bangsa harus diaktualisasikan secara nyata dalam bentuk aksi nasional
dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa
sebagai uapaya untuk menjaga jati diri bangsa dan memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa dalam naungan NKRI. Pembinaan karakter bangsa harus dilakukan melalui
pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga, kesatuan pendidikan,
pemerintah, masyarakat termasuk teman sebaya, generasi muda, lanjut usia, media massa,
pramuka, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi, lembaga swadaya
masyarakat, kelompok strategis seperti elite struktural, elite politik, wartawan, budayawan,
agamawan, tokoh adat, serta tokoh masyarakat. Adapun strategi pembinaan karakter dapat
dilakukan melalui sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama
dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat serta pendekatan
multidisiplin yang tidak menekankan pada indoktrinasi.
Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan bidang lain, khususnya budaya, pendidikan
dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai
yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau
kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan
bagi masyarakat. Pendidikan selain mencakup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan
juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan
anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur
dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu
dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang
berkarakter, berkeadaban dan berharkat. Budaya, pendidikan dan behkan agama boleh jadi
mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas,
misalnya industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan globalisasi.
Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta
didik yang meliputi kompetisi kesadaran, pemahaman kepedulian, dan komitmen yang tinggi
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Allah, diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun masyarakat dan bangsa secara keseluruhan sehingga menjadi manusia
sempurna sesuai dengan kodratnya.
Oleh karena itu, pendidikan karakter bagi anak usia dini sebaiknya direalisasikan melalui
berbagai tindakan nyata dalam pembelajaran, jangan terlalu teoritis, dan jangan banyak
membatasi aktivitas pembelajaran apalagi hanya terbatas di dalam kelas.
Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkkan 18 nilai karakter dan 17 nilai kewirausahaan
yang harus ditanamkan kepada anak-anak sebagai berkut ini:
Tabel 1
18 Nilai Karakter
No Nilai Deskripsi
Tabel 2
17 Nilai Kewirausahaan
No Nilai Deskripsi
Berani
Mengambil Kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yang
3 Resiko menantang.
10 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang yang mau dan mampu
melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Motivasi Kuat
17 Untuk Sukses Sikap dan tindakan selalu mencari solusi terbaik
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu jenjang pendidikan yang berupaya memberikan
pembinaan kepada anak usia dini dengan menggunakan cara bermain sambil belajar dengan
tujuan dapat merangsang perkembangan anak sehingga anak usia dini siap untuk malnjutkan
pendidikan ke jenjang selanjutnya. PAUD sangatlah berperan penting dalam kesuksesan anak
di masa mendatang karena merupakan fondasi bagi dasar kepribadian anak. Konsep
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dibagi menjadi 8 yaitu: 1) anak sebagai amanah Allah;
2) anak bagaikan mutiara yang indah; 3) anak usia dini cenderung meniru; 4) kecenderungan
pendidikan berbasis karakter; 5) pendidikan karakter; 6) peranan sekolah dan keluarga dalam
pendidikan karakter; 7) karakter anak usia dini tumbuh dari kebiasaan; dan 8) hakikat
pendidikan karakter bagi anak usia dini.