Anda di halaman 1dari 29

Tugas UAS : Residensi dan Model Asuhan Kebidanan

Dosen Pengampu : Dr. Imelda


Iskandar.,S.SiT.,M.Kes.,M.Keb
Nama Mahasiswa : Erni Agit Ekawati
NIM : P102202015

1. Problem: Kurang percaya diri


a. Pola Asuh yang Tepat untuk Anak yang Kurang Percaya Diri adalah Pola
Asuh Demokratis
Pola pengasuhan orangtua sendiri pun memiliki andil yang cukup serius
dalam menentukkan kepribadian seorang anak salah satunya tingkat kepercayaan
diri. Pola pengasuhan dalam keluarga harusnya dapat mengarahkan kearah hal
yang lebih baik dan kreatif. Berdasarkan berbagai bentuk pola asuh, bentuk pola
asuh yang dianggap paling baik adalah pola asuh demokratis (Sarah Wulandari,
2017).
Bentuk-bentuk pola asuh seperti memberi reward dan punishment,
mengajarkan kesopanan, kepatuhan, dan memberi perintah tanpa emosional
merupakan beberapa aspek yang memiliki kontribusi pada terbentuknya
kepercayaan diri pada remaja dan bentuk-bentuk sikap orang tua yang
menunjukkan kasih sayang, perhatian, cinta serta kelekatan emosioal dapat
membangkitkan rasa percaya diri pada anak. Orang tua merupakan tokoh yang
penting dalam perkembangan identitas anak remaja (Sarah Wulandari, 2017).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sarah Wulandari, 2017) menunjukkan
nilai koefisien korelasi (rxy2) sebesar 0,118 sig (p) (1-tailed) = 0,099: 2 = 0.049
(p<0,005), artinya ada hubungan positif antara persepsi terhadap pola asuh
demokratis orangtua dan kepercayaan diri. Artinya semakin demokratis pola asuh
orangtua, maka semakin tinggi kepercayaan diri pada remaja demikian pula
sebaliknya semakin tidak demokratis pola asuh orangtua, maka semakin rendah
kepercayaan diri pada remaja.
Pola asuh demokratis orangtua kepada anak akan memberikan wacana dan
wawasan berfikir, beraktifitas dan bersosialisasi yang baik sehingga memacu
perkembangan mental anak secara positif khususnya mengenai rasa percaya diri
mereka. Komunikasi dan pola asuh di usia dini merupakan faktor yang amat
mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri. Sikap orangtua akan diterima oleh
anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orangtua yang menunjukkan
perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kedekatan emosional yang
tulus dengan anak akan membangkitkan rasa percaya diri pada anak tersebut.
Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya
meskipun melakukan kesalahan. Berdasarkan sikap orangtua, anak tersebut
melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak tersebut dikemudian
hari akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan
mempunyai harapan yang realistik terhadap diri seperti orangtuanya meletakkan
harapan realistis terhadap dirinya. Komunikasi keluarga dan pola asuh demokratis
orangtua dengan segala aspek yang terkandung didalamnya cukup memberikan
kontribusi terhadap kepercayaan diri (Sarah Wulandari, 2017).
b. Peran Orang Tua dalam Membagun Kepercayaaan Diri Anak Sejak Usia
Dini
Menurut (Rahman, 2013), untuk mampu membangun rasa percaya diri anak
sejak usia dini, maka tugas orang tua adalah sebagai berikut:
1) Jadilah pendengar baik
Sesibuk apapun, ketika ia meminta perhatian Anda, cobalah untuk
mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tinggalkan pekerjaan Anda, tatap
matanya, dan biarkan ia bicara. Mengabaikannya akan membuat ia merasa
tidak berharga, tidak layak untuk diperhatikan, dan hal itu mengoyak rasa
percaya dirinya.
2) Tunjukkan sikap menghargai
Sekalipun keinginannya mungkin tidak bisa Anda penuhi. Memaksa anak
untuk selalu menuruti keinginan Anda akan merusak rasa percaya dirinya.
3) Biarkan ia membantu.
Meski masih kecil, ia sudah bisa kok, membawakan kantung belanjaan Anda
yang tidak terlalu berat. Rasa bangga karena bisa membantu Anda akan
memupuk rasa percaya dirinya.
4) Biarkan ia melakukan sendiri apa yang sudah bisa ia lakukan
Kalau ia mau mengambil lauk sendiri di meja makan saat makan bersama,
mengapa harus dilarang? Justru sebaliknya, dukung dia meski ia terlihat masih
kikuk saat melakukannya. Intinya, selain perhatian dan dukungan, berikan
padanya kebebasan untuk melakukan apa yang sudah bisa ia lakukan, Ma.
Semua itu akan membuat ia tahu, Anda percaya ia bisa, dan ia memang bisa.

5) Memilah pujian anda


Tentu saja, anak kecil butuh banyak motivasi, apakah ketika mereka belajar
merangkak, melempar bola, atau membuat gambar lingkaran. Tapi anak akan
menjadi begitu terbiasa mendengar kata “Adik pintar!” sehingga dia bisa
kesulitan untuk benar-benar menyadari ketika pencapaian yang dia lakukan
memang patut dirayakan. Anak juga bisa merasakan ketika orang tua melebih-
lebihkan (“Wah, itu istana balok paling indah yang pernah Mama lihat!”) dan
akan mulai mengabaikan pujian yang Anda berikan. “Jangan puji anak jika dia
melakukan sesuatu yang memang sudah seharusnya dia lakukan. Ketika dia
menggosok gigi atau memasukkan baju kotornya ke keranjang cucian
misalnya, ucapan “terima kasih” sudah cukup. Orang tua mencoba untuk
memberinya tanggapan balik yang spesifik: Daripada berkata bahwa gambar
yang dia hasilkan sangat menawan, Anda bisa mengatakan bahwa warna ungu
yang dia pakai pada gambar tersebut indah dilihat.
6) Jangan langsung “menyelamatkan” si kecil
Adalah hal yang alami jika Anda selalu ingin menghindarkan si kecil agar
tidak terluka, tidak merasa takut, atau tidak berbuat kesalahan. Tapi ketika
orang tua menginterupsi keadaan – mencoba membuat anak mendapat
undangan pesta ulang tahun yang sebenarnya tidak diundang, atau memaksa
pelatih sepakbola untuk memberi anak lebih banyak kesempatan bermain di
lapangan orang tua tidak membantunya. Anak perlu tahu bahwa kalah, atau
jatuh adalah hal yang wajar.. Anak belajar menjadi sukses ketika mereka
berhasil mengalahkan rintangan, bukan karena orang tua yang membantunya
menyingkirkan rintangan tersebut. “Adalah hal yang penting bagi anak usia
muda untuk mendapat kesempatan bermain dan menerima risiko tanpa merasa
bahwa orang tua mereka akan mengeritik atau membetulkan mereka jika
melakukan kesalahan. Bahkan mendorong para orang tua untuk sengaja
melakukan kesalahan kecil di hadapan anak. “Melihat orang tua melakukan
kesalahan dan tidak menjadikan kesalahan tersebut sebagai hal yang luar biasa
akan membuat anak merasa jauh lebih nyaman.”
7) Fokus pada “gelas setengah penuh”
Jika anak memiliki kecenderungan untuk merasa rendah diri setelah
mengalami suatu kekecewaan, bantu anak untuk merasa lebih optimis
menghadapinya. Daripada menawarkan pencerahan semu seperti, “Yah, paling
tidak masih ada sisi positifnya,” mendukung anak untuk memikirkan satu cara
spesifik untuk membuat situasinya membaik dan dapat membantu mencapai
tujuan yang diinginkan. Jika kemampuan membaca anak tertinggal dibanding
teman satu kelasnya, jelaskan bahwa semua orang belajar dengan
kecepatannya masing-masing, dan mengajak anak untuk menghabiskan lebih
banyak waktu belajar membaca bersama. Jika anak sangat terluka ketika tidak
berhasil mendapat ranking atau bintang kelas, jangan katakan, “Tapi menurut
Mama kamu adalah bintang.” Sebaliknya, katakan, “Mama mengerti kamu
sangat kecewa. Yuk kita buat program belajar baru yang bisa meningkatkan
peluang kamu menjadi juara kelas pada semester berikutnya.”
8) Memupuk minat dan bakat anak
Kenalkan anak pada beragam aktivitas, dan beri dorongan agar dia
menemukan satu jenis aktivitas yang sangat disukainya. Anak yang memiliki
hasrat akan sesuatu –apakah itu kecintaan pada dinosaurus atau kegiatan
memasak – akan merasa bangga pada pencapaian mereka dan kemungkinan
besar akan lebih sukses di berbagai area lain dalan kehidupannya. Hobi yang
unik akan sangat membantu anak yang kurang bisa membaur di sekolah. Anda
juga bisa membantu anak untuk menunjukkan hobi dan bakatnya pada anak
yang lain sehingga dia menjadi lebih mudah berteman. Misalnya, jika anak
senang menggambar tapi kebanyakan teman sekelasnya lebih menyenangi
olahraga, anjurkan anak untuk menggambar dengan tema olahraga. Atau dia
bisa membuat satu koleksi buku berisi gambar-gambar aktivitas olahraga yang
bisa diperlihatkan pada teman sekelas. “Ada kalanya orang tua dan guru perlu
bekerja sama mencari cara untuk membantu agar anak menjadi menonjol di
kelas.
9) Mengajak memecahkan masalah
“Anak akan membangun kepercayaan diri ketika mereka berhasil bernegosiasi
untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Orang tua bisa mengajarkan anak
yang masih sangat kecil untuk mencoba memecahkan masalah sendiri.
Kuncinya adalah: tidak banyak bicara. Jika anak menghampiri orang tua
dengan keluhan bahwa temannya merebut mobil-mobilan kesayangannya
ketika bermain di taman, tanyakan pada anak, cara seperti apa yang bisa
dilakukan agar dia mendapatkan kembali mainannya. Bahkan jika ide yang
pertama terlontar dari mulut si kecil adalah menarik paksa mainan itu dari
tangan temannya, tanyakan pada anak, apa yang mungkin akan terjadi
selanjutnya jika dia melakukan hal itu. Lalu tanyakan, “Bisa Adik mencari
cara lain untuk mendapatkan kembali mobil-mobilan itu tanpa perlu
berantem?” Dalam salah satu penelitian Dr. Shure mengenai situasi ini,
seorang anak berusia 4 tahun mengeluarkan ide brilian yang sangat dewasa,
yaitu dengan berkata pada si perebut mainan, “Kamu akan bisa lebih
bersenang-senang jika bermain mobil-mobilan bersamaku daripada jika kamu
bermain sendirian.”
10) Mencari cara untuk membantu sesama
Ketika anak merasa bahwa mereka telah berhasil melakukan suatu perubahan-
apakah itu sekadar mengoper kue pada teman di meja sebelah, atau membawa
sekeranjang buah untuk diberikan ke panti jompo- anak akan menjadi lebih
percaya diri. Adalah hal yang baik jika anak diberi satu tanggung jawab
mengurus rumah (menyapu atau merapikan tempat tidur), tapi akan lebih
membangun kepercayaan diri pada anak usia muda jika mereka membantu
dalam suatu kegiatan (“Mama benar-benar butuh bantuan kakak”). “Anak
akan bisa melihat langsung bahwa tugas orang dewasa membutuhkan usaha
yang keras, dan akan menjadi lebih mudah bagi anak tersebut jika di kemudian
hari dia harus melakukan tugas yang pernah dia lakukan bersama Anda.
11) Memberi kesempatan anak berkumpul bersama orang dewasa
Anak-anak senang bergaul dengan teman sebaya tapi juga penting bagi anak
untuk berada di antara orang dewasa. Menghabiskan waktu dengan orang yang
lebih tua akan memperluas cakrawala anak, membuatnya mampu berinteraksi
dengan orang dewasa didekatnya, dan memberi sudut pandang pemikiran yang
berbeda. Peneliti juga telah menemukan bahwa memiliki hubungan dekat
dengan satu orang dewasa – guru, paman, babysitter, atau orang tua sahabat-
membuat anak menjadi lebih ulet menghadapi hidup.
12) Berkhayal mengenai masa depan
Jika anak bisa membayangkan melakukan suatu hal berguna saat mereka
dewasa, anak akan merasa lebih percaya diri di masa kanak-kanaknya. Ajak
anak berdiskusi mengenai bagaimana orang tua, dan orang dewasa lain (yang
dia kenal) memilih profesi yang sekarang ditekuni. Bahkan jika dia mengubah
cita-citanya, yang paling penting adalah dia sudah memikirkan tujuannya di
masa depan.
c. Peran Konselor dan Guru TK untuk Meningkatkan Perilaku Percaya Diri
pada Anak Usia Dini
Peran konselor ini yaitu sebagai konsultan (konsultan bagi guru dan orang tua
anak), bukan sebagai pembimbing langsung bagi anak. Dalam hal ini, konselor
memberikan layanan konsultasi sesuai dengan layanan pada bimbingan dan
konseling. Tetapi apabila guru kelas merasa tidak bisa menangani perilaku tidak
percaya diri pada anak maka konselor yang menangani langsung, dalam
pelaksanaannya penanganan konselor yang diberikan ke anak langsung dilakukan
secara insidental. Bentuk perilaku percaya diri anak usia dini, yaitu : yakin pada
kemampuan pribadi, memiliki hubungan interpersonal yang baik, mampu bersikap
mandiri, dan memiliki emosi yang stabil (Christiana, 2014).
Hasil penelitian (Christiana, 2014) menunjukkan bahwa peran konselor untuk
meningkatkan perilaku percaya diri pada anak usia dini adalah sebagai berikut :
1) Memberikan contoh (modelling)
2) Pemberian reward dengan bintang atau stiker pemberian motivasi, seperti
kata-kata “kamu pasti bisa” maupun “ayo, bermain dengan teman-teman”.
3) Memberi pujian ketika anak dapat berperilaku lebih baik, seperti kata-kata
“pintar, dapat dua jempol, hebat”. Penanganan tersebut sudah sesuai untuk
diberikan pada anak usia dini.
Sebagai upaya peningkatan perilaku percaya diri pada anak usia dini sebaiknya
bagi pihak sekolah TK untuk anak usia dini, agar meningkatkan kreativitas
pengajaran untuk meningkatkan perilaku percaya diri siswa dengan teknik
sosiodrama atau bermain peran. Metode bermain peran maupun sosiodrama sangat
sesuai dengan karakteristik anak usia dini karena pada saat ini anak berpikir secara
simbolik sehingga metode ini sangat tepat dan efektif dalam rangka
mengoptimalkan potensi anak bagi pembentukan kemampuan dasar (fisik, bahasa,
kognitif, seni) dan pembentukan perilaku (moral-agama dan sosial-emosional)
(Christiana, 2014).
Guru dapat memutarkan film-film atau memilih episode-episode dari tayangan
televisi yang mencerminkan perilaku percaya diri sehingga anak dapat meniru
perilaku oercaya diri. Melalui kegiatan ini maka layanan informasi terintegrasikan
dalam proses pembelajaran anak secara tidak langsung. Selain itu proses belajar
menjadi lebih menyenangkan (Christiana, 2014).

d. Meningkatkan Percaya Diri Siswa Melalui Layanan Informasi Berbantuan


Audiovisual
Layanan informasi merupakan layanan yang diberikan pada siswa agar bisa
menerima dan memahami informasi, artinya setelah menerima layanan siswa
diharapkan dapat memiliki berbagai informasi tentang mmeningkatkan rasa
percaya diri siswa. Layanan informasi yang diperoleh siswa dapat dipergunakan
sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan artinya penguasaan
informasi tersebut dapat digunakan untuk pemecahan masalah, untuk mencegah
timbulnya masalah, untuk mengembangkan dan memelihara potensi yang ada dan
memungkinkan siswa mengaktualisasikan dirinya (Aristiani, 2016).
Guru bimbingan dan konseling memiliki tugas, tanggung jawab, wewenang
dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa, terkait
dengan pengembangan diri siswa sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat
dan kepribadian siswa disekolah. Untuk dapat mengembangkan potensi siswa
diperlukan kepercayaan diri yang baik, sehingga siswa bisa mengembangkan
potensi dengan optimal (Aristiani, 2016).
Layanan informasi bermaksud memberikan pemahaman kepada individu-
individu yang berkepentingan tentang berbagai hal yang diperlukan untuk
menjalani suatu tugas atau kegiatan, atau untuk menentukan arah suatu tujuan atau
rencana yang dihendaki (Aristiani, 2016).
Berkaitan dengan layanan informasi berbantuan audiovisual untuk
meningkatkan percaya diri siswa, penyelenggara layanan (guru bimbingan dan
konseling) secara aktif menyajikan bahan materi, memberikan contoh, memberi
motivasi peserta untuk aktif mengikuti dan menjalani materi dan kegiatan layanan
dengan baik. Layanan informasi berbantuan Audiovisual dapat diartikan sebagai
suatu media dalam layanan bimbingan konseling dengan menggunakan video/film
untuk menyampaikan informasi atau pesan-pesan tertentu yang dianggap penting
dan bermanfaat untuk siswa, kemudian menggunakan model dalam video/film
tersebut untuk siswa untuk belajar secara langsung guna memperoleh
pengetahuaan dan pemahaman baru, sehingga siswa dapat mengubah pemikiran
tentang materi percaya diri siswa yang disampaikan akan lebih sesuai (Aristiani,
2016).
Layanan informasi ini sangat penting, mengingat siswa yang memiliki rasa
percaya diri rendah bisa mendapatkan informasi sehingga siswa dapat secara aktif
mengembangkan potensi dirinya apabila seseorang tersebut memiliki rasa percaya
diri terlebih dahulu, sehingga dapat meningkatkan perkembangannya baik oleh
dirinya sendiri maupun lingkungan yang akan membantu pencapaiannya. Rasa
percaya diri merupakan suatu keyakinan terhadap segala aspek yang dimiliki dan
keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai
tujuan dalam hidupnya. Jadi orang yang percaya diri memiliki rasa optimis dengan
kelebihan yang dimiliki dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Rasa
percaya diri ini bisa ditanamkan melalui proses belajar dan pembelajaran sehari-
hari serta menumbuhkan pembiasaan sikap berani dalam bersosialisasi baik di
dalam kelas maupun luar kelas atau di lingkungan sekolah, maka dari itu percaya
diri merupakan sifat pribadi yang harus ada pada peserta didik (Aristiani, 2016).
Guru bimbingan dan konseling dalam memberikan layanan informasi
berbantuan audiovisual hendaknya bisa lebih kreatif dalam menyajikan bahan
layanan, supaya siswa tidak jenuh dan bosan, selain itu, guru bimbingan dan
konseling diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih kepada siswa agar
siswa dapat meningkatkan rasa percaya diri diberbagai lingkungan, baik itu
lingkungan sekolah maupun dilingkungan masyarakat (Aristiani, 2016).

2. Problem: Kecanduan perangkat digital (gadget)


a. Pola Asuh yang Tepat untuk Anak yang Kecanduan Perangkat Digital
(Gadget) Adalah Pola Asuh Demokratis
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Widayani, 2020) tentang hubungan pola
asuh demokratis dengan kecanduan gadget, dapat disimpulkan bahwa pola asuh
demokratis akan membentuk karakter yang baik pada remaja seperti percaya diri,
mandiri, kooperatif dengan orang dewasa, mampu mengatasi stress, mampu
mengontrol dirinya, bertanggungung jawab terhadap tugas dan kewajibannya serta
mudah menginternalisasi, dan menerima nilai serta peraturan.
Pola asuh demokratif memiliki pengaruh positif dalam kehidupan remaja.
Sikap orang tua, perilaku, standar kehidupan, dan komunikasi dengan remaja
berdampak besar pada kehidupannya. Pola asuh demokratis dapat mengupayakan
remaja menjadi pribadi yang utuh dan berkarakter, yang akan mempengaruhi
sikap, cara berpikir dan berperilaku remaja dalam menggunakan gadget. Remaja
dengan karakter yang baik akan selektif dan bisa membatasi diri dalam pengunaan
gagdet sehingga terhindar dari kecanduan gadget (Widayani, 2020).
b. Upaya Orang Tua Dalam Mengatasi Kecanduan Penggunaan Gadget pada
Anak Usia Dini
Upaya orangtua dalam menghadapi anak yang kecanduan gadget yaitu:
1) Pendampingan penggunaan gadget pada anak
2) Batasi penggunaan gadget pada anak
3) Beri jadwal penggunaan gadget pada anak
4) Berikan contoh yang baik
5) Jangan beri akses penuh penggunaan gadget pada anak
6) Tetapkan wilayah bebas gadget dalam ajarakan anak pentingnya menahan diri
dalam penggunaan gadget (Ari Pratama, 2021).
c. Peran Orangtua dalam Pencegahan terhadap Kejadian Adiksi Gadget pada
Anak
Dalam perannya sebagai orangtua, terdapat beberapa peran khusus yang dapat
mencegah anak kecanduan gadget yaitu: peran memberikan pendampingan,
pengawasan dan komunikasi yang tepat (Goyena, 2019).
1) Pendampingan
Adapun pendampingan yang dikemukakan oleh (Warisyah, 2015) adalah
dengan cara orang tua mendampingi anaknya yang sedang mengguankan
gadget, mengarahkan anak untuk membuka hal-hal yang sesuai dengan tahap
perkembangannya. Pendampingan yang dimaksud yaitu orang tua tidak hanya
melihat anaknya ketika bermain gadget, tetapi orang tua juga mampu menjadi
guru bagi anaknya. Orang tua juga harus memberi batasan waktu untuk anak
dalam menggunakan gadget, misalnya sehari anak hanya diperbolehkan
bermain gadget selama satu jam dengan fitur-fitur yang mendukung
perkembanganya.
Sedangkan hasil penelitian menurut (Sunita and Mayasari, 2018), hasil uji
statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara
pendampingan orang tua terhadap dampak pengguna gadget dengan nilai p-
value 0.05. Bermanfaat atau tidaknya gadget bagi anak dipengaruhi oleh
bagaimana orang tua dalam mengenalkan serta mengawasi anak saat
menggunakan/bermain gadget. Agar mendapatkan manfaat dari pemakaian
gadget orang tua harus memahami konten yang terdapat di dalamnya. Oleh
karena itu, harus ada pendampingan dari orang tua agar penggunaan gadget
sesuai dengan tahap perkembangan anak, serta tidak keluar dari apa yang telah
diajarkan kepada anak. Bentuk pendampingan yang dilakuakan yaitu dengan
memberi batasan dalam penggunaaan gadget, dengan memberi
batasan/mengurangi waktu untuk menggunakan gadget, maka dengan seiring
waktu anak akan mulai lupa dengan gadgetnya. Kemudian kembangkan bakat
anak, sering-seringlah bermain dengan anak. Orang tua yang sering bermain
atau memiliki kegiatan dengan anaknya akan membuat sang anak lebih fokus
kepada orang tuanya dibanding dengan gadgetnya. Mengajak anak untuk
bermain di luar rumah dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan
anak. Selain itu, orangtua dapat mengajak anak untuk ikut beraktivitas dengan
orangtua.
2) Pengawasan
Berdasarkan hasil penelitian (Palar et al., 2018) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara peran keluarga dalam menghindari dampak negatif
penggunaan gadget pada anak dengan perilaku anak dalam penggunaan
gadget. Hal itu dapat dilihat bahwa semakin baik peran keluarga maka akan
semakin baik perilaku anak dalam penggunaan gadget. Peran yang dapat
diberikan keluarga untuk anak dalam penggunaan gadget yaitu dengan adanya
pengawasan dan bimbingan penuh. Orangtua mengawasi penggunaan gadget
dari waktu pemakaian, fitur, aplikasi serta media yang digunakan.
Sejalan dengan hasil penelitian (Istiqomah, 2019) peran orangtua yang
diberikan kepada anak dalam menanggulangi adiksi gadget adalah dengan
tidak memberikan anak gadget pribadi dan tidak membiarkan anak
menggunakan gadget tanpa adanya pengawasan dari orangtua.
Pengawasan terhadap penggunaan gadget anak memiliki pengaruh penting
dalam proses belajar dan interaksi anak dengan lingkungannya. Orangtua
dapat memberikan beberapa peraturan kepada anak dalam penggunaan gadget,
sebagai bentuk pengawasan penggunaan gadget tersebut (Sunita and Mayasari,
2018).
3) Komunikasi
Berdasarkan penelitian (Munawar and Nisfah, 2020) berpendapat bahwa
terhadap 60 siswa dan dan 60 orangtua diperoleh hasil adanya pengaruh secara
signifikan antara disiplin asertif terhadap kecanduan gadget pada anak usia
dini. Orang tua dapat mengatasi kecanduan gadget dengan menerapkan
disiplin asertif, dengan membangun komitmen untuk menjaga komunikasi
yang baik dengan anak-anak.
Sejalan dengan hasil (Rahmawati and Latifah, 2020) yang menunjukkan
bahwa interaksi yang kurang antara ibu dan anak memiliki efek negatif pada
kecanduan gadget anak. Orangtua harus menggunakan gadget dengan bijak
dan meningkatkan mediasi orang tua untuk mengontrol penggunaan gadget
pada anak. Orang tua juga harus bisa meningkatkan interaksi mereka dengan
anak-anak untuk membuat anak lebih terlibat dengan orang tua daripada
gadget.
Komunikasi interpersonal dalam keluarga yang dilakukan antara orang tua
dengan anak merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
perkembangan anak. Komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi yang
efektif, karena dapat memunculkan rasa pengertian, kesenangan, pengaruh
pada sikap, dan hubungan yang semakin baik. Sehingga dengan dilakukannya
komunikasi yang efektif yang terjalin antara orangtua dengan anak akan
timbulnya hubungan harmonisasi sehingga anak akan senantiasa
mendengarkan dan mengikuti perintah orangtuanya termasuk dalam hal
penggunaan gadget (Goyena, 2019).
d. Peran Orang Tua Mencegah Dampak Negatif Gadget Melalui Pendekatakan
Komunikasi dan Psikologi
Adapun cara-cara untuk mengatasi atau mengurangi dampak negatif gadget
pada anak yaitu:
1) Ketahui ranting dari game yang di konsumsi oleh anak, Rating dalam hal ini
maksudnya yaitu tentang jenis games seperti apa yang di mainkan anak.
2) Jangan memasang perangkat elektronik di dalam kamar anak.
3) Membuat aturan yang disepakati dengan anak, misalnya dengan
memberlakukan batas waktu penggunaan gadget terhadap anak.
4) Orang tua mengawasi media yang dikonsumsi oleh anak, misalnya terkait
game, film.
5) Diskusikan dengan anak tentang apa yang mereka dapat amati dan dapat dari
game atau acara tv yang mereka nonton.
6) Mengatur kontrol orang tua di play store (Anggraeni and Hendrizal, 2018).
e. Pengabdian Masyarakat oleh Dosen dalam Upaya Pencegahan Pengaruh
Gadget pada Anak Melalui Kegiatan Penyuluhan dan Sosialisasi Dampak
Gadget Kepada Ibu-Ibu
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh tim Dosen
adalah salah satu upaya dalam meminimalisir pengaruh gadget dikalangan anak-
anak dengan memberikan edukasi dampak penggunaan gadget kepada orang tua
yaitu ibu. Karena peran sentral di rumah dipegang oleh Ibu.Pengoptimalan peran
ibu dan ayah akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan anak
selanjutnya. Hal ini disebabkan karena dewasa ini, peran ayah dan ibu dirumah
sudah tidak proporsional lagi.Terkadang ibu harus ikut bekerja dan juga mengurus
rumah, sehingga tidak optimal dalam merawat anakanak.Gadget adalah salah satu
solusi praktis agar anak bisa diam adalah anggapan yang salah yang masih ada
sampai sekarang.Oleh karena itu, pentingnya edukasi terhadap ibu tentang
dampak gadget ini harus terus di lakukan agar mampu mendampingi anak dalam
tumbuh kembangnya (Yanizon et al., 2019)
Adapun bentuk kegiatan pengabdian yang kami lakukan dapat diuraikan
sebagai berikut :
1) Berkenalan dan menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan dilaksanakan
2) Pemberian materi sosialisasi
3) Evaluasi dan penutup kegiatan (Yanizon et al., 2019).

3. Problem: Kebiasaan makan tidak benar


a. Pola Asuh Yang Tepat Untuk Anak Yang Kebiasaan Makan Tidak Benar
adalah Pola Asuh Demokratis
Gaya makan autoritatif (demokratis), orang tua mendorong anak untuk makan
dengan menggunakan aturan yang jelas dan responsif disertai adanya negosiasi
dan pujian pada anak, sedangkan gaya makan otoriter, orang tua mendorong anak
untuk makan, namun menggunakan aturan orang tua tanpa adanya negosiasi
dengan anak serta adanya hukuman bagi anak yang melanggar aturan makan
(Shloim et al., 2015). Memahami praktik pengasuhan yang berhubungan dengan
kegiatan makan adalah penting bagi orang tua, karena dapat mengetahui kualitas
makanan yang dikonsumsi oleh anak sejak dini. Selain itu, pentingnya kebiasaan
makan yang sehat dan bergizi sejak dini sebagai upaya pencegahan terhadap
penyakit kronis tidak menular saat dewasa kelak (Andreoli et al., 2018).
b. Peran Orang Tua dalam Mengatasi Anak yang Mengalami Picky Eater
(suatu kondisi dimana anak memilih-milih jenis makanan)
Menurut (Adhani, 2019), peran orang tua untuk menghadapi anak yang
mengalami picky eater adalah dengan cara berikut:
1) Saat anak memperlihatkan reaksi tidak menyukai suatu makanan serta
meludahkan makanan, maka orang tua disarankan untuk menghentikan
pemberian makan tersebut, karena jika memberikan maknan yang sama makan
anak akan memperlihatkan perilaku menolak, adanya rasa takut, serta menolak
makanan. Pemberian waktu dengan makanan yang sama sebaiknya diberikan
jeda serta dicampur dengan maknanan yang disukai.
2) Saat anak menunjukkan rasa ketakutan untuk mencoba makanan yang baru
maka diet anak menjadi lebih terbatas, anak hanya makan dengan porsi yang
sedikit dan akan bosan jika melihat menu yang sama, maka orang tua perlu
untuk memberikan siklus menu
3) Menghindarkan anak untuk pemberian snack diluar jadwal makanan tambahan
4) Anak perlu membiasakan diri makan bersama dengan keluarga di meja makan
5) Jangan menyuapi anak dengan paksaan
6) Membiarkan anak untuk memilih maknan dengan preferensi atau mengajak
anak untuk membeli bahan makanan kemudia mengolah makanan sendiri
7) Orang tua seharusnya mengikuti keinginan nak sesuai dengan menu yang
disukai, karena adanya kemungkinan ketidaksukaan terhadap menu tertentu
karena ingin menentang orang tua.
c. Peran Guru dalam Mengenalkan Makanan Bergizi pada Anak untuk
Mengatasi Kebiasaan Anak Makan yang Tidak Benar
Peran guru sangat penting dalam mengenalkan makanan bergizi pada anak,
karena melalui peran guru tersebut maka anak bisa membedakan antara makanan
bergizi dan makanan yang tidak bergizi. Menurut (Winarti, 2019), peran guru
dapat ditunjukkan dengan :
1) Dalam pemberian makanan bergizi guru harus memberikan contoh yang tepat
dan menarik perhatian anak-anak, misalnya pada saat materi tentang sayur-
sayuran guru membawakan sayuran dan gambar yang jelas agar lebih menarik
perhatian anak dan anak mau memperhatikan gurunya.
2) Guru menjelaskan makanan bergizi tidak pada saat jam belajar anak, misalnya
pada saat membagikan makanan guru juga menjelaskan hari ini makan apa
dan terdapat kandungan apa saja yang ada pada makanan yang akan dibagi
pada hari itu.
3) Sebaiknya guru menceritakan gizi makanan sebelum membagikan makanan
agar dapat melihat respon anak dalam menerima makanan yang dibagi oleh
guru.

4. Problem: Tantrum
a. Pola Asuh yang Tepat untuk Anak yang Tantrum adalah Pola Asuh
Demokratis
Pola asuh orang tua sangat penting untuk membentuk kepribadian anak,
khususnya dalam mengontrol emosi untuk mengurangi terjadinya tantrum pada
anak prasekolah, sehingga orang tua diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang
baik yaitu pola asuh demokratis pada anak-anaknya (Dini Sukmalara, 2018).
Anak yang dibesarkan dengan pola asuh autoritatif (demokratis) maka anak
akan bertingkah laku secara hormat, mengatasi pemecahan masalah dengan baik,
dan jarang mengalami tantrum (Santy and Irtanti, 2018).
b. Peran Orang Tua Dalam Mengatasi Perilaku Tantrum Pada Anak Usia Dini
Menurut Eileen Hayes (2005) dalam (Aknes Zelly Meyriana, 2021), ada tiga
tips untuk mengatasi tantrum pada anak yaitu:
1) Tantrum kecil. Kadang-kadang anda bisa menilai berdasarkan situasi pemicu
apakah anak anda akan mempunyai sebuah tantrum yang yang tidak akan
sepenuhnya keluar kendali. Kejadian ini sering kali dimulai dengan merengek
untuk sesuatu. Kemudian berkembang menjadi tantrum. Tips mengatasinya
yaitu dengan cara:
a) Orang tua harus konsisten kepada anak. Contoh, jika anak merengek untuk
memakan es krim maka katakana “tidak” pada anak dengan baik dan tegas.
b) Melakukan pendekatan kepada anak. Contoh, saat anak merasakan
kecemburuan kepada adik nya maka berilah pengertian dengan
pendekatan.
c) Memahami perasaan anak yang sedang marah agar membuat dia merasa di
mengerti. Contoh ungkapkan kata “mama tahu adek sedang marah”.
2) Tantrum besar. Kadang-kadang, perasaan anak akan tampak menjadi lebih
tidak terkendali. Pada tantrum besar, anak anda benar-benar tidak bisa
mengendalikan perasaannya atau mendengarkan alasan apapun dari anda dan
ia sendiri mungkin juga takut dengan sikapnya yang berlebihan ini. Tips
mengatasinya yaitu dengan cara:
a) Perlakuan orang tua nya yang di nilai pada anak dari pada nasehat. Jadi,
lakukan hal yang membuat Anda tenang. Contoh, tenangkan diri Anda
dahulu saat anak mengalami tantrum.
b) Setelah anak tenang, berbicaralah dengan pelan kemudian menanyakan
perasaannya.
c) Memeluk atau mendekap anak untuk meredakan emosi negatif nya.
3) Tantrum muka umum. Tantrum terjadi ketika anda sedang berada diluar
rumah sering kali lebih susah ditangani. Contohnya pada saat anda dan si bayi
sedang mengunjungi teman maka, untuk menghindarinya buatlah rencana
terlebih dahulu. Tips mengatasinya yaitu dengan cara:
a) Membuat kesepakatan atau perjanjian terlebih dahulu kepada anak saat
ingin bepergian.
b) Bawalah tas kecil berisi makanan atau mainan yang akan dijadikan hadiah
untuk anak.
c) Berilah anak pujian saat sudah mengikuti aturan yang telah di sepakati
sebelumnya.
d) Perhatikan tingkat keputusasaannya
Selain hal diatas adapun berikut ini cara lain untuk mengatasi perilaku tantrum
pada anak usia dini yaitu:
1) Usahakan untuk menjamin bahwa anda menikmati waktu santai dan
menyenagkan dengan anak sebanyak mungkin. Jika ketegangan merusak
suasana setiap kali bersama, hal itu bisa berakibat buruk bagi anda berdua.
Lakukanlah sesuatu, seperti berjalan-jalan di taman atau membaca buku
cerita bersama, terutama pada saat sulit.
2) Anak anda membutuhkan banyak kesempatan untuk meraih pengalaman
secara aman dan mencoba hal-hal baru segera setelah ia bisa bergerak.
Buatlah kehidupan lebih mudah setiap saat dengan memindahkan barang-
barang berbahaya dan berharga dari jaungkauan anak segingga anda tidak
terus-menerus memperingatkannya. Bersikaplah realistis, anak-anak tidak
berperilaku seperti orang dewasa.
3) Pikirkan tentang apakah anda terlalu sering mengatakan “tidak” kepada anak
anda, yang bisa mengarah kepada lebih banyak pertentangan, dan buatlah
usaha nyata untuk menguranginya. Lebih baik gunakan ungkapan seperti
“kita akan mengerjakannya nanti” atau “lain kali kamu boleh keluar”
daripada selalu mengatakan “tidak.”
4) Terus ingatkan diri anda mengenai pentingnya perhatian diberikan untuk
perilaku yang ingin anda tanamkan. Usahakan untuk mengabaikan kenakalan
minor dan berikan kepada anak anda bannyak pujian khusus untuk
kebaikannya.
5) Pikirkan dengan cermat mengenai tekanan lain yang mungkin mempengaruhi
anak anda mulai di taman kanak-kanak yang baru atau situasi perawatan,
mendengarkan orang tua bertengkar atau kehadiran bayi baru dalam keluarga
bisa membuat tantrum lebih buruk. Anda mungkin perlu mempertimbangkan
untuk melakukan perubahan ke situasi lain daripada tantrum itu sendiri.
6) Usahakan untuk menulis catatan harian ketika tantrum terjadi untuk melihat
apakah terdapat pola dan untuk menentukan waktu dan alasan tantrum anak
anda, misalnya merengek ketika lelah.
7) Hormati, terima dan akui perasaan anak anda termasuk amarah sehingga
mereka tidak tertekan dan siap meledak dolain waktu. Anda bisa berkata
“aku tahu kamu marah padaku sekarang” atau “itu pasti membuatmu merasa
sangat kesal”. Hal ini membuatnya merasa bahwa anda mengerti.
8) Berikan contoh yang positif. Usahakan untuk tetap tenang dan bertindak
tenang serta tegas, bahkan ketika itu adalah hal terakhir yang anda rasakan.
Hal itu mungkin sulit untuk banyak orang tua, tetapi berjuang untuk
mengatasinya merupakan pelajaran yang berguna daripada sekedar menyerah
dan amarah.
9) Gunakan humor untuk meredakan situasi. Tertawa dan ucapkan, “oh, tidak!
Aku harus berbaring dilantai juga jika kau memulainya.” Lakukan cara
gelitik anak kadang hal tersebut akan berhasil.
10) Dan terakhir, ingatlah: Jangan Pernah menghukum seorang anak yang sedang
mengalami tantrum. Hal itu akan selalu membuat tantrum lebih buruk (Aknes
Zelly Meyriana, 2021).
c. Peran Bimbingan Orang Tua dalam Menanggulangi Anak Tantrum
Adapun hasil penelitian (Musawirin, 2018) tentang bimbingan orang tua
dalam menanggulangi anak tantrum sebagai berikut:

1) Pindah ketempat lain


Adapun bimbingan orang tua dalam menanggulangi anak tantrum dengan cara
pindah ketempat lain. Anak juga memiliki kebeiasaan untuk
melancarkantantrumnya dengan cara menangis dan merengek pada orang tua
jika keinginanya tidak terpenuhi dan kadang-kadang anak menangis di tempat
umum yang membuat orang tuanya merasa tidak enak karena menjadi pusat
perhatian orang. Lalu cara orang tua menanggulangi sikap anak tersebut
adalah dengan cara pindah ketempat lain contohnya seperti membawanya
pulang atau membawanya kepada ibunya.
Menurut Eileen Hayes dalam buku Tantrum Panduan Memahami dan
Mengatasi Ledakan Emosi Anak panduan bahwa orang tua harus menciptakan
jarak dengan anak yang sedang mengamuk. Untuk anak yang masih kecil bisa
dengan membawanya ke ruang lain yang aman, kemudian tinggalkan. Untuk
anak yang lebih besar bisa dengan memintanya pergi keluar dari ruangan, tapi
bila ia menolak maka orang tua yang sebaiknya pergi.
Orang tua juga dapat mendisiplinkan anak melalui penarikan kasih sayang.
Penarikan kasih sayang adalah teknik disiplin dimana orang tua menahan
atensi atau kasih sayang terhadap anak, seperti ketika orang tua menolak untuk
berbicara pada anak atau menyatakan tidak suka terhadap anak. Sebagai
contoh, orang tua dapat berkata “Nanti kamu ibu tinggal kalau kamu
melakukan itu lagi” atau “Ibu nggak suka kalau kamu begitu.
Jadi orang tua dapat menerapkan cara untuk mengatasi perilaku anak tantrum
dengan cara pindah ketempat lain yang juga dijelaskan dalam teori diatas yang
mengatakan ketika anak sedang mengamuk karena keinginannya tidak dituruti
maka hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengatasinya adalah dengan
pindah ketempat lain seperti ruangan yang sepi lalu meninggalkannya tapi
ketika anak masih merengek baiknya orang tua menemaninya dalam ruangan
tersebut.
2) Mengalihkan perhatian anak
Hasil penelitian tentang bimbingan orang tua dalam menanggulangi anak
tantrum dengan cara mengalihkan perhatian anak. Anak yang sering menangis,
merengek dan bahkan memukuli orang tuanya saat keinginannya tidak
terpenuhi / tidak dituruti tapi jika mereka sebagai orang tua dihadapkan
dengan situasi seperti itu yang dilakukan adalah mengalihkan perhatian anak.
Contohnya, memperlihatkan hal-hal yang yang belum pernah ia temui seperti
mainan, memperlihatkan orang yang sedang lewat, memberinya makanan dan
memperlihatkan benda-benda yang ada di sekitarnya.
Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Eileen Hayes yang mengatakan
dalam buku Tantrum Panduan Memahami dan Mengatasi Ledakan Emosi
Anak bahwa jika orang tua berfikir tantrum akan timbul, seringkali ada waktu
untuk mengalihkan perhatian anak. Segera perkenalkan mainan baru atau
menunjukan sesuatu yang sedang terjadi diluar jendela. Perkataan-perkataan
seperti, “Ayo lihat apakah kita bisa menemukan bata merah” atau “Aku rasa,
aku mendengar bus datang. Kamu bisa mendengarnya? Ini bisa berfungsi
dengan baik, terutama pada anak-anak yang lebih muda, meskipun pada usia 3
tahun mereka mungkin telah belajar untuk memahami hal itu dan tidak mudah
dibohongi.
Untuk anak batita paling muda, hingga 2 tahun, tindakan selalu lebih berarti
daripada kata-kata. Memberikan lasan mungkin tak berarti. Akan tetapi
sebaiknya, angkatlah dia dari depan vide oatau pindahkan ke sebuah tempat
yang aman seperti kursi dorong; alihkan dia dari makanan kucing dengan
biskuit. Orang tua juga bisa mendekapnya dengan erat ketika tantrum
mengancam.
3) Berbicara halus pada anak
Saat anak yang mempunyai perilaku tantrum mengamuk dan seperti menangis
sambil berguling-guling di lantai ketika keinginanya tidak dituruti disaat itu
seorang ibu memerankan peranannya sebagai orang tua, ia mengajaknya
berkomunikasi dengan notasi yang lembut kemudian mengajaknya bermain
dan bercanda.
Secara teori di jelaskan oleh Eileen Hayes dalam buku tantrumnya bahwa
prang tua berbicara dengan tenang kepada anak dalam suara pelan dan
membiarkannya mengetahui bahwa orang tua tidak akan menghukum atau
meninggalkannya, kadang-kadang membuatnya berhenti mendengarkan atau
setidaknya menekan keributan ke tingkat yang bisa ditahan.
Tenang dan konsisten pada saat orang tua harus mengatakan “tidak”, jangan
terperangkap dalam perselisihan yang emosional. Ulangi ucapan dengan
tenang. Tetapi jangan terjebak dengan argumen lebih lanjut.
Jadi jika orang tua berteriak maka si kecil akan membalas dengan teriakan
yang lebih hebat. Namun jika orang tua dapat berbicara dengan intonasi yang
halus namun mantap, hal ini akan membantu si kecil mengatasi diri.
Terkadang karena terlalu halus suara yang di ucapkan, si kecil tidak dapat
mendengar. Hal ini justru menguntungkan, karena biasanya ia akan terdiam
berkonsentrasi pada apa yang orang tua ucapkan.
d. Peran Masyarakat terhadap Perilaku Tantrum pada Anak
Diharapkan masyarakat mengenal dan mengetahui perilaku tantrum pada anak.
Sehingga apabila terdapat anak berperilaku tantrum di tempat umum, masyarakat
dapat menyikapi dengan baik (Nurani, 2020).

5. Problem: Tidak senang belajar


a. Pola Asuh yang Tepat untuk Anak yang Tidak Senang Belajar adalah Pola
Asuh Demokratis
Secara khusus bentuk pola asuh orangtua dalam memotivasi belajar siswa
yang dominan berbentuk pola asuh demokratis memiliki karakteristik; perhatian
orang tua dalam berinteraksi dengan siswa, komunikasi dan pemberian
penghargaan, merespon dan mengontrol perilaku, pemenuhan kebutuhan belajar,
usaha sungguhsungguh dan tidak puas dengan hasil yang sudah dicapai, memiliki
harapan dan cita-cita, melibatkan diri dalam suasana belajar, dan memiliki suasana
belajar yang nyaman. Pola asuh demokratis dapat memberikan pengaruh terhadap
motivasi belajar yang tinggi pada siswa, yang pada gilirannya dapat meningkatkan
hasil belajar siswa (Idrus, 2012).
b. Peran Orang Tua dan Masyarakat dalam Mengatasi Problematika
Pembelajaran Anak
Menurut (Zuhri Fahruddin, 2021), soluasi untuk mengatasi masalah
pembelajaran anak adalah :
1) Mengadakan kumpulan antar individu orang tua
Peran lingkungan keluarga dalam pendidikan anak lebih banyak dari pada
lingkungan sekolah dan masyarakat oleh sebab hampir 12 jam anak bersama
orang tua. Orang tua di lingkungan masyarakat besar peranannya bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak mental fisik ataupun mental psikis,
antara masyarakat dan orang tua harus bekerjasama sesuai dengan peranannya
masing-masing, demikian itu tidak bisa difasilitasi kecuali masing-masing
memiliki satu tujuan yang harus dimusyawarahkan. Ketua RT atau RW
sebagai tokoh sentral formal menjadi konstributor antara dua belah lapisan,
berinisiatif agar anak tersebut dibatasi dalam bermain Game Online,
sedangkan anak terpengaruh dengan anak lain, jika antar individu orang tua
telah sepakat maka anak lebih ter-planning dalam belajar, Play Activity dan
lain sebagainya. Game Online sedikit ada dampak positif tapi dampak
negatifnya lebih besar diantaranya fikiran, anak tidak pernah mengetahui mana
hak, kewajiban dan tanggungjawab.
2) Mengadakan Classroom Environment
Classroom Environmentadalah proses pembelajaran sesuai dengan konteks
dan kondisi anak dan tidak sama dengan konsep dan sistem lembaga formal,
lembaga nonformal, lembaga informal dan lembaga kursus pada umumnya.
Classroom Environmentmengkolaborasikan sistem, konsep, dan fungsi ketiga
lembaga tersebut misalkan yang dipelajari pelajaran sekolah, tapi tidak dipatok
dengan Rencana Proses Pembelajaran, anak-anak dikumpulkan interkelas, tapi
jam tidak harus urut, dan lain sebagainya. Salah satu orang tua dari kelompok
masyarakat sudi membagi waktu untuk memberikan pelajaran kepada anak,
dalam hal ini orang tua tidak harus memiliki sertifikat pendidik, asalkan mau
mencerdaskan anak. Misalkan siang setelah dzuhur kelas berapa yang
diberikan jam pelajaran, sore kelas berapa yang diberikan jam pelajaran,
malam setelah isya’ dan setelah subuh kelas berapa yang diberikan jam
pelajaran. Bukan hanya dari daerah krajan bahkan bisa diluar daerah krajan
bisa juga belajar bersama di tempat tersebut. anak di luar jam sekolah
diberikan waktu belajar tambahan, baik meyangkut pelajaran sekolah atau
yang lain, pada akhirnya anak semakin semangat untuk belajar.
Anak memiliki potensi untuk bersosialisasi dengan teman lain, dapat dilihat
dengan cara belajar, bagi anak belajar sendirian merupakan aktivitas yang
membosankan, jika anak bersama berkumpul dengan temannya untuk belajar,
maka timbul sikap semangat, karena lingkungan teman berpengaruh pada
sikap dan sifat anak. Seorang anak dengan potensi dalam kecerdasan sosial
maka anak akan mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungan di
sekelilingnya, anak mampu menjalin persahabatan yang akrab dengan
temantemannya, sanggup menempatkan diri dan menyesuaikan dengan
lingkungan, dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan baru, dan memperoleh
simpati dari orang lain.

3) Orang tua menjadi motivator


Motivasi kepada anak oleh orang tua datang dari beberapa faktor diantaranya
memberikan semangat dengan menceritakan sejarah, dongeng yang
berkualitas penuh hikmah, reward(hadiah), ucapan verbal dan lain sebagainya.
Orang tua memberikan semangat kepada anak dalam belajar tidak dengan
mematikan mental anak, bersikap optimis walaupun keadaan status sosial dan
secara ekonomi tidak mendukung, akan tetapi reward (hadiah) walaupun tidak
terlalu berharga bisa membuat anak semangat dalam belajar. Bukan hanya
guru orang tua dirumah juga berperan sebagai motivator, orang tua harus
senantiasa memberikan dorongan kepada anaknya agar mempunyai semangat
dalam belajar, khususnya dalam belajar di rumah sebagai penunjang
keberhasilan prestasi di sekolah.
Motivasi kepada anak sangat dibutuhkan sebagai penyemangat dalam belajar,
karena anak yang masih beranjak dewasa membutuhkan motivasi yang datang
dari luar (ekstren), anak belum bisa berpikir secara mendalam tentang dirinya,
siapa dan apa tujuan dalam hidupnya, pemikirannya sifatnya mortal dan ingin
selalu bersenang-senang bersama teman-temannya. Orang tua antara Ayah dan
Ibu harus kompak bersama-sama dalam mencetak kepribadian anak, keduanya
sangat berhubungan walaupun salah satu keinginan orang tua berbeda,
kepribadian anak tergantung dari bagaimana kedua orang tua mendidik.

6. Problem: Sibling rivalry


a. Pola Asuh yang Tepat untuk Anak yang Sibling Rivalry adalah Pola Asuh
Demokratis
Faktor pola asuh orang tua menjadikan hubungan yang signifikan terjadinya
sibling rivalry. Pola asuh yang baik untuk anak adalah pola asuh yang tepat dalam
mengasuh anak dengan tidak terlalu memanjakan anak, orang tua seharusnya
memahami cara mengasuh anaknya. Jika orang tua selalu memanjakan anaknya
juga tidak baik dalam perkembangan anak tersebut karena akan mengakibatkan
anak sangat tergantung pada orang tua serta kurang mandiri dalam melakukan
aktivitasnya (Zhahara Timur, 2018).
Peranan orang tua sangat membentuk kemandirian pada anak. Anak yang
diasuh oleh orang tua dengan pola asuh demokratis cenderung memiliki rasa
persaudaraan yang kuat dengan saudara sehingga dapat mencegah terjadinya
sibling rivalry. Anak-anak dengan orang tua demokratis sering terlihat lebih ceria,
mandiri, berorientasi pada prestasi, bersahabat dengan teman sebaya dan dapat
bekerja sama dengan orang yang lebih tua (Zhahara Timur, 2018).
b. Peran Orang Tua dalam Mengatasi Sibling Rivalry pada Anak Usia Dini
Menurut (Putri and Budiartati, 2020), terdapat tiga contoh kejadian yang
memicu timbulnya sibling rivalry pada anak usia dini, dan bagaimana upaya yang
dilakukan oleh orang tua dalam mengatasinya adalah sebagai berikut:
1) Upaya yang dilakukan ketika melihat anak sedang bertengkar
Permasalahan sibling rivalry yang terjadi pada anak akan memicu terjadinya
perkelahian atau pertengkaran antar anak. Pertengkaran atau perkelahian
sering terjadi pada anak di setiap keluarga. Peristiwa tersebut dianggap wajar
oleh beberapa orang dikarenakan seringnya terjadi pada setiap keluarga.
Ketika terjadi perkelahian antar saudara kandung pastinya sebagai orang tua
memiliki upaya dalam mengatasi permasalahan tersebut. Perkelahian-
perkelahian yang terjadi pada anak usia dini masih bersifat biasa atau ringan
dan intensitasnya masih dianggap sering terjadi dikarenakan masa kanak-
kanak mereka masih belum paham mengenai suatu hubungan yang harmonis
dan rukun bersama saudara kandung sendiri.
Upaya yang dilakukan orang tua dalam mengatasi perkelahian pada anak-anak
mereka menurut hasil penelitian ini adalah dengan melerai keduanya yang
sedang bertengkar, atau menengahi anak-anak yang sedang berkelahi tersebut.
Selain itu terdapat pula upaya-upaya dalam mencegah terjadinya perkelahian
tersebut, yaitu dengan memisahkan anak-anak yang sudah terlihat seperti akan
terjadi perkelahian antara anak
2) Upaya yang dilakukan ketika melihat anak sedang marah-marah
Pada masa kanak-kanak, mereka masih dalam tahap pembentukan
kepribadian. Mereka sedang dalam tahap untuk melalui perkembangan dengan
tepat sesuai masanya. Perkembangan yang terjadi pada anak usia dini antara
lain adalah perkembangan emosi. Masa anak usia dini mereka masih belum
sepenuhnya paham dalam hal mengontrol emosi yang terjadi pada dirinya.
Emosi yang terjadi pada anak usia antara lain adalah perasaan marah. Ada
masa anak tiba-tiba marah dikarenakan perasaan hatinya yang tidak menentu.
Upaya yang dilakukan orang tua dalam mengatasi anak yang sedang marah-
marah atau rewel menurut hasil penilitian ini adalah dengan membiarkan anak
untuk meluapkan marah-marahnya dulu karena anak yang sedang marah
artinya sedang meluapkan emosinya dan dengan begitu anak akan belajar
untuk mengontrol emosi yang terjadi pada dirinya. Kemudian setelah anak
dibiarkan untuk meluapkan emosinya dengan marah-marah, orang tua datang
ke anak dan menanyakan kepada anak apa yang sebenarnya terjadi sehingga
anak menjadi marah-marah dan setelah itu anak diberikan solusi atau
pengertian terhadap apa yang menjadi alasan dia marah-marah.
3) Upaya yang dilakukan ketika melihat anak cemburu karena orang tua yang
sedang mengurusi saudara kandungnya
Pada masa anak usia dini, anak masih belum paham mengenai berbagi
perhatian orang tua kepada saudaranya sendiri. Anak masih banyak butuh
perhatian dari orang tua dan sekelilingnya, dia merasa masih belum mampu
melakukan segala sesuatu dengan sendiri dan mandiri, dia memerlukan
bantuan dari orangorang sekelilingnya. Tak jarang anak usia dini sering
merasa cemburu terhadap saudara kandungnya sendiri ketika orang tua sedang
memberikan bantuan terhadap saudara kandungnya. Anak akan selalu
menuntut dalam pemberian perhatian penuh yang diberikan orang tua terhadap
anak.
Upaya yang dilakukan orang tua dalam mengatasi kecemburuan pada anak
yang disebabkan oleh orang tua yang sedang mengurusi saudara kandungnya
sendiri adalah dengan memberikan sebisa mungkin perhatian secara adil
kepada anak-anaknya. Selain itu sebelumnya anak-anak sudah dibekali
pemahaman dan pengertian akan kelahiran adik dalam kehidupannya. Tak
jarang sebagai orang tua ketika mengurusi anak, dia mengikutsertakan anak
yang lebih besar agar tidak terjadi perilaku kecemburuan tersebut.
c. Strategi Pengasuhan Orang Tua dalam Mengatasi Perilaku Sibling Rivalry
Anak Usia Dini
Menurut (Fadilah Hayati Hasan, 2018), hal-hal yang dapat dilakukan untuk
mengurangi sibling rivalry, diantaranya:
1) Perhatikan perilaku baik yang telah dilakukan anak
Setiap kali anak melakukan hal-hal yang baik, perhatikanlah. Tandai setiap
kali anak mampu bermain bersama, duduk dengan baik dan tidak menyakiti
satu sama lainnya.

2) Beri reward ketika anak-anak mau bekerja sama


Sediakan mangkok dan pasta. Setiap kali anak mampu bekerja sama dalam
menaruh pasta ke dalam mangkok secara bersama-sama, beri anak reward
semisal pujian atau memakan pasta secara bersama-sama dengan have fun.
3) Rencanakan quality time dengan anak
Sediakan waktu setidaknya 15 menit setiap hari bersama anak untuk
merencanakan segala sesuatu yang mereka inginkan pada waktu santai
semisal: hari Sabtu kakak ingin bermain ke tempat wisata atau hari Minggu
adik ingin menonton film kesukaan. Jika anak memiliki quality time dengan
orang tua walaupun hanya setengah hari, akan membuat mereka merasa
diperhatikan dan mengurangi perasaan cemburu sesama anak.
4) Jangan terlibat dalam pertengkaran kecil
Saat anak bertengkar, usahakan orang tua tidak terlibat dalam pertengkaran
karena hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, jadilah penengah untuk
mereka.
5) Buat peraturan selama bertengkar
Jika anak sedang bertengar, tanyakan kepada mereka: “Apakah kalian sedang
bermain atau benar-benar sedang bertengkar?” Jika mereka benar-benar
bertengkar, pisahkan ke ruangan yang berbeda untuk menghentikan
pertengkaran namun jika mereka sedang bermain bertengkar-bertengkaran
jangan hentikan, karena anak butuh menyalurkan tenaga mereka dengan cara
bermain dan anak tahu kapan waktunya harus berhenti.
6) Pisahkan anak jika bertengkar secara fisik
Jelaskan kepada anak bahwa menyakiti orang lain merupakan hal yang tidak
terpuji. Katakan bahwa “Jangan menyakiti seseorang, jika kita tidak mau
disakiti.” atau dengan cara cepat, pisahkan mereka ke ruangan masing-masing.
“Kakak masuk ke kamar kakak, dan adik masuk ke kamar adik”.
7) Ajak anak untuk melakukan problem solving
Beritahu anak saat mereka sudah tenang. Tanyakan ke masing-masing hal apa
yang mereka inginkan dari kakak atau adik dan utarakan dengan cara baik-
baik tidak dengan cara bertengkar.
8) Jangan membuat mereka berkompetisi satu sama lain
Coba untuk tidak melakukan games persaingan, seperti: “Siapa yang dapat
menghabiskan makanan duluan?” “Siapa yang dapat menaiki tangga lebih
cepat?” Lebih baik berkata “Ayo lihat! Kita dapat melakukannya sebelum
timer tersebut berhenti!”. Buat anak menjadi seorang leader dibanding seorang
winner.
9) Atur waktu untuk anak agar dapat bermain bersama-sama
Buat games dimana anak dapat berinteraksi satu sama lain seperti bermain
peran dokter-dokteran, salon-salonan dimana anak dapat bekerja sama dengan
satu sama lain di dalam permainannya.
10) Berikan perhatian ketika mereka membutuhkan
Berikan setiap anak masing-masing waktu dari orang tua. Anak akan merasa
bahwa mereka tidak harus bersaing dalam merebut perhatian dari orang tua.
Yakinkan ke anak bahwa mereka dapat selalu datang kepada orang tua untuk
mengobrol, menunjukkan hal-hal yang menarik di lingkungan mereka, dan
prioritaskan selalu waktu untuk anak, kakak maupun adik.
d. Peran Guru dalam Mengatasi Sibling Rivalry Dalam Keluarga Melalui
Konseling Rational Emotive Behavior Dengan Teknik Reframing Pada Siswa
Salah satu pendekatan konseling yang efektif untuk mengatasi sibling rivalry
dalam keluarga yang dialami siswa adalah melalui konseling rational emotive
behavior). Menurut pandangan Rational Emotive Behavior perilaku yang
bermasalah adalah perilaku yang didasarkan pada cara berfikir yang irrasional.
Keyakinan yang rasional berakibat pada perilaku dan reaksi individu yang tepat
sedangkan keyakinan yang irrasonal berakibat pada reaksi emosional dan perilaku
yang salah. Jika sudah di dapatkan pikiran rasional, Sedangkan untuk menguatkan
perasaan rasional yang telah klien miliki, teknik yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik reframing Landasan dari penggunaan teknik ini yaitu
memodifikasi atau mempengaruhi pikiran dan persepsi klien dengan persepsi baru
yang lebih rasional dan sifatnya positif dari yang telah klien temukan. Dengan
menggunakan konseling Rational Emotif Behavior dengan teknik reframing
diharapkan individu dapat mengubah pemikiran irrasionalnya mengenai kegagalan
yang dialaminya menjadi pemikiran yang rasional sehingga individu dapat
berkembang secara optimal (Arif et al., 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Adhani DN. Peran Orang Tua terhadap anak usia dini (usia 2 tahun) yang mengalami Picky
Eater. Aulad J Early Child 2019;2:38–43. https://doi.org/10.31004/aulad.v2i1.18.

Aknes Zelly Meyriana. Pengembangan Pocket Book Untuk Orang Tua Dalam Mengatasi
Perilaku Tantrum Pada Anak Usia Dini. J Fak Tarb Dan Tadris Bengkulu 2021;1:1–
116.

Andreoli CS, Ribeiro-Vieira SA, Fonsêca PC de A, Moreira AVB, Ribeiro SMR,


Franceschini S do CC. Markers of healthy eating habits, water intake, and constipation
in children between 4 and 7 years of age. Rev Nutr 2018;31:363–72.
https://doi.org/10.1590/1678-98652018000400002.

Anggraeni A, Hendrizal. Pengaruh penggunaan gadget terhadap kehidupan sosial para siswa
SMA. J PPKN Huk 2018;13:64–76.

Ari Pratama. Upaya Orang Tua Dalam Mengatasi Kecanduan Penggunaan Gadget Pada Anak
Usia Dini Di Desa Suak Batang Gandus Kecamatan Gandus Kota Palembang. J Fak
Agama Islam Fak Agama Islam Univ Muhammadiyah Palembang 2021;1:6.

Arif F, Tadjri I, Hartati S. Mengatasi Sibling Rivalry Dalam Keluarga Melalui Konseling
Rational Emotive Behavior Dengan Teknik Reframing Pada Siswa Kelas VII E Di MTs
Nu Ungaran. Univ Negeri Semarang 2013.

Aristiani R. Meningkatkan Percaya Diri Siswa Melalui Layanan Informasi Berbantuan


Audiovisual. J Konseling Gusjigang 2016;2:182–9.
https://doi.org/10.24176/jkg.v2i2.717.

Christiana E. The Role of Counselor in Improving Confidence Behaviour on Early Childhood


Kindergarten Group A Based Psychosocial Perspectives Development in Aisyiyah
Busthanul Athfal (ABA) 31 Wiyung. J BK 2014;4:1–6.

Dini Sukmalara SK. Hubungan antara pola asuh orang tua dengan temper tantrum pada anak
usia prasekolah di TK Nururrahman pekayon jaya bekasi selatan. Ilmu Kesehat 2018:1–
9.

Fadilah Hayati Hasan. Strategi Pengasuhan Orang Tua Dalam MEengatasi Perilaku Sibling
Rivalry Anak Usia Dini (Penelitian Deskriptif Kualitatif di Kelurahan Rawamangun,
Pulogadung, Jakarta Timur) 2018.

Goyena R. Peran Orangtua Dalam Pencegahan Terhadap Kejadian Adiksi Gadget Pada Anak:
Literatur Review. J Chem Inf Model 2019;53:1689–99.

Idrus A. Pola Asuh Orangtua dalam Memotivasi Belajar Siswa Sekolah Dasar. Sekol Dasar
Kaji Teor Dan Prakt Pendidik 2012;21:145–51.

Istiqomah I. Peran Orang Tua dalam Menanggulangi Kecanduan Gadget pada Anak di
Kelurahan Gotong Royong Tanjung Karang Bandar Lampung. Skripsi 2019:1–95.
Munawar M, Nisfah NL. The Effect of Assertive Discipline on Early-Aged Children’s
Gadget Addiction. J Early Child Care Educ 2020;2:64.
https://doi.org/10.26555/jecce.v2i2.1002.

Musawirin M. Bimbingan Orangtua Dalam Menanggulangi Anak Tantrum Di Lombok Barat.


Al-Tazkiah 2018;7:142–53. https://doi.org/10.20414/altazkiah.v7i2.658.

Nurani Y. Persepsi dan Sikap Orang Tua Tentang Perilaku Tantrum Pada Anak Usia 4-5
Tahun 2020:1–11.

Palar JE, Onibala F, Wenda Oroh. Negatif Penggunaan Gadget Pada Anak Dengan Perilaku
Anak Dalam Penggunaan Gadget. E-Journal Keperawatan 2018;6:1–8.

Putri SK, Budiartati E. Upaya Orang Tua Dalam Mengatasi Sibling Rivalry Pada Anak Usia
Dini di KB TK Tunas Mulia Bangsa Semarang. J Eksistensi Pendidik Luar Sekol
2020;5:75–87.

Rahman MM. Peran Orang Tua Dalam Membangun Kepercayaan Diri Pada Anak Usia Dini.
Edukasia J Penelit Pendidik Islam 2013;8. https://doi.org/10.21043/edukasia.v8i2.759.

Rahmawati M, Latifah M. Gadget Usage, Mother-Child Interaction, and Social-Emotional


Development among Preschool Children. Jur Ilm Kel Kons 2020;13:75–86.

Santy WH, Irtanti TA. Pola Asuh Orang Tua Mempengaruhi Temper Tantrum Pada Anak
Usia 2-4 Tahun Di Paud Darun Najah Desa Gading, Jatirejo, Mojokerto. J Heal Sci
2018;7. https://doi.org/10.33086/jhs.v7i1.490.

Sarah Wulandari. Hubungan Antara Komunikasi Keluarga Dan Persepsi Terhadap Pola Asuh
Demokratis Orangtua Dengan Kepercayaan Diri Pada Remaja. Occup Med (Chic Ill)
2017;53:130.

Shloim N, Edelson LR, Martin N, Hetherington MM. Parenting styles, feeding styles, feeding
practices, and weight status in 4-12 year-old children: A systematic review of the
literature. Front Psychol 2015;6. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.01849.

Sunita I, Mayasari E. Pengawasan Orangtua Terhadap Dampak Penggunaan Gadget Pada


Anak. J Endur 2018;3:510. https://doi.org/10.22216/jen.v3i3.2485.

Warisyah Y. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Pentingnya “Pendampingan Dialogis”


Orang Tua Dalam Penggunaan Gadget Pada Anak Usia Dini. Proseding Semin Nas
Pendidik 2015;2016:130–8.

Widayani S. Pembentukan Karakter Remaja Melalui Pola Asuh Demokratis Untuk Mencegah
Kecanduan Gadget di Era Revolusi Industri 4.0. Pros Konf Pendidik Nas 2020:278.

Winarti DR. Peran Guru Dalam Mengenalkan Makanan Bergizi Pada Anak Di Kelompok B-
3 Tk Aba 4 Mangli Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember. Time 2019;6:198.

Yanizon A, Rofiqah T, Ramdani R. Efforts To Prevent The Influence Of Gadgets In Children


Through Events And Socialization Of Gadget Impact To The Mothers Of Tanjung
Uma. Minda Baharu 2019;3:133. https://doi.org/10.33373/jmb.v3i2.2065.

Zhahara Timur NK. The Correlation Between Parenting Style And Sibling Rivalry Incidence
In Work Area Of Jetis Primary Health Center Yogyakarta 2018.

Zuhri Fahruddin. Peran Orang Tua Dan Masyarakat Dalam Mengatasi Problematika
Pembelajaran Anak. J Educ Lang Res 2021;1:15–30.

Anda mungkin juga menyukai