Anda di halaman 1dari 17

UAS RESIDENSI DAN MODEL ASUHAN KEBIDANAN

DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK LULUS PADA MATA KULIAH
RESIDENSI DAN MODEL ASUHAN KEBIDANAN
DOSEN PENGAMPUH : DR.IMELDA ISKANDAR, M.KEB

DI SUSUN OLEH :
ASRI BASSELO
NIM. P102202048

SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEBIDANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
TAHUN 2021

1
MASALAH

1. Kurang percaya diri


2. Kecanduan perangkat digital
3. Kebiasaan makan tidak benar
4. Tantrum
5. Tidak senang belajar
6. Sibling Rivalry

JAWAB
1. Kurang percaya diri
Percaya diri (Self Confidence) adalah meyakinkan pada kemampuan dan penilaian
judgement diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif. Hal
ini termasuk kepercayaan atas kemampuannya menghadapi lingkungan yang semakin
menantang dan kepercayaan atas keputusan atau pendapatnya[1]
Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan dalam jiwa manusia bahwa tantangan
hidup apapun harus dihadapi dnegan berbuat sesuatu. Keperjaan diri itu lahir dari
kesadaran bahwa jika memutuskan untuk melalukan sesuatu, sesuatu itu pula yang harus
dilakukan . kepercayaan diri itu datang dari kesadaran seorang individu bahwa individu
tersebut memiliki tekad untuk melakukan apapun, sampai tujuan yang ia inginkan
tercapai.
Akibat Kurang Percaya Diri
Ketika ini dikaitkan dengan praktek hidup sehari – hari, orang yang memiliki
kepercayaan diri rendah atau telah kehilangan kepercayaan, cenderung merasa bersikap
sebagai berikut :
1) Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara
sungguh – sungguh
2) Tidka memiliki keputusan melangkah yang decisive (Ngambang)
3) Mudah Frustasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan
4) Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau stengah – stengah
5) Sering gagal dalam menyempurnakan tugas – tugas atau tanggung jawab (Tidak
Optimal)

2
6) Canggung dalam menghadapi orang
7) Tidka bias mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan
mendengarkan yang menyakinkan
8) Sering memoliki harapan yang realistic
9) Terlalu perfeksionis
10) Terlalu sensitive (Perasa)
Anak merupakan penerus bangsa karena masa depan dari negara ini tergantung pada
masa depan anak – anak tersebut dapat berkembang dengan baik, maka mereka akan
tumbuh dna berkembang dengan karakter yang baik. Tetapi jika mereka berkembang
dengan adanya hambatan maka berbagai masalah tingkah laku dan karakter akan timbul
pada anak tersebut. Penting bagi keluarga untuk membentukmanak yang baik tersebut,
maka orang tua sangat berperan penting dalammembantu sang anak mengembangkan
potensi dan mencapai tugas perkembangannya. [1]
Bagaimana Peran Orang Tua untuk Membantu Anak Percaya Diri?
1. Menumbuhkan motivasi
Motivasi sebagai usaha yang dilakukan anak untuk memenuhi kebutuhan
keinginan, dan kemauannya. Anak lahir dengan motivasi dari dalam dirinya. Orang
tua berperan untuk mengembangkan motivasi dalam diri anak bukan memupuk
motivasi dari luar dirinya. Motivasi untuk melakukan sesuatu yang didorong dari
luar diri anak (misalnya karena hadiah atau sogokan), tidak membentuk
kemampuan dan perilaku anak yang baik.
a. Motivasi dalam diri anak adalah perilaku yang didorong dari dalam diri anak
itu sendiri. Contoh: Kakak tidur tepat waktu malam ini, karena tidak mau
bangun terlambat besok pagi.
b. Motivasi dari luar diri anak adalah perilaku yang didorong karena adanya
hadiah/kepuasan dari luar dirinya. Contoh : Kakak mau tidur tepat waktu malam
ini karena ibu menjanjikan memberi es krim besok.
2. Bijak Memuji Anak
Fokus kepada kepuasan dari dalam diri sendiri Dilakukan secara spontan
Memuji usahanya, bukan hasilnya
Memuji dengan tulus, tidak ada pesan tersembunyi

3
Memberikan pujian yang spesifik
3. Kritik anak dengan cara yang baik
Sampaikan spesifik kesalahannya, bukan pribadia nak
Dengarkan dan terima perasaan anak
Gunakan kata “seandainya”
Bantu anak memahami
Mendukung kemampuan anak
Memberikan pilihan yang tepat
Menjalin hubungan yang menyenangkan [2]
2. Kecanduan perangkat digital
Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak dapat kita pungkiri dalam kehidupan ini,
karena kemajuan teknologi akan berjalan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat baik yang postif maupun yang
negatif, memberikan ke-mudahan pada manusia, serta sebagai cara baru dalam
melakukan aktivitas manusia. Dampak teknologi digital mempeng-aruhi gaya anak
sekarang. Anak sekarang adalah anak yang lahir di era digital atau disebut digital
native. Ciri-ciri dari anak digital native adalah sebagi berikut:
a. Mereka terbiasa mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu.
b. Anak-anak juga menyukai pendekatan tidak linear dalam menyerap informasi
dan internet menyediakan kesempatan itu seluas-luasnya.
c. Anak-anak juga suka penyajian informasi yang memang didesain murah dan user
friendly.
d. Ditambah lagi tampilan internet yang amat menyenangkan (ada gambar, grafik,
warna, gerak, suara yang sanagta berbeda dengan buku teks dan sumber belajar
yang konvesional) [2]
Ciri-ciri anak kecanduan gadget menurut Suardi ( 2006) antara lain:
Fokus berkurang Menjadi lebih emosional Sulit mengambil keputusan Kematangan
semu: terlihat besar fisik tetapi jiwanay belum matang Sulit berkomunikasi dengan
orang
lain Tidak ada perubahan raut muka untuk mengekspresikan perasaan Daya juang
rendahMudah terpengaruh Anti sosial dan sulit berhubungan dengan orang lain yaitu

4
menjadi diri anak yang kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitarnya
Mengurangi kemampuan dan kemauan untuk bersosialisasi secara langsung
Melemahnya kemampuan merasakan sensasi di dunia nyata Tidak memahami nilai-nilai
moral Bersifat bebas dan tanpa control dari pihak manapun Menghadirkan hal-hal
yang berbau pornografi dan sadisme, sehingga berampak munculnya bully pada
sekelompok anak-anak tertentu dan kekerasan pada diri anak-anak baik kekerasan
fisik maupun kekerasan seksual pada anak-anak. Melenakan dan kurang mengasah daya
juang dalam mencapai sesuatu atau tidak kreatif Secara financial membutuhkan biaya
yang tidak sedikit Penumpulan kepekaan Ada beberapa prinsip dalam digital parenting,
adalah sebagai berikut:
1. Yang terpenting bukan “apa” jenisnya tetapi kapan memerlukannya
a. Dengan melihat waktu yang tepat untuk memberikannya yaitu dengan melihat usia
dan kematangan anak
b. Membuat peraturan yang disetujui anak tentang penggunaan perangkat digital
sebelum membelikan kepada anak
2. Kualitas lebih penting daripada kuantitas
a. Orang tua dapat melakukan pengamatan dan dialog dengan anak
b. Orang tua dapat menyuruh anak untuk membuat catatan dalam hal anak
menggunakan internet yang tidak ada hubungannya dengan tugas sekolah
c. Buat jadwal untuk menentukan menggunakan internet dan gunakan timer untuk
mengingatkan waktunya serta anak harus membuat komitmen diri jam berapa harus
mematikan gadget

3. Tentukan sangsi jika anak melanggar janjinya


a. Membuat sangsi terhadap peraturan yang dibuat bersama antar orang tua dan anak.
b. Konsisten dalam menerapkan sangsi terhadap anak.
4. Jelaskan alasan tentang diterapkannya peraturan
a. Menjelaskan pada anak tentang makna digital, social media dan dampak dari
perangkat digital.
b. Usia anak berbeda dalam pendekatannya terkait dengan media digital.
5. Berbagilah pengalaman tentang perangkat digital dengan anak

5
a. Mengawasi anak secara rutin dengan suasana yang menyenangkan.
b. Orang tua berteman dengan anak di social media.
c. Menjelaskan fitur yang boleh diakses dan yang tidak boleh diakses oleh anak
3. Pastikan anak atau lingkungan terdekat sudah memiliki budaya belajar (bukan
sekedar kebiasaan) dan waktu belajar yang teratur. Jangan menyalahkan anak semata-
mata, yang perlu kita ingat bahwa orangtua yang berperan mengenalkan anak pada
games Seringkali orang tua memberikan HP Yang sebenarnya belum pantas untuk
anak-anak pada usia tertentu. Seumpama sudah terlanjur sebaiknya, usahakan
membangun hubungan yang baik terlebih dahulu. Jangan sampai kemarahan atau
kekecewaan kita mempengaruhi relasi atau hubungan orang tua dengan anak. Akibat
yang akan ditimbulkan akan sangat besar yaitu kalau anak-anak sudah luka dengan
sikap orang tuanya kan lebih sulit mendekati hati anak. [3]
3. Kebiasaan makan tidak benar
Proses tumbuh kembang bayi dan balita sangat dipengaruhi oleh pemenuhan
kebutuhan utamanya. Kebutuhan utama itu dikenal pula dengan istilah triple A,
yakni :
kebutuhan gizi (asuh),
kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih),
dan kebutuhan stimulasi dini (asah).
Ketiganya harus menjadi perhatian serius para orang tua. Kemudian, diberikan
secara tepat sesuai tahapan proses tumbuh kembangnya Pola asuh orangtua
merupakan hal yang paling fundamental dalam pembentukan karakter anak-
anaknya. Merujuk pada teori Urie Bronfenbrenner bahwa individu akan
berkembang dalam suatu lapisan-lapisan kondisi sosial kehidupannya yang ada
di sekitarnya. Keluarga, terutama orangtua, merupakan lingkungan terdekat
pertama yang akan mempengaruhi pembentukan karakter anak. Dampak pola asuh
pada anak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu memberikan
stimulasi untuk tumbuh kembang yang optimal.Pola asuh orangtua sangat
mempengaruhi pemberian asupan gizi dan nutrisi yang baik pada anak Pola asuh
makan anak merupakan

6
interaksi orang tua dengan anak ; berupa tindakan penyediaan waktu,
perhatian, dan dukungan orang tua guna memenuhi kebutuhan fisik,mental, dan social.
Kebiasaan
makan dapat terbentuk sejak usia balita yang merupakan masa penting dalam
kehidupan seseorang karena pada masa inilah ditanamkan sikap, kebiasaan dan pola
tingkah laku yang memegang peranan menentukan dalam perkembangan individu
selanjutnya
4. Tantrum
Menurut Hasan (2011:185) tantrum terjadi pada anak yang aktifdengan energi yang
berlimpah.Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap lebih sulit,
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Memiliki kebiasaan tidur, makan,dan buang air besar tidak teratur;
(2) Sulit menyukai situasi, makanan, dan orang-orang baru;
(3) Lambat beradaptasi terhadap perubahan;
(4)Suasana hati lebih sering negative;
(5) Mudah terprovokasi, gampang merasa marah, dan kesal;
(6) Sulit dialihkan perhatiannya.
Menurut Hurlock (1998:82) pola asuh orang tua adalah suatu metode disiplin yang
diterapkan orang tua terhadap anaknya. Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu
konsep negatif dan konsep positif. Menurut konsep negatif, disiplin berarti pengendalian
dengan kekuasaan. Ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak
disukai dan menyakitkan. Sedangkan menurut konsep positif, disiplin berarti pendidikan
dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri.
1. Pola Asuh Otoriter Baumrind (dalam Santrock, 2002:257) menjelaskan bahwa
pengasuhan yang otoriter (authorian parenting) ialah suatu gaya membatasi dan
menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan
menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua menuntut anak mengikuti perintah-
perintahnya, sering memukul anak, memaksakan aturan tanpa penjelasan, dan
menunjukkan amarah. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan
tidak memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara atau
bermusyawarah.

7
2. Pengasuhan Permisif Baumrind (dalam Santrock, 2002:257) menjelaskan bahwa
pengasuhan yang permisif ialah suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dala
kehidupan anak. Anak mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan
orangtua lebih penting daripada diri mereka.
3. Pengasuhan Demokratis Baumrind (dalam Santrock, 2002:257) menjelaskan bahwa
pola asuh demokratis mendorong anakanak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-
batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang
ekstensif dimungkinkan dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang
kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak.
[4]

5. Tidak senang belajar


Peran orang tua sangat diperlukan untuk proses pembalajaran anak selama study from
home. Peran orang tua juga sangat diperlukan utuk memberikan edukasi kepada anak
yang belum bisa memahami pandemi agar tetap berdiam diri di rumah, sehingga tidak
tertular dan menularkan Covid-19.
Ada banyak strategi untuk meningkatkan kualitas pendidikan ketika anak-anak
diwajibkan belajar di rumah. Salah satu yang amat sering digaungkan adalah penyediaan
insfstruktur jaringan internet dan fasilitas belajar, seperti komputer, laptop, atau
smartphone. Namun, di atas segalanya, hal yang paling menentukan adalah pola
parenting, yaitu bagaimana orang tua berperan dalam proses belajar anak-anak.
Proses belajar di rumah sangat berbeda dengan yang terjadi di ruang kelas. Di ruang
kelas, anak-anak mendapatkan suasana ideal untuk belajar. Di sana ada guru yang siap
mendampingi, ada fasilitas yang mendukung, dan suasana yang kondusif.
Di sekolah anak-anak belajar bersama dengan teman-teman sekelas. Mereka bisa
berdiskusi dan belajar dari yang lain. Ruang kelas menciptakan motivasi dan suasana
kompetisi belajar yang sewajarnya.Sementara di rumah, beberapa hal yang disebutkan di
atas, tidak tersedia. Di rumah, satu-satunya yang dapat berperan menunjang belajar
adalah orang tua atau anggota keluarga.Oleh karena itu, peran yang dapat dilakukan
keluarga bagi anak adalah menciptakan suasana yang harmonis. Suasana yang harmonis
dapat mendukung proses belajar mengajar yang baik dari rumah. Jika suasana dalam

8
keluarga tidak harmonis, tentu mengurangi kenyamanan belajar anak. Selain itu, orang
tua dan anggota keluarga perlu menciptakan lingkungan yang aman dan menarik bagi
sang anak. Misalnya, dengan mematikan televis dan telepon saat anak belajar dan
menciptakan rutinitas harian yang fleksibel, tetapi konsisten bagi sang anak. Mereka juga
dapat mengajak sang anak menentukan rutinitas harian dan menentukan jadwal belajar
yang sesuai. Di pengujung hari, orang tua dan anggota keluarga dapat meluangkan waktu
untuk mengevaluasi kegiatan pada hari itu. Mereka dapat menanyakan tentang hal-hal
yang menyenangkan. Peran parenting yang dapat dikembangkan oleh orang tua atau
keluarga untuk menjamin kualitas belajar anak di rumah adalah memilih metode yang
digunakan untuk mendidik anak. Berkenan dengan itu, orang tua dan seluruh anggota
keluarga perlu berdiskusi dan membuat kesepakatan untuk memilih metode atau cara
belajar yang dapat diterapkan oleh anak selama belajar di rumah. Orang tua dan anggota
keluarga dapat berbagi tugas untuk mendampigi sang anak dalam proses belajar di
rumah. Tujuannya agar proses belajar dapat berjalan dengan lancar. Dalam konteks itu,
orang tua dan anggota keluarga seolah mengambil alih untuk sementara waktu peran
yang biasa dimainkan guru di ruang kelas. Orang tua atau anggota keluarga harus bisa
menjadi tempat bertanya atau teman berdikusi bagi sang anak dalam proses belajar di
rumah. Untuk memperlancar proses belajar anak di rumah, orang tua dapat berbagi peran.
Misalnya, sang ayah membantu mengoperasikan laptop atau smartphone untuk anaknya,
sedangkan sang ibu memasak makanan. Pembagian peran seperti itu akan sangat
membantu anak merasa nyaman belajar di rumah. Dalam melakoni peran parenting,
orang tua dan anggota keluarga harus tetap terhubung dengan guru secara teratur.
Artinya, orang tua atau anggota keluarga yang bertanggung jawab atas belajar sang anak
perlu memosisikan dirinya sebagai jembatan antara sang anak dan guru. Orang tua wajib
mengikuti secara detail segala informasi dan pesan yang dibagikan oleh guru. Demikian
pun sebaliknya. Orang tua bisa menyerap segala aspirasi anak untuk diteruskan kepada
guru. Informasikan kepada guru tentang apa yang sedang dipelajari anak dan hal apa saja
atau dukungan tambahan macam apa yang dibutuhkan anak dari gurunya. Orang tua
dapat meminta guru membagi video pendidikan atau materi online apa pun untuk
diteruskan kepada anak.

9
Peran parenting berikutnya yang dapat dilakoni orang tua dan anggota keluarga adalah
memperhatikan anaknya selama belajar di rumah. Dengan begitu, mereka bisa
mengetahui perkembangan usaha belajar sang anak.
Hal lain yang juga dilakukan orang tua dan anggota keluarga adalah melakukan
komunikasi demokratis di lingkungan keluarga. Melalui proses komunikasi yang
demokratis, anak merasa didengarkan, dihargai, dan diakui, sehingga tumbuh rasa
percaya diri. Selebihnya, orang tua dan anggota keluarga perlu memberikan apresiasi
terhadap hasil belajar anak. Apresiasi terhadap pencapaian belajar anak itu sangat
penting. Sebab hal itu dapat meningkatkan semangat anak untuk terus belajar dan
melaksanakan tugasnya.
Misalnya, anak mendapat tugas dari guru untuk menggambar atau melukis. Tentu saja,
hal pertama yang harus dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarga adalah
menyediakan peralatan menggambar yang dibutuhkan. Selanjutnya, orang tua dapat
berdiskusi dengan anak untuk menemukan ide untuk memulai menggambar dan
mewarnai gambarnya. Pada tahap akhir, orang tua memberi apresiasi atas hasil karya
sang anak. Kalau hasil karya anak tidak diapresiasi, bahkan dicemooh karena tidak bagus
misalnya, anak mungkin tidak mau mengerjakan tugas lainnya.
Garry Hornby dalam bukunya Parental Involvement in Childhood Education - Building
Effective School-Family Partnerships (2011) menyatakan terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi pola parenting orang tua dan anggota keluarga dalam membantu proses
belajar anaknya.Beberapa faktor yang dimaksud yaitu karakter orang tua dan anggota
keluarga, tingkat pendidikan dan kadar inteligensia, kondisi ekonomi, kondisi kesehatan,
dan kebiasaan atau gaya hidup orang tua/anggota keluarga. Hal-hal ini akan
memengaruhi kemampuan orang tua/anggota keluarga untuk memenuhi tuntutan untuk
berperan dan berpartisipasi aktif dalam proses belajar anak di rumah.Jadi, kunci utama
dalam peningkatan mutu pendidikan, walau anak harus belajar di rumah, adalah
partisipasi orang tua dan anggota keluarga seluruhnya. Orang tua dan anggota keluarga
perlu menunjukkan kepada anak bahwa mereka ikut ambil bagian dalam setiap
kegiatannya. Meskipun orang tua dan anggota keluarga memiliki kegiatan masing-
masing, mereka tetap harus ikut memfasilitasi, mendampingi, dan memantau proses
belajar anak di rumah

10
6. Sibling Rivalry
Persaingan saudara didefinisikan sebagai persaingan antara saudara kandung untuk
mendapat cinta, persetujuan dan perhatian dari satu atau kedua orangtua, yang biasanya
hadir di antara saudara kandung sampai batas tertentu. Sebagai orangtua dituntut harus
memberikan rasa nyaman kepada setiap anak-anaknya, sehingga setiap perilaku orangtua
harus dapat dikontrol dengan baik. Sesuai dengan pernyataan dari Setianingrum dkk
(2017) sebagai berikut: Setelah lahir seorang bayi, pasangan suami istri otomatis akan
bertambah perannya dengan menjadi orangtua baru. Mereka harus mempersiapkan segala
sesuatunya sebagai sebuah keluarga. Mereka harus mendominasi pada proses
pengembangan pribadi bagi si anak. Salah satunya dengan membuat kondisi keluarga
yang menyenangkan dan menimbulkan rasa nyaman bagi seluruh anggota keluarga,
terutama anak. Mengingat hebatnya pengaruh perlakuan orangtua pada anak khususnya
pada usia balita, maka segala tindakan kita dalam mengasuh dan membimbing anak harus
terkontrol.Jika terdapat kelahiran anak kedua, dan ketika anak pertama (sang kakak)
belum dipersiapkan terlebih dulu dalam kelahiran adik barunya, maka akan menjadi salah
satu faktor munculnya sibling rivalry. Pada saat bayi lahir, anak pertama bisa merasa
kecewa karena dia sudah membayangkan punya teman yang bisa langsung diajak
bermain. Dia lebih bisa berpartisipasi dalam pangasuhan adiknya jika sang kakak sudah
cukup besar dan sudah dibekali pemahaman tentang kehadiran adiknya, tetapi orang tua
harus berhati-hati agar tidak memberikan tanggung jawab yang terlalu besar baginya.
Kemungkinan persainga antar kakakadik akan lebih kecil (Hoog & Blau 2004: 309).[5]
Menurut Andriyani dan Darmawan (2018: 164) mengatakan bahwa sibling rivalry
menjadi sumber masalah jika rasa permusuhan antar individu semakin dalam.
Pertengkaran akan semakin membahayakan masing-masing individu, salah satunya anak
merasa rendah diri dan mungkin akan melakukan tindakan yang menyakiti saudaranya.
Hubungan antara saudara kandung ketika masih kecil memang kerap terjadi konflik yang
dapat menyebabkan perilaku sibling rivalry semakin sering terjadi. Perilaku tersebut
misalnya seperti permusuhan, kecemburuan, yang nantinya akan menimbulkan adanya
ketegangan

11
diantara mereka.Sibling rivalry kemungkinan akan banyak terjadi di dalam keluarga yang
memiliki anak lebih dari satu dengan usia yang terpaut berdekatan. Jarak usia yang sering
muncul sibling rivalry adalah sekitar 1-3 tahun. Pernyataan tersebut sesuai denga n
pernyataan Idayanti & Mustikasari (2014: 114) mengatakan bahwa: Persaingan antar
saudara kandung (sibling rivalry) adalah perasaan cemburu dan benci yang biasanya
dialami oleh seorang anak terhadap kelahiran/kehadiran saudara kandungnya. Sibling
rivalry biasanya muncul ketika selisih usia saudara kandung terlalu dekat, jarak usia yang
lazim memicu munculnya sibling rivalry adalah jarak usia antara 1-3 tahun. Menurut
Lestari (2017) mengatakan bahwa: anak dengan beda usia 4 tahun lebih jarang
mengalami sibling rivalry dan juga mengatakan bahwa beda usia yang jauh antar saudara
menyebabkan hubungan yang positif.Sibling rivalry tidak dapat dihindari namun dapat
dikurangi, dan disinilah peran orang tua dalam penentuan sangat diperlukan. Ketika
sedang terjadi permasalahan sibling rivalry sebaiknya orang tua dapat mengarahkan dan
membimbing anak, seperti misalnya saat terjadi perselisihan orang tua lebih dulu
mencaritahu pusat dari permasalahan tersebut dengan tidak memihak salah satu, dan
mengajarkan kepada anak untuk saling memaafkan. Peran yang paling diperlukan dalam
penanganan sibling rivalry adalah peran dari ibu, menurut Yuviska (2016) menjelaskan
bahwa Ibu yang memiliki cukup pengetahuan tentang penanganan sibling rivalry
(kecemburuan) akan segera cepat mengenali reaksi sibling rivalry (kecemburuan) pada
anaknya terutama pada awal-awal kelahiran bayinya dan mengetahui cara yang tepat
mengurangi efeknya terhadap anaknya yang lain. Oleh karena itu pengetahuan tentang
sibling rivalry (kecemburuan) dan cara penanganannya sangat dibutuhkan oleh setiap
keluarga terutama ibu karena secara naluriah anak-anak lebih dekat dengan ibu
disbanding dengan ayahnya.Perilaku sibling rivalry yang terjadi pada anak disebabkan
oleh beberapa faktor. Menurut Hurlock (1996: 207) terdapat 6 faktor penyebab terjadinya
sibling rivalry pada anak yaitu 1) Sikap Orang tua, dimana sikap orang tua yang
memperlakukan anak tidak adil menjadi salah satu faktor kecemburuan yang besar pada
anak, 2) Urutan Kelahiran, perilaku sibling rivalry yang terjadi biasanya menimpa anak
dengan urutan kelahiran berdekatan, anak akan merasa tidak nyaman ketika peran dan
tanggung jawabnya tidak sesuai dengan dirinya, 3) Jenis Kelamin, sibling rivalry banyak
terjadi pada anak dengan jenis kelamin yang sama dan lebih sering terjadi pada anak

12
perempuan dengan anak perempuan, 4)Perbedaaan Usia, perbedaan usia menjadi salah
satu faktor terjadinya sibling rivalry pada anak, dengan perbedaan usia yang berdekatan
akan menyebabkan intensitas sibling rivalry semakin sering terjadi, 5) Jumlah Saudara,
sibling rivalryakan sering terjadi pada keluarga yang memiliki anak lebih sedikit
ketimbang keluarga dengan anak yang banyak, 6) Pengaruh dari Luar, sibling rivalry
dapat muncul dan terjadi disebabkan oleh adanya pengaruh dari luar, pengaruh dari luar
tersebut misalnya terdapat omongan dari orang luar yang membanding-bandingkan anak
satu dengan yang lainnya, selain itu juga bisa terjadi karena adanya pengaruh dari campur
tangan pola asuh orang lain. Gaol (2017: 24) menjelaskan bahwa faktor penyebab sibling
rivalry diantaranya karena orang tua membagi perhatian dengan orang lain terkesan
mengidolakan anak tertentu, serta kurangnya pemahaman diri. Faktor penyebab sibling
rivalry salah satunya adalah faktor yang tumbuh dan berkembang dalam diri anak itu
sendiri seperti misalnya anak sudah sedari lahir memiliki sifat yang temperamen, sikap
masingmasing anak mencari perhatian orang tua, perbedaan usia atau jenis kelamin
dengan saudara kandung, dan ambisi anak untuk mengalahkan saudara kandungnya yang
lain . Faktor yang disebabkan karena orang tua yang salah dalam mendidik anak seperti
sikap membandingbandingkan, dan adanya anak emas diantara anak yang lain juga bisa
menjadi faktor penyebab terjadinya sibling rivalry pada anak. Orang tua adalah pribadi
yang pertama kali dikenal oleh anak, maka dari itu orang tua memiliki pengaruh yang
besar bagi setiap perkembangan anak. Selain itu orang tua dalam keluarga merupakan
lingkungan pertama yang diterima oleh anak, segala yang dipelajari anak dari orang tua
sekaligus sebagai pondasi bagi perkembangan pribadi anak. Oleh karena itu peran orang
tua dalam perkembangan anak sangat dibutuhkan. Sebagai orang tua wajib mengetahui
dan sadar mengenai apa saja perannya bagi tumbuh kembang anak-anakya. Seperti yang
dijelaskan oleh Man Lam (2003) “Parents are the earliest and closest mentors of their
children; the views, values, and attitudes of parents have an enormous impact on their
children’s development. Effective parent education is, therefore, critical”. Orang tua
adalah mentor paling awal dan terdekat bagi anak-anak mereka; pandangan, nilai, dan
sikap orang tua memiliki dampak besar pada perkembangan anak-anak mereka. Oleh
karena itu, pendidikan orang tua yang efektif sangat penting. Setiap anak memiliki
keunikan masingmasing, dan anak memiliki bakat masing-masing, sehingga setiap anak

13
memerlukan bentuk perhatian yang berbeda-beda pula dari orang tuanya agar anak dapat
mengembangkan bakat yang dimilikinya. Seperti pernyataan dari Kumtiyah dan Mulyono
(2015) menjelaskan bahwa Anak adalah individu yang unik, dengan keunikannya anak
berhak mendapat layanan pendidikan yang sesuai kebutuhannya. Anak membutuhkan
perawatan, pengasuhan, dan pendidikan yang layak di rumah, sekolah, dan masyarakat.
Anak memerlukan perhatian yang intensif dari orang dewasa untuk mengembangkan
dirinya. Maka dari itu orang tua harus pintar dalam membagi waktu untuk
memperhatikan setiap anak-anaknya, dan orang tua wajib memberikan perhatian yang
adil sesuai dengan kebutuhan anak-anaknya. Karena orang tua memiliki peran penting
dalam hal tersebut, diharapkan orang tua selalu ada waktu untuk memberikan perhatian
yang cukup dan terus mengawasi tumbuh kembang anak-anaknya.
Yuliasari dan Mulyono (2015) mengatakan bahwa Sejak lahir anak telah diperkenalkan
dengan pranata, aturan, norma, dan nilai-nilai budaya yang berlaku melalui pengasuhan
yang diberikan memalui orang tua di dalam keluarga. Kehadiran orang tua dalam
keluarga
memungkinkan adanya rasa kebersamaan sehingga memudahkan orang tua untuk
mewariskan nilai-nilai yang dipatuhi dan ditaati dalam berperilaku, karena pada dasarnya
seorang anak mengalami proses sosialisasi yang pertama kali adalah dalam lingkungan
keluarga. Memahami betapa pentingnya peran dan betapa besarnya tanggung jawab
orang tua terhadap perkembangan diri anak di lingkungan keluarga maupun di luar
lingkungan keluarga, maka orang tua harus benar-benar mengetahui akan perannya
tersebut. Dengan terus belajar, orang tua akan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya
dengan lebih baik.
Menurut Muthmainnah (2012) Peran orang tua dalam mengembangkan pribadi anak
adalah
1) mendampingi, yaitu dengan cara memberikan pendampingan dalam proses
perkembangan anak agar anak bertumbuh sesuai dengan harapan orang tua,
2) Menjalin Komunikasi, supaya segala minat, harapan, dan keinginan antara orang tua
dan anak dapat tersalurkan dengan baik melalui komunikasi,
3) memberikan kesempatan, yaitu memberikan kesempatan pada anak untuk mencoba,
mengekplorasi, dan memberikan kesempatan anak untuk memberikan pendapatnya,

14
4) mengawasi, pengawasan yang diberikan dengan tujuan agar anak masih dapat
dikontrol dan diarahkan
5) Mendorong atau memberikan motivasi, setiap individu memerlukan dorongan dan
motivasi, motivasi diberikan kepada anak agar selalu mempunyai keinginan untuk
mencapai atau mempertahankan hal-hal yang ingin dicapai oleh anak
6) mengarahkan, orang tua memiliki peran dalam mengarahkan anak-anak mereka agar
anak selalu dalam arahan yang benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang tua.
Rahman (2002: 100) mengungkapkan peran dari orang tua adalah
1) Memelihara kesehatan fisik dan mental anak,
2) Meletakkan dasar kepribadian yang baik,
3) Membimbing dan memotivasi anak untuk mengembangkan diri,
4) Memberikan fasilitas yang memadai bagi pengembangan diri anak,
5) Menciptakan suasana yang aman, nyaman dan kondusif bagi pengembangan diri anak
Permasalahan sibling rivalry pada anak harus mendapat pemahaman dan pengertian dari
orang tua. Dalam hal ini upaya orang tu sangat diperlukan agar permasalahan sibling
rivalry pada anak usia dini tidak dibawanya kelak ketika dewasa nanti. Upaya orang tua
dibutuhkan dalam meminimalisir terjadinya sibling rivalry pada anak. Menurut Martono
(2012: 370) upaya dijelaskan sebagai usaha (syarat) suatu cara tertentu, yang
membutuhkan strategi tertentu untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Maka upaya
orang tua disini merupakan usaha atau suatu cara tertentu yang dilakukan orang tua
dalam mencapai tujuan tertentu. Upaya yang dilakukan orang tua disini adalah upaya
ketika
menghadapi pertengkaran yang terjadi pada anak, kemudian ketika anak merasa cemburu
pada saudara yang sedang dibelikan sesuatu tetapi tidak dibelikan, dan juga ketika
melihat orang tua sibuk mengurusi saudara kandungnya. KB TK Tunas Mulia Bangsa
Semarang merupakan suatu lembaga pendidikan bagi anak usia dini. Menurut Oktaviana
dan Utsman (2017) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan
sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih

15
lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Dimana di KB
TK Tunas Mulia Bangsa menerima peserta didik dengan rentang usia 3-6 tahun. Tak
jarang ada kakak beradik yang bersekolah bersama di KB TK Tunas Mulia Bangsa
walaupun memang tidak di satu kelas
yang sama. Dengan jarak usia yang sama menyebabkan seringnya terjadi permasalahan
sibling rivalry pada kakak beradik tersebut. Dari permasalahan yang dilihat oleh peneliti
dengan seringnya perilaku sibling rivalry tersebut pada anak usia dini, memunculkan
pertanyaan mengenai bagaimana perilaku sibling rivalry tersebut muncul dan bagaimana
upaya dari orang tua dalam mengatasi permasalahan sibling rivalry pada anak usia dini.

16
DAFTAR PUSTAKA

[1] R. R. Michelle and H. Krisnani, “Pentingnya peran orang tua dalam membangun
kepercayaan diri seorang anak dari usia dini,” Pengabdi. Masy., vol. 7, p. 47, 2020.

[2] Sukiman, “Membantu Anak Percaya Diri,” Seri Pendidikan Orang Tua : Membantu Anak
Percaya Diri. pp. 2–24, 2017.

[3] Y. Palupi, “Digital Paranting sebagai wahana terapi untuk menyeimbangkan dunia digital
dengan dunia bagi anak,” Semin. Nas., 2015.

[4] A. K. Sembiring, H. Fitri, and S. M. Efastri, “Persepsi Orang Tua terhadap Pemecahan
Masalah Temper Tantrum Anak Usia Dini di Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru,” vol. 8,
no. 12, pp. 3–15, 2017.

[5] S. Kharisma and E. Budiarti, “UPAYA ORANG TUA DALAM MENGATASI SIBLING
RIVALRY PADA ANAK USIA DINI DI KB TK TUNAS MULIA BANGSA
SEMARANG,” vol. 5, no. 1, pp. 75–87, 2020.

17

Anda mungkin juga menyukai