Anda di halaman 1dari 13

Nama : Andi Kartiani

Nim : P102202018
MK : UAS Residensi dan model asuhan kebidanan
Dosen Pengampuh : Dr. Imelda Iskandar, M.Kes
1. Kurang percaya diri
Menurut Saputra (2010) percaya diri adalah “salah satu kunci kesuksesan siswa
dalam belajar. Karena tanpa adanya rasa percaya diri siswa tidak akan sukses dalam
berinteraksi dengan temannya.” Disamping itu tanpa adanya rasa percaya diri siswa akan
ragu-ragu dalam menyelesaikan suatu soal, pada akhirnya siswa tersebut tidak akan
maksimal dalam menyelesaikan soal. Pada umumnya rendahnya rasa percaya diri pada
siswa SMP adalah masalah yang sering diabaikan oleh para guru, tetapi jika terus
diabaikan, hal tersebut akan dapat berdampak negatif bagi siswa yaitu berupa hasil
belajar yang kurang optimal.
Discovery Learning adalah proses belajar yang di dalamnya tidak disajikan suatu
konsep dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasi sendiri cara
belajarnya dalam menemukan konsep. Sebagaimana pendapat Bruner (kemendikbud,
2013:242) bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place
when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is
required to organize it him self”. Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang
menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama
dengan inquiry. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada
Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan Discovery ialah bahwa pada
Discovery masalah yang dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa
oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa
harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-
temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian. Menurut Salmon (2012:4) dalam
pengaplikasiannya model Discovery Learning mengembangkan cara belajar siswa aktif
dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan tahan
lama dalam ingatan, Serta posisi guru di kelas sebagai pembimbing dan mengarahkan
kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini tujuannya adalah ingin
merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
Dikarenakan siswa menjadi pusat pembelajaran maka dalam metode Discovery
Learning siswa diarahkan untuk bisa menemukan rumus sendiri yang nantinya akan di
gunakan dalam materi garis, sudut dan segitiga dengan arahan guru, sehingga tingkat
pemahaman siswa terhadap konsep materi yang sedang dipelajari akan meningkat. Jika
tingkat pemahaman siswa meningkat maka tingkat percaya diri akan ikut meningkat juga.
Oleh karena itu metode discovery learning selalu mengarahkan cara belajar siswa
aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan
tahan lama dalam ingatan. Sehingga dari proses pembelajaran inilah maka kemampuan
representasi matematis dan percaya diri siswa akan meningkat dengan sendirinya.
2. Canduan perangkat digital
Memberikan gadget pada anak dapat memiliki dampak dan pengaruh yang signifikan
pada perkembangannya. Dampak tersebut dapat berupa negative maupun positif,
tergantung bagaimana seorang anak dalam memanfaatkan gadget tersebut serta sejauh
mana keterlibatan dan pengawasan orang tua/guru dalam mengawasi penggunaan gadget.
Elfiadi (2018) mengukapkan secara umum dampak gadget bagi anak berpengaruh pada
aspek-aspek perkembangannya yang meliputi aspek nilai agama dan moral, aspek
kognitif, aspek fisik dan motorik, aspek sosial dan emosional, serta aspek perkembangan
bahasa.
Secara kognitif, penggunaan gadget pada anak dapat mengasah kemampuan berpikir dan
imajinasi anak serta mengembangan kreativitasnya (Handrianto, 2013). Dari aspek
perkembangan fisik dan motorik anak, penggunaan gadget memiliki dampak yang
negative terhadap perkembangannya. Menurut Suwasih (dalam Chusna, 2017) Anak yang
menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya hanya dengan gadget, menyebabkan
mereka menjadi anak-anak yang cenderung malas bergerak dan beraktivitas fisik. Dalam
aspek perkembangan sosial dan emosional memberikan dampak negative dimana anak-
anak terlalu lama menghabiskan waktu di depan layar gadget membuat interaksi sosial
dengan lingkungan sekitar anak juga terganggu, kemampuan sosialisasi yang kurang
karena disibukkan dengan dunia gadgetnya sendiri tanpa mau memperdulikan orang lain.
Terakhir dalam aspek perkembangan bahasa anak akan sulit mengembangkan bahasa
karena sibuk dengan dunianya sendiri mereka cenderung hanya diam sambil menikmati
mainan dalam gadget.
Banyak orangtua yang tidak mengetahui bagaimana cara mengurangi perilaku kecanduan
gadget pada anak. Sehingga dibutuhkan psikoedukasi terhadap orangtua untuk
mengurangi dampak penggunaan gadget pada anak. Salah satu psikoedukasi yang dapat
diberikan terhadap orangtua adalah dengan melakukan smart parenting. Smart parenting
dapat menjelaskan secara terperinci bagaimana pola asuh yang baik dalam era digital ini,
bagaimana cara agar perkembangan anak tidak terhambat karena adanya gadget disekitar
sang anak.
Terdapat beberapa hal efektif yang dapat yang dapat dilakukan orangtua untuk mengasuh
anak di era digital ini. Kemendikbud RI (2016) mengatakan terdapat beberapa hal yang
dapat dilakukan orangtua antara lain (1) memperhatikan hal-hal yang dapat mengacam
anak-anak diera digital seperti kesehatan mata,masalah tidur, kesulitan konsentrasi,
menurunnya prestasi belajar, perkembangan fisik, perkembangan sosial, perkembangan
otak, dan penundaan perkembangan bahasa. (2) Pendampingan generasi digital seperti
menambah pengetahuan sperti situs, mengarahkan penggunaan perangkat dan media
digital dengan jelas, imbangi waktu anak menggunakan media digital dengan interaksi di
dunia nyata, pinjamkan anak perangkat digital sesuai keperluan, pilihkan
program/aplikasi positif, mendampingin dan meningkatkan interasksi terhadap anak,
selama bersama anak gunakanlah perangkat digital secara bijaksana, mempersiapkan
anak berkunjung ke dunia usia dan tahap perkembangan anak. Untuk baitas usia 1-3
tahun berilah batasan waktu tayangan pada pemdia digital, memanfaatkan media digital
dalam bentuk audio untuk meambah kosa kata,angka dan lagu, memanfaatkan
program/aplikasi untuk meningkatkan perilaku prososial pada anak. Memanfaatkan
informasi tentang berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda untuk
belajar mengenal keanekaragaman, menghindari tayangan program media digital yang
megandung unsure kekerasan dan seksualitas, hindari tayangan yang menakutkan, hindari
tayangan yang menggunakan bahasa yang tidak senonoh dan agresif karena anak dapat
mengingat dan mengulanginya lagi, hindari tayangan iklan dengan konten yang tidak
tepat usia anak, mendampingi dan berinteraksi dengan orangtua/pengasuh saat
menggunakan media, dan hindari penggunaan digital sebagai “pengganti peran orangtua”
3. Kebiasaan konsumsi makanan yang tidak benar
Gizi lebih atau dalam istilah awam lebih dikenal sebagai kegemukan merupakan status
gizi tidak seimbang akibat asupan nutrisi yang berlebihan sehingga menghasilkan
ketidakseimbangan energi antara konsumsi makanan dan pengeluaran energi yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan.(2) Prevalensi gizi lebih (overweight dan obesitas) di
seluruh dunia mengalami tren yang terus meningkat dalam sekitar 30 tahun terakhir.
Salah satu kelompok umur yang berisiko terjadinya gizi lebih adalah kelompok umur
remaja.(3) Hasil Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa prevalensi obesitas pada remaja
(lebih dari 15 tahun) di Indonesia telah mencapai 19,1%.
Gizi lebih pada remaja perlu mendapat perhatian, sebab gizi lebih yang muncul pada usia
remaja cenderung berlanjut hingga dewasa dan lansia. Sementara gizi lebih itu sendiri
merupakan salah satu faktor risiko penyakit degeneratif, seperti penyakit kardiovaskuler,
diabetes melitus, beberapa jenis kanker, dan sebagainya.(7) Pada study longitudinal oleh
Lytle menyatakan bahwa kelebihan berat badan pada remaja berisiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler di usia dewasa.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan tingginya Indeks Massa Tubuh (gizi lebih)
diantaranya adalah pola konsumsi tinggi energi dan kurangnya aktivitas fisik yang
mengarah pada pola hidup sedentaris (sedentary lifestyle). seperti menonton televisi dan
bemain computer/video games. Penelitian Hanley et al pada masyarakat Kanada
menemukan bahwa remaja usia 10-19 tahun yang menonton televisi > 5 jam per hari,
secara signifikan lebih berpeluang mengalami gizi lebih dibandingkan dengan remaja
yang hanya menonton televisi ≤ 2 jam per hari.
Peningkatan kemakmuran dan pengaruh westernisasi dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan gaya hidup dalam pemilihan makanan yang cenderung menyukai makanan
cepat saji (fast food) yang kandungan gizinya tidak seimbang yaitu mengandung energi,
garam, dan lemak termasuk kolesterol dalam jumlah tinggi dan hanya sedikit
mengandung serat.
4. Tantrum
Tantrum adalah masalah perilaku yang umum dialami oleh anak-anak
prasekolah yang mengekspresikan kemarahan mereka dengan tidur di lantai,
meronta-ronta, berteriak dan biasanya menahan napas. Tantrum adalah bersifat
alamiah, terutama pada anak yang belum bisa menggunakan kata dalam mengungkapkan
rasa frustrasi mereka (Fetsch & Jacobson, 1988). Suatu ledakan emosi kuat sekali,
disertai rasa marah, serangan agresif, menangis, menjerit-jerit, menghentak-
hentakkan kedua kaki dan tangan ke lantai atau tanah (Chaplin, 1981).
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah.
Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan
ciri-ciri memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur, sulit
menyesuaikan diri dengan situasi, makanan dan orang-orang baru, lambat beradaptasi
terhadap perubahan, suasana hati (moodnya) lebih sering negatif, mudah
terprovokasi, gampang merasa marah atau kesal dan sulit dialihkan perhatiannya
(Tasmin, 2001).
Kebanyakan tantrum terjadi di tempat dan waktu tertentu. Biasanya di tempat-
tempat publik setelah mendapatkan kata “tidak” untuk sesuatu yang mereka
inginkan. Tantrum biasanya berhenti saat anak mendapatkan apa yang diinginkan
(Tavris, 1989).
Secara tipikal tantrum mulai terjadi pada saat anak mulai membentuk sense
of self. Pada usia ini anak sudah cukup untuk memiliki perasaan“me” dan “my wants”,
tetapi mereka belum memiliki keterampilan yang memadai bagaimana cara
memuaskan keinginan mereka secara tepat. Tantrum puncaknya pada usia 2-4 tahun
yakni sekitar 23-80 % (Fetsch & Jacobson, 1998).
Tasmin (2002) mengemukakan bahwa beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya tantrum pada anak. Seperti, terhalangnya keinginan
anak mendapatkan sesuatu, adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. Misalnya sedang
lapar, ketidakmampuan anak mengungkapkan atau mengkomunikasikan diri dan
keinginannya sehingga orangtua meresponnya tidak sesuai dengan keinginan anak.
Pola asuh orangtua yang tidak konsisten juga salah satu penyebab tantrum; termasuk
jika orangtua terlalu memanjakan atau terlalu menelantarkan anak. Saat anak
mengalami stres, perasaan tidak aman (unsecure) dan
ketidaknyaman(uncomfortable) juga dapat memicu terjadinya tantrum.Tavris (1989)
melihat bentuk tantrum berdasarkan proses pembentukannya yang dapat dibedakan
dalam 3 tahapan, yakni tahap pemicu (trigger), tahap respon dan tahap pembentukan.
Tahap pemicu tampak pada saat anak diserang, dikritik atau diteriaki oleh orangtua
atau saudara dengan sesuatu yang menyakitkan atau menjengkelkan. Kemudian, anak
merespon kritikan tersebut secara agresif dan destruktif. Jika perilaku agresi yang
dimunculkan oleh anak tersebut mendapatkan reward dari penyerang (attacker) dengan
menjadi diam atau berhenti mengkritik, maka taktik ini dianggap berhasil. Disinilah
anak akan mulai belajar membentuk perilaku tantrum sebagai senjata untuk melawan
segala bentuk serangan dari lingkungannya.
Sementara itu, Tasmin (2002) membedakan bentuk perilaku tantrum berdasarkan
kecenderungan bentuk perilaku yang dimunculkan anak berdasarkan usia, yakni
usia kurang dari tiga tahun, usia tiga sampai empat tahun dan usia di atas lima tahun.
Adapun bentuk perilaku tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Bentuk perilaku tantrum berdasarkan kecenderungan bentuk perilaku yang
dimunculkan anak berdasarkan usia :

Usia
< 3 TAHUN (A) 3– 4 TAHUN (B) >5 TAHUN
 Menangis Selain perilaku A : Selain Perilaku A dan B
 Menggigit  Perilaku-perilaku Juga:
 Memukul tersebut diatas  Memaki
 Menendang  Menghentak-hentakan  Menyumpah
 Menjerit kaki  Memukul
 Memekik-mekik  Berteriak-teriak• kakak/adik atau
 Melengkungkan Meninju temannya •
 Punggung  Membanting pintu Mengkritik diri
 Melempar badan ke  Mengkritik sendiri
lantai  Merengek  Memecahkan
 Memukul- barang dengan
mukulkan tangan sengaja
 Menahan nafas  Mengancam
 Membentur-
benturkan kepala
 Melempar-lempar
barang
Tasmin (2002) mengemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya tantrum
dapat dilakukan dengan mengenali kebiasaan-kebiasaan anak dan mengetahui
secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa tantrum terjadi pada anak. Misalnya, pada
anak yang aktif bergerak dan gampang stres maka orangtua perlu mengatur kondisi
agar anak tidak dibuat bosan agar selama perjalanan diusahakan sering-sering
beristirahat di jalan, untuk memberikan waktu bagi anak berlari-lari di luar
mobil. Mendampingi anak mengerjakan tugas-tugas sekolah dan mengajarkan hal-
hal yang dianggap sulit, akan membantu mengurangi stres. Mendampingi anak
bahkan tidak terbatas pada tugas-tugas sekolah, tapi juga pada permainan-
permainan, sehingga ketika ia mengalami kesulitan orangtua dapat membantu
dengan memberikan petunjuk. Hal lain yang bisa dilakukan adalah orangtua perlu
memperlakukan anak secara tepat dengan tidak terlalu memanjakan dan tidak pula
terlalu menelantarkan anak, hubungan anak adalah hubungan kasih sayang dan
perhatian yang proposional.
Ada tiga hal yang perlu dilakukan sesegera mungkin saat tantrum terjadi,
yakni memastikan segalanya aman, perlunya orangtua mengontrol emosinya, serta tidak
ambil peduli terhadap pandangan sinis atau ucapan negatif serta segala bentuk
reaksi dari lingkungan. Jika tantrum terjadi maka biarkanlah anak untuk
melampiaskan emosinya tapi pastikan bahwa segala sesuatunya dalam keadaan
aman, baik bagi anak, pengasuh, termasuk benda-benda yang kemungkinan bisa
dirusak. Segera evakuasi anak pada tempat-tempat yang empuk seperti kasur atau sofa,
jauhkan anak pada benda-benda yang rawan untuk dirusak seperti televisi, hand-
phone, remote control dan lain-lain. Ada baiknya jika anak didekap atau dipeluk
dengan penuh kasih sayang akan tetapi jika dia meronta-ronta, memukul atau bahkan
mencakar orangtua atau pengasuhnya sebaiknya tindakan ini jangan dilakukan sebab
hanya akan memicu dan memprovokasi orangtua untuk bertindak kasar pada
anak. Orangtua harus tetap tenang serta berusaha mengontrol emosi untuk tetap
stabil. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
Jika terjadi pada tempat umum (ruang publik) seperti swalayan, pesawat, kendaraan
umum, kemungkinan besar lingkungan akan memberikan reaksi negatif yang dapat
memicu emosi orangtua, maka yang perlu dilakukan adalah jangan terpengaruh
dengan reaksi tersebut tetap sabar dan kendalikan emosi (Tasmin, 2008).
Tindakan yang perlu dihindari adalah membujuk, berargumen, memberikan
nasihat-nasihat moral agar anak diam. Usaha menghentikan tantrum dengan
cara-cara seperti itu ibarat “menyiram bensin dalam api”, anak akan semakin kuat
mengekspresikan kemarahannya dan intensitasnya meningkat. Meminta anak untuk
diam dengan memberi hadiah atau menjanjikan hadiah juga merupakan tindakan yang
perlu dihindari. Sebab, sama saja mengajarkan anak untuk menggunakan tantrum sebagai
senjata untuk meluluskan keinginannya atau mendapatkan hadiah. Paling penting untuk
dihindari adalah memaksa anak diam dengan kata-kata kasar atau menggunakan
hukuman M sik dan kekerasan (mencubit, memukul, menjewer, mengurung dalam
kamar mandi, mengikat dan lain-lain), sebab hal ini sama dengan mengajarkan
anak menggunakan cara-cara kekerasan jika menghadapi satu masalah (Lorens, 2010
; Tasmin, 2008).
Salah satu tehnik yang dapat digunakan pada saat anak sedang tantrum
adalah mengangkatnya ke kamar sesegera mungkin dan mengisolasinya selama 2 atau
3 menit. Hal ini juga memberi kesempatan kepada orangtua untuk mengontrol
emosinya. Dua atau tiga menit sudah cukup untuk mencegah orangtua terprovokasi
menggunakan kekerasan. Tidak perlu menasehati, tetapi sebelum meninggalkan kamar,
orangtua hanya perlu mengemukan ungkapan seperti “mama akan meninggalkan
ade di kamar ini sampai kamu tenang dan siap untuk bicara dengan tenang”. Cara
ini akan sangat membantu orangtua menjaga anak secaraú sik dan bisa tetap konsisten
pada aturan, terutama kepada anak yang lebih tua dan anak usia sekolah (Tavris, 1989).
5. Tidak senang bejajar
Kejenuhan dalam belajar dapat menyebabkan seseorang cepat marah, mudah
terluka dan mudah frustasi (Hidayat 2016). Pemberian tugas yang terlalu banyak dan
suasana belajar yang monoton cenderung mendorong sikap sinis dan apatis terhadap
pelajaran dengan diberikan, kurang percaya diri dan rendahnya proses memahami
pelajaran yang telah diterima (Arirahmanto dan Sutam 2016).
Beberapa strategi yang telah dipaparkan menunjukkan hal yang positif dalam
keberlangsungan pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Oleh karena itu, keberhasilan
proses pembelajaran bukan hanya tugas sekolah, guru dan siswa, akan tetapi orang tua
memiliki kewajiban untuk mendukung anak memeroleh hasil belajar yang optimal.
Dengan perbedaan situasi seperti ini, penting untuk mengkaji strategi atau upaya yang
dapat dilakukan oleh orang tua sebagai pihak pelaksana pembelajaran selama anak
belajar di rumah untuk mengatasi kejenuhan anak belajar. Oleh karena itu penelitian ini
penting untuk dilakukan agar diperoleh hal-hal baru dan hasilnya dapat dimanfaatkan
untuk penyempurnaan pelaksanaan pembelajaran selama di rumah. Hasil penelitian ini
dapat dimanfaatkan oleh orang tua, guru dan kepala sekolah.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua telah memiliki
kesadaran lebih untuk mengatasi kejenuhan anak selama belajar di rumah. Hal tersebut
terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan motivasi anak dalam
belajar. Upaya yang dilakukan orang tua untuk mengatasi rasa bosan anak adalah
mengajak anak untuk bermain di luar rumah serta mengajak anak rekreasi pada hari libur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua, setelah anak melakukan aktivitas
bermain anak akan kembali bersemangat dan siap untuk belajar kembali. Bermain dapat
dilakukan di dalam dan di luar rumah dengan beragam cara. Kegiatan bermain di dalam
rumah dapat dilakukan bersama anak dan orang tua sehingga akan membangun
kedekatan fisik dan emosional diantara keduanya. Beberapa orang tua berinisiatif untuk
membolehkan anak bermain di luar rumah dengan mengajak anak rekreasi atau
mengunjungi tempat-tempat wisata seperti di pantai atau taman. Hal ini dianggap efektif
oleh orangtua untuk menghilangkan kejenuhan selama berada di rumah karena dapat
merilekskan pikiran.
Adapun upaya lain yang dilakukan orang tua adalah dengan memberikan
dukungan psikologis melalui kata-kata motivasi, semangat, bujukan serta pemberian
reward berupa makanan kesukaan anak. Motivasi belajar dapat distimulus dengan sesuatu
dari dalam maupun dari luar diri anak. Makanan merupakan sesuatu dari luar diri anak
yang dapat mendorong lahirnya motivasi belajar sehingga hal tersebut merupakan
langkah yang tepat untuk dilakukan oleh orang tua. Berdasarkan temuan wawancara
dengan orang tua, memberikan makanan kesukaan pada anak merupakah cara efektif agar
anak merasa senang dan ingin melanjutkan kegiatan belajar di rumah.
6. Sibling Rivalry (Persaingan Antar Saudara)
Sibling rivalry terjadi pada usia remaja awal dengan rentang usia 12-18 tahun
merupakan masa remaja mencari identitas diri, ingin melakukan interaksi sosial diluar
dari kelurga inti yaitu teman sebaya dan lawan jenis, serta berusaha memberikan
penampilan, pembicaraan dan perilaku yang lebih dari saudara-saudaranya guna
mengangkat dirinya sebagai individu. Secara emosi remaja juga memiliki pola emosi
yang sama dengan pola emosi kanakkanak yaitu emosi contohnya amarah, takut, ingin
tahu, iri hati, gembira, sedih dan ingin dikasihi dan disayangi. Dibandingkan dengan
anak-anak, remaja mengungkapkan amarah yang nyata yaitu dengan cara
mengekspresikan amarah yang meledakledak, menggerutu dan perasaan iri dan tindakan
apabila orang lain memiliki benda atau sesuatu yang lebih dari dirinya (Hurlock, 1980).
Putri (2013) juga menambahkan bahwa ada beberapa dampak dari sibling rivalry yaitu
dampak pada saudara yaitu munculnya pertama, sikap agresi dan tidak mau berbagi
dengan saudara dan adanya perasaan bersaing dengan saudara biasanya diwujudkan
dengan tidak mau saling membantu dan bekerja sama dengan saudaranya serta
mengadukan saudara dengan saling mengadukan kesalahan yang diperbuat oleh
saudaranya merupakan sikap yang ditunjukkan supaya anak dapat dilihat lebih hebat dan
menjadi pemenang.
Langkah-langkah dalam pendekatan Adler yaitu menciptakan hubungan dengan
konseli, menggali dinamika individual, memberi semangat untuk pemahaman, menolong
agar bisa berorientasi ulang. Semua langkah-langkah tersebut telah peneliti terapkan
sehingga konseli mulai paham apa saja dampak negative dari perilaku sibling rivalry.
Sehingga mereka mulai untuk lebih memperbaiki hubungan satu sama lain, saling
memberikan dukungan dalam segala hal dan menyadari bahwa seorang saudara sangat
tidak pantaslah untuk dijadikan musuh untuk dikalahkan melainkan saudara adalah sosok
sahabat yang terbaik. Bukan hanya kepada kedua konseli, kepada kedua orangtuapun
peneliti menceritakan tentang apa saja yang terjadi pada kedua anak mereka serta
memberikan pemahaman dan masukan sesuai dengan masalah yang terjadi.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai sibling rivalry dan penanganannya (Studi kasus
pada salah satu keluarga di kota Makassar) dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Bentuk sibling rivalry dalam keluarga
Bentuk-bentuk mengenai sibling rivalry sudah sangat jelas terjadi di antara AU
dan IR ini ditandai dengan terjadinya pertengkaran reaksi yang muncul dari kedua
konseli adalah perilaku-perilaku agresif yang mengarah ke fisik seperti memukul,
melukai dan menendang dan reaksi yang tidak yang tidak langsung terjadi adalah
menangis.
b. Penyebab dari sibling rivalry dalam keluarga.
Penyebabnya karena adanya kecemburuan pada kedua konseli yang disebabkan
dari perlakuan orang tua yang selalu membanding-bandingkan kedua anaknya bahkan
lebih menyayangi konseli IR dibandingkan konseli AU. Orang tua juga tidak
memberikan kebebasan kepada AU untuk menentukan pilihan-pilihan di dalam
kehidupannya, sehingga muncul sikap konseli AU yang lebih menutup diri bahkan
sampai melawan orang tua. Perbedaan usia yang terlalu dekat membuat keduanya
saling berselisih untuk mencari perhatian dan jenis kelamin juga mempengaruhi
terjadinya perselisihan.
c. Dampak sibling rivalry dalam keluarga
Dampaknya anak akan memiliki rasa dendam dan kebencian yang sangat besar
kepada saudaranya, ketika dibiarkan ini akan berlangsung sampai mereka dewasa dan
akan mengganggu keharmonisan dalam sebuah keluarga bahkan dapat terjadi
terputusnya tali persaudaraan.
Orang tua yang selalu membandingbandingkan anaknya, lebih memilih anaknya
yang lebih pintar dan tidak pernah memberikan pujian bagi prestasi yang telah
didapatkan oleh konseli AU dan selalu membanggakan dan mengutamakan konseli IR
akan memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan keluarga, sosial dan
karir mereka contoh kecilnya anak yang tidak pernah mendapatkan pujian dari
prestasi yang telah dia dapatkan akan membuat motivasi belajarnya menjadi rendah
dan hilangnya minat untuk meraih cita-cita mereka.
d. Peran orang tua dalam menangani sibling rivalry dalam keluarga
Dalam hal ini orang tua memberikan punishment kepada ke dua anaknya ketika
mereka bertengkar seperti mengurung keduanya di dalam kamar, mencubit dan
mengancam tidak memberikan uang jajan. Orang tua memberikan pola asuh yang
otoriter kepada kedua konseli. Untuk mempererat hubungan antara anak dan orangtua
dan hubungan antara saudara satu sama lain, orangtua mengajak liburan ketempat
rekreasi milsalnya puncak atau ke pantai.
e. Pendekatan Konseling Adlerian untuk menangani sibling rivalry dalam keluarga.
Setelah menggunakan langkahlangkah pendekatan dari teori Adler yaitu,
menciptakan hubungan, menggali dinamika individual, memberi semangat untuk
pemahaman, menolong agar bisa berorientasi ulang, konseli paham apa saja dampak
negative dari perilaku sibling rivalry. Sehingga mereka berusaha lebih memperbaiki
hubungan satu sama lain, saling memberikan dukungan dalam segala hal dan
menyadari bahwa seorang saudara sangat tidak pantaslah untuk dijadikan musuh
untuk dikalahkan melainkan saudara adalah sosok sahabat yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Nurdin Muhamad, 2016, Pengaruh Metode Discovery Learning Untuk Meningkatkan
Representasi Matematis Dan Percaya Diri Siswa, Jurnal Pendidikan Universitas Garut Vol. 09
Hairani Lubis, Afif Husniyatur Rosyida, Nikmatul Hidayati Solikhatin, 2019, Pola Asuh Efektif
Di Era Digital, Jurnal Pelayanan Kepada Masyarakat, Volume 1 No. 2
Wiwied Dwi Oktaviani, Dkk, 2012, HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI FAST FOOD,
AKTIVITAS FISIK, POLA KONSUMSI, KARAKTERISTIK REMAJA DAN ORANG TUA
DENGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) (Studi Kasus Pada Siswa SMA Negeri 9 Semarang,
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2.
Syamsuddin, 2013, Mengenal Perilaku Tantrum Dan Bagaimana Mengatasinyaunderstanding
Tantrum Behavior And How To Solve It, Informasi Vol. 18, No. 02
Ade Agusriani, Mohammad Fauziddin, 2021, Strategi Orang Tua Mengatasi Kejenuhan Anak
Belajar Dari Rumah Selama Pandemi Covid-19, Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini, Volume 5
Muhammad Said Idris, 2018, Sibling Rivalry Dan Penanganannya (Studi Kasus Pada Salah Satu
Keluarga Di Kota Makassar), Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar.

Anda mungkin juga menyukai