Anda di halaman 1dari 3

Truk dan Rumput Hijau di Atas Aspal

Saya adalah gen Z yang punya dua adik gen Z dan satu adik gen alpha. Karena usia
saya dengan kedua adik saya yang gen Z tidak jauh maka saya pada awalnya tidak tertarik
kepada dunia anak-anak. Daripada menganggap mereka adik, pada awalnya saya lebih
melihat mereka sebagai teman. Seiring bertambah waktu saya dan kedua adik saya yang
gen Z mulai mengemukakan pendapat demi kebaikan masing-masing walaupun terkadang
harus ada sedikit drama perkelahian imut. Saya mulai melihat bahwa saya dan mereka
sudah bukan anak-anak lagi saat mereka berkata bahwa alasan mereka kurang respect
kepada saya sebagai kakak adalah karena saat SD saya sepanjang hari hanya bermain
notebook untuk berselancar di sosial media, game fashion show , dan selfie. Sejak itulah
saya merasa bersalah kepada mereka karena tidak berperan sebagai kakak yang
mengemban adiknya.

Rasa bersalah kemudian ditambah dengan perasaan takjub saat menyaksikan adik
saya yang gen alpha lahir.Bagaimana tidak takjub? kami terpaut usia sembilan belas tahun.
Sebelumnya saya memang sudah punya adik dua, namun saat itu saya belum peduli
sehingga proses kehadiran mereka tidak saya perhatikan dengan saksama.

Sebenarnya saya sudah bergabung sebagai tutor dalam suatu platform penyedia
jasa les private untuk mengajar baca tulis hitung untuk toddler dan mengajar mengaji iqra di
sebuah lembaga untuk anak usia 4 - 8 tahun sebelum adik bungsu saya lahir. Namun
setelah adik bungsu saya lahir saya semakin sadar dunia anak-anak adalah dunia yang
menarik dan butuh perhatian lebih. Apalagi, gen alpha harus melewati masa kecil nya
dengan pandemi covid 19. Pada penghujung 2019 saya mengawas malam bina iman dan
taqwa atau yang biasanya disebut mabit. Anak-anak di sana masih dengan ceria nya
menikmati kegiatan bermain dan belajar. Kemudian saya membandingkan keadaan mabit
tersebut dengan kegiatan mabit yang dilaksanakan saat new normal. Selain terasa atmosfer
canggungnya karena harus jaga jarak,teratur,dan penuh protokol, anak - anak terlihat
was-was dan lebih senyap daripada biasanya. Rasanya seperti mereka telah melewati suatu
proses yang berat. Anehnya saya juga merasa selera humor anak-anak sekarang jauh lebih
tinggi dan susah ditembus bentengnya agar mereka dapat tertawa dengan mudah seperti
dulu. Otomatis saya sebagai penggiat pendidikan anak-anak harus memberikan effort lebih
untuk menarik perhatian mereka dalam belajar dan bermain.Bagi anak-anak yang memang
orang tua nya sejak dini sudah menanamkan semangat belajar dan meluangkan waktu nya
untuk bermain bersama anak, men trigger mereka untuk tetap semangat di masa pandemi
tidak terlalu sulit. Yang menjadi tantangan adalah anak-anak yang orang tua nya tidak
sempat bermain dan belajar bersama mereka. Belajar dan bermain yang seharusnya
menjadi kegiatan menyenangkan malah mereka anggap sebagai kegiatan formalitas untuk
sekadar menamatkan hari.

Masalah tidak berhenti sampai di situ. Saat saya mengajar anak TK yang akan
memasuki Sekolah Dasar, saya bertanya bagaimana perasaan nya sedikit lagi akan menjadi
anak kelas 1 SD. Anak ini menjawab "seneng sih,tapi aku cemas". Saat mendengar jawaban
itu saya kaget dan tentunya sedih karena ekspektasi saya menuju pada jawaban "tidak
sabar bertemu teman" atau "penasaran nanti belajar apa saja di SD". Saat saya bertanya
apa yang membuatnya cemas, anak ini menjawab ia takut tidak bisa membaur dengan
teman-teman nya di sekolah. Namun jujur saja saya tidak terlalu heran karena memang
anak ini sempat mengalami pembelajaran daring saat TK. Wajar saja jika anak ini tidak
mempunyai bayangan lebih banyak mengenai cara bersosialisasi secara langsung dan
merasa cemas tentang make friends. Masih dengan anak yang sama, saya bertanya
kembali mengenai lukisan yang ia sematkan di dinding. Salah satu lukisan membuat saya
penasaran. Saya pikir itu gambar hotdog, ternyata itu gambar bathub. Tentu saja saya
bertanya apa alasan dia menggambar bathub. Jawabannya adalah "aku suka berendam di
bathtub karena membuat relax". Sekilas memang jawabannya normal namun yang membuat
hati saya sedikit bertanya adalah "anak usia 6 tahun sudah mengenal coping mechanism".
Momen lain yang menguatkan statement tersebut adalah saat di tengah proses belajar
bersama saya, saat itu sedang membahas grammar. Tentu saja di tengah hari bolong
membahas grammar dengan duduk tegak di atas kursi adalah hal yang membosankan bagi
anak-anak walaupun saya sudah menyelipkan aktifitas yang memakai media menarik.
Ternyata usaha saya menyediakan media tersebut belum cukup menarik bagi anak tersebut
sehingga ia bertanya kepada saya "Miss, aku boleh teriak sebentar gak?". Saya spontan
menjawab "ya,of course". Kemudian anak ini berteriak dengan menutup muka dengan
bantal "AAA". Setelah itu saya bertanya kembali "do you feel better?". Dengan suara lembut
ia menjawab kembali "iya,sudah". Lagi, hati saya harus meringis melihat anak 6 tahun
dengan sopannya meminta izin untuk melepaskan dan mengekspresikan emosi negatif. Di
sisi lain saya juga merasa amaze tentang bagaimana anak ini meminta izin untuk melakukan
itu padahal hal tersebut adalah hak nya. Walaupun ia memang merasa cemas akan caranya
bersosialisasi, namun saya pikir tindakan meminta izin kepada saya adalah bentuk
kecerdasan emosional yang dia miliki dan saya yakin di SD ia akan mampu menghadapi
society. Ia paham betul bahwa walaupun ia mempunyai emosi negatif, ia juga harus
memikirkan dan aware terhadap manusia lainnya yang ada di sekitarnya.

Gen alpha tidak hentinya membuat saya takjub tentang bagaimana mereka mengetahui
sesuatu di usia yang sangat muda. Yah tentunya hal tersebut karena teknologi yang ada di
zaman mereka sudah mumpuni. Jadi yang saya bisa katakan dan berusaha untuk
menerapkan apa yang saya katakan adalah, membesarkan anak bukan hanya tanggung
jawab orang tuanya. Saya suka sekali dengan kalimat "it takes a village to raise a child".
Peradaban selanjutnya harus sama-sama dipersiapkan. Saya paham, di tengah proses
pemulihan dan perubahan pasca pandemi, tentunya semua orang mengalami kesukaran
dan berjuang memulihkan keadaan. Namun saya berharap kita semua juga dapat
menyempatkan waktu untuk merangkul generasi muda dengan memberikan pengalaman
belajar dan bermain yang tidak terlupakan oleh mereka. Tentu semua orang sudah tahu
bahwa anak adalah peniru ulung. Jadi, apapun passion kita,apapun bidang kita,
berkontribusi dengan memberikan sebaik baiknya contoh dalam ranah yang kita kuasai dan
cintai adalah hal yang mulia.

Karena kecerdasan emosional sang anak yang menggambar bathub tadi, adalah proses
mencontek orang tua nya yang bahkan peduli dengan kondisi keluarga saya padahal saya
hanya tutor sementara untuk anaknya. Karena anak-anak yang gemar memberi saya hadiah
kecil untuk saya adalah anak dari figur orang tua yang suka memberi kepada sesama.
Karena anak yang selalu bersemangat bertanya tentang suatu hal adalah hasil kesabaran
dari figur orang tua yang menjawab pertanyaan anaknya meski ia lelah pulang bekerja.
Karena semua karakter dan kebiasaan baik anak-anak yang saya sebutkan tadi, adalah
fakta and i am witnessed the process.
Karena layaknya ban truk bermuatan besar yang terus melaju kencang, generasi muda
akan terus berkembang dengan pesat. Tugas kita sebagai orang tua dan society adalah
menjadi rumput hijau di sepanjang track perjalanan mereka yang terbuat dari aspal agar ban
mereka tidak aus. Saya tahu susah sekali menumbuhkan rumput di tengah aspal. Namun
setidaknya saat hujan turun, kita sebagai rumput hijau dapat menyerap air untuk ban ban
truk yang panas karena bergesekan dengan aspal.

Let's give our children moralities and love on their process of study and play.

Anda mungkin juga menyukai