Anda di halaman 1dari 13

1 0 A R A N Y A N G

TAMP

R K A N
MEN YADA

G T U A
ORAN

LEBIH BAIK 'DITAMPAR' DENGAN MATERI


INI DARIPADA ‘DITAMPAR’
OLEH ANAK SENDIRI

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


TAMPARAN YANG

MENYADARKAN SAYA

Assalamualaikum Wr Wb.
Salam Ayah Bunda Hebat, buku ini adalah refleksi saya
sebagai orang tua dari anak-anak saya, pengalaman
mendidik berbagai macam anak yang saya jumpai, serta
hikmah dibalik cerita para orang tua komunitas grup
ayah bunda hebat Indonesia dalam menghadapi
berbagai macam permasalahan sebagai orang tua
maupun sebagai anak di masa lalunya.

Seperti yang selalu saya ceritakan dalam seminar, di


awal perjalanan sebagai ayah dan kepala rumah tangga
serta sebagai pengasuh boarding school yang tidak
memiliki bekal ilmu dalam mendidik, saya mengalami
goncangan yang sangat hebat serta perubahan segala
aspek dalam kehidupan kami, ‘tamparan’ demi
‘tamparan’ kami terima baik secara langsung maupun
diingatkan oleh Allah SWT melalui orang tua-orang tua
yang kami temui setiap harinya. (Ssst...Sampai-sampai
beberapa kali sempat saking frustasinya rambut saya
pun dibotakin)

Tamparan-tamparan yang telah kami terima, saya coba


rangkum dan bagikan kepada ayah bunda semua.
Mudah-mudahan bisa ‘menampar’ ayah bunda juga,
sehingga lebih disadarkan betapa pentingnya menjaga
amanah buah hatinya masing-masing. Sengaja saya
membuat buku ini sangat tipis, sederhana, tidak banyak
kalimat, disamping agar cepat dihatamkan dalam
beberapa menit ditengah kesibukan, juga agar ayah
bunda lebih banyak meresapi dan merefleksi diri
dibanding membaca tulisan-tulisan saya. Karena
membaca yang terbaik adalah membaca dengan hati.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#1

INGINNYA INSTAN

ENGGA MAU PROSES

Dulu saya pikir mendidik anak seperti halnya


rumus matematika, ketika 3 dikali 3 pasti hasilnya
9. Sempat juga berpikir bahwa membangun rumah
tangga seperti membangun bisnis, bisa di
otomatisasi serta dikontrol dari jarak jauh dengan
sebuah sistem yang canggih, sehingga istri, anak
bergerak seperti robot sesuai dengan instruksinya
masing-masing. Ternyata itu salah!

Banyak yang minta solusi masalah anaknya


seperti solusi bagaimana caranya agar nasi
goreng tidak gosong, sehingga cukup dengan
solusi langkah 1 sampai langkah 10. Padahal
masing-masing anak itu sangat unik, dari segi
pribadinya, situasi, kondisi, sejarah hidupnya
semua berbeda. Sehingga penanganannya pun
tidak bisa seperti halnya resep membuat nasi
goreng yang bisa di duplikasi.

Coba perhatikan artikel-artikel yang menjadi


favorit oleh ayah bunda, banyaknya tidak
menggali akar masalahnya, namun lebih suka
solusi akhirnya. Masalah anak bukan seperti obat
penurun panas yang ketika diminum bisa
langsung turun panasnya. Namun masalah anak
seperti halnya gedung tinggi yang retak, bukan
menambal keretakannya, namun memperbaiki
pondasinya, dan itu cukup melelahkan.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#2
MEMILIH INVESTASI

LEHER KE BAWAH

DARIPADA LEHER KE ATAS

Baju, mainan, sepatu, aksesoris bermerek lebih


dicari daripada mencari buku-buku apa yang
dibutuhkan dalam usia perkembangannya. Tempat
tamasya baru, lebih diutamakan daripada ilmu-
ilmu baru dalam mengembangkan diri dan anak-
anak. Bagaimana cara mendandani agar anak
update style-nya daripada membenahi akhlak
sehari-harinya.

Memang investasi leher keatas lebih cepat terlihat


hasilnya, setengah jam anak dipangkas rambut di
barbershop akan langsung terlihat ke-macho-an
anak dan lebih cepat dapat like ketika di posting
di sosial media. Begitu pun outfit anak yang
keren, tentu akan lebih mudah banyak komen.

Setelah tamparan-tamparan semua ini, saya


baru menyadari bahwa anak akan bersinar
bukan dari pakaian, penampilan, ataupun
aksesoris yang dipakainya. Namun yang kami
butuhkan hatinya yang bersinar menolong
sesama teman dan saudaranya, hatinya
bersinar ketika mengembalikan uang jajan
yang tidak terpakai. Hatinya bersinar ketika
bisa mensyukuri nikmat sarapan pagi yang
dibuatkan oleh ibunya sendiri.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#3

MASALAH TERBESAR ADALAH

KETIKA TIDAK MENYADARI

ADANYA MASALAH

Ketika dalam keluarga kita tidak merasa


memiliki masalah, artinya saat itulah masalah
terbesarnya. Bisa jadi standar kita rendah,
ataupun bisa jadi sebenarnya hati kecil kita
menganggap itu masalah namun diabaikan
saja seolah-olah itu manusiawi dan wajar.

Disaat anak rewel, saya merasa itu wajar


namanya juga anak-anak. Disaat istri cemburu
itu bukan hal yang baru memang wanita
dilahirkan menjadi pencemburu. Disaat saya
marah pada anak, itu hal yang manusiawi
karena manusia memiliki emosi. Anggapan-
anggapan inilah yang mengaburkan masalah.
Sehingga pada puncaknya sebuah kapal bisa
karam karena keretakan-keretakan yang kecil.

Saya baru ingat tulisan di dinding kantor


teman saya dulu, “Kita tidak akan jatuh oleh
hal-hal yang besar, namun kita akan hancur
oleh hal-hal yang kecil”. Ternyata selama ini
bukannya tidak ada masalah, namun diri ini
tidak mau membuka hati merasakan bahwa
masalah itu ada, besar dan mengancam.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#4

BARU TERSADAR

KETIKA ANAK BESAR

Sudah terlalu sering saya mendengar kalimat, “Andai


saja waktu bisa diulang, saya akan merubah perlakuan
saya pada anak-anak”. Memang benar, lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi harus
menunggu berapa banyak korban yang berjatuhan dulu,
agar kita sebagai orang tua mengatakan hal seperti
itu?

Apakah harus menunggu sampai anak kita remaja,


merokok dulu di depan kita sendiri? Atau menunggu
anak gadis kita membeli test pack dulu? Atau
menunggu anak kecil kita menjadi pemuda yang
menjual peralatan rumah untuk membeli obat-
obatannya? Atau bahkan menunggu pihak kepolisian
menelpon mengabarkan bahwa anak kita sedang
menjalani pemeriksaan?

Walaupun tidak terjadi apa-apa yang merugikan, namun


tidak jaminan ketika kita sudah lanjut usia, anak-anak
menemani dan membantu disaat kita membutuhkan.
Saat kelak hidup kembali berdua, anak-anak entah
dimana sibuk dengan dunia mereka sendiri, kadang
tidak peduli lagi. Bagaikan seekor induk ayam negeri,
hanya bisa bertelur, mengerami lalu ditinggal pergi.

Cukuplah tamparan-tamparan di muka saya saja


menjadi pelajaran, bagaimana anak bayi yang dulu lucu
imut menggemaskan berubah menjadi serigala yang
sedang mencari makanan. Selamatkan keluarga anda,
selamatkan anak-anak anda. Jangan sampai ada kata
menunggu, karena mereka sejak lama menunggu. Mulai
saat ini juga katakan ‘I love you’

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#5

INGINNYA DIPAHAMI

TIDAK MAU MEMAHAMI

Saat kegiatan Orientasi SMA hal yang paling ingat


adalah aturan kakak kelas, dimana pasal satu
adalah kakak kelas selalu benar, pasal dua adalah
jika kakak kelas salah kembali ke pasal satu.
Ternyata itu membekas dan menjadi pondasi
utama saya menjadi seorang kakak untuk istri dan
anak di keluarga kami.

Setiap masukan yang diterima, saya cari bahan


dan teori untuk mendebatnya, sehingga keputusan
Ayah lah yang paling benar. Begitu pun ketika
terjadi kesalahan pada anak dan istri, disanalah
waktunya mematahkan semua statement yang
mereka miliki. Sehingga pada akhirnya semua
harus dapat memahami kondisi seorang Ayah,
ketika ayah capek semua harus merasakan
capeknya, ketika ayah kesal semua harus tahu
bahwa hari ini Ayahnya sedang kesal sehingga
berhak untuk memarahi.

Ketika Tuhan ‘menampar’, barulah tersadar bahwa


sampai kapanpun orang lain tidak akan bisa
memahami kita. Malah rasa kesal, kecewa, frustasi
datang menghampiri, karena berharap semua
orang memahami apa yang kita rasakan. Yang
dapat kita lakukan hanyalah berusaha memahami
orang lain tanpa berharap mereka memahami,
walaupun itu sulit dan pahit.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#6
LEBIH BANYAK

CERAMAHI ANAK DARIPADA

MENDENGARKANNYA

Coba hitung berapa kali kita sebagai orang tua


memberikan ceramah setiap hari? Berapa bab yang
anak dengar dari mulai membangunkan tidur,
ceramah tentang pentingnya sarapan pagi, lalu bab
tentang belajar, tolong menolong, bab pergaulan
bebas, bab kesehatan badan, sampai dengan bab
tentang bahaya narkoba.

Tapi coba hitung sepanjang hidup anak kita, berapa


kali mereka didengarkan pendapatnya, ceritanya,
keluh kesahnya, cerita kegembiraannya dengan
antusias oleh kedua orang tuanya. Berapa menit kita
sebagai orang tua kuat fokus mendengarkan dengan
penuh empati ketika anak bercerita dalam satu
waktu. Bahkan tragisnya sebelum anak selesai
cerita, sudah dipotong tanpa permisi dengan
ceramah bab yang berhubungan dengan cerita
tersebut. Manusia hanya butuh waktu dua tahun
untuk belajar berbicara, namun butuh waktu seumur
hidup untuk belajar mendengar.

Banyak orang tua yang tersadar setelah anak-


anaknya berontak, karena jengah mulutnya seolah
dibungkam paksa. Dan baru tersadar ketika
ceramah-ceramah yang diucapkan pada anak,
berbalik diucapkan oleh anak pada orang tuanya,
seperti halnya bumerang berbalik menyasar pada
diri sendiri. Memang benar perkataan Rasulullah
SAW bahwa diam itu emas, dan emas itu akan
semakin indah ketika kita belajar diam sambil
mendengarkan kata demi kata yang terucap dari
anak-anak kita.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#7

MENYERAHKAN MENGASUH

ANAK PADA ISTRI

“Bun, urusin tuh anaknya nangis, ayah lagi repot


ngerjain laporan akhir bulan!”
“Gimana sih anak sampe kumel ga keurus, ngapain aja
di rumah”
“Kan ayah sibuk nyari rezeki buat keluarga, biar bunda
fokus ngurusin anak-anak”

Jika memang terbiasa berbicara seperti itu, jangan


kaget ketika nanti telah lanjut usia anak-anak
mengatakan seperti ini :
“Emang dulu ayah kemana aja, selalu ga ada disaat
kita butuh”
“Dulu aja ayah ga ada waktu buat kita, tapi kalo buat
kerjaan malem-malem juga dikejar”
“Memangnya kita punya ayah yah? urusin aja sendiri,
dulu aja ga ngurusin kita”

Lalu mau nunggu kapan ayah punya waktu bareng-


bareng ngurus anak? Nunggu punya uang berkilo-kilo
beratnya? Nunggu tabungan sudah sulit dihitung? Atau
nunggu sertifikat tanah setumpuk? Iya kalau memang
semua itu bisa terwujud, kalau qodarnya tidak juga
terwujud gimana? Jangan sampai tanpa terasa rambut
sudah beruban, kulit mulai keriput, melihat anak sudah
beranak lagi, baru kita sadar ternyata belum banyak
kita menemani mereka.

Memang benar bahwa ibu adalah madrasah pertama


bagi anak, namun ternyata seorang Luqman seorang
ahli hikmah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, bahkan
beliau seorang Ayah yang mengajarkan langsung
anaknya. Saya merasa tertampar ketika seorang Bapak
menangis menyalahkan dirinya, karena selama ini dia
mengorbankan waktu dan pikirannya untuk mengurusi
anak orang lain di Sekolahnya, namun ternyata
anaknya sendiri sampai harus putus sekolah karena
tidak terurus.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


#8

MENYALAHKAN ORANG LAIN,

TIDAK FOKUS MENCARI SOLUSI

DARI DALAM DIRI

Ketika anak kita berbuat kesalahan, hal yang


paling mudah adalah mencari kambing hitam
untuk disalahkan. Setelah itu tinggal luapkan
emosi sebanyak mungkin pada orang
tersebut. Namun yang jadi masalah ketika
luapan emosi itu tidak keluar dari dalam hati,
yang akhirnya tekanan darah semakin tinggi,
asam lambung melambung, migren mulai
terasa di kepala.

Ketika anak tidak bisa disiplin, tinggal


salahkan saja sekolahnya yang tidak ada
program kedisiplinan. Ketika anak tidak tertib
shalat, tinggal tunjuk saja ustadnya yang
tidak bisa mengajak anak rajin shalat. Ketika
anak berkata kasar, itu semata-mata karena
teman-temannya yang kurang ajar. Bahkan
pemerintah, partai politik, mahluk halus dan
lingkungan pun menjadi sasaran tembak
untuk disalahkan. Lalu berharap akan datang
keajaiban.

Memang semua itu ada pengaruhnya, namun


apakah kita bisa merubah pemikiran, rencana,
program, kebiasaan pihak-pihak lain di luar diri
kita? Tentu tidak. Ketika jari telunjuk menunjuk ke
orang lain, ternyata 3 jari lain sedang menunjuk
diri sendiri. Sampai kapan kita terus menyalahkan
orang lain, yang bisa kita lakukan hanyalah fokus
mencari solusi dalam diri yang memang 100% bisa
kita kendalikan.
#9

LUPA MENGHADIRKAN

ALLAH SWT

Sudah pakai jurus ini jurus itu tetap saja anak


melawan, sudah ikut seminar ini itu tetap saja
dia tidak bisa dinasehati. Memang sehari dua
hari berubah namun hari ketiga mulai berulah
lagi.

Apa yang salah? Sudah ratusan artikel dibaca,


puluhan buku dikhatamkan, puluhan seminar
diikuti. Namun tidak ada perubahan yang
permanen pada anak-anak. Tetap saja sebagai
orang tua sering baperan, nyubit, marahin
anak. Bahkan Memasukan anak ke dalam toilet
saking kesalnya.

Ternyata kita lupa menghadirkan Allah SWT,


ketika anak teriak kita lupa bahwa yang
menggerakan suaranya adalah Allah, ketika
anak menangis meronta-ronta yang
menggerakan otot-ototnya adalah Allah,
ketika anak sembuh dari sakitnya yang
menyembuhkan hanyalah Allah, bukan obat,
bukan dokter, bukan rumah sakit.

Mungkin inilah Tamparan pada orang tua yang


lebih mengunggulkan obat dokter, ini juga
Tamparan pada orang tua yang lebih percaya
nasehat Trainer, dan juga ini Tamparan pada
orang tua yang lebih percaya bahwa sekolah
yang bisa merubah karakter. Bukannya
mendahulukan ingat, minta, dan izin kepada
Sang Maha Hebat
Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa
#10

TIDAK MAU BELAJAR

"Jika Tahu akan Seperti Ini, dari Dulu Saya Belajar


Ilmu Mendidik Anak", tutur seorang ayah matanya
berkaca-kaca, karena anaknya terancam
dikeluarkan sekolah karena berbuat pelanggaran
berat.

Saya kira belajar itu hanya sampai sarjana,


setelah sarjana kita siap hidup bersama
masyarakat dan keluarga. Saya kira hanya
bermodal pengetahuan manajemen dan pendidikan
sudah bisa mengurus anak keluarga. Ternyata ilmu
mendidik dan berkeluarga tidak saya dapatkan di
sekolah maupun kampus.

Belajar parenting tidak akan menyebabkan harga


diri kita menjadi melenting , belajar karakter
justru membuat kita semakin pinter, belajar pola
asuh tidak akan membuat badan jadi lusuh.

Barangsiapa yang menginginkan dunia dengan


ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat
dengan ilmu. Dari mana ilmu didapat jika tidak dari
proses yang dinamakan belajar. Belajar bukan
hanya didalam kelas, namun bisa saja di layar
handphone sambil menunggu antrian, melalui audio
sambil menyetir mobil, atau sambil membaca buku
di dalam kereta sambil menunggu rasa kantuk.

Tidak ada alasan untuk para orang tua yang tidak


mau belajar, karena Tuhan pun akan merubah
suatu kaum apabila kaum tersebut berubah.

Fauzi Nugraha, CPEC // ayah abatasa


TERIMA KASIH
FAUZI NUGRAHA, CPEC

COACH PARENTING & PENDIDIKAN KARAKTER

Itulah materi 10 Tamparan Yang Menyadarkan


Orang Tua yang bisa saya sampaikan,
mudah-mudahan bermanfaat. Kami mohon maaf
apabila masih banyak kekurangan dan
keterbatasan dari segi penyampaian, materi,
pelayanan dan sebagainya.

Jangan lupa gabung bersama ribuan member grup


WA ayah bunda hebat, follow Instagram ayah
abatasa dan kunjungi website
www.ayahabatasa.com

Silahkan hubungi admin apabila memerlukan


tambahan layanan kami lainnya :
- Buku 7 Jurus Rahasia Mendidik Anak Berkarakter
- Audio Book "Perang Dalam Saudara"
- Audio Book "Ayah Bunda Anti Baper"
- Audio Book "Kecanduan Jajan"
- Audio Book "Greget Karena Gadget"
- Audio Book "Merdeka Belajar"
- Audio Book "DirimuTak Semerdu Foto Sosmedku"

- Seminar Rutin Online Ayah Abatasa


- Konsultasi Privat dengan coach Fauzi
- Mengundang training Parenting

Mudah-mudahan Keluarga ayah bunda sehat, kuat,


diberi rizki banyak dan barokah, menjadi keluarga
sakinah. Anak-anaknya menjadi anak yang solih
solihah, alim faqih berakhlakul karimah dan
mandiri.

Anda mungkin juga menyukai