Kesalahan kadangkala terjadi saat mendidik anak. Namun, dengan memahami berbagai macam kesalahan, orangtua bisa meminimalisir berbagai kesalahan. Elly Risman Musa, psikolog yang begawan dalam bidang parenting dan pendidikan anak menyebut 12 gaya popular pengasuhan sebagai parenthogenic. Secara bahasa, parenthogenic adalah penyakit orangtua. Artinya, ‘penyakit’ atau kesalahan yang sering dilakukan orangtua dalam mendidik anak. Lalu apa saja ‘penyakit’ tersebut? Simak uraiannya berikut. 1. Memerintah Dikutip dari motherandbaby.co.id, memerintah adalah salah satu gaya yang kerap dilakukan oleh orangtua. Yaitu orangtua memberi perintah dan anak melaksanakan perintah. Contohnya, “Mama tidak mau dengar alasan kamu, sekarang masuk kamar dan bereskan kamarmu!” Lalu bagaimana sikap yang sebaiknya dilakukan orangtua? Memberi penghargaan saat mereka berperilaku baik adalah langkah yang paling bijak. Misalnya, “Bunda senang lihat Adek bisa meletakkan handuk di tempatnya sehabis mandi!”. Maka anak Anda pasti senang dan akan mengulanginya lagi. 2. Menyalahkan Seratusinstitute.com menuliskan contoh kalimat menyalahkan pada anak adalah, “Tuh mama bilang juga apa! Jangan lari-lari kan jatuh sekarang! Salah kamu gak mau denger, kualat!” Saat anak terjatuh lalu menangis, kita harus mengajarinya bangkit. Bahkan saat kita tidak berkata apa apa pun, anak akan berusaha bangkit sendiri. Terkadang tangisan anak malah terjadi karena orangtua terlalu overacting. Sesekali, diam saja dan berikan anggukan senyum atau berikan tangan Ayah dan Bunda untuk membantunya bangkit. Bila ia terluka, cukup peluk untuk menghentikan tangisannya dan ajak dia untuk mengobati lukanya. Tindakan-tindakan ini lebih hemat kata-kata, lebih hemat tenaga, tapi lebih efektif untuk membentuk perilaku positif. 3. Meremehkan Contohnya, anak ingin membantu Ibu untuk menyuci piring. Namun sang Ibu mengatakan, “Ga usahlah paling juga gak bersih malah menghabiskan air sama sabun!” Hati-hati bunda, ini akan berdampak buruk pada anak. Salah satunya, anak enggan untuk berinisiatif demikian lagi. 4. Membandingkan “Kenapa sih kamu gak bisa seperti si Lia? Coba liat, dia juara terus gak kayak kamu boro-boro.” Orangtua ingin memberi motivasi dengan memberi contoh tentang orang lain, tapi anak menanggapi bahwa dia tidak disayang dan selalu di banding- bandingkan. 5. Melabel Contoh label yang direkatkan pada anak antara lain; anak nakal, penakut, malas, dan sebagainya. “Kamu penakut amat sih! tidur sendiri aja masih ga berani.” 6. Mengancam “Kalo kamu ngerengek terus di jalan nanti ditangkep pak satpam loh.” “Jangan main jauh-jauh nanti terjadi apa-apa.” Karenanya, saat anak melakukan kesalahan serius, coba berhenti dari aktivitas kita, lalu minta anak untuk datang. Bicara dengan tegas namun tetap lembut, jelaskan perasaan kita dan tunjukkan prilaku anak yang mana yang harus diperbaiki serta sepakati konsekuensi yang akan didapat apabila anak mengulangi prilaku negatif itu lagi, contohnya, “Nina, Ibu khawatir kalau Nina main terlalu jauh. Kalau mau main agak jauh, ijin dulu ke Ibu ya supaya nanti Ibu temani.” 7. Menasehati “Makanya kamu tuh jadi anak harus …” Sebaiknya gunakan kalimat yang spesifik pada perilaku yang kurang tepat dan fokus memperbaiki di sana. Misalnya, “Riana, seharusnya Riana sudah pulang sebelum jam 5 Sore. Kalau Riana terlambat pulang, kamu bisa terlambat mandi dan mengerjakan PR, Riana mengerti, kan?” 8. Membohongi “Ah cuma sedikit lukanya, besok juga sembuh.” Hal yang sebaiknya dilakukan adalah jujur dan proporsional dalam berkomunikasi dengan anak. Ungkapkan dengan penuh kasih sayang. Saat pergi ke kantor, sampaikan apa yang sebenarnya dengan kata- kata yang mudah ia pahami misalnya seperti, “Ella, Ayah mau pergi ke kantor dulu ya, nanti sore habis Ella mandi, Ayah akan pulang kita bisa main lagi sama sama.” Mungkin anak tetap menangis, tapi lama kelamaan dia belajar bahwa Ayahnya memang akan tetap pergi, tapi sore nanti pasti datang. Ini menciptakan rasa aman dalam dirinya. 9. Menghibur Halini kerap kali terjadi pada anak, ketika ia iri dengan adiknya yang memiliki es krim misalnya. Sebagian besar orangtua berkata, “Ya sudah nggak usah rewel, besok dibelikan es krim yang lebih enak dari punya adik.” 10. Mengkritik “Masa gini aja ga bisa sih! ini kan soal gampang please deh.” Apa yang seharusnya kita lakukan? Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman. Oleh sebab itu, janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita. 11. Menyindir “Haduh tumben mau bersih-bersih tempat tidur”. Percayalah, kalimat tersebut justru membuat hati anak menjadi down atas usaha perubahan baik yang ia lakukan. 12. Menganalisa Kalimat menganalisa ini contohnya “Kayaknya kalo kamu belajar lebih giat gak bakal kena remidi seperti ini.” Maksud baik orangtua untuk membuat anak dapat menginstropeksi diri memang baik, tetapi dengan kalimat langsung yang cenderung menjudge, akan membuat anak merasa semakin bersalah dan terpojok. Oleh sebab itu, ambillah tanggung jawab selaku orangtua secara berimbang. Dalam laman motherandbaby.co.id, Elly pun menganjurkan agar setiap orangtua mengubah sikap dan cara berpikirnya dalam membesarkan anak. Apalagi, karakter setiap anak banyak ditentukan oleh perlakuan yang diterapkan dalam keluarga.