Anda di halaman 1dari 44

BAB 2

PENDAPATAN REGIONAL

A. PENDAHULUAN
Tujuan kebijakan ekonomi adalah menciptakan kemakmuran. Kemakmuran tercipta
karena ada kegiatan yang menghasilkan pendapatan.
Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah
analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun pendapatan
rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Ada beberapa parameter yang bisa digunakan
untuk mengukur adanya pembangunan wilayah yaitu peningkatan pendapatan masyarakat,
peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan yang sangat terkait dengan
peningkatan pendapatan wilayah. Pembangunan wilayah haruslah bersangkut paut dengan
peningkatan pendapatan rata-rata (income per capita)masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu
perlu diketahui alat ukur dan metode yang tepat untuk menetapkan besarnya tingkat
pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat setempat dalam suatu kegiatan produksi
bersifat nilai tambah. Nilai tambah inilah yang mengukur tingkat kemakmuran masyarakat
setempat dengan asumsi seluruh pendapatan itu dinikmati masyarakat setempat.

B. KONSEP DAN PENGERTIAN NILAI TAMBAH


Salah pengertian yang biasa terjadi adalah apabila orang menganggap bahwa
pendapatan regional adalah identik dengan nilai produksi yang dihasilkan di wilayah tersebut.
Nilai produksi tidak sama dengan nilai tambah karena di dalam nilai produksi telah terdapat
biaya antara (intermediate cost), yaitu biaya pembelian/biaya perolehan dari sektor lain yang
telah dihitung sebagai produksi di sektor lain atau berasal dari impor (dihitung sebagai nilai
produksi di Negara pengekspor). Menghitung nilai produksi sebagai pendapatan regional bisa
mengakibatkan perhitungan ganda (double-counting). Misalnya, seorang tukang kue
menghasilkan 100 buah kue per hari yang dijualnya dengan harga @Rp 300,00 sehingga nilai
penjualannya/nilai produksinya adalah Rp 30.000,00. Padahal untuk menghasilkan kue tersebut
dia harus membeli berbagai jenis input seperti tepung beras. Gula, kelapa, vanili, minyak goreng,
dan bahan bakar. Sedangkan bahan-bahan terebut telah dihitung di sektor lain. Misalnya, beras
dihitung di sektor pertanian dan di sektor industry penggilingan beras menjadi tepung, gula
telah dihitung di sektor pertanian dan minyak goreng si sector industri. Jika bahan baku yang
digunakan diimpor dari Negara lain, berarti nilai bahan baku itu telah dihitung sebagai
pendapatan di wilayah lain. Bahan-bahan yang berasal dari sektor lain disebut “biaya antara”
(intermediate cost). Bibit termasuk biaya antara karena nilai produksinya telah dihitung pada
periode sebelumnya dengan demikian, dalam nilai produksi, telah terdapat nilai produksi dari
sektor/kegiatan lain dan ini menciptakan perhitungan ganda (double-counting) apabila tidak
dikurangkan dalam menghitung nilai tambah suatu sektor biaya antara harus dikeluarkan atau
dikurangkan dari nilai jual produksi pada lokasi tempat produksi (at the farm gate). Nilai tambah
inilah yang menggambarkan tingkat kemampuan menghasilkan pendapatan di wilayah tersebut
pada umumnya yang termasuk dalam nilai tambah dalam suatu kegiatan produksi/jasa adalah
berupa upah/gaji, laba, sewa tanah, dan bunga uang yang dibayarkan (berupa bagian dari
biaya), penyusutan dan pajak tidak langsung (neto).
Nilai tambah bruto terdiri atas upah dan gaji, laba, sewa tanah, bunga uang,
penyusutan, dan pajak tidak langsung (neto).
1. Upah dan gaji
Upah dan gaji adalah balas jasa yang dibayarkan kepada para pekerja sesuai dengan
prestasi, sedangkan gaji adalah balas jasa yang nilainya tetap untuk kurun waktu tertentu.
Upah/gaji adalah pendapatan bagi para pekerja
2. Laba atau keuntungan
Laba atau keuntungan adalah total nilai penjualan dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan.
Laba merupakan pendapatan bagi pengusaha.
3. Sewa tanah
Sewa tanah diperhitungkan karena memberikan pendapatan bagi pemilik tanah. Jika petani
memiliki lahan sendiri, berarti dia tidak mengeluarkan biaya sewa tetapi labanya akan
meningkat. Perlu diingat bahwa sewa tanah yang dihitung adalah yang dibayarkan,
sedangkan sewa tanah yang diterima karena menyewakan tanah, nilai tambahnya akan
terlihat pada laba. Uraian diatas juga berlaku untuk alt-alat yang disewa apabila kegiatan
penyewaan alat bukan merupakan sektor tersendiri.
4. Bunga uang
Bunga uang adalah pendapatan bagi pemilik modal karena meminjamkan uangnya untuk
ikut serta dalam proses produksi. Bunga uang yang dihitung adalah bunga uang yang
dibayarkan, sedangkan bunga uang yang diterima karena membungakan uang, nilai
tambahnya terlihat pada laba. Apabila petani menggunakan modal sendiri sehingga tidak
membayar bunga maka labanya akan meningkat, sedangkan jika petani tersebut meminjam
uang maka harus membayar bunga sehingga labanya akan menurun. Pemilik modal
memperoleh pendapatan (dalam jumlah yang sama dengan penurunan laba). Dengan
demikian, apakah investor memiliki modal sendiri atau dia meminjam modal, hal itu tidak
mengubah total nilai tambah hanya saja orang yang menikmatinya bisa berbeda
5. Penyusutan
Penyusutan berarti menurunnya nilai dari alat yang dipakai dalam proses produksi, terutama
alat yang dimiliki sendiri. Apabila penyusutan belum dikurangkan yang diperoleh adalah nilai
tambah bruto. Penyusutan ini dikurangkan untuk mendapatkan nilai tambah neto. Dalam
usaha perorangan, penyusutan ini sering kali tidak didata, tetapi wujudnya dapat terlihat
dari biaya peralatan yang dibeli untuk mengganti peralatan yang rusak. Di dalam harga jual
produksi, terdapat unsure biaya penyusutan. Dengan demikian, nilai tambah yang
didasarkan atas harga jual produksi bersifat bruto. Nilai tambah bruto dikurangi penyusutan
akan menghasilkan nilai tambah neto atas dasar harga pasar. Perhitungan biaya penyusutan
dalam pendapatan regional tidaklah atas dasar agregsi (penjumlahan) dari penyusutan per
unit alat karena terlalu rumit dan memakan waktu. Akan tetapi, hal itu dilakukan untuk
keseluruhn sektor berdasarkan suatu persentase rata-rata.
6. Pajak tidak langsung neto
Dalam harga jual terdapat unsur pajak penjualan dan bea cukai. Pajak tidak langsung
menaikan harga jual dan tidak menambah pendapatan produsen, tetapi masuk ke
pemerintah (transfer payment ). Dalam nilai tambah bruto telah terdapat unsur pajak tidak
langsung. Unsur pajak harus dikurangkan untuk memperoleh nilai tambah yang bisa di
nikmati masyarakat. Terkadang pemerintah memberi subsidi, misalnya subsidi pupuk dan
subsidi BBM. Subsidi adalah kebalikan dari pajak yang akan menurunkan harga jual
produsen. Nilai pajak tak langsung neto adalah pajak tidak langsung dikurangi subsidi. Nilai
tambah bruto dikurangi pajak tak langsung neto akan menghasilkan nilai tambah neto atas
dasar biaya faktor.
7. Farm Gate
Dalam menghitung harga produksi untuk masing-masing unit kegiatan,biasanya didasarkan
atas harga farm gate ( harga di tempat produsen) dan bukan harga pasar tempat barang itu
dijial. Hal ini karena harga di pasar telah terdapat biaya transportasi dari farm gate ke pasar
dan ada unsur keuntungan pedagang. Biaya transportasi akan dihitung di sektor
pengangkutan dan laba pedagang dihitung di sektor perdagangan. Apabila harga jual
produksi didasarkan atas harga di pasar maka akan terjadi perhitungan ganda.

C. CONTOH PERHITUNGAN NILAI TAMBAH


Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, berikut ini diberikan contoh menghitung nilai
tambah yang sederhana.
Seorang petani mengolah sebidang tanah seluas 1 ha yang ditanami jagung. Untuk memproduksi
jagung, petani tersebut mengeluarkan biaya sebagai berikut :
 Membeli bibit 25 kg @ Rp 8.000,00 = Rp 200.000,00
 Menyewa traktor untuk lahan 1 ha = Rp 300.000,00
 Tenaga kerja yang digaji 50 hk @ Rp 8.000,00 = Rp 400.000,00
 Pupuk 250 kg @ Rp 2.000,00 = Rp 500.000,00
 Pestisida 10 liter @ Rp 50.000,00 = Rp 500.000,00
 Sewa mesin pipil = Rp 500.000,00
 Total pengeluaran = Rp 2.400.000,00
 Hasil produksi 5.000 kg @ Rp 1.000,00 = Rp 5.000.000,00
 Keuntungan = Rp 2.600.000,00

Dari contoh diatas, biaya diantaranya adalah bibit, pupuk dan pestisida sebesar Rp 1.200.000,00
sehingga nilai tambah dari kegiatan tersebut adalah Rp 5.000.000,00 – Rp 1.200.000,00 = Rp
3.800.000,00. Ini adalah bagian yang bisa dinikmati masyarakat setempat seandainya seluruh faktor-
faktor produksi itu dimiliki oleh masyarakat setempat dengan catatan dari penghasilan tersebut
masih perlu dikurangkan biaya penyusutan dan pajak yang mungkin ditagih pemerintah. Terhadap
contoh soal di atas perlu dipersoalkan lebih lanjut beberapa hal sebagai berikut :
a. Seandainya selain tenaga yang digaji yang disebutkan di atas, juga ada tenaga anggota keluarga
yang turut bekerja (tidak dibayar), sebanyak 20 hk, apakah hal ini mengubah nilai tambah dari
kegiatan tersebut?Jawabnya adalah tidak, karena nilai tenaga keluarga yang tidak dibayar
tersebut tercakup dalam keuntungan petani, yang merupakan unsur nilai tambah.
b. Seandainya petani tersebut bukan pemilik lahan sehingga harus menyewa Rp 500.000,00 sekali
tanam, apakah akan mengubah total nilai tambah?Jawabnya tidak. Hanya saja pengeluaran
petani naik Rp 500.000,00 sehingga keuntungan turun Rp 500.000,00. Baik sewa tanah maupun
keuntungan adalah unsur nilai tambah. Nilai keuntungan turun, tetapi unsur sewa tanah naik
dengan jumlah yang sama. Pendapatan petani turun, tetapi ada orang lain yang memperoleh
pendapatan dengan jumlah yang sama, berarti total nilai tambah tidak berubah.
c. Seandainya petani itu tidak mempunyai modal untuk membeli bibit, pupuk, insektisida sehingga
ia terpaksa meminjam uang dari pihak ketiga dan setelah panen ia harus mengembalikan
pinjaman ditambah bunga, misalnya Rp 400.000,00 apakah hal ini akan mengubah total nilai
tambah?Jawabnya adalah tidak, karena hal ini hanya akan menambah biaya bunga Rp
400.000,00 dan mengurangi laba dengan jumlah yang sama. Baik bunga maupun keuntungan
adalah unsur dari nilai tambah. Keuntungan petani menurun, tetapi ada orang lain memperoleh
pendapatan dengan jumlah yang sama. Total nilai tambah tidak berubah.
d. Dalam penyewaan traktor atau penyewaan mesin pipil, apakah kegiatan tersebut nilai
tambahnya dihitung di sektor pertanian atau dihitung di sektor masing-masing, misalnya pada
sektor jasa (perusahaan persewaan). Kuncinya adalah apakah perusahaan persewaan itu
dianggap sebuah sektor tersendiri. Apabila merupakan sektor tersendiri, jasa yang diberikannya
kepada sektor pertanian harus dianggap sebagai biaya antara bagi sektor pertanian. Apabila
dihitung pada kedua sektor maka terjadi perhitungan ganda. Dalam hal ini alat pertanian
tersebut diasumsikan milik perorangan sehingga tidak tercakup dalam jasa perusahaan
persewaan, sehingga nilai tambahnya dimasukkan pada sektor pertanian. Selain itu, pada
umumnya untuk sector jasa perusahaan persewaan, perhitungannya didasarkanatas income
approach sehingga kalaupun terjadi perhitungan ganda maka angkanya tidak terlalu besar. Akan
tetapi, apabila nilai tambah persewaan mesin itu dihitung di sector pertanian, tidak seluruh nilai
sewa menjadi nilai tambah.hal itu disebabkan untuk mengoperasikan mesin tersebut juga
terdapat biaya antara seperti bahan bakar dan minyak pelumas. Mengenai pembayaran bunga
atas uang yang dipinjam, semestinya dibedakan antara yang dipinjam dari perorangan atau dari
bank. Pinjaman perorangan bunga dihitung sebagai nilai tambah di sektor peminjam, karena
bunga yang diterima perorangan tidak dihitung di sektor manapun. Namun pinjaman dari bank,
bunga dianggap biaya antara, karena bank merupakan sektor tersendiri. Namun nilai tambah di
sektor bank sendiri, biasanya perhitungannya dilkukan dengan income approach. Seandainya
perhitungannya menggunakan production approach maka jasa bank yang dihitung hanya selisih
(spread) antara bunga yang diterima dengan bunga yang dibayarkan. Dengan demikian, bunga
yang dibayarkan bank kepada deposan perorangan menjadi tidak terhitung di sektor manapun.
Hal ini mendorong kita untuk tetap menghitungnya sebagai nilai tambah di sektor produksi.
Seandainya nilai tambah itu dinikmati di sektor lain (perbankan) tetapi penciptaan nilai tambah
itu adalah kegiatan pada sektor produksi, akan tetap wajar apabila nilai tambah dihitung pada
sektor produksi.
Seluruh nilai tambah setelah dikurangi dengan penyusutan dan pajak neto akan dinikmati oleh
masyarakat setempat, seandainya seluruh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi dimiliki masyarakat setempat. Tetapi, seandainya pemilik dari salah satu atau sebagian
dari faktor-faktor produksi itu berada di luar wilayah analisis maka akan terjadi transfer
payment. Dengan demikian yang dinikmati di wilayah tersebut menjadi berkurang dan menjadi
sumber penghasilan di wilayah lain. Hal ini tidak mengurangi makna bahwa sektor tersebut
adalah pencipta nilai tambah.
e. Dari contoh diatas terlihat bahwa kegiatan petani (bertindak sebgai investor) untuk menanam
jagung, membuka peluang bagi sektor/pihak lain untuk meningkatkan aktivitasnya. Adanya
lapangan kerja bagi pencari kerja, peningkatan permintaan akan bibit/pupuk/pestisida,
meningkatnya penerimaan penyewaan traktor/mesin pipil, pemilik tanah mendapat sewa,
pemilik modal mendapat bunga, dan petani mendapat laba. Ini semua tidak akan terjadi
seandainya tidak ada investor yang berniat melakukan kegiatan bisnis dan lahan itu tetap
dibiarkan tidak terolah. Hal yang dikemukakan di atas berdampak langsung dan tidak langsung
seperti meningkatnya perdagangan, transportasi, dan kegiatan jasa. Demikian juga ada dampak
lanjutan dimana kenaikan pendapatan berbagai pihak tersebut sebagian akan dibelanjakannya
dan hal ini menciptakan pengganda pendapatan.

D. BERBAGAI KONSEP DAN DEFINISI


Berbagai konsep dan definisi yang biasa dipakai dalam membicarakan pendapatan regional/nilai
tambah akan dikemukakan berikut ini
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar Harga Pasar
Produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah bruto ( gross
value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di wilayah itu. Yang dimaksud dengan
nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate
cost). Nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji,
bunga, sewa tanah, dan keuntungan, penyusutan,dan pajak tidak langsung neto). Jadi dengan
menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkannya, akan
menghasilkan produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar.
2. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) atas Dasar Harga Pasar
Produk domestik regional neto atas dasar harga pasar adalah Produk domestik regional bruto
atas dasar harga pasar dikurangi penyusutan. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut (aus)
atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin, peralatan,kendaraan, dan lainnya) karena
barang modal tersebut terpakai dalam proses produksi atau karena faktor waktu. Penyusutan
keseluruhan adalah penjumlahan dari nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor
ekonomi.
3. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) atas Dasar Biaya Faktor
PDRN atas dasar biaya faktor adalah PDRN atas dasar harga pasar dikurangi pajak tidak langsung
neto. Pajak tidak langsung meliputi pajak penjualan, bea ekspor, bea cukai, dan pajak lain-lain,
kecuali pajak pendapatan dan pajak perseroan. Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi
dibebankan pada pembeli hingga berakibat langsung menaikkan harga barang di pasar. Sedangkan
subsidi dari pemerintah kepada unit-unit produksi terutama unit-unit produksi yang dianggap
penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, akan menurunkan harga di pasar. Dengan
demikian, pajak tidak langsung dan subsidi mempunyai pengaruh yang berlawanan terhadap harga
barang dan jasa (output produksi). Besarnya pajak tidak langsung dikurangi subsidi dalam
perhitungan pendapatan regional disebut pajak tidak langsung neto. Sedangkan produk domestik
regional neto atas dasar harga pasar dikurangi dengan pajak tidak langsung neto disebut produk
domestik regional neto atas dasar biaya faktor.
4. Pendapatan Regional
Pendapatan regional neto adalah produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor
dikurangi aliran dana yang keluar ditambah aliran dana yang masuk. Produk domestik regional neto
atas dasar biaya faktor merupakan jumlah dari pendapatan berupa upah dan gaji, bunga, sewa
tanah dan keuntungan yang timbul, atau merupakan pendapatan yang berasal dari kegiatan di
wilayah tersebut. Akan tetapi, tidak seluruhnya pendapatan yang dihasilkan menjadi pendapatan
masyarakat setempat. Hal itu disebabkan ada sebagian pendapatan yang diterima oleh masyarakat
daerah lain, misalnya suatu perusahaan yang modalnya dimiliki masyarakat luar, tetapi perusahaan
tersebut tidak beroperasi di daerah tersebut. Dengan sendirinya keuntungan perusahaan itu
sebagian akan menjadi milik masyarakat luar, yaitu yang memiliki modal. Sebaliknya, jika ada
penduduk suatu daerah menanamkan modal di luar daerah maka sebagian keuntungan perusahaan
akan mengalir ke daerah tersebut, dan menjadi pendapatan dari pemilik modal. Produk domestik
regional neto atas dasar biaya faktor dikurangi pendapatan yang keluar dan ditambah pendapatan
yang masuk hasilnya merupakan produk regional neto, yaitu jumlah pendapatan yang benar-benar
diterima (income receipt) oleh seluruh penduduk yang tinggal di daerah tersebut.
Akan tetapi, untuk mendapatkan angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar/masuk
suatu daerah (yang secara nasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih
sangat sukar diperoleh pada saat ini. Produk regional neto terpaksa belum dapat dihitung dan untuk
sementara produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dianggap sama dengan
pendapatan regional (tanpa kata neto). Pendapatan regional dibagi jumlah penduduk yang tinggal di
daerah tersebut disebut pendapatan per kapita.
5. Pendapatan perorangan (Personal Income) dan pendapatan siap dibelanjakan(Disposable
Income)
Apabila pendapatan regional (regional income) dikurangi : pajak pendapatan perusahaan
(corporate income taxes), keuntungan yang tidak dibagikan (undistributed profit), iuran
kesejahteraan social (social security contribution) ditambah transfer yang diterima oleh rumah
tangga dari pemerintah, bunga neto atas utang pemerintah, sama dengan pendapatan perorangan
(personal income).
Apabila pendapatan perorangan dikurangi pajak pendapatan perorangan, pajak rumah
tangga/pbb, dan transfer yang dibayarkan oleh rumah tangga akan sama dengan pendapatan yang
siap dibelanjakan (disposable income).
Dengan susunan ini terlihat bahwa pendapatan perorangan merupakan pendapatan yang
diterima oleh rumah tangga. Ternyata tidak seluruh pendapatan regional diterima oleh rumah
tangga. Pajak pendapatan perusahaan diterima oleh pemerintah, keuntungan yang tidak dibagikan
ditahan di perusahaan-perusahaan, dan dana jaminan social dibayar kepada instansi yang
berwenang. Akan tetapi sebaliknya, rumah tangga masih menerima tambahan berupa transfer
payment baik dari pemerintah maupun perusahaan dan bunga neto atas utang pemerintah. Apabila
pendapatan perorangan dikurangi dengan pajak yang langsung dibebankan kepada rumah tangga
dan hibah yang diberikan oleh rumah tangga, hasilnya merupakan pendapatan yang siap
dibelanjakan (disposable income).
6. Pendapatan Regional atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan
Seperti telah diuraikan di atas, angka pendapatan regional dalam beberapa tahun
menggambarkan kenaikan dan penurunan tingkat pendapatan masyarakat di daerah tersebut.
Kenaikan/penurunan dapat dibedakan menjadi dua faktor berikut:
a. Kenaikan/penurunan riil, yaitu kenaikan/penurunan tingkat pendapatan yang tidak
dipengaruhi oleh faktor perubahan harga. Apabila terjadi kenaikan riil pendapatan penduduk
berarti daya beli penduduk di daerah tersebut meningkat, misalnya mampu membeli barang
yang sama kualitasnya dalam jumlah yang lebih banyak.
b. Kenaikan/penurunan pendapatan yang disebabkan adanya faktor perubahan harga. Apabila
terjadi kenaikan pendapatan yang hanya disebabkan inflasi (menurunnya nilai beli uang)
maka walaupun pendapatan meningkat tetapi jumlah barang yang mampu dibeli belum tentu
meningkat. Perlu dilihat mana yang meningkat lebih tajam,tingkat pendapatan atau tingkat
harga.
Oleh karena itu, untuk mengetahui kenaikan pendapatan yang sebenarnya (riil), faktor inflasi
harus dikeluarkan terlebih dahulu. Pendapatan regional yang didalamnya masih ada unsur inflasinya
dinamakan pendapatan regional atasa dasar harga berlaku. Sedangkan pendapatan regional dengan
faktor inflasi yang sudah ditiadakan merupakan pendapatan regional atas dasar harga konstan.
Untuk mengetahui apakah daya beli masyarakat meningkat atau tidak, pendapatannya harus
dibandingkan dalam nilai konstan. Dengan alasan inilah maka pendapatan regional harus disajikan
dalam dua bentuk, yaitu atas dasar harga yang berlaku dan atasa dasar harga konstan.
Harga konstan artinya harga produk didasarkan atas harga pada tahun tertentu. Tahun yang
dijadikan patokan harga disebut tahun dasar untuk penentuan harga konstan. Jadi, kenaikan
pendapatan hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah fisik produksi, karena harga dianggap
tetap (konstan). Akan tetapi, pada sektor jasa yang tidak memiliki unit produksi, nilai produksinya
dinyatakan dalam harga jual. Oleh karena itu, harag jual harus dideflasi dengan menggunakan indeks
inflasi atau deflator lain yang dianggapa lebih sesuai. Pada tahun 1995, BPS menggeser tahun dasar
bagi penentuan harga konstan, yaitu dari tahun 1983 menjadi tahun 1993. Laju pertumbuhan
ekonomi umumnya diukur dari kenaikan nilai konstan.
7. Pendapatan Per Kapita
Pendapatan per kapita adalah total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah
tersebut untuk tahun yang sama. Angka yang digunakan semestinya adalah total pendapatan
regional dibagi jumlah penduduk. Akan tetapi, angka ini seringkali tidak diperoleh sehingga diganti
dengan total PDRB atas dasar harga pasar dibagi dengan jumlah penduduk. Angka pendapatan per
kapita dapat dinyatakan dalam harga berlaku maupun dalam harga konstan tergantung pada
kebutuhan.

E. CONTOH PERHITUNGAN NILAI KONSTAN


Contoh sederhana perhitungan nilai konstan dikemukakan berikut ini. Misalnya di suatu provinsi
hanya ada 3 sektor, yaitu 2 sektor produksi dan 1 sektor jasa. Nilai tambah masing-masing sektor dalam
kurun waktu berselang 5 tahun adalah sebagai berikut.
Kondisi Tahun 1995

Sektor Jumlah Produksi Harga Jual Per Unit Total Nilai Produksi
(unit) (Rp) (Rp)

Produksi 1 1.000.000 500,00 500.000,00

Produksi 2 2.000.000 800,00 1.600.000,00

Jasa 900.000,00

Jumlah 3.000.000,00

Kondisi Tahun 2000

Sektor Jumlah Produksi Harga Jual Per Unit Total Nilai Produksi
(unit) (Rp) (Rp)

Produksi 1 1.100.000 600,00 660.000,00

Produksi 2 2.300.000 1000,00 2.300.000,00

Jasa 1.200.000,00

Jumlah 4.160.000,00

Dari kedua tabel di atas diketahui bahwa dalam kurun waktu 5 tahun total pendapatan regional
dalam harga berlaku naik dari Rp 3.000.000,00 menjadi Rp 4.160.000,00 yang berarti dalam harga
berlaku terjadi kenaikan sebesar 38,67%. Akan tetapi, hal ini tidak menggambarkan kenaikan riil dari
kemakmuran masyarakat. Kenaikan riil kemakmuran masyarakat harus diukur dalam nilai konstan. Nilai
produksi tahun 2000 dalam nilai konstan tahun 1995 adalah sebagai berikut.

Nilai Produksi Tahun 2000 dalam Harga Konstan 1995

Sektor Jumlah Produksi Harga Jual Per Unit Total Nilai Produksi
(unit) (Rp) (Rp)

Produksi 1 1.100.000 500,00 550.000,00

Produksi 2 2.300.000 800,00 1.840.000,00

Jasa 968.919,00

Jumlah 3.358.919,00
Dalam harga konstan maka besarnya kenaikan pendapatan regional dalam kurun waktu 5 tahun
tersebut adalah 11,96%. Angka ini diperoleh dari total pendapatan tahun 2000 dengan menggunakan
harga konstan 1995 (yaitu sebesar 3.358.919) dibagi dengan total pendapatan tahun 1995 ( yaitu
sebesar 3.000.000). hasilnya adalah berupa indeks tahun 2000 sebesar 1,1196; sedangkan indeks tahun
1995 adalah 1. Hal ini berarti terjadi kenaikan indeks sebesar 0,1196 atau 11,96%. Kenaikan riil dalam
kemakmuran masayarakat adalah 11,96%. Dalam table diatas, perlu dijelaskan cara menentukan harga
konstan sektor jasa. Dalam hal ini perlu dihitung indeks inflasi tertimbang dengan menggunakan setor
produksi yang ada. Mula-mula dihitung nilai produksi tahun 2000 dengan harga tahun 2000 (harga
berlaku), yaitu (1.100x600)+(2.300x1.000) = 2.960.000. kemudian dihitung nilai produksi tahun 2000
dengan harga tahun 1995 (harga konstan), yaitu (1.100x 500)+(2.300x800) = 2.390.000. kemudian
dihitung indeks inflasi, yaitu nilai harga berlaku dibagi nilai harga konstan, yaitu 2.960.000 : 2.390.000 =
1,2385. Hal ini berarti tingkat inflasi selama 5 tahun tersebut adalah 23,85%. Nilai konstan sektor jasa
adalah nilai harga berlaku tahun 2000 dibagi indeks inflasi, yaitu 1.200.000 : 1,2385 = 968.919.
Cara menghitung nilai konstan sektor jasa dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan
menggunakan indeks inflasi tahunan yang dikeluarkan oleh BPS setempat. Indeksi inflasi BPS didasarkan
atas kenaikan rata-rata harga sekelompok barang/jasa secara tertimbang. Cara menggunakan indeks
inflasi dalam menetapkan harga konstan adalah nilai sektor jasa dalam harga berlaku tahun 2000 dibagi
indeks inflasi tahun 2000 dikali indeks inflasi tahun 1995. Indeks inflasi dapat juga dihitung sendiri
seandainya tingkat inflasi tahunan diketahui. Harga berlaku pada tahun 1995 yang dinyatakan sebagai
tahu dasar diberi indeks = 1. Apabila inflasi pada tahun 1996 dimisalkan 7% maka indeks inflasi tahun
1996 adalah 1,07. Apabila inflasi pada tahun 1997 adalah 8%, maka dilihat dari tahun dasar 1995 indeks
inflasi 1997 adalah 1,07 x 1.08. Demikian seterusnya hingga diperoleh indeks inflasi tahun 2000 atas
dasar tahun 1995.

F. METODE PERHITUNGAN PENDAPATAN REGIONAL


Metode perhitungan pendapatan regional pada tahap pertama dapat dibagi dalam dua metode :
1. Metode Langsung, adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data asli yang
menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah itu sendiri.
Metode langsung dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam cara, yaitu:
a. pendekatan produksi
pendekatan produksi adalah perhitungan nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi oleh
suatu kegiatan/sektor ekonomi dengan cara menggurangkan biaya antara dari total nilai
produksi bruto sektor atau subsektor tersebut. Pendekatan ini banyak digunakan untuk
memperkirakan nilai tambah dari sektor/kegiatan yang produksinya berbentuk fisik/barang,
seperti pertanian, pertambangan, dan industry sebagainya. Nilai tambah merupakan selisih
antara nilai produksi (output) dan nilai biaya antara (intermediate cost), yaitu bahan
baku/penolong dari luar yang dipakai dalam proses produksi. Sektor jasa yang menerima
pembayaran atas jasa yang diberikannya (sesuai dengan harga pasar), masih bisa dihitung
dengan pendekatan produksi. Akan tetapi, akan lebih mudah apabila dihitung dengan
pendekatan pendapatan. Jika perhitungannya akurat maka kedua pendekatan itu semestinya
memberikan hasil yang sama. Nilai tambah itu sama dengan balas jasa atas ikut sertanya
berbagai faktor produksi dalam proses produksi
b. pendekatan pendapatan
Dalam pendekatan pendapatan, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi diperkirakan
dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor produksi, yaitu upah dan gaji dan
surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto. Pada sektor pemerintahan dan usaha
yang sifatnya tidak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Surplus usaha meliputi
bunga yang dibayarkan neto, sewa tanah, dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan
banyak dipakai pada sektor jasa, tetapi tidak dibayar setara harga pasar, misalnya sektor
pemerintahan. Hal ini disebabkan kurang lengkapnya data dan tidak adanya metode yang akurat
yang dapat dipakai dalam mengukur nilai produksi dan biaya antara dari berbagai kegiatan jasa,
terutama kegiatan yang tidak mengutip biaya. Selain itu, kutipan seringkali tidak
menggambarkan harga yang sebenarnya untuk pelayanan yang mereka berikan, misalnya sektor
pendidikan dan rumah sakit.
c. pendekatan pengeluaran.
Pendekatan dari segi pengeluaran adalah menjumlahkan nilai penggunaan akhir dari barang
dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Jika dilihat dari segi penggunaan maka total
penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk :
1) Konsumsi rumah tangga,
2) Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung,
3) Konsumsi pemerintah
4) Pembentukan modal tetap bruto (investasi),
5) Perubahan stok, dan
6) Ekspor neto
Dalam kategori diatas, konsumsi lembaga yang mencari untung (perusahaan) tidak
dimasukkan karena konsumsi mereka tidak bersifat konsumsi akhir, hasil produksinya yang
akan menjadi konsumsi akhir sehingga apabila dimasukkan akan terjadi perhitungan ganda.
Intinya yang dihitung adalah konsumsi akhir yang tidak akan lagi dikonsumsi oleh pihak lain.
Ekspor neto adalah total ekspor dikurangi total impor. Total penyediaan (total barang dan
jasa yang tersedia) di dalam negeri adalah total yang diproduksi ditambah impor dikurangi
ekspor. Karena yang akan dihitung hanya nilai barang dan jasa yang berasal dari produksi
dalam negeri saja maka total konsumsi harus dikurangi dengan nilai impor kemudian
ditambah dengan nilai ekspor. Perubahan stok adalah selisih kondisi awal tahun dengan akhir
tahun dari barang/bahan yang ada dalam penyimpanan/pergudangan para
pedagang/produsen ataupun stok dalam proses produksi harus dihitung berapa yang
digunakan untuk masing-masing item. Penjumlahan dari keenam unsur penggunaan tersebut
merupakan produk domestik regional bruto.
Sebetulnya pendekatan pengeluaran juga menghitung apa yang diproduksi di wilayah
tersebut tetapi hanya yang menjadi konsumsi atau penggunaan akhir. Berbeda dengan
pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran tidak menimbulkan perhitungan ganda karena
apa yang telah dikonsumsi seseorang atau lembaga sebgai konsumsi akhir tidak akan lagi
dapat dikonsumsi orang atau lembaga lain. Dalam pendekatan produksi apa yang diproduksi
suatu produsen masih mungkin menjadi bagian dari produksi lain karena dijadikan bahan
baku. Dengan demikian penggunaan bahan dari sektor lain dikurangkan terlebih dahulu agar
tidak terjadi perhitungan ganda.
2. Metode tidak langsung, adalah perhitungan dengan mengalokasikan pendapatan nasional
menjadi pendapatan regional dengan memakai berbagai macam indikator sebagai alokatornya.
Metode tidak langsung menggunakan data dari sumber nasional dan dialokasikan ke masing-
masing daerah. Metode tidak langsung adalah suatu cara mengalokasikan produk domestik
bruto dari wilayah yang lebih luas ke masing-masing bagian wilayah, misalnya mengalokasikan
PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu. Alokator yang dapat
digunakan adalah :
1) Nilai produksi bruto atau neto setiap sektor/subsektor, pada wilayah yang dialokasikan,
2) Jumlah produksi fisik,
3) Tenaga kerja,
4) Penduduk, dan
5) Alokator tidak langsung lainnya.
Dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari berbagai alokator dapat diperhitungkan
persentase bagian masing-masing provinsi terhadap nilai tambah setiap sektor dan subsektor.
Metode ini terkadang terpaksa digunakan karena adanya kegiatan usaha yang lokasinya ada di
beberapa wilayah, sedangkan pencatatan yang lengkap hanya dilakukan di kantor pusat.
Misalnya, laba perusahaan tidak tercatat pada masing-masing wilayah melainkan hanya tercatat
di kantor pusat. Contoh lain apabila proses produksi bersifat berantai dan masing-masing mata
rantai berada pada wilayah yang berbeda.

Soal-Soal
1. Apa yang dimaksud dengan niali tambah?
2. Bagaimana terjadinya pendapatan, berikan contohnya!
3. Apakah nilai tambah sama dengan nilai produksi? Jelaskan!
4. Nilai tambah menggambarkan kemakmuran. Jelaskan!
5. Total nilai tambah wilayah menggambarkan pendpatan regional, jelaskan!
6. Apa yang dimaksud dengan biaya antara (intermediate cost)?
7. Berikan contoh terjadinya perhitungan ganda (double counting) dalam perhitungan nilai
tambah!
8. Mengapa nilai sektor produksi dihitung pada lokasi produksi (at the farm gate) dan bukan
pada lokasi pasar ?
9. Apa saja yang merupakan unsur nilai tambah?
10. Apakah pajak yang dipungut pemerintah merupakan nilai tambah?
11. Apakah tenaga keluarga yang ikut bekerja tetapi tidak dibayar merupakan nilai tambah?
12. Apakah bunga uang yang dibayar pengusaha/produsen merupakan nilai tambah? Jelaskan!
13. Apa yang dimaksud dengan transfer payment? Berikan contohnya!
14. Apa yang dimaksud dengan produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga pasar?
15. Apa yang dimaksud produk domestik regional neto (PDRN) atas dasar harga pasar?
16. Apa yang dimaksud produk domestick regional neto (PDRN) atas dasar biaya faktor?
17. Apa yang dimaksud dengan pendapatan regional?
18. Apa yang dimaksud dengan pendapatan perorangan?
19. Apa yang dimaksud dengan pendapatan regional atas dasar harga berlaku?
20. Apa yang dimaksud dengan pendapatan regional atas dasar harga konstan?
21. Agar nilai harga berlaku menjadi harga konstan diperlukan deflator. Apa yang digunakan
sebagai deflator?
22. Perhitungan pendapatan regional dapat dilakukan dengan metode langsung dan tidak
langsung. Jelaskan!
23. Perhitungan pendapatan regional metode langsung dapat dilakukan dengan tiga
pendekatan, Jelaskan!
24. Apa yang dimaksud dengan perhitungan pendapatan regional dengan pendekatan produksi?
Berikan contohnya!
25. Dalam pendekatan produksi terjadi perhitungan ganda. Jelaskan dan beri contoh!
26. Apa yang dimaksud dengan perhitungan pendapatan regional dengan pendekatan
pendapatan? Berikan contohnya!
27. Apa yang dimaksud dengan perhitungan pendapatan regional dengan pendekatan
pengeluaran? Berikan contohnya!
28. Dalam pendekatan pengeluaran, mengapa konsumsi perusahaan yang mencari laba tidak
dimasukkan?
29. Apakah ketiga pendekatan tersebut (produksi, pendapatan, pengeluaran) memberikan hasil
yang sama?
30. Apakah ekspor menaikkan pendapatan regional? Jelaskan!
31. Apakah impor mengurangi pendapatan regional? Jelaskan!
32. Ditinjau dari sudut pendekatan pengeluaran/konsumsi apa saja yang masuk kategori
kebocoran dalam pendapatan wilayah!
BAB 3
TEORI BASIS EKONOMI

A. PENGERTIAN DASAR
Yang menjadi dasar dalam pandangan Teori Basis Ekonomi (economic base theory) adalah
bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari
wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokan menjadi dua yaitu kegiatan ekonomi basis dan
kegiatan ekonomi nonbasis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
wilayah. Pada bab 2 mengenai nilai tambah dikemukakan seorang petani yang bertindak sebagai
investor yang menanam jagung 1 ha, kegiatan petani itu menciptakan nilai tambah dan mendorong
berbagai sector lain untuk berkembang. Analisi tersebut bersifat mikro karena ditinjau dari sudut
kegiatan petani itu sendiri. Secara analisi makro-wilayah, yaitu melihat dampaknya terhadap seluruh
perekonomian wilayah, dalam kasus tersebut dibuat asumsi tersembunyi bahwa produksi jagung
petani tersebut masih laku dijual di pasar dan itu tidak membuat harga pasar menjadi turun.
Dalam kondisi pasar tertutup, bertambahnya produsen atau produksi yang tidak dibarengi
dengan bertambahnya permintaan local dapat membuat harga jual menjadi turun. Apabila harga
jual berubah turun, nilai tambah dari kegiatan itu akan turun karena laba investor (petani)
berkurang. Amun kerugian tidak hanya diderita oleh petani itu sendiri karena petani lain yang
sebelumnya telah aktif pada kegiatan tersebut juga menderita penurunan nilai tambah (laba
masing-masing berkurang). Hal ini berarti nilai tambah total belum tentu meningkat bahkan bisa
menurun apabila petani yang sudah menderita kerugian tetap meningkatkan produksinya. Pada
akhirnya aka nada petani yang tidak lagi berproduksi dan menutup usahanya. Total produksi akan
turun dan kembali kepada kondisi semula. Investasi itu dapat mendorong meningkatnya permintaan
local tetapi tidak bersifat terus menerus.
Contoh diatas menunjukkan bahwa tidak semua investasi dapat memacu pertumbuhan ekonomi
wilayah secara terus menerus. Apabila kegiatan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan local dan
kebutuhan local tidak bertambah, munculnya seorang investor baru akan mengakibatkan kerugian
pada investor yang sudah ada sebelumnya atau keuntungan rata-rata pengusaha akan menurun.
Perlu dicatat bahwa apabila rata-rata pengusahah tidak lagi mendapat untung yang wajar maka laju
pertumbuhan ekonomi dapat terganggu. Modal untuk investasi seringkali berasal dari akumulasi
keuntungan yang ditahan. Apabila pengusaha tidak memiliki akumulasi keuntungan yang memadai
maka kemampuan berinvestasi menjadi menurun. Lagipula apabila sektor kegiatan itu diperkirakan
tidak lagi memberi keuntungan yang memadai, investor akan kurang berminat menanamkan
modalnya di sector tersebut. Kurangnya investasi berakibat kurangnya tambahan lapangan kerja
baru sehingga tidak mampu menyerap angakatan kerja baru yang terus bertambah. Keuntungan
pengusaha yang makin mengecil juga berdampak terhadap penerimaan pemerintah di sector pajak
karena penerimaan pajak menjadi sulit ditingkatkan. Apabila penerimaan pemerintah tidak
meningkat maka kemampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan juga semakin
menurun. Hal ini berbeda apabila investor itu menghasilkan produk yang ditujukan untuk ekspor.
Kegiatan itu menciptakan nilai tambah, mendorong sektor lain untuk turut berkembang tetapi tidak
ada investor local lain yang dirugikan.
Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah baik ke
wilayah lain dalam Negara itu maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita,
tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada
dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang
mendatangkan uang dari luar wilayah disebut kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di
sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan
intern/permintaan lokal).
Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/sektor service atau
pelayanan. Dalam bab ini,service disebut saja sebagai sektor nonbasis agar tidak terjadi salah
pengertian tentang arti service. Sector nonbasis(service) adalah untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi lokal. Karena sifatnya yang memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kenaikannya sejalan
dengan kenaikan pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sector ini terikat terhadap
kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumnuhan ekonomi wilayah.
Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah
melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis.

B. PENGGANDA BASIS
Analisis basis dan nonbasis pada umumnya didasarkan atas nilai tambah ataupun lapangan
kerja. Misalnya, penggabungan lapangan kerja basis dan lapangan kerja nonbasis merupakan total
lapangan kerja yang tersedia untuk wilayah tersebut. Demikian pula penjumlahan pendapatan
sector basis dan pendapatan sector nonbasis merupakan total pendapatan wilayah tersebut. Di
dalam suatu wilayah dapat dihitung berapa besarnya lapangan kerja basis dan lapangan kerja
nonbasis, dan apabila kedua angka itu dibandingkan, dapat dihitung nilai rasio basis (base ratio) dan
kemudian dapat dipakai untuk menghitung nilai pengganda basis (base multiplier). Rasio basis
adalah perbandinngan antara banyaknya lapangan kerja nonbasis yang tersedia untuk setiap satu
lapangan kerja basis. Misalnya dalam satu wilayah terdapat 3.000 lapangan kerja yang terdiri atas
1.000 lapangan kerja basis dan 2.000 lapangan kerja nonbasis. Dengan demikian ratio basis (base
ratio) adalah 1:2. Artinya, setiap satu lapangan kerja basis, tersedia dua lapangan kerja nonbasis.
Apabila pada periode berikutnya ekspor bisa ditingkatkan dan menambah lapangan kerja
basis,misalnya 100 unit maka diharapkan tercipta tambahan 200 lapangan kerja baru di sektor
nonbasis. Dengan kata lain, peningkatan ekspor akhirnya menciptakan tambahan 300 lapangan kerja
baru. Sebaliknya apabila produk pengusaha kita kalah bersaing di pasar global dan terpaksa
mengurangi kegiatan termasuk jumlah karyawannya sebanyak 50 orang maka secara bertahap
sektor nonbasis akan kehilangan lapangan kerja sebanyak 100 unit. Hal ini berarti pengurangan
ekspor akhirnya menurunkan lapangan kerja yang tersedia sebanyak 150 unit. Perlu diingat bahwa
akibat kenaikan atau penurunan ekspor, lapangan kerja yang langsung bertambah atau berkurang
adalah di sektor basis, sedangkan kenaikan atau penurunan di sektor nonbasis akan menyusul
secara bertahap sampai seluruhnya terjadi. Waktu yang diperlukan antara berubahnya lapangan
pekerjaan di sektor basis dan perubahan di sektor nonbasis merupakan masa tenggang (time-lag).
Masa tenggang dapat diperkirakan bila terdapat data time-series tentang jumlah lapangan kerja
basis dan jumlah lapangan kerja nonbasis, serta perkembangan ekspor dalam beberapa tahun.
Dalam kasus perubahan lapangan kerja di atas, yang rasio basisnya 1:2, untuk setiap satu
perubahan lapangan kerja di sektor basis akan menambah lapangan kerja total sebanyak 3 unit,
yaitu satu di sektor basis dan dua di sektor nonbasis. Besarnya perubahan lapangan kerja total untuk
setiap satu perubahan lapangan kerja di sektor basis disebut pengganda basis (Base multiplier). Nilai
pengganda basis lapangan kerja dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Total lapangan kerja


Pengganda basis =
Lapangan kerja basis

Dari contoh diatas, nilai pengganda basis adalah 3.000 : 1.000 = 3. Artinya, setiap pertambahan
lapangan kerja basis sebanyak 1 unit, mengakibatkan pertambahan lapangan kerja total sebesar 3
unit, yaitu 1 unit di sektor basis dan 2 unit di sektor nonbasis. Dalam contoh di atas digunakan data
lapangan kerja, sehingga rasio (angka banding) yang diperoleh disebut pengganda basis lapangan
kerja (employment base multiplier). Hal yang sama dapat juga dilakukan dengan menggunakan
ukuran lain, misalnya pendapatan. Dalam menggunakan ukuran pendapatan, nilai pengganda basis
adalah besarnya kenaikan pendapatan seluruh masyarakat untuk setiap satu unit kenaikan
pendapatan di sektor basis. Dalam hal pendapatan, nilai pengganda basis yang diperoleh dinamakan
pengganda basis pendapatan (income base multiplier). Perlu dicatat bahwa dalam penggunaan
variable pendapatan, baik pembilang maupun penyebut harus menggunakan nilai dengan ukuran
yang sama, misalnya sama-sama menggunakan nilai konstan atau sama-sama harga yang berlaku.
Apabila menggunakan harga berlaku maka kedua nilai adlah untuk tahun yang sama. Sebetulnya
menggunakan data pendapatan (nilai tambah) adalah lebih tepat disbanding dengan menggunakan
data lapangan kerja. Hal ini tidak lain karena lapangan kerja memiliki bobot yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, lapangan kerja untuk manajer tidak sama bobotnya
dengan lapangan kerja untuk karyawan biasa, baik dari sudut upah yang diterima maupun kualifikasi
SDM untuk dapat menduduiki jabatan tersebut. Namun, data pendapatan sering tidak mudah
diperoleh atau data yang diperoleh belum tentu benar. Oleh sebab itu, data lapangan kerja lebih
sering dipakai apabila data dikumpulkan lewat survey langsung ke ubit usaha. Seandainya nilai
pengganda basis sudah diketahui dari pengalaman terdahulu maka apabila pada suatu tahun
tertentu diketahui besarnya perubahan lapangan kerja di sector basis, bisa diramalkan jumlah
lapangam kerja yang berubah untuk keseluruhan wilayah, yaitu dengan rumus :

Perubahan total lapangan kerja = (nilai pengganda basis) x (perubahan pada lapangan kerja basis)

Dalam menggunakan nilai pengganda basis sebagai alat peramalan, sering dipermasalahkan
bahwa nilai pengganda basis yang dihitung adalah berdasarkan perbandingan lapangan kerja yang
telah tersedia (kondisi saat ini). Hal ini mungkin berbeda dengan keadaan di masa yang akan dating
(perubahan yang akan diramalkan). Oleh karena itu, disarankan untuk menggunakan angka
perubahan rata-rata per tahun antara total lapangan kerja terhadap perubahan lapangan kerja di
sector basis. Apabila angka ini dihitung dalam bentuk tahunan, misalnya perubahan dari tahun
sebelumnya terhadap tahun ini, akan diperoleh angka pengganda basis per tahun yang biasanya
berbeda dari tahun ke tahun.
Dalam hal ini biasa dipakai angaka rata-rata beberapa tahun atau kalau terlihat ada
kecenderungan, misalnya nilai pengganda basis cenderung naik atau cenderung turun maka dipakai
angka proyeksi berdasarkan kecenderungan tersebut. Hal ini terutama lebih penting diperhatikan
apabila nilai pengganda basis didasarkan atas perbandingan pendapatan dan buka lapangan kerja.
Analisis basis, menggunakan rumus yang sangat sederhana padahal analisis ini cukup ampuh untuk
mengkaji dan memproyeksi pertumbuhan ekonomi wilayah. Akan tetapi, permasalahan yang berat
dalam menggunakan analisis ini adalah ketepatan dalam pemilahan antara kegiatan basis dan
nonbasis dan berapa sebenarnya porsi masing-masing dalam perekonomian wilayah.

C. CARA MEMILAH KEGIATAN BASIS DENGAN NONBASIS


Bagian yang cukup sulit dalam menggunakan analisis basis ekonomi adalah memilah antara
kegiatan basis dan nonbasis. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa analisis basis ekonomi dapat
menggunakan variabel yang umum dipakai yaitu variabel lapangan kerja atau pendapatan. Secara
logika penggunaan variabel pendapatan lebih mengena kepada sasaran. Peningkatan pendapatan di
sector basis akan mendorong kenaikan pendapatan di sektor nonbasis dalam bentuk korelasi yang
lebih ketat dibanding menggunakan variabel lapangan kerja. Beberapa metode untuk memilah
antara kegiatan basis dan nonbasis adalah sebagai berikut :
1. Metode Langsung
Metode langsung dapat dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha ke mana
mereka akan memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka membeli bahan-bahan
kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut. Dari hasil survei dpat ditentukan berapa persen
produk yang dijual ke luar wilayah dan berapa persen yang dipasarkan di dalam wilayah. Hal yang
sama juga dilakukan untuk bahan baku yang mereka gunakan. Untuk kepentingan analisis, perlu
diketahui jumlah orang yang bekerja dan berapa nilai tambah yang dihasilkan oleh kegiatan usaha
tersebut.akan tetapi, apabila kita melakukan survey langsung ke pelaku ekonomi, perusahaan, atau
perorangan yang melakukan kegiatan usaha, variabel yang mudah didapat adalah lapangan kerja.
Menggunakan variabel nilai tambah/ pendapatan sangat sulit karena di dalamnya terdapat unsure
laba pengusaha yang biasanya sensitive untuk ditanyakan dan ada kemungkinan jawaban yang
diberikan bukan jawaban yang sebenarnya selain upah dan gaji.
Penggunaan variabel lapangan kerja juga memerlukan pemikiran dan kehati-hatian yang tinggi.
Dalam suatu kegiatan usaha sering kali tercampur kegiatan basis dan nonbasis. Misalnya, pada
pabrik sepatu, sebagian produknya diekspor/dijual ke luar wilayah dan sebagian lagi dijual di dalam
wilayah. Sepintas bisa dikatakan bahwa kita lihat saja porsi sepatu yang dijual di luar wilayah dengan
yang dijual di dalam wilayah. Dalam menentukan porsi tersebut, timbul pertanyaan alat ukur apa
yang dipakai, jumlah/unit sepatunya atau nilai jualnya. Setelah itu dapat diketahui bahwa porsi itu
bisa berubah dari tahun ke tahun. Hal ini perlu ditentukan apakah dipakai rata-rata atau proyeksinya
atau porsi per tahun tertentu yang dianggap normal/ideal. Masalah berikutnya, ada kemungkinan
sepatu yang dipasarkan secara local oleh produsennya, oleh pedagang dibawa untuk dijual ke luar
wilayah atau dibeli oleh orang yang dating dari luar wilayah. Semua itu memerlukan pendugaan
yang mendekati kebenaran, sebelum sampai pada perhitungan jumlah lapangan kerja basis dan
nonbasis yang ada di wilayah analisis.
2. Metode Tidak Langsung
Mengingat rumitnya melakukan survey langsung ditinjau dari sudut waktu dan biaya, banyak
juga dipakai metode tidak langsung dalam mengukur kegiatan basis dan nonbasis tersebut. Salah
satu metode tidak langsung adalah dengan menggunakan asumsi atau disebut metode asumsi.
Dalam metode asumsi, berdasarkan kondisi di wilayah tersebut (berdasarkan data sekunder), ada
kegiatan tertentu yang diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lainnya sebagai kegiatan
nonbasis. Ada kegiatan yang secara tradisional dikatagorikan sebagai kegiatan basis, misalnya:
1) Asrama militer karena gaji penghuninya dan biaya operasional/perawatan lokasi berasal dari
uang pemerintah pusat.
2) Kegiatan pertambangan karena umumnya hasilnya dibawa ke luar wilayah
3) Kegiatan pariwisata karena mendatangkan uang dari luar wilayah.

Kegiatan yang mayoritas produknya dijual ke luar wilayah atau mayoritas uang masuknya
berasal dari luar wilayah langsung dianggap basis, sedangkan yang mayoritas produknya dipasarkan
local dianggap nonbasis. Misalnya, produk tambakau deli yang produknya hamper 100% dijual ke
luar negeri otomatis dianggap basis. Akan tetapi, produk seperti karet dan coklat yang sebagian
besar produknya dijial ke luar negeri juga dianggap basis, walaupun produknya ada yang dijual
kepada prosesor local dan produknya ada yang menjadi konsumsi wilayah dan ada yang dijial ke luar
wilayah/ekspor. Universitas negeri dan rumah sakit yang dibiayai oleh pemerintah pusat,
dikatagorikan basis walaupun sebenarnya biaya operasionalnya ada yang berasal dari pungutan
lokal. Akan tetapi, karena subsidi yang diberikan oleh pemerintah di atasnya, porsi lebih besar maka
dianggap basis. Dalam metode asumsi, kegiatan lain yang bukan dikatagorikan basis adalah otomatis
menjadi kegiatan nonbasis.

3. Metode Campuran
Suatu wilayah yang sudah berkembang, cukup banyak usaha yang tercampur antara kegiatan
basis dan kegiatan nonbasis. Penggunaan metode asumsi murni akan memberikan kesalahan yang
besar. Akan tetapi, penggunaan metode langsung yang murni juga cukup berat, yang sering
dilakukan orang adalah gabungan antara metode asumsi dengan metode langsung yang disebut
metode campuran. Dalam metode campuran diadakan survei pendahuluan, yaitu pengumpulan data
sekunder, biasannya dari instansi pemerintah atau lembaga pengumpul data seperti BPS. Dari data
sekunder berdasarkan analisis ditentukan kegiatan mana yang dianggap basis dan yang nonbasis.
Asumsinya apabila 70% atau lebih produknya diperkirakan dijual ke luar wilayah maka kegiatan itu
langsung dianggap basis. Sebaliknya apabila 70% atau lebih produknya dipasarkan di tingkat lokal
maka disebut nonbasis. Apabila porsi basis dan nonbasis tidak begitu kontras, porsi itu harus
ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut, harus dilakukan survei lagi dan harus ditentukan sektor
mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan data sekunder dan sektor mana yang mungkin
membutuhkan sampling pengumpulan data langsung dari pelaku usaha. Jadi, untuk suatu wilayah
yang ekonominya terbuka dan kegiatannya cukup beragam, tidak mungkin hanya menggunakan
metode asumsi saja tetapi haruslah gabungan antara metode asumsi dan metode langsung. Di
Sumatera Utara misalnya, produk perkebunan besar seperti tembakau deli dapat dianggap basis
karena hampir seluruh hasilnya ditujukan untuk ekspor.
Produk kelapa sawit (CPO) adalah mayoritas untuk ekspor walaupun ada juga bagian yang dibeli
oleh pabrik minyak goreng yang ditujukan untuk konsumsi lokal dan ekspor. Kalau CPO itu dibeli
oleh prosesor lokal, misalnya diolah menjadi minyak goreng, biodiesel, atau detergen maka
ditelusuri lagi berapa persen dari produknya yang ditujukan untuk pasar lokal dan berapa persen
yang dijual ke luar wilayah/ekspor. Hal yang sama juga berlaku untuk produk karet, baik hasil
perkebunan besar maupun hasil perkebunan rakyat. Ada bagian yang langsung diekspor dan ada
yang dibeli oleh prosesor lokal, seperti untuk dijadikan ban sepeda, becak, sepeda motor, mobil,
atau dijadikan sarung tangan karet. Bagian produk yang dibeli oleh prosesor lokal, ada yang untuk
konsumsi lokal dan ada yang untuk ekspor. Ada kemungkinan porsi yang dijual ke prosesor lokal
dapat diketahui dari data sekunder. Sedangkan ke mana prosesor lokal menjual produknya mungkin
bisa diketahui dari data sekunder. Seandainya tidak bisa diketahui melalui data sekunder harus
dilakukan survei langsung. Total produk lokal dapat diketahui dari instansi pemerintah terkait atau
kantor perwakilan BPS karena umumnya data ini mereka kumpulkan sewaktu menghitung produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Data ekspor dan impor umumnya tersedia dari instansi
pabean/beacukai atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Yang selalu menjadi masalah adalah
data tentang barang yang keluar masuk ke dan dari wilayah tetangga. Jembatan timbang memang
mencatat bobot barang yang keluar masuk wilayah tetapi tidak dibarengi dengan jenis dan nilai
barang. Untuk kebutuhan analisis basis, perlu dilakukan sampling di batas wilayah untuk menaksir
jenis dan nilai barang yang keluar masuk wilayah. Data ini dapat digunakan sebagai
pembanding/bahan penyesuaian terhadap data hasil survei langsung ke pelaku ekonomi.

4. Metode Location Quotient


Metode lain yang tidak langsung adalah dengan menggunakan location quotient (metode LQ).
Metode LQ membandingkan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor tertentu di wilayah kita
dibandingkan dengan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor yang sama secara nasional.
Dalam bentuk rumus, apabila yang digunakan adalah data lapangan kerja, hal tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut.
li /e
LQ =
LI/ E
Keterangan :
l i = Banyaknya lapangan kerja sektor i di wilayah analisi
e = Banyaknya lapangan kerja di wilayah analisi
L i = Banyaknya lapangan sektor i secara nasional
E = Banyaknya lapangan kerja secara nasional
Catatan : Istilah nasional adalah wilayah yang lebih tinggi jenjangnya. Misalnya, apabila wilayah
analisis adalah provinsi maka wilayah nasional adalah wilayah Negara. Apabila
wilayah analisis wilayah kabupaten/kota maka istilah nasional digunakan untuk
wilayah provinsi, dan seterusnya.
dari rumus diatas diketahui bahwa apabila LQ > 1 berarti bahwa porsi lapangan kerja sektor I di
wilayah analisi terhadap total lapangan kerja wilayah adalah lebih besar dibandingkan dengan porsi
lapangan kerja untuk sektor yang sama secara nasional. Artinya, sektor i di wilayah kita secara
proporsional dapat menyediakan lapangan kerja melebihi porsi sektor i secara nasional. LQ > 1
memberikan indikasi bahwa sektor tersebut adalah basis, sedangkan apabila LQ < 1 berarti sektor itu
adalah nonbasis.
Metode LQ banyak dikritik karena didasarkan atas asumsi bahwa produktivitas rata-rata atau
konsumsi rata-rata antarwilayah adalah sama. Bisa saja ada suatu wilayah yang lapangan kerjanya
untuk sector I lebih rendah, tetapi total produksinya lebih tinggi. Atau ada suatu wilayah yang
lapangan kerjanya untuk sector tertentu, misalnya sector pangan cukup tinggi tetapi disebabkan
oleh permintaan masyarakat setempat untuk pangan tersebut melebihi rata-rata nasional. Jadi,
walaupun lapangan kerja yang tersedia melebihi porsi nasional, tetapi hjal itu hanya untuk menutupi
kebutuhan local yang juga tinggi. Dengan demikian, produknya tidak ditujukan untuk ekspor
sehingga tidak dapat dianggap basis. Lagi pula jika hal itu dibandingkan antara lapangan kerja di
suatu wilayah dengan lapangan kerja nasional, ada juga kemungkinan bahwa secara nasional produk
itu ada yang diekspor atau diimpor. Kalau secara nasional produk itu ada yang diekspor atau diimpor
berarti lapangan kerja yang tersedia secara nasional bukan lagi alat pengukur yang tepat untuk
membandingkan apakah suatu wilayah itu dapat mencukupi kebutuhannya, kelebihan atau
kekuranga. Artinya, harus dikalibrasi lagi berapa sebetulnya lapangan kerja nasional yang tepat yang
membuat produk nasional tidak mengimpor dan juga tidak mengekspor.
Menghadapi kritikan ini, Tiebout (1962) menerapkan apa yang disebut minimum requirement
technique. Dalam teknik ini dikumpulkan beberapa wilayah yang kondisinya untuk sector tertentu
lebih kurang sama. Setiap wilayah dihitung persentase lapangan kerja untuk setiap sector. Setiap
sector yang sama dibuat rangking antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya. Rangking
itu disusun dari persentase tertinggi ke persentase terendah. Reangking terendah, lapangan
kerjanya sekedar memenuhi kebutuhan local. Persentase diatas angka terendah, produksinya
dianggap untuk diekspor sehingga dikatagorikan sebagai basis. Untuk menghindari kemungkinan
adanya angka yang ekstrem rendah. Terkadang dipakai bukan angka terendah tapi misalnya
rangking ketiga dari bawah.
Terhadap minimum requirement technique ini pun muncul berbagai masalah. Misalnya,
berapakah jumlah wilayah yang diikutsertakan dalam penyusunan rangking yang dianggap memadai
dan apa pula kriterianya sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat dianggap memiliki kondisi yang
sama.
Masalah lain yang memerlukan pemikiran adalah menyangkut klasifikasi dari sektor kegiatan
ekonomi yang mungkin berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain. Misalnya, kegiatan penggilingan
padi bisa dimasukkan sebagai sektor pertanian di satu wilayah, tetapi dianggap sebagai kegiatan
industry kecil di wilayah lain. Contoh ini bisa diperpanjang terutama untuk kegiatan rumah tangga
yang mengolah hasil pertanian, seperti pembuatan tempe, tahu, makanan olahan, minyak goreng,
dan anyaman bamboo. Apabila kegiatan ini tidak dimasukkan ked alam klasifikasi sektor yang sama,
angka rangking antarwilayah yang dibuat menjadi tidak relevan.
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan adalah apabila untuk suatu wilayah tetentu terdapat
banyak pekerja yang datang dari wilayah lain sebagai pelaju (commuter – dating dan kembali ke
rumahnya yang berada di wilayah lain setelah selesai bekerja). Misalnya, lapangan kerja ada di
wilayah A tetapi sebagian pekerjanya berdomisili di wilayah B. wilayah A menganggap seluruh
lapangan kerja tersebut adalah miliknya dan dihitung dalam total lapangan kerjs wilayah yang
tersedia. Wilayah B juga menganggap pekerjanya yang bekerja ke wilayah A adalah lapangan kerja
basis untuk wilayah B. jika hal ini terjadi maka akan timbul perhitungan ganda (double-counting).
Jadi, perlu diklarifikasi terlebih dahulu sebelum menetapkan rangking antar wilayah.
Dari sekian banyak permasalahan yang dikemukakan, setiap analisis membuat pemecahan yang
berbeda-beda. Alas an yang diberikan dalam menetapkan cara yang ditempuh umumnya adalah
berdasarkan kesepakatan (arbitrary). Walaupun ada yang menganggap kurang ilmiah, tetapi cara ini
cukup banyak dipakai dalam memilah kegiatan basis dengan kegiatan nonbasis.

D. MODEL BASIS EKONOMI MENURUT TIEBOUT


Charles M. Tiebout dalam makalahnya berjudul The Community Economic Base Study (1962)
untuk Committee for Economic Development, New York (dalam Avrom Bendadid: Regional Economic
Analysis, 1974) menggunakan perbandingan dalam bentuk pendapatan (income) dan membuat
rincian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang terkait dalam pengganda basis. Dalam
bentuk pendapatan, hubungan antara perubahan pendapatan basis dengan perubahan total
pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut.

Perubahan pendapatan total = pengganda basis x perubahan pendapatn basis

Dalam uraian berikutnya Tiebout menggunakan sImbol-simbol. SImbol-simbol dasar dari Tiebout
adalah :
Yt = Pendapatan total (total income)
Yb = Pendapatan basis (basis income)
Yn = Pendapatan nonbasis (service)
K = Pengganda basis (base multiplier)
∆ = Perubahan pada ………………
Dengan menggunakan sImbol-simbol di atas, apa yang telah dirumuskan dengan kata-kata pada
uraian terdahulu dapat dirumuskan dengan simbol seperti tertera berikut ini :
∆Yt = K . ∆Yb …………………. (1)

Pengganda basis dalam satuan pendapatan adalah sebagai berikut :


Pendapatan total
Pengganda basis =
Pendapatan basis
Yt
Atau dalam bentuk symbol adalah K =
Yb

Karena pendapatan total = pendapatan basis + pendapatan nonbasis maka rumus pengganda
basis tersebut di atas dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut :

Yt 1 1 1 1
K = = = = = ……………………… (2)
Yb Yb Yt – Yn Yt Yn Yn
Yt Yt Yt Yt 1–
Yt

Pengganda basis yang dikemukakan di atas disebut sebagai pengganda basis jangka pendek (Ks)
sehingga :
1
Ks =
Yn
1-
Yt
Apabila Ks dari Persamaan (2) digunakan sebagai pengganti pengganda basis pada persamaan
(1), diperoleh persamaan baru dalam perubahan pendapatan total wilayah sebagai berikut :
1

∆ Yt = Yn ∆Yb ……………… (3)


1-
Yt

Selanjutnya menurut Tiebout perekonomian terdiri atas tiga sektor, yaitu sektor ekspor (X),
sektor investasi (I),dan sektor konsumsi (C) . total pendapatan wilayah adalah penjumlahan dari
ketiga sektor tersebut dengan catatan apabila seluruh kegiatan menggunakan bahan baku lokal.
Jadi, secara simbolik :

Yt = X + I + C ………………………….. (4)
Namun diketahui bahwa pengeluaran untuk konsumsi dan pengeluaran untuk investasi tidak
seluruhnya menggunakan bahan baku lokal. Yang menjadi pendapatan daerah adalah total
pengeluaran dikurangi pengeluaran untuk impor kedua kegiatan tersebut. Pengeluaran konsumsi
yang digunakan untuk membeli produk lokal dan menjadi pendapatan daerah diberi symbol Cr dan
untuk investasi diberi symbol Ir. Dari persamaan (4) di atas dapat dirumuskan bahwa :

∆Yt = ∆X + ∆Ir + ∆Cr …………………………. (5)

Penambahan simbol r (regional) di belakang I dan C menggambarkan bahwa yang dihitung


hanyalah yang menjadi pendapatan lokal, baik karena pajak yang ditarik pemerintah maupun karena
barang tersebut berasal dari impor. Pendapatan dari konsumsi (Cr) adalah pendapatan nonbasis
karena besarnya ditentukan oleh tingkat pendapatan masyarakat di wilayah tersebut. Pendapatan
dari ekspor adalaha pendapatan basis karena bersifat exogenous begitu pula pendapatan dari
kegiatan investasi (Ir). Besarnya investasi bukan ditentukan oleh pendapatan masyarakat saat ini,
melainkan berdasarkan keputusan masa lalu dan harapan di masa yang akan datang, atau dana
investasi dating dari luar wilayah sehingga dianggap exogenous . jadi, pendapatan basis terdiri atas
penjumlahan dari pendapatan kegiatan ekspor dan kegiatan investasi tetapi dari bagian yang
menjadi pendapatan local. Jadi, dapat dirumuskan bahwa :

Yb = X + Ir …………………… (6) dan selanjutnya dapat diturunkan menjadi :

∆Yb = (∆X + ∆Ir) = ∆(X + Ir) ……………….. (7)

Sebelumnya telah diuraikan bahwa perubahan pendapatan basis akan mengubah pendapatan di
bidang nonbasis, bagaimanakah hal ini bisa terjadi ? Pendapatan yang diperoleh masyarakat dari
kegiatan ekspor dan investasi akan digunakan untuk berbagai cara, biasanya yang terbesar adalah
dibelanjakan untuk keperluan konsumsi dan dari yang digunakan untuk konsumsi ada yang berasal
dari produk lokal dan ada yang berasal dari produk impor. Konsumsi yang berasal dari produk lokal
akan menaikkan pendapatan nonbasis. Ada juga dari pendapatan itu yang dibelanjakan di luar
wilayah atau dikirim ke luar wilayah, misalnya untuk membiayai anak yang sedang belajar di wilayah
lain. Hal itu semua merupakan kebooran yang mengurangi kekuatan permintaan akan produk lokal.
Ada bagian yang disimpan di baik untuk tujuan konsumsi di masa dating atau untuk investasi.
Sementara itu, uang yang disimpan mengalami kebocoran sampai simpanan itu digunakan kembali.
Uang yang disimpan di bank tidak mengalami kebocoran karena biasanya bank akan
memutarkannya kembali untuk dipakai oleh pihak ketiga baik untuk kepentingan investasi maupun
konsumsi.
Untuk mendapatkan analisis yang lebih mendetail tentang tiga sektor yang mempengaruhi
pendapatan wilayah, selanjutnya akan digunakan simbol-simbol yang lebih sederhana ketimbang
simbol-simbol asli yang digunakan Tiebout, tanpa sedikit pun mengubah sasaran dari perumusan
Tiebout. Dalam rangka penyerdehanaan rumus, akan digunakan konsep propensity, yaitu hasrat
untuk membelanjakan pendapatan. Misalnya, propensity to consume adalah hasrat untuk
membelanjakan pendapatan untuk membeli barang-barang konsumsi. Propensity biasanya
dinyatakan dalam bentuk proporsi, yaitu berupa hasil bagi. Hasil bagi ini jika dikalikan dengan 100
(seratus) akan menjadi persentase (%). Propensity biasanya dinyatakan dalam bentuk huruf kecil
dari simbol aslinya. Simbol – simbol yang akan diguakan adalah sebagai berikut .
c = Propensity to consume (proporsi untuk konsumsi)
cr = Proporsi konsumsi yang menggunakan produk lokal
Sekarang kita dapat menuliskan bahwa :
Yn = Cr = Yt . (c) . (cr) ……………………………. (8)
Artinya penerimaan sector nonbasis sama dengan pengeluaran konsumsi untuk barang – barang
local sama dengan penerimaan total dikalikan proporsi yang dijadikan konsumsi dikalikan proporsi
konsumsi yang menjadi penerimaan local. Apabila persamaan (8) kita masukkan ke dalam
persamaan (2), akan diperoleh rumus baru untuk menghitung pengganda basis sebagai berikut.
1 1
K = = ……………………………….. (9)
1-Yt . (c ). (cr) 1-(c) . (cr)

Yt
Sekarang persamaan tiga sector dapat dilengkapi dengan memasukkan persamaan (9) ke dalam
persamaan (3) dan mendapatkan persamaan perubahan pendapatan total sebagai berikut.
1
∆ Yt = ∆ (X + Ir) ………………………………………………. (10)
1 – (c) . (cr)
Secara ekonomi, penyebut pada persamaan pengganda basis akan selalu lebih kecil dari satu
sehingga pengganda basis tersebut akan selalu lebih besar dari satu. Seandainya berdasarkan suatu
survey social ekonomi diketahui bahwa rata-rata rumah tangga menggunakan 0,7 (70%) dari
pendapatannya untuk kebutuhan konsumsi. Kemudian, dari barang yang dikonsumsi tersebut
diketahui bahwa 0,6 (60%) merupakan produk local dan sisanya adalah barang impor, maka nilai
pengganda basis adalah
1
K= = 1,724
1 – (0,7) . (0,6)
Pengganda basis sebesar 1,724 berarti untuk setiap tambahan pendapatan wilayah yang berasal
dari peningkatan ekspor dan/atau pertambahan investasi akan menaikkan pendapatan wilayah
sebesar 1,724 kali, yaitu satu unit berasal dari sector basis itu sendiri dan 0,724 unit berasal dari
sector nonbasis. Dalam bentuk persamaan, hal itu dapat dituliskan :

∆Yt = 1,724 . ∆(X + Ir)

Manfaat dari pengganda basis ini, antara lain di satu sisi dapat digunakan untuk meramalkan
tingkat pendapatan di masa yang akan dating seandainya diketahui besarnya kenaikan ekspor dan
besarnya tambahan investasi yang diduga akan masuk ke wilayah analisis. Di lain sisi, seandainya
pendapatan wilayah ingin ditingkatkan sebesar suatu angka tertentu maka untuk mencapai hal itu
harus ada usaha untuk menaikkan ekspor dan investasi baru hingga mencapai suatu angka tertentu.
Tiebout kemudian merinci sector-sektornya secara lebih detail. Sector ekspor dibagi menjadi
dua dan sector investasi dibagi menjadi empat. Perinciannya dengan menggunakan symbol yang
lebih sederhana adalah sebagai berikut.
Sector ekspor :
Xp = penerimaan dari ekspor kepada pihak swasta/luar negeri
Xg = penerimaan dari ekspor kepada pemerintah pusat, yaitu barang/jasa yang dibeli pemerintah
Pemerintah pusat di wilayah analisis
Sector Investasi :
Irb = Penerimaan dari investasi di bidang usaha (business)
Irh = Penerimaan dari investasi di bidang perumahan (housing)
Irg = Penerimaan dari investasi pemerintah di wilayah analisis
Org = Penerimaan dari kegiatan rutin pemerintahan di wilayah analisis
Sekarang kita bisa membuat persamaan perubahan pendapatan regional dengan 7 sektor yang
sebetulnya hanya perincian dari model sebelumnya yang terdiri dari 3 sektor. Persamaan perubahan
pendapatan regional tersebut adalah sebagai berikut.

1
∆ Yt = . ∆(Xp + Xg + Irb + Irh + Irg + Org)………………………………………. (11)
1-(c).(cr)

Rumus diatas dinamakan pengganda jangka pendek (short run multiplier).

Menurut Tiebout dalam jangka panjang (long-run), hanya sector ekspor yang dapat mendorong
pertumbuhan, sedangkan sector invests sebetulnya tumbuh karena ada pertumbuhan ekonomi.
Apabila ekonomi menjadi statis (tidak ada pertumbuhan) maka investasi baru akan sama dengan
nol, kecuali hanya untuk mengganti barang-barang yang sudah aus. Jadi, dalam jangka panjang yang
mendorong pertumbuhan pendapatan basis dan nonbasis adalah sebagai berikut.

∆Yb = ∆(Xp + Xg)


∆Yn = ∆(Cr + Irb + Irh + Irg + Org )

Dalam menggunakan pengganda basis jangka panjang (long run multiplier), setiap komponen
dari sector nonbasis harus diperlakukan sama dengan konsumsi. Dengan menggunakan propensity
terminology, rumus untuk menghitung perubahan pendapatan wilayah dengan 7 sektor untuk
kondisi jangka panjang dapat ditulis sebagai berikut.
1
∆ Yt = ∆(Xp + Xg)
1 - (c).(cr)+(ib).(ibr)+(ih).(ihr)+(ig).(igr)+(og).(ogr)

Dimana :
c = Propensity to consume (proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi)
cr = Proporsi dari konsumsi yang menjadi pendapatan regional
ib = Propensity to invest in business (proporsi dari investasi di bidang business terhadap total
pendapatan wilayah)
ibr = Proporsi dari investasi di bidang business yang menjadi pendapatan regional
ih = Propensity to invest in housing (proporsi dari investasi di bidang perumahan terhadap total
pendapatan wilayah)
ihr = Proporsi dari investasi di bidang perumahan yang menjadi pendapatan regional
ig = Propensity to investment of government budget ( proporsi dari anggaran pemerintah yang
diinvestasikan)
igr = porsi investasi pemerintah yang menjadi pendapatan wilayah
og = Propensity to spend for government current operation ( proporsi dari belanja rutin pemerintah
untuk pembelian barang dan jasa)
ogr = Porsi dari belanja rutin pemerintah (barang dan jasa) yang menjadi pendapatan regional

Rumus di atas disebut pengganda jangka panjang (long run multiplier).

E. KOMENTAR TERHADAP METODE TIEBOUT


Di satu segi metode Tiebout sangat membantu bagi seorang regional analyst untuk melihat
factor – factor apa saja yang dapat mendorong pertumbuhan wilayah. Dengan demikian, ia dapat
merekomendasi kebijakan yang mempercepat pertumbuhan wilayah. Di lain segi, masih banyak analisis
yang beranggapan bahwa sector – sector tersebut ada yang menganggap terlalu rinci, tetapi ada pula
yang menganggap untuk sector tertentu perlu diperinci lebih lengkap. Yang jelas Tiebout tidak
menyinggung investasi yang tidak masuk dalam kategori bisnis murni dan investasi di bidang sosial.
Investasi yang bukan bisnis murni tetapi bukan pula sosial, misalnya sekolah, rumah sakit, dan
gelanggang olahraga. Adapun investasi di bidang sosial, misalnya pembangunan rumah ibadah, panti
asuhan/jompo, dan bidang kesenian.
Avrom Bendadid misalnya, berpendapat bahwa walaupun dalam jangka panjang tidak semua
investasi dapat dianggap nonbasis, kalau investasi itu adalah untuk menghasilkan barang ekspor,
investasi harus dianggap sebagai basis. Apalagi sekarang banyak investasi yang sumber dananya berasal
dari luar negeri (PMA) dan jelas didatangkan uangnya dari luar wilayah sehingga tidak menyedot
keuangan wilayah. Besarnya investasi tersebut tidak bersangkut paut dengan tingkat pendapatan
wilayah.
Kelemahan terbesar dari metode Tiebout adalah metode tersebut hanya bisa diterapkan di
wilayah kecil dengan kegiatan ekonomi yang belum terlalu bervariasi dan agak terisolasi. Dengan
demikian, dimungkinkan untuk mendata semua kegiatan ekonomi secara cermat termasuk misalnya asal
usul dari barang/bahan yang dipakai dalam proses produksi, investasi apa saja yang telah terjadi, dari
mana asal barang/bahan yang dipakai dalam investasi tersebut. Jelas untuk wilayah yang cukup luas
dengan system ekonomi terbuka dan sudah berkembang dengan kegiatan yang bervariasi, hamper tidak
mungkin diperinci asal usul barang yang digunakan dalam setiap kegiatan produksi atau investasi.
Kalaupun dapat diperinci bahantersebut antara produk lokal dan impor maka masalahnya belum selesai.
Dalam produk lokal seringkali ada unsur impor di dalamnya. Misalnya, sebuah sepeda yang diproduksi
secara lokal bahan-bahannya masih banyak didatangkan dari luar daerah. Contoh ekstrem beras yang
dianggap 100% produk lokal adalah tidak betul. Beras terlebih dahulu melewati proses penggilingan dan
peralatan pabrik penggilingan beras sebagian besar dari impor. Jadi, dalam harga beras itu telah ada
unsur impor walaupun peranannya kecil. Jadi setiap kita menemukan bahan yang berasal dari produk
lokal, kita harus menganalisis lagi berapa persen komponennya yang impor yang harus dikeluarkan
terlebih dahulu untuk mendapatkan porsi produk itu yang benar-benar lokal.
Melihat kerumitan yang dikemukakan di atas, seorang ahli ekonomi regional lainnya, yaitu Harry
W. Richardson dalam bukunya Elements of Regional Economics (terjemahan Paul Sihotang, 1997)
membuat perumusan yang lebih sederhana tentang pengganda basis tersebut. Richardson hanya
menggunakan unsur-unsur expenditure, import, dan exsport. Uraian tentang metode Richardson dapat
dibaca pada Bab 4 tentang teori pertumbuhan ekonomi wilayah. Total expenditure (pengeluaran) untuk
setingkat provinsi sudah lazim dihitung di Indonesia, yaitu oleh BPS/perwakilan BPS di
provinsi,bersamaan dengan perhitungan pendapatan regional tingkat provinsi. Perhitungan pendapatan
regional tingkat kabupaten/kotamadya juga sudah dilakukan untuk masing-masing tingkat II, namun
belum dilengkapi dengan perhitungan dari sisi pengeluaran. Dari data pendapatan regional tersebut
dapat juga ditaksir pengeluaran kabupaten/kota, misalnya dengan menggunakan propensity to
expenditure tingkat nasional atau provinsi. Data ekspor dan impor perdagangan dengan luar negeri di
tingkat provinsi sudah ada, tetapi untuk tingkat kabupaten/kotamadya belum semua ada. Data
perdagangan dengan wilayah tetangga masih sulit. Pada perbatasan antar provinsi ada jembatan
timbang yang dapat dipakai untuk mengukur bobot barang yang keluar masuk tetapi sering kali tidak
disertai dengan data jenis barang sehingga masih sulit menaksir nilainya. Akan tetapi, nili perdagangan
masih mungkin ditaksir dengan kesalahan yang tidak terlalu besar, yaitu melalui survei yang khusus
dirancang untuk itu. Dengan demikian, metode Richardson masih memungkinkan untuk diterapkan di
wilayah yang cukup luas dengan perekonomian terbuka.

F. EVALUASI ATAS TINGKAT KEBASISAN SUATU PRODUK

Untuk mendorong pertumbuhan suatu wilayah, perlu didorong pertumbuhan sektor basis
karena akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, yaitu sektor non basis. Dalam suatu wilayah,
sektor basis adalah sektor yang menjual produknya ke luar wilayah atau ada kegiatan yang
mendatangkan uang dari luar wilayah. Namun demikian, apabila suatu kegiatan basis ingin
dikembangkan secara besar-besaran, perlu dilihat apakah pasar di luar wilayah (luar negeri) masih
mampu menampung perluasan dari produk basis tersebut.
Untuk melihat apakah pasar produk yang dihasilkan tidak cepat jenuh, perlu dilihat tingkat
kebasisan suatu produk, yang pada dasarnya melihat berapa luas pasar yang dapat dijangkau oleh
produk tersebut. Tingkat kebasisan suatu produk, misalnya, dapat dijenjangkan sebagai berikut.
1. Jangkauan pemasarannya hanya pada beberapa desa tetangga;
2. Jangkauan pemasarannya hanya pada Beberapa wilayah kecamatan;
3. Jangkauan pemasarannya hanya pada Wilayah suatu provinsi;
4. Jangkauan pemasarannya mencakup beberapa wilayah provinsi;
5. Jangkauan pemasarannya mencakup sebagian besar wilayah ekonomi nasional dan ekspor;
6. Jangkauan pemasarannya pada hampir seluruh wilayah ekonomi nasional dan merupakan
ekspor tradisional.

Sebetulnya penjenjangan di atas tidaklah mutlak. Yang sulit adalah memberi bobot anatara
pemasaran di dalam negeri dengan ekspor. Ada komoditi yang wilayah pemasarannya di dalam negeri
tidak begitu luas tetapi komoditi itu sudah dipasarkan ke luar negeri (ekspor). Dalam hal ini perlu
diperhatikan apakah komoditi itu sudah lama sebagai komoditi ekspor atau belum dan berapa
volumenya. Selain itu, perlu diperhatikan apakah ekspor itu hanya ke satu Negara atau ke beberapa
Negara. Apabila sudah lama sebagai komoditi ekspor, volumenya juga cukup besar dipasarkan ke
berbagai Negara dan ekspor itu berkelanjutan maka komoditi itu harus dianggap memiliki tingkat
kebasisan yang tinggi. Makin luas wilayah pemasaran suatu produk, pasarnya makin tidak mudah jenuh,
yang berarti tingkat kebasisannya makin tinggi. Produk dengan tingkat kebasisan yang lebih tinggi, harus
diprioritaskan untuk dikembangkan karena pasarnya tidak mudah jenuh.

G. PERBEDAAN BASIS ANTARA DI KOTA DENGAN DI WILAYAH BELAKANGNYA

Kegiatan basis bisa berbeda antara di kota dengan di luar kota atau di wilayah belakangnya.
Basis di luar kota umumnya adalah pada sektor penghasil barang seperti pertanian, industry, dan
pertambangan. Kegiatan yang sama bila berlokasi di kota juga dapat bersifat basis. Namun karena
kegiatan ini umumnya di kota adalah terbatas atau dibatasi seperti dilarangnya industry yang berpolusi
maka basis perekonomian kota umumnya didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa angkutan. Di
kota sektor perdagangan dan jasa dapat menjadi basis karena kegiatan tersebut mendatangkan uang
dari luar wilayah atau dari wilayah belakangnya. Namun perlu diingat bahwa pengembangan kegiatan
perdagangan dan jasa di perkotaan tidaklah exogen murni. Kegiatan tersebut tetap terikat
pertumbuhannya terhadap pertumbuhan sektor basis di wilayah belakangnya. Apabila kota dan wilayah
belakangnya dijadikan satu satuan wilayah analisis maka kegiatan basis adalah yang menjual produknya
keluar dari wilayah analisis atau mendatangkan uang dari luar wilayah analisis. Dalam kondisi seperti ini
kegiatan perdagangan dan jasa, yang tetap berfungsi sebagai basis menjadi menciut.

Soal – Soal

1. Apa yang dimaksud dengan kegiatan basis?


2. Apa yang dimaksud dengan kegiatan nonbasis (kegiatan pelayanan/service)?
3. Apa yang dimaksud dengan pengganda basis lapangan kerja?
4. Seandainya diketahui bahwa pengganda basis lapangan kerja adalah = 3, pada periode berikutnya
aka nada kenaikan lapangan pekerjaan sektor basis sebanyak 1.000 unit. Berapakah jumlah lapangan
kerja keseluruhan yang akan bertambah?
5. Apakah pertambahan lapangan kerja sektor service (nonbasis) akan segera terjadi setelah lapangan
kerja sektor basis bertambah? Jelaskan!
6. Apa dampak buruk dari menurunnya ekspor. Jelaskan!
7. Apa permasalahannya dalam memilah kegiatan basis dengan kegiatan nonbasis?
8. Ada berapa cara/metode untuk memilah kegiatan basis dengan kegiatan nonbasis? Sebutkan!
9. Apa kelemahan metode langsung dalam memilah kegiatan basis dan nonbasis?
10. Jelaskan metode campuran dalam memilah kegiatan basis dan nonbasis?
11. Jelaskan metode location quotient dalam menentukan apakah suatu kegiatan termasuk basis atau
bukan!
12. Apa kelemahan metode location quotient?
13. Bagaimanakah rumus pengganda basis jangka pendek menurut Tiebout?
14. Apakah semua investasi menciptakan lapangan kerja secara permanen. Jelaskan!
15. Apa perbedaan pengganda basis jangka pendek dengan pengganda basis jangka panjang menurut
Tiebout?
16. Apa kesulitan penerapan teori basis apabila mengikuti pandangan Tiebout?
17. Apa yang dimaksud dengan tingkat kebasisan suatu produk?
18. Luas pasar mempengaruhi tingkat kebasisan suatu produk. Jelaskan!
BAB 4
TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH

A. PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara


keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai nilai tambah (added value)
yang terjadi. Perhitungan Pendapatan Wilayah pada awalnya dibuat dalam harga berlaku. Namun agar
dapat melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya,harus dinyatakan dalam
nilai riel, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Biasanya BPS dalam menerbitkan laporan pendapatan
regional tersedia angka dalam harga berlaku dan harga konstan. Pendapatan wilayah menggambarkan
balas jasa bagi factor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah,modal,tenaga kerja,dan
teknologi),yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran
suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh
seberapabesar terjadi transfer – payment, yaitu bagian pendapatan mengalir ke luar wilayah atau
mendapat aliran dana dari luar wilayah. Menurut Boediono (1985 : 1): “Pertumbuhan ekonomi adalah
proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang.” Jadi, persentase pertambahan output itu
haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam
jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Menurut Boediono ada ahli ekonomi yang
membuat definisi yang lebih ketat, yaitu bahwa pertumbuhan itu haruslah “bersumber dari proses
intern perekonomian tersebut”. Ketentuan yang terakhir ini sangat penting diperhatikan dalam ekonomi
wilayah, karena bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi pertumbuhan itu tercipta
karena banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan itu terhenti apabila
suntikan dana itu dihentikan. Dalam kondisi seperti ini, sulit dikatakan ekonomi wilayah itu bertumbuh.
Adalah wajar suatu wilayah terbelakang mendapat suntikan dana dalam proporsi yang lebih besar
dibandingkan dengan wilayah lainnya, akan tetapi setelah suatu jangka waktu tertentu, wilayah itu
mestilah tetap bisa bertumbuh walaupun tidak lagi mendapat alokasi yang berlebihan.
Teori yang membicarakan pertumbuhan regional ini dimulai dari teori yang dikutip dari ekonomi
makro/ekonomi pembangunan dengan mengubah batas wilayah dan disesuaikan dengan lingkungan
operasionalnya, dilanjutkan dengan teori yang dikembangkan asli dalam ekonomi regional. Apabila
dalam ekonomi makro dan ekonomi pembangunan, istilah ekspor atau impor adalah perdagangan
dengan luar negeri maka dalam ekonomi regional hal itu berarti perdagangan dengan luar wilayah
( termasuk perdagangan dengan luar negeri). Teori pertumbuhan yang dikutip dari ekonomi makro
adalah berlaku untuk ekonomi nasional yang dengan sendirinya juga berlaku untuk wilayah yang
bersangkutan. Jadi, tidak mungkin mengabaikan teori tersebut, walaupun yang dibahas adalah satu
wilayah tertentu. Namun demikian, dalam penerapannya harus dikaitkan dengan ruang lingkup wilayah
operasinya, misalnya daerah tidak memiliki wewenang untuk membuat kebijakan fiskal dan moneter,
wilayah bersifat lebih terbuka dalam pergerakan orang dan barang. Dalam teori yang dikembangkan asli
dalam ekonomi regional, antara lain akan dibahas pengklasifikasian pendapatan dari satu daerah dan
faktor-faktor apa yang menunjang peningkatan pendapatan daerah tersebut. Demikian pula dibahas
akibat hubungan antara dua daerah atau lebih dan kaitannya dengan pemerataan pendapatan dan
kebijakan yang menunjang pemerataan pendapatan antar daerah. Teori pertumbuhan yang menyangkut
ekonomi nasional cukup banyak, di sini hanya dikutip beberapa teori yang langsung terkait dengan
kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah. Teori yang dibahas adalah teori ekonomi
klasik, teori Harrod-Domar, teori Solow-Swan, dan teori jalur cepat (Turnpike). Sedangkan teori yang
langsung terkait dengan ekonomi regional akan dibahas teori basis-ekspor dan model interregional. Dua
teori yang disebut terakhir dikembangkan asli dalam ekonomi regional.
B. TEORI EKONOMI KLASIK

Orang yang pertama membahas pertumbuhan ekonomi secara sistematis sehingga dijuluki
sebagai nabi ekonomi adalah Adam Smith (1723-1790) yang membahas masalah ekonomi dalam
bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations (1776). Inti ajaran Smith adalah
agar masyarakat diberi kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan kegiatan ekonomi apa yang
dirasanya terbaik untuk dilakukan. Menurut Smith system ekonomi pasar bebas akan menciptakan
efisiensi, membawa ekonomi kepada kondisi full employment, dan menjamin pertumbuhan ekonomi
sampai tercapai posisi stasioner (stasionary state). Posisi stasioner terjadi apabila sumber daya alam
telah seluruhnya termanfaatkan. Kalaupun ada pengangguran, hal itu bersifat sementara. Pemerintah
tidak perlu terlalu dalam mencampuri urusan perekonomian. Tugas pemerintah adlaah menciptakan
kondisi dan menyediakan fasilitas yang mendorong pihak swasta berperan optimal dalam
perekonomian. Pemerintah tidak perlu terjun langsung dalam kegiatan produksi dan jasa. Peranan
pemerintah adalah menjamin keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat serta membuat
“aturan main” yang memberi kepastian hukum dan keadilan bagi para pelaku ekonomi. Dalam hal ini
pemerintah berkewajiban menyediakan prasarana sehingga aktivitas swasta menjadi lancar. Pengusaha
perlu mendapat keuntungan yang memadai (tidak hanya sekedar keuntungan minimum) agar dapat
mengakumulasi modal dan membuat investasi baru, sehingga dapat menyerap tenaga kerja baru.
Terhadap pemikiran Smith, perlu dicatat pendapat Joseph Schumpeter (1911 dalam bahasa Jerman,
1934 dalam bahasa Inggris), yang memgatakan bahwa posisi stasioner tidak akan terjadi karena manusia
akan terus melakukan inovasi.
Sebagai akibat depresi ekonomi dunia tahun 1929-1932, pandangan Smith kemudian dikoreksi
oleh John Maynard Keynes (1936) dengan mengatakan bahwa untuk menjamin pertumbuhan yang
stabil pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiscal (perpajakan dan perbelanjaan pemerintah),
kebijakan moneter (tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar), dan pengawasan langsung. Ahli
ekonomi setelah itu ada yang mendukung dan memperluas pandangan Keynes. Kedua kelompok ini
tetap mengandalkan mekanisme pasar. Perbedaannya adalah ada yang menginginkan peran pemerintah
yang cukup besar tetapi ada pula yang menginginkan peran pemerintah haruslah sekecil mungkin.
Walaupun berbeda, kedua kelompok umumnya sependapat bahwa salah satu tugas Negara adalah
menciptakan distribusi pendapatan yang tidak terlalu pincang (ada kaitan dengan tingkat saving dan
konsumsi) sehingga pertumbuhan ekonomi bisa mantap dan berkelanjutan. Belakangan disadari bahwa
pemerintah perlu turun tangan untuk menyediakan jasa yang melayani kepentingan orang banyak ketika
swasta tidak berminat menanganinya apabila tidak diberi hak khusus. Misalnya pembangkit tenaga
listrik, telepon, dan air minum. Swasta mungkin berminat menyediakan fasilitas ini apabila diberi hak
monopoli dank arena hal itu mungkin tidak diterima oleh masyarakat, penanganannya diambil alih oleh
pemerintah. Kalaupun itu dikelola oleh swasta harus diawasi oleh pemerintah. Hal lain yang dianggap
wajar pemerintah turun tangan adalah mengatur stok pangan agar tercipta harga yang stabil. Dalam
kerangka ekonomi wilayah, ada pandangan Smith yang tidak bisa diterapkan sepenuhnya, misalnya
tentang lokasi dari kegiatan ekonomi tersebut. Sesuai dengan tata ruang yang berlaku maka lokasi dari
berbagai kegiatan sudah diatur dan kegiatan yang akan dilaksanakan harus memilih di antara lokasi yang
diperkenankan.
Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam teori Smith, pandangannya masih banyak yang
relevan untuk diterapkan dalam perencanaan pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk itu, hal yang perlu
dilakukan pemerintah daerah adalah:
a. Memberi kebebasan kepada setiap orang/badan untuk berusaha (pada lokasi yang
diperkenankan);
b. Tidak mengeluarkan peraturan yang menghambat pergerakan orang dan barang;
c. Tidak membuat tarif pajak daerah yang lebih tinggi dari daerah lain sehingga pengusaha enggan
beruasaha di daerah tersebut;
d. Menjaga keamanan dan ketertiban sehingga relative aman untuk berusaha;
e. Menyediakan berbagai fasilitas dan prasarana sehingga pengusaha dapat beroperasi dengan
efisien;
f. Tidak membuat prosedur penanaman modal yang rumit
g. Berusaha menciptakan iklim yang kondusif sehingga investor tertarik menanamkan modalnya di
wilayah tersebut.
Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit, teori Smith akan tumbuh subur pada kondisi pasar
sempurna. Kondisi pasar sempurna untuk semua transaksi memang sulit diwujudkan, namun pemda
harus berusaha untuk membuat kondisi pasar mengarah ke kondisi pasar sempurna. Pemda tidak
member hak monopoli (penjual tunggal) atau monopsoni (pembeli tunggal) kepada pihak swasta atas
dasar lisensi, serta informasi tentang pasar disebarluaskan kepada masyarakat.

C. TEORI HARROD – DOMAR DALAM SISTEM REGIONAL

Teori ini dikembangkan hampir pada waktu bersamaan oleh Roy F. Harrod (1948) di Inggris dan
Evsey D. Domar (1957) di Amerika Serikat. Di antara mereka menggunakan proses perhitungan yang
berbeda tetapi memberikan hasil yang sama, sehingga keduanya dianggap mengemukakan ide yang
sama dan disebut teori Harrod – Domar. Teori ini melengkapi teori Keynes, di mana Keynes melihatnya
dalam jangka pendek (kondisi statis) sedangkan Harrod – Domar melihatnya dalam jangka panjang
(kondisi dinamis). Teori Harrod – Domar didasarkan pada asumsi :
1. Perekonomian bersifat tertutup,
2. Hasrat menabung (MPS = s) adalah konstan,
3. Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constant return to scale),serta
4. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja (n) adalah konstan dan sama dengan tingkat pertumbuhan
penduduk.

Atas dasar asumsi – asumsi tersebut, harrod – Domar membuat analisis dan menyimpulkan
bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap (seluruh kenaikan produksi dapat diserap oleh psar)
hanya bisa tercapai apabila terpenuhi syarat – syarat keseimbangan sebagai berikut.

g=kn
Di mana : g = Growth (tingkat pertumbuhan output)
k = Capital (tingkat pertumbuhan modal)
n = Tingkat pertumbuhan angkatan kerja

Agar terdapat keseimbangan maka antara tabungan (S) dan investasi (I) harus terdapat kaitan
yang saling menyeimbangkan, padahal peran k untuk menghasilkan tambahan produksi ditentukan oleh
v (capital output ratio = Rasio modal output).
Apabila tabungan dan investasi adalah sama (I=S), maka :
I = S = S = Y = S/Y = S
K K Y K K/Y V

Agar pertumbuhan tersebut mantap,harus dipenuhi syarat g = n = s/v, hal ini lebih mudah
dimengerti dengan menggunakan contoh. Misalnya, perekonomian berada dalam kapasitas penuh
dengan total pendapatan (Y) = 1.000 triliun rupiah. Hasrat menabung (s) = 20%. Karena I = S maka
tingkat investasi adalah 20% x 1.000 triliun rupiah = 200 triliun rupiah. Misalnya rasio modal output
adalah 5 : 1 (diperlukan modal Rp 5,00 agar terdapat kenaikan produksi sebesar Rp 1,00 per tahun) atau
produktivitas modal = 0,20. Besarnya kenaikan output adalah I/v = 200/5 = 40 triliun rupiah. Dengan
40 triliun
demikian, laju pertumbuhan ekonomi adalah g = = 4%. Akan tetapi, hal ini hanya akan
1.000 triliun
Tercapai apabila laju pertumbuhan tenaga kerja juga 4%. Contoh di atas dapat dilihat dari sisi lain.
Misalnya, kita menginginkan pertumbuhan ekonomi 5% atau ada kenaikan output sebesar 1.000 triliun
rupiah x 0,05 = 50 triliun rupiah. Hal ini berarti investasi haruslah sebesar 50 triliun rupiah x (v) = 50
triliun rupiah x 5 = 250 triliun rupiah. Artinya, tingkat tabungan harus dinaikkan dari 0,20 menjadi 0,25
atau kekurangannya harus dipinjamkan dari luar.
Karena s,v, dan n bersifat independen maka dalam perekonomian tertutup, sulit tercapai kondisi
pertumbuhan mantap. Harrod – Domar mendasarkan teorinya berdasarkan mekanisme pasar tanpa
campur tangan pemerintah. Akan tetapi, kesimpulannya menunjukan bahwa pemerintah perlu
merencanakan besarnya investasi agar terdapat keseimbangan dalam sisi penawaran dan sisi
permintaan barang.
Untuk perekonomian daerah, Harry W.Richardson (terjemahan Sihotang, 1977) mengatakan
kekakuan di atas diperlunak oleh kenyataan bahwa perekonomian daerah bersifat terbuka. Artinya,
factor – factor produksi/hasil produksi yang berlebihan dapat diekspor dan yang kurang dapat diimpor.
Impor dan tabungan adalah kebocoran-kebocoran dalam menyedot output daerah. Sedangkan ekspor
dan investasi dapat membantu menyedot output kapasitas penuh dari factor-faktor produksi yang ada
di daerah tersebut. Kelebihan tabungan yang tidak terinvestasikan secara lokal dapat disalurkan ke
daerah-daerah lain yang tercermin dalam surplus ekspor. Apabila pertumbuhan tenaga kerja melebihi
dari apa yang dapat diserap oleh kesempatan kerja lokal maka migrasi neto dapat menyeimbangkan n
dan g. jadi, dalam perekonomian terbuka, persyaratannya menjadi sedikit longgar.

Syarat statistik bagi perekoniman terbuka :


S + M = I + X dapat dirumuskan menjadi :
(s + m) Y = I + X, atau:
I X
= s+m -
Y Y

Kita mengetahui bahwa ekspor suatu daerah i dapat dirumuskan sebagai impor daerah –daerah lain.

n n
Xi = ∑ Mji = ∑ mji Yj
j=I j=i
Ekspor daerah I = total impor daerah –daerah j dari daerah I = nilai m (marginal propensity to import)
daerah – daerah j dari daerah I dikalikan dengan tingkat pendapatan masing – masing setiap daerah j.
Dengan demikan, Richardson (dalam Sihotang, 1977:34) merumuskan persamaan pertumbuhan suatu
wilayah adalah :

si + mi - ∑mji Yj/Yi
gi =
vi
Catatan :

I X
= s+m -
Y Y
I S s.v s
= = di mana g =
Y Y v v
gi . vi = si + mi – (∑mji Yj)/Yi
si + mi – (∑mji Yj)/Yi
gi =
vi

berdasarkan rumus di atas maka agar suatu daerah tumbuh cepat atau gi tinggi, dikehendaki
agar : si (tingkat tabungan) = tinggi, mi (impor) = tinggi, ekspor = kecil, v i (capital output ratio/COR) =
kecil, artinya dengan modal yang kecil dapat meningkatkan output yang sama besarnya. Yang termasuk
dalam eskpor dan impor adalah barang konsumsi dan barang modal. Dalam model ini, kelebihan atau
kekurangan tabungan dan dengan tenaga kerja dapat dinetralisir oleh arus keluar atau arus masuk dari
setiap sektor di atas. Pertumbuhan yang mantap tergantung pada apakah arus modal dan tenaga kerja
interregional bersifat menyeimbangkan atau tidak. Pada model ini arus modal dan tenaga kerja searah
karena pertumbuhan membutuhkan keduanya secara seimbang. Dalam praktiknya, daerah yang
pertumbuhannya tinggi (daerah yang telah maju) akan menarik modal dan tenaga kerja dari daerah lain
yang pertumbuhannya rendah dan hal ini membuat pertumbuhan antar daerah menjadi pincang.
Artinya, daerah yang maju kian maju dan yang terbelakang akan makin ketinggalan. Jadi pertumbuhan
antar daerah akan mengarah kepada heterogenous (makin pincang).
Teori Harrod – Domar sangat perlu diperhatikan bagi wilayah yang masih terbelakang dan
terpencil atau hubungan keluarnya sangat sulit. Dalam kindisi seperti ini, biasanya barang modal sangat
langka sehingga sulit melakukan konversi anatara barang modal dengan tenaga kerja (lihat teori
Neoklasik). Untuk wilayah seperti itu, bagi sektor yang hasil produksinya tidak layak atau kurang
menguntungkan untuk diekspor (karena biaya angkut tinggi atau produk tidak tahan lama) maka
peningkatan produksi secara berlebihan mengakibatkan produk tidak terserap oleh pasar lokal dan
tingkat harga turun drastic sehingga merugikan produsen. Oleh karena itu, lebih baik mengatur
pertumbuhan berbagai sektor secara simbang. Dengan demikian, pertambahan produksi di satu sektor
dapat diserap oleh sektor lain yang tumbuh secara seimbang.

D. TEORI PERTUMBUHAN NEO KLASIK

Teori pertumbuhan Neoklasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dari Amerika Serikat
dan T.W. Swan (1956) dari Australia. Model Solow – Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk,
akumulasi capital, kemjuan teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Perbedaan utama
dengan model Harrod – Domar adalah dimasukkannya unsur kemajuan teknologi dalam modelnya.
Selain itu, Solow – Swan menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi
antara Kapital (K) dan tenaga kerja (L). dengan demikian, syarat – syarat adanya pertumbuhan yang
mantap dalam model Solow – Swan kurang restriktif disebabkan kemungkinan substitusi antara modal
dan tenaga kerja. Hal ini berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal – output dan rasio modal –
tenaga kerja. Teori Solow – Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan
keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mencampuri/mempengaruhi pasar.
Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiscal dan kebijakan moneter. Hal ini membuat
teori mereka dan pandangan para ahli lainnya yang sejalan dengan pemikiran mereka dinamakan teori
neoklasik. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber, yaitu akumulasi modal, bertmbahnya
penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau
kemajuan teknik sehingga produktivitas per kapita meningkat. Dalam model tersebut, masalah teknologi
dianggap fungsi dari waktu. Oleh sebab itu, fungsi produksinya berbentuk :

Yi = fi (K,L,t)
Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson (dalam Sihotang, 1977: 39) kemudian menderivasikan
rumus di atas menjadi sebagai berikut.

Yi = ai ki + (1 – ai) ni + T di mana :
Yi = Besarnya output
ki = Tingkat pertumbuhan modal
ni = Tingkat pertumbuhan tenaga kerja
Ti = Kemajuan teknologi
a = Bagian yang dihasilkan oleh factor modal
(1 – a) = Bagian yang dihasilkan oleh factor di luar modal
Agar faktor – faktor produksi selalu berada pada kapasitas penuh perlu mekanisme yang menyamakan
investasi dengan tabungan (dalam kondisi full employment). Dengan demikian, pertumbuhan mantap
membutuhkan syarat bahwa :

Yi
MPKi = ai =p
Ki
MPKi = Marginal productivity of capital
Jika p sudah tertentu dan a tetap konstan maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang
sama.
Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah :
∑ Ii = ∑ Si
i=1 i=1
(walaupun di suatu region tabungan bisa saja tidak sama dengan investasi)
Suatu daerah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio
tabungan domestik terhadap modal. Dalam pasar sempurna marginal productivity of labour (MPL)
adalah fungsi langsung tapi bersifat terbalik dari marginal productivity of capital (MPK). Hal ini bisa
dilihat dari nilai rasio modal tenaga kerja (K/L).
Apabila tiap daerah dimisalkan menghasilkan output yang homogeny dan fungsi produksi yang
identik maka di daerah yang K/L – nya rendah terdapat upah riil yang rendah tetapi MPK yang tinggi.
Sebagai akibatnya modal akan mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya
rendah karena akan memberikan balas jasa (untuk modal) yang lebih tinggi. Sebaliknya tenaga kerja
akan mengalir dari daerah upah rendah ke daerah upah tinggi. Mekanisme di atas pada akhirnya
menciptakan balas jasa faktor – faktor produksi di semua daerah sama. Dengan demikian,perekonomian
regional/pendapatan per kapita regional akan mengalami proses konvergensi (makin sama).
Teori Neoklasik sebagai penerus dari teori kalsik menganjurkan agar kondisi selalu diarahkan
untuk menuju pasar sempurna. Dalam kedaan pasar sempurna, perekonomian bisa tumbuh maksimal.
Sama seperti dalam model ekonomi klasik, kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan
hambatan dalam perdagangan termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin
kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus
diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan
kestabilan politik. Demikian pula model Neoklasik dangat memperhatikan faktor kemajuan teknik, yang
dapat ditempuh melalui peningkatan sumber daya manusia (SDM). Mutu SDM adalah menyangkut
keahlian dan moral, dan moral sangat dipengaruhi oleh aturan main yang berlaku. Hal khusus yang perlu
dicatat bahwa model Neoklasik mengasumsikan I = S. hal ini berarti kebiasaan masyarakat yang suka
menyimpan uang kontan dalam jumlah besar di rumah (bukan di Bank) tanpa tujuan khusus, akan
menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Paham Neoklasik
melihat peran kemajuan teknologi/inovasi sangat besar dalam memacu pertumbuhan wilayah. Oleh
sebab itu, pemerintah perlu mendorong terciptanya kreativitas dalam kehidupan masyarakat, agar
produktivitas per tenaga kerja terus meningkat. Analisis lanjutan dari paham Neoklasik menunjukan
bahwa untuk terciptanya seautu pertumbuhan yang mantap (steady growth), diperlukan suatu tingkat s
(saving) yang pas dan seluruh keuntungan pengusaha diinvestasikan kembali (di wilayah tersebut).
Terhadap teori Neoklasik perlu dibut catatan khusus tentang praktik yang ditempuh Negara –
Negara sedang berkembang. Banyak pemerintah Negara berkembang, misalnya Macan Asia (Jepang,
Korea, dan Taiwan) mendorong konglomerat berperan dalam perekonomian sehingga membuat pasar
menjadi tidak sempurna. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi :
a) Sejalan dengan teori ekonomi klasik, pengusaha perlu mendapat keuntungan yang memadai
karena dengan keuntungan itulah mereka bisa melakukan investasi baru dan menyerap tenaga
kerja tambahan;
b) Kondisi pasar dunia umumnya dikuasai oleh pengusaha dunia yang bertindak seperti mafia.
Pengusaha dunia tidak berhubungan dengan pengusaha kecil lokal, karena menurut mereka
tidak efisien. Jadi, agar dapat menembus pasar dunia, harus ada pengusaha yang dapat
menembus pasar/menjalin hubungan dengan pengusaha di luar negeri.

E. TEORI PERTUMBUHAN JALUR CEPAT YANG DISINERGIKAN

Teori pertumbuhan Jalur Cepat (Turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson (1955). Setiap
Negara/wilayah perlu melihat sektor/komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat
dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki competitive
advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat
memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat diproduksi dalam waktu yang relative singkat dan
volume sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut
harus dapat menembus dan mampu bersaing pada pasar luar negeri. Perkembangan sektor tersebut
akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan
tumbuh.
Mensinergikan sektor – sektor adalah membuat sektor – sektor yang saling terkait dan saling
mendukung. Misalnya, usaha perkebunan yang dibuat bersinergi dengan usaha peternakan.
Rumput/limbah perkebunan dapat dijadikan makanan ternak, sedangkan kotoran ternak bisa menjadi
pupuk untuk tanaman perkebunan. Contoh lain adalah usaha pengangkutan dan usaha perbengkelan.
Dengan demikian, pertumbuhan sektor yang satu mendorong pertumbuhan sektor yang lain.
Menggabungkan kebijakan jalur cepat (turnpike), dan mensinergikannya dengan sektor lain yang terkait
akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.
Selain itu, perlu diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi (Schumpeter dan lain – lain)
yang mengatakan bahwa kemajuan ekonomi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (enterpreneurship)
dalam masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan berani mengambil
resiko membuka usaha baru maupun memprluas usaha yang telah ada. Dengan pembukaan usaha baru
dan perluasan usaha tersedia lapangan kerja tambahan untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah
setiap tahunnya. Angkatan kerja yang tidak tertampung dapat menciptakan instabilitas keamanan
sehingga investor tidak berminat melakukan investasi dan ekonomi menjadi berhenti. Perekonomian
yang berhenti membuat makin banyak pencari kerja yang tidak tertampung sehingga instabilitas
bertambah parah. Apabila jaminan keamanan berusaha sudah tidak ada, investor yang sudah ada pun
akan merelokasi usahanya. Apabila hal ini terjadi akan terjadi depresi ekonomi dan kemakmuran
menjadi menurun.

F. TEORI BASIS EKSPOR RICHARDSON

Teori basis ekspor murni dikembangkan dalam kerangka ilmu ekonomi regional. Penganjur
pertama teori ini adalah Tiebout. Teori ini membagi kegiatan produksi/jenis pekerjaan yang terdapat di
dalam satu wilayah atas: pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (pelayanan), untuk menghindari
kesalahpahaman disebut saja sektor nonbasis. Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous
artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus berfungsi mendorong
tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Itulah sebabnya dikatakan basis, sedangkan pekerjaan service
(nonbasis) adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri. Oleh karena
itu, pertumbuhannyatergantung kepada kondisi umum perekonomian wilayah tersebut. Artinya, sektor
ini bersifat endogenous (tidak bebas tumbuh). Pertumbuhannya tergantung kepada kondidi
perekonomian wilayah secara keseluruhan. Perbedaan pandangan antara Richardson dan Tiebout dalam
teori basis adalah Tiebout melihatnya dari sisi produksi sedangkan Richardson melihatnya dari sisi
pengeluaran.
Walaupun teori basis ekspor (export base theory) adalah yang paling sederhana dalam
membicarakan unsur – unsur pendapatan daerah, tetapi dapat memberikan kerangka teoretis bagi
banyak studi empiris tentang multiplier regional. Jadi, teori ini memberikan landasan yang kuat bagi
studi pendapatan regional walaupun dalam kenyataannya perlu dilengkapi dengan kebijakan lain agar
bisa digunakan sebagai pengatur pembangunan wilayah yang komprehensif.
Pada mulanya teori basis ekspor hanya memasukkan ekspor murni ke dalam pengertian ekspor.
Akan tetapi, kemudian orang membuat definisi ekspor yang lebih luas. Ekspor tidak hanya mencakup
barang/jasa yang dijual ke luar daerah tetapi termasuk juga di dalamnya barang atau jasa yang dibeli
orang dari luar daerah walaupun transaksi itu sendiri terjadi di daerah tersebut. Kegiatan lokal yang
melayani pariwisata adalah pekerjaan basis karena mendatangkan uang dari luar daerah. Demikian pula
kegiatan lokal di perkotaan seperti restoran, bengkel, usaha grosir, dan swalayan yang melayani orang
dari luar daerah adalah pekerjaan basis. Asrama militer biasanya juga dikatagorikan sebagai pekerjaan
basis karena mereka dibayar oleh pemerintah pusat. Jadi pada intinya, kegiatan yang hasilnya dijual ke
luar daerah atau mendatangkan uang dari luar daerah adalah kegiatan basis sednagkan kegiatan service
(nonbasis) adalah kegiatan yang melayani kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri, baik pembeli
maupun sumber uangnya berasal dari daerah itu sendiri.
Teori basis ekspor membut sumsi pokok bahwa ekspor adalah satu – satunya unsure eksogen
(independen) dalam pengeluaran. Artinya, semua unsur pengeluaran lain terikat (dependen) terhadap
pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti di luar pertambahan alamiah, hanya peningkatan
ekspor saja yang dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor – sektor lain terikat
peningkatannya oleh peningkatan pendapatan daerah. Sektor lain hanya meningkat apabila pendapatan
daerah secara keseluruhan meningkat. Jadi, satu –satunya yang bisa meningkat secara bebas adalah
ekspor. Ekspor tidak terikat di dalam siklus pendapatan daerah. Asumsi kedua ialah bahwa fungsi
pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan (intercept).
Harry W. Richardson dalam bukunya Elements of Regional Economics (terjemahan Paul Sihotang,
1997:7) memberi uraian sebagai berikut.
Berkenaan dengan daerah I dapat dituliskan :
Yi = (Ei – Mi) + Xi ……………………………………………………………………… (1)
Pendapatan = pengeluaran untuk barang/jasa domestik + ekspor, di mana:
Ei = e i Y i ………………………………………………………………. (2)
Mi = m i Y i ………………………………………………………………. (3)

Xi = X (eksogen) ………………………………………………………………. (4)

Di mana :
ei = Marginal propensity to expenditure (hasrat membelanjakan uang)
mi = Marginal propensity to import (hasrat membeli barang impor)
Dengan mensubstitusikan fungsi – fungsi (2), (3), dan (4) ke dalam no (1), maka :
Yi = ei Yi – mi Yi + Xi , dengan demikian :

Xi
Yi =
1 – ei + mi ……………………………………………………………… (5)

Jika fungsi no (5) diubah susunannya maka :


Yi 1
=
Xi 1 – e i + mi …………………………………………………………….. (6)

Yi
adalah rasio pendapatan terhadap ekspor yang disebut multiplier basis diberi symbol K.
Xi

1
Yi =
1 – ei + mi ……………………………………………………………… (7)

Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor, jika hasrat membelanjakan secara lokal (e – m)
adalah lebih kecil daripada satu. Hasil yang diperoleh adalah multiplier basis rata – rata sedangkan untuk
∆Yi
peramalan diperlukan perubahannya, yaitu
∆X i
Apabila multiplier basis secara rata – rata sama dengan perubahannya maka hasil K tersebut dapat
digunakan sebagai alat peramalan.
Misalnya, apabila K = 2 dan tahun depan kita mengharapkan dapat meningkatkan ekspor sebesar Rp
1.000.000,00 maka besarnya tambahan pendapatan masyarakat untuk tahun depan adalah 2 x Rp
1.000.000,00 = Rp 2.000.000,00.
Model teori basis ini sangat sederhana sehingga mempunyai kelemahan. Kelemahan teori basis antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Menurut Richardson, besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu daerah.
Artinya, makin besar suatu daerah, ekspornya semakin kecil apabila dibandingkan dengan total
pendapatan, demikian pula impornya. Hal ini membuat daerah yang besar cenderung memiliki K
yang tinggi karena rasio pendapatan ekspor adalah rendah, tetapi m juga rendah dan ini
cenderung menaikkan K. sebaliknya, daerah yang kecil maka rasio pendapatan ekspor adalah
tinggi, tetapi m juga tinggi dan ini cenderung menurunkan K. jadi, K bisa dirubah apabila luas
daerah analisis diubah. Dengan demikian, K sulit dijadikan pegangan tunggal dalm peramalan
apabila luas daerah berubah dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya.
2. Ekspor jelas bukan satu – satunya faktor yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Ada
banyak unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti bantuan dari
pemerintah pusat, investasi dari luar, dan peningkatan produktivitas masyarakat.
3. Dalam studi atas suatu wilayah maka multiplier basis yang diperoleh adalah rata – ratanya dan
bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis rata – rata untuk proyeksi seringkali
menghasilkan hasil yang keliru apabila ada tendensi perubahan nilai multiplier dari tahun ke
tahun.
4. Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi
maka masalah time – lag (masa tenggang) harus diperhatikan. Masa tenggang berarti
penggandaan tidak berlangsung secara cepat, yaitu dibutuhkan waktu antara terjadinya
kenaikan ekspor (sektor basis) dengan respon sektor nonbasis. Ada pakar yang mengatakan hal
ini dapat diatasi dengan menghitung pengganda basis dengan menggunakan data time – series
selama tiga sampai lima tahun.
5. Ada studi lainnya yang menunjukkan bahwa ada wilayah yang tetap berkembang pesat
walaupun ekspor wilayah relative kecil. Pada umumnya hal ini hanya dapat terjadi di wilayah
yang terdapat banyak ragam kegiatan. Dan satu kegiatan saling membutuhkan terhadap produk
dari kegiatan lainnya. Jadi, dalam hal ini tercipta suatu pasar yang tertutup tetapi dinamis. Suatu
pasar tertutup dapat bersifat dinamis/berkembang apabila syarat – syarat keseimbangan seperti
yang dituntut dalam teori Harrod – Domar dapat terpenuhi.

G. MODEL PERTUMBUHAN INTERREGIONAL (PERLUASAN DARI TEORI BASIS)

Model ini adalah perluasann dari teori basis ekspor, yaitu dengan menambah factor – factor
yang bersifat eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya membahas daerah itu sendiri tanpa
memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Model ini memasukkan dampak dari daerah tetangga,
itulah sebabnya maka dinamakan model interregional. Dalam model ini diasumsikan bahwa selain
ekspor pengeluaran pemerintah dan investasi juga bersifat eksogen dan daerah itu terikat kepada suatu
system yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan erat. Richardson (dalam Sihotang, 1997:9)
dengan memanipulasi rumus pendapatan yang dikemukakan pertama kali Keynes, merumuskan model
interregional ini sebagai berikut.

Pendapatan Daerah adalah

Yi = Ci + Ii + Gi + Xi – Mi ……………………………………………………….. (8)
Pendapatan = Konsumsi + Investasi + Pengeluaran Pemerintah + Ekspor – Impor
Di mana : Ci = ai + ci Y di ………………………………………………….. (9)
Y di = Disposable Income
ci = Marginal Propensity to consume
Ii = Ii ……………………………………………… (10)
Gi = Gi ………………………………………………….. (11)
Xi = ∑Mji = ∑mji Yj ………………………………………………….. (12)
j=1 j=1
Di mana : Mi = ∑mij Yid …………………………………………….. (13)
Yid = Yi - Ti …………………………………………….. (14)
Ti = ti - Yi ……………………………………………… (15)
Di mana : t = Tingkat pajak marginal
Ai = ai + Ii + Gi ……………………………………………. (16)
Di mana : Ai = Pengeluaran otonom total

Jika persamaan – persamaan (9) – (16) dimasukkan ke dalam persamaan no (8) dan ditata
kembali dalam rumus pendapatan daerah (Richardson dalam Sihotang, 1977:9) :

Ai + ∑mji Yj (1 – t)
Yi =
1 – (ci - ∑mij) (1 - ti) ……………………………………. (17)

Arti dari rumus ini adalah pendapatan daerah I terdiri dari penjumlahan pengeluaran otonom
ditambah dengan ekspor dikali multiplier regional.

Multiplier Regional adalah

1
K =
1 – (ci - ∑mij) (1 - ti)

Model no (17) dapat disederhanakan menjadi:


Yi = A + Ki . Xi
Pendapatan regional = pengeluaran otonom ditambah ekspor dikali multiplier.
Model ini berbeda dari model basis ekspor terdahulu. Dalam model interregional, perubahan
pendapatan regional dapat berasal dari beberapa sumber, dan tidak lagi semata – mata dari
perubahan ekspor.
Sumber – sumber perubahan pendapatan regional meliputi :
1. Perubahan pengeluaran otonom regional (misalnya investasi dan pengeluaran
pemerintah);
2. Perubahan tingkat pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang berada
dalam suatu system yang akan terlihat dari perubahan ekspor daerah i;
3. Perubahan salah satu di antara parameter – parameter model (hasrat konsumsi
marginal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak marginal).

Richardson berpendapat bahwa suatu hal yang sangat berguna dari model ini adalah
bahwa umumnya Ci ≠ Cj. keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan
nasional. Jika kapasitas regional bukan merupakan pembatas, kenaikan pendapatan regional
akan maksimum jika pengeluaran – pengeluaran pemerintah dipusatkan pada daerah – daerah
di mana C paling tinggi (biasanya daerah yang paling terbelakang). Suatu injeksi investasi di
daerah i tidak hanya menaikkan pendapatan (menaikkan A) di daerah yang bersangkutan, tetapi
juga menyebarkan kekuatan pendorong kepada daerah – daerah sekitarnya yang saling
berhubungan melalui kenaikan impor. Dalam model di atas terlihat bahwa ekspor tidaklah betul
– betul bebas karena ekspor adalah penjumlahan impor daerah – daerah tetangga dari daerah
kita. Hal ini berarti bahwa peningkatan perekonomian di daerah tetangga dapat dimanfaatkan.
Mengenai impor daerah – daerah tetangga, faktor yang sangat menentukan adalah tingkat
pendapatan dari daerah – daerah tetangga. Namun demikan, ada faktor lain yang bisa
mempengaruhi impor daerah tetangga tersebut, yaitu masalah neraca pembayaran
antardaerah.
Sebagaimana suatu Negara, daerah – daerah pun dapat mengalami kesulitan dalam
neraca pembayaran. Memang hal ini jarang dipublikasikan karena dianggap tidak begitu penting
sedangkan pencatatannya cukup rumit. Lagi pula mekanisme penyesuaian neraca pembayaran
antardaerah bekerja lebih efektif apabila dibandingkan dengan antarnegara. Hal ini karena
terdapatnya kebebasan perpindahan orang dan barang antardaerah.
Misalnya pada mulanya terdapat keseimbangan dalam neraca pembayaran
antardaerah. Kemudian ada satu daerah yang memperoleh injeksi investasi. Akibatnya, impor
daerah tersebut meningkat (impor terdorong – induced import). Apabila injeksi investasi
mampu menaikkan ekspor daerah itu dan daerah lain juga meningkat impornya karena
kenaikan pendapatan dan semua terjadi dalam proporsi yang tepat, keseimbangan neraca
pembayaran antardaerah dalam volume yang lebih besar dapat tercipta kembali.
Hal ini dapat diperjelas dalam diagram berikut dengan asumsi hanya ada tiga daerah I, j, dan k.

Injeksi investasi di daerah i  Impor daerah i

Ekspor daerah j meningkat


Meningkat ↗

Ekspor daerah k meningkat

 Impor daerah j meningkat



Ekspor daerah i meningkat

 Impor daerah k meningkat

Akan tetapi, seringkali proporsi perubahan impor masing – masing daerah tidak tepat sama,
sehingga bisa menimbulkan masalah neraca pembayaran.
Masalah neraca pembayaran (NP) yang tidak seimbang apabila tidak bersifat kronis
masih bisa diatasi dengan berbagai mekanisme penyesuaian, misalnya :
1. Surplus impor dapat bertahan jika investasi somestik lebih besar dari tabungan lokal.
Artinya, ada dana investasi yang mengalir dari luar untuk membiayai surplus impor
tersebut;
2. Ketidakseimbangan sementara dalam NP suatu daerah dapat diatasi dengan arus dana
jangka pendek (missal, melalui transfer di antara cabang – cabang bank);
3. Ketidakseimbangan yang berkelanjutan dapat disesuaikan apabila ada pengusaha dari
daerah surplus ekspor bersedia menanamkan modalnya ke daerah surplus impor. Hal ini
bisa terjadi jika penanaman modal itu cukup menarik dan kenaikan impor disebabkan
oleh kenaikan pendapatan daerah tersebut. Penanaman modal jangka panjang ke suatu
daerah berarti mengalirkan modal ke daerah tersebut;
4. Ketidakseimbangan dalam volume barang – barang yang diangkut seringkali
menciptakan penyesuaian sendiri (otomatis) karena perusahaan pengangkutan bersedia
mengurangi ongkos angkut pada salah satu jalur agar terdapat cukup barang yang dapat
diangkut untuk pulang pergi.
Persoalan – persoalan yang kronis biasanya timbul di suatu daerah yang mengalami
kemerosotan ekspor karena dalam keadaan seperti ini modal malah cenderung mengalir keluar
dan pihak luar enggan untuk berinvestasi ke daerah tersebut. Dari uraian di atas dapat dibuat
dua skenario tentang pertumbuhan antardaerah.

Skenario :
a. Surplus impor karena peningkatan pendapatan  investasi masuk  tenaga kerja
masuk  impor meningkat  mendorong ekspor daerah sekitarnya  impor daerah
sekitarnya meningkat  ekspor daerah i meningkat  pemerataan pembangunan.
b. Surplus impor karena produksi merosot  investasi keluar  migran tenaga kerja
keluar  impor daerah luar meningkat  ekspor daerah i meningkat  menjadi sadle –
point untuk daerah i tetapi dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah 
pembangunan antardaerah makin pincang.

Masalah kunci untuk daerah i adalah pada saat impor daerah sekitarnya meningkat,
seberapa jauh kebutuhan impor dapat dipenuhi daerah i. apabila ekspor daerah i hanya
meningkat sedikit, daerah akan tertinggal. Sebaliknya, apabila ekspor daerah i naik cukup tinggi
maka pendapatan daerah i akan meningkat. Dalam model pertumbuhan interregional terlihat
bahwa kemampuan untuk meningkatkan ekspor sangat berpengaruh dalam menjamin
kelangsungan pertumbuhan suatu daerah dan menciptakan pemerataan pertumbuhan
antardaerah.

H. KEBIJAKAN UMUM PENGEMBANGAN WILAYAH


Dari berbagai teori/model yang telah diuraikan terdahulu akan dicoba untuk
menyimpulkan langkah – langkah/kebijakan yang perlu ditempuh oleh seorang kepala
daerah/perencana pembangunan daerah untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di
daerahnya, yang secara umum berarti meningkatkan perekonomian daerah tersebut. Langkah –
langkah itu dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Sejalan dengan teori basis ekspor, perlu didorong pertumbuhan dari sektor – sektor
yang hasil produksinya dapat dijual ke luar daerah atau mendatangkan uang dari
luar daerah, terutama ekspor ke luar negeri. Sebetulnya usaha untuk menjual suatu
produk ke luar daerah tidak mudah. Apabila daerah lain juga menghasilkan produk
yang sama, daerah itu harus mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang
lebih baik atau minimal sama tetapi dengan harga pokok yang lebih rendah (efisien).
Hal sama juga berlaku untuk pemberian jasa yang bisa mendatangkan
pelanggan/uang dari luar daerah, misalnya pariwisata.
Sebagai akibat krisis ekonomi, banyak masyarakat golongan bawah yang terpaksa
dibantu oleh pemerintah. Ada bantuan yang bersifat materi (contoh: beras
bersubsidi, BLT atau Bantuan Langsung Tunai), tetapi ada juga dalam bentuk
penyediaan lapangan kerja (sementara) dan bantuan modal kepada pengusaha kecil
dan menengah (UKM). Sesuai dengan teori basis bagi bantuan tersebut, harus
diarahkan ke sektor basis (ekspor) dan bukan ke sektor pelayanan, dampak
penggandanya bersifat jangka pendek dan tidak membuat volume kegiatan ekonomi
bertambah secara permanen. Unit usaha yang dibantumemang berkembang, tetapi
dengan mengirbankan unit lain yang tidak dibantu. Hal ini terjadi karena total daya
beli masyarakat terhadap barang dan jasa tidak bertambah. Apabila jumlah usaha
bertambah tetapi daya beli total tidak naik, pendapatan rata-rata per unit usaha
menjadi menurun. Apabila bantuan itu ditujukan ke sektor basis, akan tercipta efek
pengganda karena tidak ada unit usaha yang dirugikan. Menciptakan lapangan kerja
di sektor basis memerlukan perencanaan secara matang dan memerlukan kerja
sama yang baik dengan berbagai pihak. Ada baiknya penganggur diarahkan untuk
bekerja pada UKM yang bergerak di sektor basis. Pemerintah dapat memberikan
bantuan modal lunak kepada UKM yang bergerak di sektor basis dengan syarat UKM
tersebut dapat merekrut penganggur (yang sudah didaftar oleh pemerintah). Upah
para pekerja ini 50% ditanggung pemerintah dan 50% ditanggung UKM yang
bersangkutan. Dengan adanya tenaga kerja yang upahnya disubsidi diharapkan UKM
dapat berproduksi dengan biaya yang lebih murah sehingga lebih mampu
memasarkan produknya ke luar negeri. Apabila UKM dapat berkembang, diharapkan
UKM tersebut dapat mempekerjakan penganggur secara kontinu walaupun tidak
mendapat subsidi lagi dari pemerintah sehingga tercipta lapangan kerja permanen.
2. Sejalan dengan teori Harrod – Domar, harus diperhatikan produk – produk yang
hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan lokal. Sebaiknya produk tersebut dapat
diekspor dengan meningkatkan mutu produk tersebut, akan tetapi, apabila produk
tersebut belum dapat diekspor , peningkatan produksi untuk komoditi itu tidak perlu
didorong melebihi kebutuhan lokal karena akn menurunkan harga dan merugikan
produsen.misalnya, bantuan kredit kepada perajin sepatu yang akhirnya macet
karena produksi meningkat tepai pasar tidak berkembang. Ada baiknya beberapa
sektor didorong secara bersamaan secara sedikit demi sedikit agar kenaikan
produksi dapat diserap sektor lainnya.
3. Sejalan dengan teori ekonomi klasik atau Neoklasik, harus diusahakan prasarana dan
sarana perhubungan yang baik dan lancar, mempermudah arus keluar masuk orang
dan barang, serta perbaikan arus komunikasi dan penyebarluasan informasi.
Diusahakan untuk memenuhi asumsi dasar yang terdapat pada teori Neoklasik yaitu
pasar yang sempurna, baik untuk pasar barang maupun pasar tenaga kerja. Teori
Neoklasik menekankan perlunya peran pemerintah menjaga keamanan dan aturan
main di antara pelaku ekonomi.
4. Sejalan dengan model interregional perlu diusahakan masuknya dana investasi dari
pemerintah pusat atau investor luar ke daerah kita dengan cara menawarkan
program – program yang bisa dibiayai. Begitu pula dengan para investor lokal agar
mau menginvestasikan modal mereka ke daerah kita.
5. Melihat berbagai kemungkinan untuk menambah ekspor barang atau jasa ke daerah
tetangga yang mungkin lebih berkembang dari daerah kita.
6. Masyarakat didorong untuk mencintai dan mengkonsumsi produk lokal dan industri
didorong untuk lebih banyak memakai bahan baku lokal dengan mutu yang bagus
agar tetap mudah untuk masuk ke pasar ekspor.

Teori Lokasi: “ Pemilihan Lokasi Kegiatan” (sumber:


www.ut.wc.id/html/suplemen/espa4425/espa4425a/data2.swf)

Anda mungkin juga menyukai