Anda di halaman 1dari 4

Suara alarm subuh berbunyi disusul adzan dari masjid dekat rumahnya

membangunkan Rara dari tidur nyenyaknya. Lamat-lamat dia membuka matanya yang masih
terasa berat sambil meregangkan badan untuk mengumpulkan tenaga. Tak berapa lama,
seperti biasa, tersengar suara ketukan pintu kamar.

“Ra.. Rara... ayo bangun, ini sudah subuh,” kata ibu Rara dari balik pintu.

“Iya bu, Rara udah bangun kok,” sahut Rara dengan suara parau.

“okeee... tapi jangan tidur lagi yaa.” Lanjut ibunya.

“siaap, Bu”

Rara, gadis bungsu 15 tahun itu memang manja dan agak keras kepala. Namun, ayah ibunya
selalu mendidik dia dan juga kakaknya untuk taat dalam menjalankan ibadah, sehingga untuk
perkara tersebut tidak boleh ada kata malas dalam kamus keluarga mereka. Meskipun hari
libur Rara harus tetap bangun subuh untuk menjalankan ibadah rutin yakni sholat shubuh dan
tilawah Al-Qur’an bersama.

“Ra, hari ini bantu ibu membersihkan rumah ya. Gudang perlu dibereskan, nanti kita
pilah barang-barang yang sudah waktunya dibuang” kata ibu pada Rara saat mereka sedang
sarapan di meja makan. Wajah Rara langsung cemberut, “Tapi bu... ini kan hari libur,
waktunya santai. Lagipula Rara ada tugas yang harus dikumpulkan besok dan mau Rara
kerjakan pagi ini.”

“Ya justru karena ini hari libur, Ra... jadi kamu punya waktu untuk membantu ibu,” timpal
ayah Rara

“Tau tuh si Rara, emang kalau bukan hari libur kamu mau bantu ibu? Paling juga alasan
ngerjain tugas lah, banyak PR lah” sahut Indra, kakak Rara.

“lah emang kakak ngapain nanti? Kakak ajalah yang bantuin ibu beresin gudang. Kakak kan
lebih gede, ngalah lah sama adek semata wayangnya nih” ujar Rara mencoba mencari alasan
untuk menghindari permintaan ibunya

“Kakak tuh mau bantuin ayah beresin halaman rumah sama mencuci motor dan mobil, Ra”
jawab Ibu. “Yaudah kalau Rara gabisa gak papa kok, ibu bisa beresin sendiri gudangnya”
lanjut ibu Rara sambil memberi kode kepada yang lain supaya tidak ada pembicaraan lebih
lanjut.
Rara kemudian masuk ke kamarnya setelah sebelumnya berpamitan mau mengerjakan
tugas. Di kamarnya Rara merebahkan tubuh di kasur sambil mengulik gadgetnya, memeriksa
pesan masuk dan melihat-lihat beranda media sosial miliknya. Satu jam, dua jam berlalu
sementara Rara masih diposisi yang sama, rebahan diatas kasurnya. Rara sedikit terkejut
tatkala melihat jam berlalu dengan cepat, sementara tugas yang tadinya akan dikerjakannya
masih tak tersentuh sama sekali. “yaudahlah nanti sore aja, masih banyak waktu juga”
gumamnya sambil menatap layar ponselnya. Sampai kemudia rasa haus memaksanya
bangkit menuju dapur.

“Udah selesai Ra tugasnya?” Kak Indra muncul tiba-tiba mengagetkan Rara yang tengah
meneguk segelas air. “Eh... anu, iya kak belum eh.. sudah” jawab Rara terbata antara kaget
dan kikuk karena harus berbohong. “ooh...” kata kak Indra sambil berlalu meninggalkan
Rara. Hufff.... Rara menarik nafas lega. Jauh di lubuk hatinya ada perasaan bersalah karena
telah berbohong, tapi sisi lain dirinya merasa itu keterpaksaan saja.

Selepas Ashar, Rara mulai berkutat dengan tugas-tugasnya. Rara sadar harusnya pagi
tadi dia bisa membantu ibunya dulu, tapi rencananya kan memang dia mau mengerjakan
tugas dipagi hari walau rencana itu akhirnya buyar karena dia terlena dengan aktivitas
onlinenya dan Rara merasa itu ketidaksengajaan. Namun, baru sepertiga tugas terselesaikan
tiba-tiba terdengar suara panik ayah di luar kamar.

“Indraaa... Raraa... cepat kesini... bantu ayaah segera!.” teriak ayah dengan nada cemas

Kontan saja Rara berlari keluar kamar dan dilihatnya ayah tengah berusaha mengangkat
ibunya yang tak sadarkan diri.

“Ibuuuu... ibuuuu apa yang terjadi pada ibu , yah?” Rara mulai panik, suaranya bergetar
seiring perasaannya yang hancur melihat wajah ibunya yang pucat pasi.

Rara mondar-mandir di lorong rumah sakit, tepat didepan ruang UGD dimana ibunya
sedang diperiksa oleh dokter. Kekhawatiran tampak jelas menggayut di raut wajahnya
sementara bibirnya tak berhenti melantunkan doa-doa untuk ibunya. Sementara itu, ayah Rara
berdiri mematung di sisi pintu UGD dan kakaknya, Indra, tampak tak tenang di kursi tunggu.

“Duduk sini, Ra!. Kalau kamu mondar-mandir terus begitu malah bikin kita makin cemas!.”
Celetuk kak Indra memecah keheningan.

“ Mana bisa duduk kak, orang sedang cemas gini.” jawab Rara.
“Emang orang cemas harus mondar-mandir gitu!” kata kak Indra tak mau kalah.

“sudah-sudah... lebih baik kalian berdoa daripada ribut begitu” sergah ayah berusaha
menengahi.

Sudah setengah jam berlalu dan belum ada kabar tentang kondisi ibunya membuat Rara
semakin cemas. Rara merasa sangat bersalah, mungkin jika dia membantu ibunya pagi tadi
semua ini tidak akan terjadi, ibunya tidak akan kelelahan dan pingsan. Rara merasa dirinyalah
penyebab ibunya jatuh sakit.

“Keluarga ibu Sany?” , seorang perawat keluar dari ruang UGD dan menyerukan
nama ibu Rara. Spontan Rara, ayah, dan kakaknya mendekat bersamaan.

“Bagaimana kondisi istri saya, sus?” tanya ayah Rara tak sabar.

“Bapak, silahkan ikut saya bertemu dokter ya, nanti biar dokter yang menjelaskan.” terang
perawat itu dengab tenang.

“Tapi sus, kondisi ibu saya baik-baik saja kan?, ibu saya apa sudah siuman?” tanya kak Indra
menambahkan.

“iya, tapi belum boleh dijenguk dulu ya. Nunggu ijin dokter dulu” jelas perawat itu membuat
Rara kecewa karena tidak bisa segera bertemu ibunya.

“Mari pak, dokter sudah menunggu kita” perawat itu berpaling masuk kembali ke ruang UGD
dan disusul ayah Rara.

Rara dan kak Indra saling berpandangan, keduanya tak bisa menyembunyikan
kegalauan mereka. Jika ibunya sudah siuman kenapa tidak boleh dijenguk sekarang. Apakah
ada hal serius tentang kesehatan ibunya, sehingga dokter harus berbicara empat mata dengan
ayahnya. Berbagai pikiran buruk hinggap di kepala Rara membuatnya tak mampu lagi
menahan ledakan tangisnya.

“Ini semua salah Rara kak... ini semuaa gara-gara Rara” ucap Rara putus asa

“Tenang, Ra... tenang... jangan seperti ini.” Kak Indra menepuk-nepuk pundak Rara,
berusaha menenangkannya.

“Coba Rara pagi tadi mau membantu ibu, mungkin ibu tidak akan kelelahan dan pingsan. Ini
semua salah Rara kak Indra” Rara terus terisak dalam tangis penyesalannya.
“Sudah, Ra... ayo kita doakan supaya ayah membawa kabar baik setelah bertemu dokter” kata
kak Indra lagi.

Tak berselang lama, ayah keluar dari UGD sambil menenteng beberapa berkas dengan
wajah sendu. Melihat itu, hati rara semakin ciut.

“Bagaimana yah? Ibu baik-baik saja kan? Ibu hanya kecapekan saja kan?” kak Indra
langsung memberondong ayah dengan berbagai pertanyaan.

“iyaa ibu tidak apa-apa. Ibu hanya kurang darah dan keletihan, perlu banyak istirahat
beberapa hari ini.” Kata ayah sambil tersenyum.

Seketika dada Rara terasa lapang, dia menangis bahagia. “Alhamdulillah... ya Allah” seru
Rara sambil mengusap wajahnya.

“Ayah mau ke kasir dulu untuk membayar biaya administrasi. Kalian bersiap sholat maghrib
dulu di mushola rumah sakit ya, nanti ayah menyusul.

“ Ibu bisa pulang malam ini juga kah, yah?” tanya Rara sumringah.

“ Iya, nanti setelah sholat maghrib dan ayah ambil obat di apotek kita pulang ya.” Jawab ayah
sambil mengelus kepala Rara.

Di dalam mobil Rara tak lepas mendekap ibunya. “Bu, Rara menyesal... lain kali Rara
akan siap membantu ibu apapun yang ibu perintahkan” ucap Rara sambil menyandarkan
kepalanya di bahu ibunya. “Hahaha Rara rara, nunggu ibu sakit dulu baru mau bantu-bantu”
sahut kak Indra dari bangku depan. “Yaa gak gituuu kaak...” jawab Rara disusul derai tawa
ibu, ayah dan kakanya. Rara hanya manyun saja menanggapi keusilan kakaknya. Dalam hati
dia merasa malu karena selama ini suka menolak untuk membantu pekerjaan rumah ibunya.
Diapun berjanji pada dirinya sendiri untuk bisa membahagiakan ibunya meski hanya dengan
membantu meringankan tugas-tugas ibunya.

Anda mungkin juga menyukai