Anda di halaman 1dari 2

Kuliah di Luar Negeri, Gengsi atau Kebutuhan?

Oleh: Nukhbah Shalihah

Pendapat bahwa mengemban bangku kuliah di luar negeri lebih menjamin masa depan
sering kali terdengar di kalangan masyarakat. Mereka menganggap bahwa lulusan universitas
luar negeri terkesan lebih mumpuni baik dari segi ilmu, wawasan, maupun mental. Dan begitu
kembali ke Indonesia, lulusan luar negeri dianggap lebih diperhitungkan di dunia kerja.

Menjadi kompetitif secara global memang adalah suatu keniscayaan di situasi dimana
dunia menjadi semakin terbuka dan unprotected. Tapi apakah itu menjadi satu-satunya alasan
orang memilih kuliah di luar negeri?

Ternyata masih banyak orang yang memilih ke luar negeri karena harga diri atau gengsi.
Doktrin di masyarakatlah yang mempengaruhi keputusan orang tersebut. Kuliah di luar negeri
lebih menjamin masa depan. Pendidikan di Indonesia tidak bermutu. Pencapaian seorang anak
harus melebihi orangtuanya. Orangtua kaya, anak malu kuliah dalam negeri. Atau lebih parah
anak merasa tidak pantas baginya untuk tetap berada di dalam negeri.

Ironis memang. Tapi sejatinya kepribadian anak itu dibentuk oleh lingkungan sekitarnya.
Dan doktrin di masyarakat tidak bertumbuh dengan sendirinya. Ketika mereka berkata bahwa
kuliah di luar negeri lebih menjamin masa depan, hal itu memang ada benarnya. Kondisi
lingkungan yang berbeda dan tidak familier menuntut seseorang untuk terus berkembang. Hal itu
kemudian meningkatkan soft-skill orang tersebut, membuatnya lebih cerdas secara emosional,
dan meluaskan koneksinya secara global.

Doktrin bahwa Pendidikan dalam negeri bermutu rendah juga ada benarnya. Sistem
pengajaran luar negeri yang mengedepankan diskusi dan mengemukakan pendapat secara
terbuka, dan juga belajar di lingkungan sangat kental nuansa internasionalnya dapat melatih
orang menjadi lebih kritis, dapat memahami dan menyelesaikan bermacam masalah dengan
pendekatan multikultur. Hal ini kurang dapat diperoleh dengan menempuh pendidikan di dalam
negeri, yang secara umum masih berorientasi ke pengetahuan kognitif semata dan menempatkan
indeks prestasi (IP) masih menjadi indikator utama.

Selain itu, tuntutan masyarakat pada anak agar melebihi pencapaian orangtuanya adalah
sesuatu yang sangat berpengaruh. Apabila diutarakan secara positif ia akan menjadi motivasi
yang baik bagi anak untuk terus berkembang. Akan tetapi di sisi lain ia juga menumbuhkan sikap
minder dan gengsi pada anak. Bayangkan apabila orangtuanya adalah direktur utama suatu
perusahaan besar dan mendapat gelar di universitas ternama dunia. Orangtua biasanya akan
memberi batas standar anaknya dengan kuliah di minimal universitas yang sama. Jika
masyarakat menuntut lebih, apakah anak itu harus kuliah di luar bumi ini?

Pendapat dan doktrin-doktrin tentu terus berkembang di masyarakat. Ketika kelak


berdampak negatif maka tak seharusnya masyarakat mutlak disalahkah. Karena sekali lagi, tak
ada suatu hal yang tumbuh dengan sendirinya. Selalu ada sebab. Oleh karena itu setiap pihak
baik pemerintah maupun masyarakat itu sendiri harus senantiasa melakukan perbaikan dan
menerima aspirasi yang berkembang senegatif apapun konotasinya, baik dengan perbaikan mutu
pendidikan ataupun pemakluman bahwa setiap insan memiliki kemampuan dan batasnya masing-
masing.

Anda mungkin juga menyukai