Anda di halaman 1dari 20

Shadow

Hari ini, tepatnya pukul 8 pagi, bayanganku tiba-tiba bergerak. Keadaan sekitarku asing, penuh tepuk tangan
penonton seraya mengelu-elukan namaku. Dan aku sadar sepenuhnya, aku sedang berada di sebuah arena
pertandingan, melawan monster di depanku, dan aku tidak tahu apa yang terjadi. Cling. Sesuatu berbunyi. Aku
segera bangun dari tidur lelapku dan mencari sumber suara, yang ternyata berada di pergelangan tanganku. Sebuah
layar, yang berisi kebutuhan milik bayanganmu. Shadow, yaitu bayangan milik dirimu sendiri, yang dimana di
dunia ini dijadikan pertaruhan hidup dan mati berdasarkan level. Pertarungan antar Shadow akan sangat ditunggu-
tunggu oleh warga di sekitar sini. Yang mana hadiahnya berupa naik level, cash, senjata, pelindung, tempat tinggal.
Bahkan, kau bisa meminta pendamping hidupmu. Di layarku tertera gambar bayanganku, level 25, sebuah
powerful sword dan armor dari baja, cash sebanyak 35.000. Setelah apa yang terjadi akhir-akhir ini, aku mulai
mengerti.

Aku terjebak di Lucel World -kata mereka- yang isinya adalah mereka-mereka yang terjebak di dunia ini, sebuah
game. Jika ingin ke luar dari sini, maka harus menyelesaikan game sampai level milikmu mencapai level 50. Maka,
kau secara otomatis akan ke luar dari dunia ini. Dari beberapa orang yang ku wawancarai, mereka tidak ingin
meninggalkan dunia ini. Maka aku akan menjadi yang pertama yang ke luar dari sini. Cling. Layarku berbunyi lagi.
Shilen Meminta anda untuk bertarung melawannya. Terima atau tidak? Ku buka profil milik bayangannya. Level,
sword, pelindung, cashnya terbilang sudah sangat profesional. Taruhan yang ditawarkannya yakni naik menjadi
level 37. Sedikit lagi menuju 50, maka aku akan ke luar dari sini. Klik. Terima. Welcome home, babies.

Pukul 19:00. Tepat diadakannya pertandingan bayanganku, Shadow Assasins dan Eureka -usernya- dengan shadow
miliknya, Shilen. Aku mengamati bayangan miliknya di layarku. Mulai dari perlengkapan sampai skillsnya. Aku
siap. Aku memasuki arena. Eureka beserta bayangannya telah menunggu di podium yang ada di barat dan timur.
Podium itu bertugas sebagai tempat sang owner, yaitu pemilik shadow tersebut mengendalikan shadownya dengan
tombol tombol yang tersedia di podium tersebut. Eureka dengan jubah merahnya tersenyum mengejek lalu
menjabat tanganku.

“Hei amatir, kau siap?” ucapnya menantang.


“Selalu. Semoga beruntung, bro,”
“Tch. Harusnya aku yang bilang begitu,”
Penonton mulai mengelu-elukan nama Eureka. Sebagian juga ada yang mengelukan namaku, namun tak sebanyak
pendukung Eureka. Layar besar yang ada di selatan arena mulai menampilkan gambarku dan Eureka. Serta HP
milik masing-masing shadow.

Ready? Aku mengirimkan pesan tersebut kepada Eureka. Eureka memandangiku jijik dari jauh. Yes. Pertandingan
Dimulai, antara Shadow Assasins vs Shilen. Aku mulai menggerakkan tombol-tombol yang ada di podium dan
memasang pertahanan HP. Berfungsi agar saat shadow milik kita diserang maka HP kita tidak akan berkurang
terlalu banyak. Eureka dengan shadownya mulai menyerangku. Aku bertahan. Aku menyerang, Eureka dengan
Shilen bertahan. Selalu begitu namun HP milik Eureka tidak berkurang sedikit pun. HP milik Shadow Assasins
sudah berkurang banyak. Gawat. Aku memutar otak, mencari senjata yang ada di galeri serta strategi yang ku
gunakan. Senjata-senjata yang ada di galeriku tidak sama seperti mereka. Mereka harus membeli senjata tersebut
dengan cash yang sangat mahal sedangkan aku tidak perlu. Senjata senjata tersebut sudah ada di galeriku sejak
pertama kali aku tiba di sini.

Aku memilih menggunakan snipper jenis PSG1 dan brass knuckle. Ku tekan tombol switch on untuk mengganti
senjata yang dibawa bayanganku. Ku arahkan sniperku tepat ke hati Shilen, lalu menembaknya 5 kali. Badannya
terpental jauh namun HP hanya berkurang seperempat saja. Aku berlari mengejar tubuh Shilen yang terpental jauh.
Shilen langsung berdiri sigap dengan kuda-kudanya. Tanpa aba-aba, aku melewati Shilen dan berhenti tepat di
belakangnya. Aku menggerakkan tombol yang mengendalikan brass knuckle, mengeluarkan jarum yang ada di
ujung senjata brass knuckle dan menusuk tepat di belakang lehernya. Jarum tersebut terdapat racun yang sangat
mematikan, yang baru ku peroleh secara misterius siang tadi. Shilen mati seketika.

HP yang tadinya sangat tangguh kini sudah habis tak bersisa. Aku memberi Eureka senyum kemenangan, dan
langsung meninggalkan arena begitu saja. Kemenangan yang ku dapat dari 10 pemain terhebat di Lucel World
menggemparkan seluruh penjuru dunia ini. Nama, foto, dan bayanganku terpampang di mana-mana. Stasiun,
penginapan, dinding taman, wc, gang gang sempit, dan lainnya memberitakan bahwa aku telah berhasil
mengalahkannya. Sejak pertandingan itu, aku menjadi mudah mengalahkan peserta lain.
Level 37.
Level 40.
Level 42.
Level 44.
Level 45.
Level 49.

Ini ada lawan terakhirku, menuju level 50. Lawan di depanku sangat menyeramkan. Dari auranya saja sudah
terlihat berbeda. Orang berbadan besar dengan bayangan yang besar juga. Di punggung bayangan miliknya
terdapat Jetpack. Baru kali ini aku melihat bayangan dengan sebuah jetpack. Di kakinya terdapat sebuah kantong
yang berisi api yunani. Tangan kanannya membawa granat berpeluncur roket, RPG-7. Tubuhnya tidak memakai
baju atau armor. Polos. Keringatku bercucuran, gelisah. Ku tarik napas dalam-dalam dan focus kepada
pertandingan. Aku menuju podium. Bayanganku maju kelapangan arena menantang bayangan lawan. Aku takut.
Aku takut gagal. Strife, lawanku dan Leonhart, bayangan miliknya menatapku rendah. Ready bos? Strife
mengirimiku pesan. Yes. Balasku spontan.

Beberapa detik setelah Strife mengirimkan pesan tersebut, ia langsung menyerangku dengan melempar sebuah api
yunani dan tepat mengenai perut ku. Dalam sekejap, HP milikku tersisa 10%. Di ambang kematian. Aku memutar
otak. Memikirkan celah yang dimiliki bayangan miliknya. Selagi aku berkutat dengan senjata dan bagaimana cara
mengalahkannya, bayangan milik Strife tiba-tiba sudah hampir berada di atas tubuh milik bayanganku. Aku
bingung, aku bingung, aku bingung. Bagaimana jika aku kalah? Mana mungkin aku mengulang dari level pertama
lagi. Tak sudi.

YOU WON! CLOUD AND SHADOW ASSASINS WON THIS GAME! CONGRATS! Begitu pesan yang tertera
di layar besar arena ini. Aku… menang? ku lihat bayangan milik Strife terkapar di atas bayangan milikku. Darah
berceceran di sekitar area lapangan. Apa yang barusan ku lakukan? Aku melihat layar yang ada di podium milikku.
Ternyata aku tanpa sengaja menyentuh jarum yang ku gunakan membunuh Shilen ketika Leonhart tepat berada di
atas Shadow Assasins. Akhirnya aku pulang!

Aku kembali ke penginapan, menunggu kembali menuju dunia tempat aku dilahirkan. 5 jam berlalu namun aku tak
kembali ke duniaku. Tiba-tiba muncul pesan di layar yang ada di pergelangan tanganku. Kau tidak boleh pulang.
Isi pesannya sangat singkat, namun keringatku langsung bercucuran. Level yang yang berada di pojok layar kiriku
berubah menjadi angka 1. Sial. Apa yang terjadi? Tiba-tiba ruangan di sekitarku menjadi berwarna putih. Kosong,
tak ada apa pun selain aku seorang diri. Perlahan, sebuah hologram muncul tepat di depanku. Hologram berwajah
pamanku sendiri.

“Kau tidak boleh pulang.” Ucapnya spontan. Lututku bergetar.


“KENAPA? AKU MAU PULANG. AKU MAU BERTEMU KELUARGAKU!”
“Kau tidak pantas di sana, Cloud. Kembalilah ke dunia yang ku ciptakan.”
Tscth!

Dan aku kembali ke penginapanku. Dunia yang ku ciptakan, katanya? Sialan. Ternyata itu ulahnya. Aku
menangkupkan wajahku. Bingung. Ibu, ayah, aku tidak tahu apa yang selanjutnya akan ku lakukan. Yang ku
inginkan hanyalah kembali ke dunia di mana aku dilahirkan, dimana aku bertemu kalian ibu, ayah. Aku tersenyum,
di atas tempat tidur. Ini kedua kalinya aku tersenyum semenjak aku tiba di dunia ini. Senyum kepiasan.
Hurt
Aku melangkah beriringan dengan Aldo. Dia ketua osis sekaligus kakak kelasku. Meskipun aku dan dia selalu
melangkah beriringan ke sekolah, dia sama sekali tidak pernah menyapaku. Kak Aldo selalu menganggapku debu
yang melintas di hidupnya. Pernah sekali waktu, aku tanpa sengaja merangkul lengannya. Bukan. Bukan karena
aku ingin diperhatikan olehnya, namun, karena pada saat itu aku hampir menabrak mobil yang melintas di
sampingku. Dan Kak Aldo hanya membalasnya dengan senyuman getir.

Tetapi, hei! Dia adalah pria pertama yang berhasil mengisi relung hatiku. Jangan tanya kepadaku kenapa aku
menyukainya. Bahkan aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bisa mencintai pria jutek seperti dia. Saat ini aku
tidak ingin lagi salah tingkah di hadapannya. Apalagi jika dia tahu bahwa aku menyimpan perasaan lebih dari
kakak-adik.

“Woi!!” seseorang membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Talita sudah terpampang jelas di
hadapanku. Ia mengernyit bingung sambil bergumam tak jelas. “Talita, ngapain kamu di sini?” ucapku
mengalihkan pandangan ke arah Kak Aldo yang sedang bermain bola basket di tengah lapangan.
“ih, kamu gimana sih! Kan kamu sendiri yang nyuruh aku buat ke sini. Biasa.. ngegosipin si cowok ganteng.”
Talita kemudian duduk di sampingku dengan wajah yang begitu berbeda dari hari hari sebelumnya.

“gimana, udah ada perubahan belum?” ucapnya lagi. Aku hanya menggeleng.
“udah dong sya.. jangan sedih mulu. Kamu tahu sendiri kan kalau Kak Aldo orangnya jutek banget. Masih aja
ngarepin dia. Ya udah, kan tadi kamu bilang mau curhat. Curhat aja. Aku siap jadi pendengar yang baik buat
kamu.” aku mengalihkan pandanganku ke arah Talita yang sedang menyeruput jus jeruknya.

“aku kecewa banget sama dia ta. Dia gak pernah ngehargain aku. Aku juga berhak dong jatuh cinta. Gimana pun
aku manusia yang bisa ngerasain patah hati. Udah berapa kali dia nyuekin aku? Udah berapa kali dia ngejutekkin
aku? Udah berapa kali dia mempermalukan aku? Gak kehitung ta.. dan sampai saat ini dia masih dingin. Dia
bahkan seolah-olah gak kenal sama aku. Aku cape ta.. aku sama sekali gak dihargain.” aku membendung air yang
hampir ke luar dari pelupuk mata.

Talita yang merasa iba kepadaku langsung menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Dia memang sahabat terbaikku.
Talita selalu mengerti apa yang aku rasakan. Aku sayang kamu Talita.
“jangan nangis dong… kamu jelek kalau lagi nangis.” dia mengusap telapak tangannya ke punggungku. Aku hanya
tersenyum simpul. Tak lama kemudian seorang pria bertubuh atletis melangkah ke arahku dan Talita. Tak asing
lagi bagiku. Dia Kak Aldo. Tidak salah lagi. Itu benar benar Kak Aldo! OH MY GOD!

“Talita, temenin gue ke ruang osis. Bentar doang.” ucap Kak Aldo dengan oktaf suara yang begitu lembut. Jujur,
baru kali ini aku mendengar Kak Aldo berbicara selembut dan tidak irit dalam berbicara. Aku cemburu. Tapi,
Talita dan Kak Aldo hanya berteman, dan aku tahu itu. Sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja.

Beberapa minggu kemudian aku sudah jarang bertemu Talita. Terakhir kali kami bertemu itu pun hanya membahas
tentang ulang tahun Kak Aldo. Yang bertepatan pada hari ini. Talita memberiku aba-aba untuk datang ke cafe
tempat di mana Kak Aldo akan diberi kejutan istimewa oleh orang-orang spesial di hidupnya terkecuali, aku.
Terasa sangat asing mengucapkan itu, tapi bagaimana pun itulah kenyataannya. Aku bukanlah siapa-siapa, Kak
Aldo.

Jam dinding menunjukkan pukul 19:06. Aku bergegas mengganti pakaian dan membaluti wajah dengan make up
yang natural seperti anak SMA pada umumnya. Sebenarnya aku masih ragu untuk datang ke acara itu, namun
bagaimana pun Kak Aldo adalah kakak kelasku. Aku harus menghargainya meskipun dia tidak pernah
menghargaiku. Baiklah, aku tidak mau berlama-lama di sini. Dengan langkah yang santai aku segera masuk ke cafe
yang sudah didesain sedemikian rupa. Lampu sudah dimatikan. Semua yang ada di sana bersiap-siap mengambil
posisi masing-masing.

Sedangkan aku mengambil posisi pada meja paling pojok sebelah kiri. Semuanya sudah rapi dan indah. Tak begitu
lama, seorang pria yang sudah pasti bahwa dia Kak Aldo mulai muncul di ambang pintu yang bertuliskan “sweet
cafe.” Lampu dengan bersamaan menyala dan disusul suara nyanyian dari orang-orang yang juga berada di sana.

Aku lihat Talita sedang membawa kue ulang tahun ke arah Kak Aldo. Wajahnya tampak begitu bahagia. Ada apa
sebenarnya? Kenapa Kak Aldo memeluk Talita di depan orang banyak? Padahal selama ini yang aku tahu Kak
Aldo seorang pria jutek dan tidak suka disentuh oleh gadis mana pun. Dan saat ini, aku melihat dengan jelas
mereka sedang berpelukan?! Apa yang terjadi? Beribu tanda tanya menyelinap masuk ke dalam pikiran. Hatiku
berdetak hingga tak karuan. Beberapa saat kemudian Talita menghampiriku dan menarikku ke atas panggung. Apa
yang akan aku lakukan? Bernyanyi? Aku tidak bisa bernyanyi.

“Tasya, kasih ucapan spesial buat Kak Aldo! Aku yakin kamu pasti bisa!” ucap Talita antusias kepadaku. Aku
mengangguk. Baiklah. Aku mengambil napas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku lihat Kak Aldo sedang
menatapku, cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku darinya.

“buat Kak Aldo. Selamat ulang tahun. Semoga Kakak bisa menjadi pria yang bisa menghargai wanita, dan
mencintai orang lain dengan tulus. Saya juga berharap Kakak bisa peka terhadap perasaan orang lain yang benar-
benar menyayangi Kakak. Jujur, Kakak adalah cinta pertama saya, pria kedua yang saya banggakan setelah Papa,
dan pria yang saya sayangi setelah orangtua saya. Namun, hari ini saya juga menyatakan bahwa saya berhenti
mencintai Kakak. Saya berhenti untuk menjadi diri saya yang dulu. Saya juga punya perasaan, yang semestinya
Kakak hargain. Saya mempercayai Kakak sebagai cinta pertama saya. Namun…” aku menarik napas panjang
dengan wajah yang sudah dilumuri bulir air mata.

“Kakak sama sekali tidak perduli dengan saya. Mengacuhkan saya, seakan Kakak tidak pernah mengenal saya.
Saya mati-matian berjuang agar Kakak bisa mengenal saya. Menegur saya. Dan menganggap saya lebih dari orang
lain. Semoga Kakak dan Talita menjadi pasangan yang serasi. Terima kasih atas semua luka yang Kakak goreskan
di hati saya, terima kasih karena Kakak, saya bisa belajar banyak hal.”

“Saya kecewa Kak! Dan mulai detik ini juga saya akan menjauhi Kakak. Berpura-pura tidak pernah mengenal
Kakak. Sama halnya seperti yang Kakak lakukan terhadap saya. Awalnya saya pikir Kakak lah pria yang nantinya
akan menjadi orang pertama yang menghias hidup saya, justru saya salah. Kakak tidak ada bedanya dengan pria di
luar sana!! Kakak mau marah? Silahkan! Kakak benci dengan saya setelah saya mengungkapkan ini semua?
SILAHKAN! Mulai detik ini anggap saja kita tidak pernah saling mengenal.” aku berlari meninggalkan cafe
tersebut dengan air mata yang masih jelas di wajahku. Dan sekarang aku mengerti kenapa cinta itu menyakitkan.

Talita. Ternyata selama ini dia dan Kak Aldo berpacaran, dan aku sama sekali tidak tahu. Apa yang harus aku
lakukan? Dua orang yang ku sayang sekaligus mengkhianatiku.

The End
Aku, Lenteraku dan Mataharinya
Aku terdampar di pojok taman, terduduk lemah bersanding dengan para bunga yang ceria dan rerumputan yang
asyik menari, di sebuah kursi panjang aku menengadah ke lengit mencoba mencari-cari sesuatu yang hilang, langit
tak lagi putih, bahkan ia seakan pucat dan muram, mungkin karena sang surya terlalu lama meninggalkannya,
hingga ia tak lagi mampu ceria. Begitukah keadaannya saat ini, Keadaan seorang gadis bernama Yassirli
Amriyyah, yang telah kurampas panutan hidupnya. Muram dan tak lagi memiliki gairah untuk hidup karena
mataharinya telah kalah oleh pekatnya mendung. Aku tak kuasa melanjutkannya, langit benar-benar mengingatkan
aku pada Sherly.

Kupalingkan wajah ku dari langit dan coba kembali menilik bumi, ternyata bumi tak jauh beda dengan langit,
kudapati dedaunan yang telah meninggalkan ranting dan berserakan di tanah terombang-ambing oleh angin, daun-
daun kering itu tak lagi sanggup untuk setia pada ranting, mungkinkh jodoh dedaunan dan ranting telah habis?
Adakah nasib ku dan Wildan sama dengan mereka. Tuhan menjodohkan kami untuk saling mengenal tapi tidak
untuk bersatu. Entahlah aku tak tahu, seperti apa rupaku kali ini, sekoyak apa hatiku dan sedalam apa belati
menusuk menoreh jantungku. Aku sakit, tapi benarkah aku harus mendzalimi diriku?

Ah… kenapa rasa itu masih saja ada, kenapa harus nama itu lagi, tak bisakah otak dan hatiku berdamai dengan ku
meski hanya sejenak saja, kenapa harus Wildan, kenapa nama itu tak pernah musnah dari fikiranku, kenapa susah
sekali menghapus nama itu dari memoriku, Tuhan… kenapa tak Kau ciptakan tombol delete di otak ku agar aku
dengan mudah menghapus nama itu. Semua tanya itu tak kutemukan jawabnya.
Kembali kejadian dua bulan yang lalu berkelebat di depan mataku

#######

Aku terduduk lemah pada sebuah kursi yang membentang di ruang tamu, kaki ku seakan tak lagi mampu
menopang tubuhku, dadaku sesak, serasah tertindih beban berat yang kasat mata, dan butiran-butiran kristal mulai
meluncur dari kelopak mataku, tangan ku gemetaran sambil tetap memegang kertas merah jambu yang baru saja
aku eja huruf demi huruf yang terjajar di sana. Aku hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku baca, kata
demi kata yang terangkai dalam kertas itu seperti sembilu yang mencakar hatiku. Wildan yang baru saja menjadi
lentera dalam hidup ku ternyata matahari bagi seorang gadis bernama “Yassirli Amriyah.” Sherly melayangkan
petir yang berwujud secarik kertas ke rumahku untuk meminta kembali mataharinya yang tanpa sengaja telah aku
ambil.

Aku tak menyangka betapa jahatnya aku telah tega merampas kehidupan orang lain hanya demi keegoisanku,
masihkah aku pantas disebut sebagia manusia? Aku memang tak tahu bahwa Muhammad Wildanuril Ilmi, calon
tunanganku, ternyata memiliki hubungan dengan seorang gadis bernama Yassirli Amriyah. Tapi tetap saja aku
telah merampas sesuatu yang bukan milikku.

Hal yang paling ditakutkan oleh seorang isteri adalah kehilangan imamnya, tapi yang terjadi padaku ternyata, aku
harus kehilangan calon tunanganku, seseorang yang ku anggap sebagai calon imam, seseorang yang kan
membimbing aku mengayuh biduk menuju pulau indah sang Maha Cinta.

########

“Zahwa, Tolong dengerin aku , Aku mencintai kamu Zahwa, percaya sama aku…”
“Maaf Wil, aku butuh waktu untuk sendiri agar bisa berfikir jernih”
“Tapi bulan depan pertungan kita, Zahwa… aku mohon fikirkan lagi rencana kepergianmu”
“Aku harus pergi, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
Aku berlalu pergi meninggalkan Wildan yang masih mematung di depan rumahku, kaki ku seakan membatu tapi
aku berusaha kuat untuk beranjak dari hadapannya. Aku sendiri tak mengerti aku pergi untuk apa, apakah benar
untuk menenangakan diri seperti yang ku katakan pada Wildan, atau aku pergi untuk berlari, berlari dari kenyataan
bahwa Wildan ternyata bukan milikku. Semua mimpi indah yang kami rajut bersama ternyata tercerai-berai hanya
dengan secarik kertas yang menyuarakan kebenaran.

########

Kuseka air mata yang mulai membanjiri pipiku dengan kerudung putihku. Allah… Satu bulan aku telah menjauh
dari dia tapi ternyata belum ada yang berubah, perasaanku masih tetap saja sama seperti dulu, aku masih terus
berharap bahwa surat merah jambu itu dan serentetan kejadian yang menimpa aku dan Wildan hanyalah mimpi.
Tapi tidak, aku tidak boleh lemah, aku sama sekali tidak memiliki hak atas Muhammad Wildanuril Ilmi, dia milik
Yassirli Amriyah bukan Zahwa Aulia Syahiroh.

Hatiku bergetar hebat, saat aku melihat mobil Wildan, seutas senyum kuhadirkan tuk menyambutnya, tapi senyum
itu pudar tatkala aku melihat seorang gadis berjubah cream turun dari mobil wildan, gadis itu cantik, anggun dan
modis, itukah Yassirli Amriyah, kejadian satu bulan yang lalu hampir saja terulang kembali, aku hampir saja
terduduk lunglai seperti waktu itu.

Untunglah aku bisa lebih menguasai diri, kupejamkan mata sejenak sekedar menenangkan diri, kembali
kusuguhkan senyumku, agar mereka berdua tak menyadari betapa dahsyat pergolakan batin yang sedang aku alami.
Semakin lama mereka semakin dekat, dekat, dekat dan…
Ya Allah… kuatkan hamba-Mu yang lemah ini, jangan biarkan aku tenggelam dalam permainan syaitan,
Bismillah… aku ikhlaskan Muhammad Wildanuril Ilmi untuk Yassirli Amriyah.
“Assalamu’alaikum… Zahwa”
Suara itu menarik paksa aku dari lamunan panjangku.
“Wa’alaikum Salam, Wil”
“Bagaimana kabar kamu Zahwa?”
“Alhamdulillah, sehat Wil, kamu?”
“Alhamdulillah aku juga sehat, Zahwa kenalkan ini Sherly, Sherly kenalkan ini Zahwa”

Kualihkan pandangan ku yang sedari tadi mengamati Wildan ke arah gadis cantik yang kini telah duduk di
sampingnya, kudapati seuntai senyum yang benar-benar tulus tak ada sedikitpun guratan keterpaksaan di sana. Aku
mulai merasakan nyeri di dadaku, bahkan dalam hal senyum pun aku kalah dengan dia, senyum yang ia suguhkan
jauh berbeda dengan senyum yang aku berikan untuk menyambutnya, senyum yang dipenuhi rasa keterpaksaan.

Dia tetap tersenyum padaku meski aku belum bisa merespon aku masih sibuk menenangkan hatiku yang semakin
bergejolak, aku seakan tak mampu menyembunyikan sakit yang ada di rongga dadaku. Dengan tetap menyungging
senyum Sherly mengulurkan tangannya.
“Sherly” Suara indahnya memecah keheningan
“Zahwa” Ucapku masih sedikit terbata.

Allah aku sadar, aku tiada memiliki daya upaya, aku hanya mampu berencana tapi semua terserah kepada-Mu jua.
Aku yakin Engkaulah yang paling tahu mana yang terbaik untukku, jika memang Wildan adalah jodoh Sherly,
bantulah hamba agar dapat mengikhlaskannya.
Jam Tangan Fiara
Langit agak mendung, saat Fiara berjalan menaiki tangga sekolah. Ia melangkahkan kakinya perlahan, mungkin
karena efek penilaian lari kemarin. Kelasnya berada di lantai atas, dan masih jauh dari tangga. Gadis berusia 12
tahun itu tampak keberatan dengan beban tas ransel yang berada di punggungnya.

Sesampai di depan kelas, Fiara mengetuk pintu dan mengucapkan salam. “Assalamualaikum..” ucapnya.
“Waalaikumsalam..” balas teman-teman Fiara serentak.
Untungnya, saat itu guru bahasa daerah belum datang. Padahal, Fiara merasa terlambat, dan takut karena bahasa
daerah menjadi jam pelajaran pertama.
“Pagi Fiara! Tugas bahasa daerah sudah kamu selesaikan?” sapa Safira, sahabat Fiara yang duduk sebangku
dengannya.
Gadis itu hanya mengangguk, ia tampak sibuk meletakkan tas di kursi.
“Boleh aku pinjam bukumu? Hanya untuk mencocokkan jawaban saja.” tanya Fiara.
“Silahkan.”
Tak sengaja, Fiara melihat jam tangan yang melingkar di tangan Safira. Warnanya merah muda, jarum penunjuk
angkanya berwarna ungu, menarik sekali! Ia ingin memiliki jam tangan seperti milik Safira.
“Jam tangan baru, Saf? Kamu beli dimana?”
“Ini pemberian pamanku. Kemarin baru pulang dari Jakarta.”
“Bagus. Aku suka melihatnya!”
“Terima kasih.”
Percakapan singkat itu terhenti tepat ketika Bu Nina, guru bahasa daerah memasuki kelas. Pelajaran pun dimulai.

Tak terasa, jam pelajaran bahasa daerah habis. Bel istirahat pun berbunyi. Fiara dan Safira berjalan menuju kantin.
Safira tampak heran, sejak tadi Fiara terus memandangi jam tangan miliknya.
“Ra, kamu ingin punya jam tangan ya?” tanya Safira membuka pembicaraan.
Fiara hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Di dalam hati, ia memang benar-benar menginginkannya. Safira
tak melanjutkan pertanyaannya. Dia tidak ingin sahabatnya mengira dirinya memamerkan jam tangannya.

Raut muka Fiara tampak lesu sepulang sekolah. Langkah kakinya pelan sekali, bahkan hentakan sepatunya hampir
tak bersuara. Selain kakinya sakit, ia juga malas untuk pulang ke rumah terlalu cepat. Ia membayangkan betapa
beruntungnya Safira, bisa memiliki jam tangan sebagus itu. Sebenarnya sudah lama, Fiara ingin memiliki jam
tangan. Namun, selalu saja, ia berpikir keinginannya itu tak akan terwujud.

Tak lama, ia sudah sampai di rumahnya, meskipun dengan kecepatan langkah kaki yang sangat rendah. Mungkin
itu karena rumah Fiara yang tak jauh dari sekolah.
“Assalamualaikum!” serunya sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam.” jawab seorang wanita setengah baya dari dalam rumah. Ya, itu ibu Fiara.
“Ibu lihat, sepertinya anak ibu satu-satunya ini tampak lesu. Ada masalah di sekolah ya nak?” tanya ibu seraya
memperhatikan raut muka anaknya.
Fiara diam, tak menjawab pertanyaan ibunya.
“Ceritalah kepada ibu, barangkali ibu bisa membantu. Atau, kamu menginginkan suatu barang?” ucap ibu.
“Mengapa ibu bisa tahu kalau Fiara menginginkan sesuatu?” tanya Fiara balik.
“Bagaimana ibu tidak tahu, kan Fiara anak ibu.” jawab ibu.
“Fiara ingin punya jam tangan, bu.” ucap Fiara memelas kepada ibu.
Ibu terdiam sejenak, dan menjawab, “Fiara, bukannya ibu tak mau menuruti, tapi kamu tahu sendiri, ibu ini hanya
seorang penjual sayur dan buah. Ibu tak mampu membelikanmu jam tangan.”
Ibu mengusap rambut Fiara. Fiara mengangguk sedih. Padahal, ia sangat ingin memiliki jam tangan seperti teman-
teman di sekolahnya, apalagi seperti milik Safira.
“Lho, anak ibu kok sedih? Begini saja, ibu berjanji kalau ibu punya rezeki lebih, ibu pasti akan belikan kamu jam
tangan.” kata ibu menenangkan Fiara.
Fiara mengusap air matanya. Ia tahu, meskipun ada rezeki lebih, tapi uang itu digunakan untuk keperluan lain yang
lebih penting. Tiba-tiba ia terpikir untuk menyisihkan uang sakunya per hari.
“Bu, mulai sekarang Fiara akan menabung, agar bisa membeli jam tangan!” seru Fiara.
“Boleh. Sisihkan sebagian uang saku dan uang jajanmu, mungkin kira-kira satu bulan, kamu bisa membelinya.”
ucap ibu.

Setiap hari, Fiara menyisihkan sebagian uang sakunya. Uang saku Rp 3.000,- disisihkan Rp 2.000,-. Biasanya,
seluruh uang sakunya dibelikan bakso semangkok. Mulai sekarang, ia hanya bisa membeli pentol di depan
sekolahnya. Rasa lapar ditahannya hingga pulang sekolah.
Tak terasa, satu bulan berlalu. Setelah dihitung, rupanya jumlah tabungan Fiara sudah mencukupi untuk membeli
barang yang diidamkannya selama ini. Ia dan ibunya berniat untuk pergi ke toko jam tangan siang itu.

Fiara mengunci pintu rumahnya. Lalu, kunci itu dimasukkan ke dalam tas kecil miliknya. Namun pada saat keluar
pagar, tiba-tiba Bu Mimi, tetangga Fiara datang menghampiri mereka. Sepertinya ada sesuatu yang penting untuk
dibicarakan.
“Bu, saya minta tolong, anak saya sakit tipus, kami tidak memiliki uang untuk membelikan Aira obat. Boleh saya
pinjam uang dulu bu, jika ada uang untuk mengembalikan pasti akan saya ganti.”
“Maaf bu, bukannya saya tidak mau membantu, tapi…” belum sempat ibu selesai bicara, Fiara berkata, “Ini bu, ada
sedikit uang untuk membeli obat. Semoga Aira cepat sembuh ya bu”.
Fiara menyerahkan seluruh uang tabungannya kepada Bu Mimi. Bu Mimi menerimanya.
“Terima kasih ya nak Fiara. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.” ucap Bu Mimi.
Fiara mengangguk. Ibu heran melihat Fiara. Bukannya uang itu jerih payahnya selama ini demi membeli barang
yang diinginkannya sejak lama?

Setelah Bu Mimi berlalu, Fiara dan ibu kembali masuk ke rumah. Mereka membuka kembali pintu rumah yang
telah terkunci itu.
“Nak, kenapa kau berikan uang tabunganmu itu? Bukankah kamu sangat menginginkan jam tangan?” tanya ibu.
“Tak apa bu. Kalau ada tetangga kesusahan, mengapa tidak kita bantu? Kan kebutuhan Bu Mimi lebih penting
daripada kebutuhan Fiara. Untuk masalah jam tangan, Fiara bisa kok menabung lagi.” jawab Fiara.
“Ibu bangga kepadamu nak. Semoga bulan depan kita bisa membelinya ya!” ucap ibu sambil memeluk Fiara.

Fiara masuk ke kamar. Ia melihat celengan ayamnya yang kini telah kosong. Dia tahu, Bu Mimi tak akan
mengembalikan uangnya dalam waktu dekat. Karena keadaan ekonomi keluarga Bu Mimi tak beda jauh dengan
keluarganya. Salah satu cara untuk bisa membeli jam tangan hanyalah dengan menabung lagi. Padahal, ia sudah
tak sabar untuk mencicipi bakso langganannya setelah satu bulan tidak membelinya.

Keeseokannya, Fiara berangkat sekolah. Seperti biasa, ia berjalan kaki. Sesampai di sekolah, Safira menepuk
bahunya.
“Fiara, aku ingin menunjukkan sesuatu.” ucap Safira.
Awalnya, Fiara menolak, karena dia ingin melihat mading di lantai bawah. Namun, tanpa banyak bicara, Safira
menggandeng tangan Fiara untuk duduk di sebelah bangkunya. Kebetulan, kelas tak begitu ramai saat itu.
“Ada apa, Saf?” tanya Fiara lugu.
“Ini untukmu.” ucapnya sambil menunjukkan sebuah kotak yang berisi jam tangan merah muda di dalamnya.
“Untukku? Ini kan sama persis seperti jam tangan yang kau pakai sekarang?” tanya Fiara tak percaya.
“Iya. Kemarin pamanku ke rumahku. Beliau memberi jam tangan ini, maksudnya jika jam tanganku rusak, nanti
ada gantinya. Namun, sepertinya jam tanganku tak apa-apa. Aku rasa masih bagus. Ya sudah, daripada tidak aku
pakai, lebih baik aku berikan ke kamu saja. Kamu suka kan?” ucap Safira
“Umm, suka! Suka sekali … Terima kasih ya, Saf! Tapi, jam tangan ini terlalu bagus untuk dipakai anak berkulit
sawo matang sepertiku.”
“Tidak. Kau pantas mengenakannya..” bantah Safira.
“Sekali lagi, terima kasih ya, Saf! Kamu memang sahabat yang baik.” kata Fiara.
Safira mengangguk.

Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan bagi Fiara. Bahkan, ia mencatat tanggalnya di buku harian,
‘Sabtu, 20 Februari 2016’…
Wibi Si Kupu Kupu
“Hore.. Dapat madu banyak..” Wibi melonjak girang sambil memegangi perutnya. Ia baru saja menghisap madu
dari bunga matahari di taman milik seorang nenek-nenek. Nenek-nenek itu bernama Tina. Nek Tina senang melihat
banyak kupu-kupu cantik yang sering hinggap di bunga matahari miliknya.
“Nek, terima kasih ya. Wibi sudah kenyang nih. Ayo teman-teman, kita pulang. Hari sudah sore.” Wibi berterima
kasih pada Nek Tina. Lalu pamit pulang. Sekelompok teman Wibi mengikutinya. Nek Tina tersenyum. Lalu,
dengan tergopoh-gopoh, Nek Tina menyirami bunga mataharinya oleh air yang ada di dalam teko tanah lihat.

Wibi adalah kupu-kupu penghisap nektar. Ia menyukai nektar madu bunga matahari milik Nek Tina. Hampir setiap
hari, Wibi dan kupu-kupu lainnya datang ke taman milik Nek Tina. Taman itu berada di belakang rumah Nek Tina.
Nek Tina tidak mempunyai anak. Suami beliau meninggal dunia 2 tahun yang lalu. Jadi, Nek Tina sering kesepian
di rumah. Nek Tina hanya bersahabat dengan kupu-kupu, yaitu Wibi dan teman-temannya.

Keesokan harinya, Wibi datang lagi ke taman Nek Tina. Ia ingin minta izin dulu untuk menghisap nektar bunga
Nek Tina. Wibi terbang ke arah rumah Nek Tina. Tepat di ambang pintu, Nek Tina sedang berhadapan oleh 2
orang berbadan besar bermuka menyeramkan. Sepetinya, mereka perampok. Wibi ketakutan sekali. Nek Tina
pingsan. Setelah itu, 2 orang berbadan besar masuk ke dalam rumah Nek Tina.

“Wah, gawat. Aku harus memberitahukan hal ini pada teman-teman,” Wibi berbalik arah. Ia menyusun rencana
untuk menolong Nek Tina. Ia berkumpul bersama teman-temannya, membisikkan sebuah rencana. Teman-teman
Wibi mengangguk. Wibi terbang ke arah kantor polisi di kota Zeiylin. Ia memberitahukan kalau rumah Nek Tina
dirampok pada polisi. Sedangkan teman-teman Wibi mengerumuni mata si perampok agar tidak bisa melihat.

“Hei, ini kejadian aneh. Mataku dikerumuni oleh banyak kupu-kupu,” kata salah satu perampok sambil berusaha
menyingkirkan banyak kupu-kupu di hadapannya. Sedangkan perampok yang satunya lagi ikut menyingkirkan
kupu-kupu yang mengerumuni mata temannya. “Heh, sial. Padahal, berlian milik nenek tua itu hampir berhasil ku
dapatkan,” kata perampok itu. Tepat saat itu, Wibi datang bersama 4 orang polisi. Mereka menyergap perampok
itu. Dan Nek Tina sudah siuman.

“Nenek tidak apa-apa, kan? Tadi hampir nenek dirampok,” ujar Wibi sambil hinggap di tangan Nek Tina.
“Nenek tidak apa-apa Wibi. Kenapa perampokan bisa gagal.. Padahal tadi..” Nek Tina bingung.
“Wibilah yang menyelamatkanmu nek,” kata Lilini, teman Wibi. Wibi tersenyum. Lalu menceritakan semuanya.
“Terima kasih Wibi. Kau sangat berjasa bagi nenek. Begitu juga dengan temanmu. Sekali lagi terima kasih ya!”
Nek Tina terharu. Aih indahnya persahabatan Wibi dengan Nek Tina.
Pelangi untuk Mia
Hari ini Mia sangat bersemangat. Dia telah menyelesaikan tugas melukis yang diberikan minggu lalu. Mia juga
tidak sabar melihat hasil karya Anna. Anna adalah teman dekat dan juga saingan menggambar Mia di kelas enam.

“Anna! Lihat gambarmu donk!” Mia menghampiri Anna dengan bersemangat saat melihatnya masuk kelas.
Anna hanya tersenyum dan menjawab, “Nanti waktu pelajaran menggambar!”

Kesukaan Mia dan Anna yang sama membuat mereka semakin akrab. Sejak mengenal Anna, Mia semakin rajin
berlatih agar dapat menyaingi kemampuan menggambar Anna.

Pada akhir semester, Pak Ferdi Guru Seni Melukis mengutus Mia dan Anna untuk mengikuti perlombaan
menggambar se-Ibukota. Mereka sangat senang. Baru kali ini mereka mengikuti tingkat Ibukota.

Dengan bersemangat, mereka memikirkan apa yang akan mereka gambar nanti, sesuai dengan tema yang
diberikan, yaitu “Harapanku”. Setiap hari mereka berlatih.

“Yah.. hujan! Mia bawa payung? Aku lupa,” seru Anna pada suatu hari. Anna dan Mia baru saja hendak pulang
dari sekolah, saat hujan turun deras.
“Payung istimewa pasti selalu kubawa!” Mia mengeluarkan payung tembus pandang kesayangannya.

Tak lama setelah Mia mengantarkan Anna ke rumahnya, Mia kaget mendengar bunyi klakson mobil yang lewat
dengan kencang dan terjatuh.
“Pelan-pelan donk kalau menyetir!” teriak Mia dengan kesal. Mia mengambil payungnya kembali, namun berteriak
kesakitan saat merasakan sakit di tangan kanannya.
“Aduh! Sakit sekali! Pasti terkilir waktu jatuh tadi!” Mia segera memegang payung dengan tangan kirinya dan
bergegas pulang.

Esok harinya, Mia tidak masuk sekolah. Setelah pulang sekolah, Anna langsung pergi ke rumah Mia. Anna
mendapat kabar kalau tangan Mia terkilir dan membutuhkan waktu seminggu lebih untuk sembuh.
Saat melihat Anna masuk, Mia langsung menangis sedih.
“Anna, bagaimana ini. Padahal lomba dua hari lagi,” Mia berbisik di sela-sela tangisnya.
Anna juga ikut menangis. Padahal mereka sudah berjuang bersama untuk lomba nanti, tapi Mia tidak bisa ikut.
“Mia, lebih baik aku juga gak ikut lomba. Gak adil kalau cuma aku yang ikut,” kata Anna.
Tapi Mia langsung menjawab, “Jangan Anna, kamu harus tetap ikut! Kamu harus mewakili kita berdua untuk
menang!” Sambil menghapus air matanya, Mia menyemangati Anna.
“Baiklah. Kita berdoa semoga menang ya! Dan semoga tangan Mia cepat sembuh,” jawab Anna, juga sambil
menghapus air matanya.

Akhirnya hari yang dinantikan tiba. Bersama dengan Pak Ferdi dan orangtuanya, Anna pergi ke tempat lomba,
lengkap dengan peralatan menggambarnya.

Sekitar jam tiga sore, telepon rumah Mia berdering dan Mia segera mengangkatnya.
“Halo Anna? Bagaimana hasilnya?” Tanya Mia di telepon.
Suara Anna di seberang sana menjawab, “Mia! Ayo tebak!”
Mia dengan tidak sabar segera menyahut, “Anna pasti menang!”
Anna hanya tertawa dan menjawab, “Kita berdua menang Mia! Kan kamu yang bilang, aku mewakili kamu juga?”
Mia mengangguk sambil tersenyum senang, lupa kalau Anna tidak bisa melihatnya.

Artikel perlombaan menggambar tersebut dipasang di majalah dinding sekolah. Saat melihatnya, Mia menyadari
sesuatu dan segera menarik Anna ke tempat artikel itu dipasang.
“Anna, kok gambarmu beda dengan yang sudah kita latih? Bukannya kamu seharusnya menggambar liburan di
pantai?” Mia menunjuk foto pada artikel tersebut.
“Gambar ini tetap sesuai dengan tema kok!” Jawab Anna tersenyum riang.
“Tapi apa hubungannya pelangi dengan tema Harapanku?” Mia berkerut bingung.
“Harapanku saat itu, semoga hujan di hati Mia bisa segera digantikan oleh pelangi,” Anna menjelaskan dengan
malu-malu.
Mia sangat terharu dan segera memeluk Anna, “Anna, kamu sahabat Mia yang terbaik! Setiap hujan, aku akan
teringat gambar pelangi Anna!”

Anna menepuk-nepuk pundak Mia dengan gembira. Bersama-sama mereka kembali ke ruang kelas. Saat ini, hujan
yang turun di hati Mia telah hilang dan digantikan dengan pelangi yang sangat indah. Pelangi harapan yang
membuat Mia akan terus berjuang mencapai cita-cita.
Pertunjukkan Sunset
Hai Teman-Teman! Namaku Fira Linanty. Kalian boleh memanggilku Fira. Sore nanti akan ada matahari
tenggelam. Karena aku sedang menginap di rumah nenekku. Kalau di rumahku tidak ada matahari tenggelam.
Karena rumahku jauh dari barat. Kalau rumah nenekku dekat dengan barat, jadi bisa melihat matahari tenggelam.
Sekarang masih siang, pertunjukkannya nanti sore. Sekarang aku mau main sama Micca dulu ah!

“Micca!” panggilku kepada Micca. “Ada apa?” tanyanya. “Main yuk sambil nunggu Pertunjukkan Sunset!” ajakku.
“Oke. Mau main apa Fir?” tanya Micca. “Main eh… masak aja!” kataku. “Masak apaan?” Micca terus bertanya.
“Masak minuman Strawberry Ice Cream!” kataku. “Ya udah. Ayo kita masak!” Kami segera membuat Strawberry
Ice Cream.

“Yummy!” kataku selesai memasak. “Ayo kita cicip!” Aku dan Micca segera menyicip makanan buatan kami
sampai habis tiada sisa. Hehehe… “Yummy!” Kami makan sampai tertidur.

Sorenya…
Aku dan Micca terbangun. Tidurku lelap sekali tadi siang. Kami segera mandi sore. Setelah mandi sore, aku dan
Micca segera memakai baju yang berbahan katun dihiasi dengan manik-manik ungu dan biru. Baju kami juga
berwarna belang-belang ungu biru dan bergambar Hello Kitty. Kami segera memakai jaket tipis biru muda yang
dihiasi dengan tulisan di belakang. Tulisannya: Carita Beach. Lalu kami terburu-buru memakai rok berbahan kasar
berwarna pink cerah dihiasi dengan rajutan yang dibentuk menjadi gambar Hello Kitty. Setelah itu, kami buru-buru
memakai sandal ungu biru dan segera mengayuh sepeda pink cerah dengan kencang-kencang dan banter-banter
menuju lokasi Pertunjukkan Sunset.

Di pantai sudah ramai sekali. Sambil menunggu, aku dan Micca bermain di pantai. Aku mengambil segenggam air
dan mencipratkannya ke Micca. Micca juga mengambil segenggam air dan mencipratkannya ke aku. Angin
menghembus dan melambaikan rambutku dan Micca. Kami juga membawa sekop untuk bermain pasir. Kami
membentuk pasir menjadi istana. Kadang, aku dan Micca juga menulis-nulis di pasir menggunakan jari telunjuk
kami.

Waw! Istana pasirku dan Micca sudah jadi! Kami tinggal merapikannya. Setelah itu aku mengambil batu kerikil
dan menaburkannya di sekeliling istana untuk dijadikan pagar istana.

Setelah bermain pasir, kami dan anak-anak lainnya mengadakan pesta gelembung. Aku dan Micca meniup
gelembung dan berjingkrak-jingkrak ceria. Kadang ada yang menari, menyanyi, atau membaca puisi di depan
pantai disertai gelembung yang sudah ditiup oleh anak-anak lain. Nenek menyediakan kue pelangi dan kue bolu
sekaligus jus markisa. Aku menyeruput jus markisa buatan nenek untuk kami semua. Wah! Jus markisanya enak
banget! Selain itu, untuk menunggu Pertunjukkan Sunsetnya, diadakan permainan balon udara secara gratis. Aku
dan Micca sangat ingin melihat pemandangan pantai dari atas langit. Jadinya aku dan Micca minta izin nenek
untuk menaiki balon udara. Aku dan Micca dan juga 4 orang lainnya mendapat giliran kedua. Sambil menunggu
giliran pertama, kami disediakan teh madu. Kami disediakan oleh petugas balon udara secara gratis. Saat giliran
kedua antri balon udara…
Wah! Ternyata di balon udara nanti juga dikasih minuman! Minumannya adalah Strawberry Ice Cream! Wow!
Enaknya di atas langit.
Sepuluh menit telah berlalu. Bersenang-senang di balon udara sudah selesai. Kami turun dari balon udara. Wah!
Sunset udah mulai! Waw! Indah sekali Pertunjukkan Sunsetnya! Setelah Pertunjukkan Sunset sudah selesai, kami
semua bubar. Indah sekali Pertunjukkan Sunset-nya!
Kesombongan Cika
“Anak-anak sebelum pulang ibu guru akan mengumumkan, bahwa seminggu lagi kalian akan menghadapi ulangan
kenaikan kelas. Jadi ibu guru harap kalian lebih giat belajar!.” seru ibu guru mengumumkan sebelum kami akan
pulang. “Huuu…” terdengar beberapa anak menyoraki dari belakang.
Dari dalam hati aku berkata “Nggak belajar juga aku pasti bisa kok!” gumamku sombong. Aku seakan merasa yang
paling pintar di kelas,.

Di depan gerbang sekolah saat Cika akan pulang tiba-tiba Andin teman baru Cika di kelas memangginya. “Cika…,
tunggu!”.
“Ada apa Ndin?” tanya Cika seraya menoleh pada Andin. “Gini, kan bentar lagi kita akan menghadapi ulangan
kenaikan kelas. Jadi aku sama temen-temen yang lain rencananya mau belajar bersama. Kamu mau ikutan nggak?.”
Tanya Andin yang sedikit berbelit-belit.
“Mmm… gimana ya?.” pikir Cika. “Enggak deh!. Belakangan ini aku lagi nggak mood belajar. Lagi pula tanpa
belajar aku pasti bisa kok, menghadapi ulangan kenaikan kelas itu!” jawab Cika dengan angkuhnya
“Oh, gitu. Ya udah kalau begitu aku pulang dulu.” balas Andin dengan suaranya yang lembut.

Sesampainya di rumah ia melempar sepatunya dengan seenaknya. Kemudian tanpa mengganti baju terlebih dahulu,
ia langsung menyalakan TV. Dan kemudian duduk di sofa yang berbentuk teddy bear besar di ruang TV tersebut.
Tiba-tiba mamanya Cika datang dari arah dapur menuju sofa yang Cika duduki. “Cika, kenapa pulang-pulang
bukannya ganti baju dulu malah nonton TV?” tanya mamanya yang keheranan melihat kelakuan anak tunggalnya
itu.
Cika menjawab hanya dengan anggukan. Mamanya yang tak tahu maksudnya apa kemudian diam.
Setelah bosan menonton Cika masuk ke kamarnya meninggalkan mamanya di ruang TV sendirian.

“Cika, mama pergi dulu ya?. Mama mau pergi arisan dulu!” salam ibunya yang dalam sekejap telah menghilang
karena sudah telat. Cika yang melihat hanya menggeleng-geleng.
Setelah mamanya pergi, karena sendirian Cika mulai jenuh. Akhirnya dia memutuskan untuk jalan-jalan ke rumah
temannya yang tidak jauh dari rumahnya tersebut.
“Hai, intan.” sapa Cika pada Intan setelah sampai di rumah temannya yang bernama Intan itu. “Hai…!” sapa Intan
membalas ketika ia sedang belajar di depan teras rumahnya.
Setelah kemudian Cika masuk, ia mengajak Intan untuk bermain ke rumahnya. Tetapi ternyata Intan menolak.
“Maaf Cik, tapi aku mau belajar untuk mempersiapkan ulangan kenaikan kelas yang ibu guru katakan tadi!.
Emangnya kamu gak belajar ya?.” tanya Intan. “Ah kalau aku sih gak perlu belajar!. aku kan murid paling pinter di
kelas, siapa sih yang bisa nandingin aku?.” “Cik, jadi orang itu nggak boleh takabur kali’!. Ntar kalau kamu
dikalahin sama orang gimana?” ceramah Intan panjang lebar pada Cika. “Ah kamu tu ya… kalau emang nggak
mau main ya udah jangan pake acara ceramah segala!” omel Cika dengan ketus.
Tanpa berpamitan Cika langsung keluar dari pintu gerbang rumah Intan. Dari mukanya dapat dilihat bahwa dia lagi
marah besar.

Hari-hari di rumah Cika lalui tanpa menyentuh buku sedikitpun. Yang ia lakukan hanya menonton, membaca
komik, dan bermain. Karena ibunya tidak tahu-menahu tentang ulangan tersebut ibunya jadi tidak pernah
menyuruh Cika belajar
Hingga waktu ulangan pun tiba. Cika yang sama sekali tidak belajar masih tenang-tenang saja. Di dalam hatinya
hanya ada rasa pd (percaya diri) yang sangat besar.

Tiba waktunya untuk mulai mengerjakan. Semua anak, termasuk Cika mulai melihat soal dan berfikir. Sedikit
kesulitan ia temui, namun dalam benaknya ia berfikir “kalau aku nggak bisa masa’ sih yang lain bisa!” serunya
masih dengan sombongnya.
Waktupun habis. Saatnya mengumpulkan lembar ulangan. Namun Cika belum selesai juga.
Akhirnya setelah agak lama ia berhasil menyelesaikannya. Biarpun agak lama dalam benaknya kembali mencul
pikiran “biarpun agak lama tapi pasti aku akan dapat nilai A+”.
Begitu seterusnya ia lalui. Juga tanpa belajar. Dia masih terlalu takabur, dia masih sombong dan angkuh dan juga
sangat amat pd untuk mau belajar.

Sampai saatnya pembagian lembar ulangan. BURUK. Hanya itu yang bisa di simpulkan dari nilai-nilai yang di
dapatnya. Kini ia hanya bisa ternganga melihat hasil ulangannya tersebut. Gurunya yang selama ini
mengajarnyapun sedikit bingung dengan nilai yang didapat Cika. Yang mengagetkannya lagi adalah Andin.
Bukannya Cika malah anak baru itu yang mendapat nilai paling bagus
Saat tiba pembagian rapot Cika terlihat sangat lesu. Andin mendatanginya seraya berkata “kamu nggak apa-apa
kan Cik?”. Cika hanya menoleh melihat Andin kemudian kembali menunduk.

Kini rapot sudah ada di tangan masing-masing. Ada ragu di dalam hati Cika untuk membuka rapotnya tersebut.
Namun akhirnya ia membuka dan… “huff” desah Cika setelah melihat hasil rapotnya yang ternyata ia mendapat
peringkat ketiga. Dan yang mendapat peringkat pertama adalah Andin si anak baru itu. Sedangkan yang kedua
adalah Intan
Intan kemudian datang ke arahnya “hei kamu pasti dapat peringkat per…” ucap Intan yang kemudian tidak ia
lanjutkan setelah melihat rapot cika yang terbuka.

“Kamu sedih ya?” kata Intan karena melihat muka Cika yang sangat lesu. Cika hanya mengangguk.
“Makanya lain kali kalau ada ulangan kamu harusnya belajar bukannya bermain!” jelas Intan bagaikan seorang
guru.
Cika kembali menjawab dengan anggukan, namun kali ini wajahnya mulai terlihat berseri. Ternyata wajahnya
mulai berseri karena dalam hatinya ia telah menyadari apa yang selama ini ia lakukan. Ia menyesal kemudian
berjanji pada dirinya sendiri tidak akan takabur terhadap apapun. Tidak akan sombong dan merasa PD lagi. Cika
telah mendapat pelajaran dari semua kejadian itu. Diapun tak pernah berlaku sombong lagi.
Rumah Pohon Buku ANS
Hari minggu, Shyra sedang duduk di salah satu kursi di teras rumah. Di sampingnya, ada meja di atasnya segelas es
teh dan sepiring biskuit Chococips Cookies. “Hmm… coba ada Mama dan ayah,” gumam Shyra, lalu memakan 1
buah Cookiesnya. “Di rumah sepi! hanya ada Bi Zikha dan Bi Zieta (ART keluarga Shyra),” gumam Shyra, lalu
menyeruput es tehnya. Lalu matanya asyik melihat pohon yang besar dan rindang. “Hmmm… andai aku punya
rumah pohon,” gumam pelan Shyra.

Usai habis cemilannya, ia membawa piring dan gelas menuju rak piring kotor. “Lho! kok hanya ada Bi. Zieta, Bi.
Zikhanya mana?” tanya Shyra sesampai di dapur. “Anu, bi Zikha pergi ke pasar, Non Shyra!” jelas bi. Zieta seraya
memasak makan siang. “Owh… ya sudah, Shyra ke ruang membaca, ya…,” pamit Shyra. “Iya, non!” ujar Bi.
Zieta. Lalu ia menuju ruang membaca di rumahnya. Ruang tersebut mirip perpustakaan.

Sesampai disana, ia mengambil buku KKPK di rak buku kedua. Oya, rak bukunya itu ada 6, 1 rak berisi 50-60
buku, rak buku keenam sekitar 50an buku. lalu duduk di atas karpet warna biru bergambar awan putih, Shyra pun
mulai membaca. Ditengah membaca, “lagi apa nih, anak Mama?” ada suara di depan pintu ruang membaca. Shyra
menoleh ke sumber suara. “MAMA!!!” teriak Shyra seraya menghampiri seseorang tadi. Yup! itu Mamanya.
“Mama ke rumah bu Ning, ya ada arisan,” pamit Mama. “Ya!” ujar Shyra singkat.

Usai membaca buku KKPK, Shyra mengambil buku cerita anak yang berjudul ‘RUMAH POHON VELA &
VELI’. Lalu setelah baca, ia menaruh di rak lagi. “Hmm… tunggu, pohon, buku, rumah pohon,” gumam Shyra.
“AHA!!!” teriak Shyra.

Esok harinya, pukul 5.00 WIB


“HOAMMM…” Shyra bangun. Shyra merapikan tempat tidur, wudhu, sholat subuh, lalu mandi. Usai mandi, ia
memakai manset ungu, rok jeans semata kaki dan kerudung putih. Oya! selama 1 minggu ini, semua sekolah
diliburkan karena kelas 6 UN, dan Shyra masih kelas 3. Shyra menceritakan idenya pada Ayah dan Mama. Mereka
setuju.

Ayah memesan tukang kayu untuk membuat rumah pohon di pohon yang dilihat Shyra sewaktu bersantai di teras.
Mama dan Shyra membeli buku KKPK, cerita anak, Kumpulan cerpen, novel anak, pelajaran, ilmu pengetahuan,
komik, ensiklopedia, dan majalah khusus anak.

Sebulan kemudian akhirnya rumah pohon Shyra jadi. Rumahnya sangat besar dan luas. Ia menyusun buku-buku di
raknya. Lalu diberi karpet ruangan warna hijau mirip rumput, bantal-bantal kecil untuk bersandar, snack yang
ditaruh di wadah meja dan kursi, di atas meja ada buku catatan besar, pulpen, dan stoples. Di dindingnya dikasih
jam dinding, juga lainnya. Shyra beri nama rumah pohon buku tersebut ‘Rumah pohon buku ANS’. ANS singkatan
dari nama panjangnya, Almashyra Nafiza Sashmira.

Temannya banyak yang datang. Ada juga yang mau minjam/sewa buku. “Shyr! aku mau pinjem buku KKPK yang
judulnya Never give up ini sama kak Vriesta minjem buku ensiklopedia tentang balon udara. Soalnya ia butuh
untuk tugas sekolahnya, 1 hari aja, kok,” jelas Virsa. “ensiklopedia 1 hari 2.500, kalau buku KKPK 1 hari 1000,
jadi 3.500,” jelas Shyra. Virsa memberi uang pas ke Shyra. Shyra menaruh uangnya di sebuah Stoples. “Aku
pinjem buku cerita tebal ini judulnya ‘Anak ayam dan Ibu ayam’ 2 hari,” jelas Wilva. “Buku cerita tebal itu 1 hari
500,” jelas Shyra. Wilva memberi uang seribu keShyra.

Sebulan kemudian, uang yang diperoleh dari menyewa buku adalah 1 juta rupiah. Sebagian ditabung, sebagian
diberi pada yang tak mampu.
Kudoakan Yang Terbaik Untukmu
Aku memandang mentari senja di sebuah pelataran. Gedung kampus ini memang mengizinkan mahasiswanya
untuk bersantai-santai di atap. Sehingga tempat ini menjadi salah satu tempat favorit bagi para muda-mudi yang
tengah asik menghabiskan waktunya di kampus. Tak perlu membayangkan atap yang panas dengan terik
mataharinya, di atap ini cukup nyaman dengan beberapa gazebo yang menghadap langsung ke arah gedung-gedung
pencakar langit lainnya. Di ujung timur, ada musholla yang dikala ashar berkumandang, menghadap langsung ke
arah matahari jingga yang teduh menyinari sujud para wajah yang menghadap ke bumi.

Sebuah suasana yang syahdu lantaran angin yang berhembus sepoi-sepoi. Meniupkan setiap surai dan benang para
penikmat senja yang tengah asyik menyeruput minuman dan makanan ringan yang dibeli di kedai makanan di
bawah. Aku menyingkap surai yang menusuk-nusuk mata. Kupegang topiku erat-erat takut ikut tertiup sang bayu
yang menyapa di balik muka bumi. Sebuah semburat jingga keemasan menyeruak seolah membuat wajahku
menjadi hangat. Mataku tak ubahnya memandang sang matahari yang berjalan pulang menuju belahan bumi yang
lain. Aku terduduk di salah satu gazebo yang menghadap langsung ke arah surya. Salah satu tempat favorit kami.
Ya… kami bertiga.

“Bro…” ini salah satunya, “Bengong aja. Kesambet mampus lu!” Katanya dengan wajah dewasa yang khas. Yang
membuat semua orang terbuai akan ketampanannya serta sikapnya yang mudah bergaul. Namanya Kevin. Pria
agak tambun yang selalu menemaniku.
“Kesambet apaan? Pocong?” Candaku sambil terkikik.
“Yee… sok jago ente. Situ emang berani ama setan lemper macem tuh jurig? Palingan ditongolin juga ngacir
ente.” Katanya cerah dengan matanya yang berbinar dan jambangnya yang bergerak kala pipi itu merekah tertawa.
Aku tak ubahnya ikut menertawai apa yang dikatakan. Begitulah kami. Kami layaknya seperti sepasang tangan
yang saling membutuhkan.

Aku mulai berkawan dengannya saat semester satu dan semenjak hari itu kami semakin akrab. Alasan klise yang
membuat kami sangat dekat adalah kami sama-sama menyukai drama Korea. Untuk ukuran seorang pria, sangat
tabu jika menyukai hal-hal yang demikian. Tapi mau bagaimana lagi, begitulah tali takdir menyatukan. Meski kami
sering berselisih, namun hal itulah yang membuat kami jauh lebih dewasa.

“Punya drama terbaru gak bro?” Tanya Kevin memulai pembicaraan sakral kami.
“Drama “W-Two Worlds”, mau?” Kataku.
“Siapa yang maen?”
“Lee Jong-Suk.”
“Lagi?” Kevin memprotes. “Kayaknya tuh orang emang bikin ngelonjak drama-drama popular, deh.”
“Ya mau gimana lagi. Drama yang sering diperanin ama dia emang bagus-bagus.”

“Udah nonton Descendants Of The Sun belom?” Suara seorang gadis tiba-tiba menyela dan mencuri perhatian
kami. Kami menoleh ketika ia berjalan mendekati. Inilah orang ketiga itu. Orang yang tanpa sepengetahuan alam
raya, telah menyela mengambil hatiku. Tara namanya. Dengan kulit gelap yang manis serta rambut pendek seleher
berwarna eboni. Hidungnya bangir dan diapit dua mata lentik khas keturunan Gujarat. Ia tersenyum manis, seakan
memiliki daya magis untuk menghentikan seperkian detik waktuku.
Siapa kamu? Yang telah mengambil alih angan dalam sepiku dan menjadi bayangan dalam hariku.
Siapa kamu? Yang selalu dekat denganku seakan kamu juga menghilangkan jarakku.
Apakah aku jatuh cinta pada gadis ini? Entahlah. Tapi sekalipun aku berkilah, rasa itu kian mengusik menuntut
hadir.
Menyuarakan bahwa ia ada. Rasa ingin memiliki seutuhnya.

“Drama itu mah udah hatam!” Kata Kevin membuatku kembali ke alam dunia. Ia merangkul bahuku layaknya
teman yang sangat dekat. Aku tak memperhatikan Tara yang duduk di sebelahku. Ia tersenyum sambil memberikan
slurpee yang aku pesan dan hot chocolate yang Kevin pesan.
“Tapi kan Song Jong-Ki itu ganteng banget.” Kata Ara dengan wajah ala-ala fangirlnya. “Dramanya juga
romantis.”
“Iyasih. Apalagi pas adegan di pulau kapal karam itu. Pas dia ngambil batu dan berjanji bakal bisa balik lagi ke
tempat itu.” Kataku menimpali.
“Nggak sih. Yang romantis pas mereka kissing di atas truk jerami. Pemandangannya juga mendukung banget.”
Kevin ikutan.
“Dih… kamu mah… ingetnya adegan kissingnya doang!” Ara cemberut manja. Membuat Kevin tertawa dan aku
yang memperhatikannya sambil tersenyum.
Kami bertiga terus bercengkrama hingga sore terus bergulir. Hingga minuman yang dibawa telah habis kami masih
tertawa diujung peraduan. Saat itulah, hal yang sebenarnya tidak ingin kuketahui malah terjadi begitu saja.

Saat itu Kevin pamit undur diri karena dia ada keperluan dengan salah satu dosen pembimbing. Sehingga tersisa
hanya kami berdua di gazebo atap kampus. Ara agak mendekat dan sepertinya hendak membicarakan sesuatu.
“Gyu…” Panggilnya dengan menggunakan panggilan spesialnya untukku.
Aku mengernyit sambil menatap wajahnya.
Surai lembut itu sedikit menggelitik pipinya yang tirus. Aku tak habis pikir, kenapa wajah ini selalu mengisi setiap
imajinasi dan fantasiku. Mengganggu disetiap mimpi dan khayalanku.
“Hmmm…” jawabku sok jaim.
“Gyugyu… oi!” Panggilnya lagi sambil mengguncang-guncang bahuku. “Pengen ngomong serius nih!” Katanya
merajuk. Aku tersenyum dan mengusap lembut ujung kepalanya.
“Apa, Ra?” “Ini serius! Tapi jangan cerita sama siapa-siapa, ya?” Katanya dengan manik mata yang membulat
lucu.
“Iya.”
“Janji?”
“Iya.”
“Jadi begini…” Tara mulai membenarkan duduknya. “Aku, kamu sama Kevin kan udah berteman lebih dari lima
semester, nih. Kayaknya kamu orang yang cocok buat aku ceritain pertama kali.”
“Soal apa Ra?” Aku mulai was-was karena aku merasa ini akan menjadi sesuatu yang serius.
“Perasaanku.” Aku mengernyit. Jantungku berdegup. Seketika seperti rasa mual yang tiba-tiba menyerangku. Aku
antara siap dan tidak mendengarkannya.
“Kenapa? Kamu suka sama seseorang?” Suara itu tanpa sadar keluar dari ujung kerongkonganku. Terdengar
seperti cekikan yang dikeluarkan oleh jantungku. Tara hanya tersenyum malu-malu. Namun hal itu sudah
membuatku paham akan dibawa kemana arah pembicaraan ini.
“Siapa?” tanyaku lagi setenang mungkin. Mempersiapkan telinga untuk mendengarkan. Bola mataku mengawang
dan mulai tak fokus.
“Kevin.”

Aku terdiam beberapa saat. Menata hati secepat mungkin dan membuat suara untuk tetap tenang. Meski tubuh ini
serasa luruh, namun aku tak berhak untuk mencecarnya lebih jauh. Hanya satu nama untuk sebuah persepsi yang
menyatu bagaikan mozaik.

Kisah ini sepertinya akan sedikit lebih rumit. Dimana seorang pria yang mencintai seorang wanita secara diam-
diam, namun wanita itu mencintai pria lain.
Sahabatnya sendiri!

“Oh.” Kataku datar.


“Iiih… koq ‘oh’ doang sih!” Kata Tara dengan wajah manjanya lagi.

Jangan memasang wajah itu lagi, kumohon.


Tidakkah kamu tahu betapa kamu seperti telah meniupkan badai di antara bantera persahabatan?!

Tidak, ini lebih dari sekedar itu! Tahukan kamu ada hati yang telah kau tikam diam-diam? Sadarkah engkau bahwa
aku tengah menelan jeritanku sendiri. Apa yang lebih menyakitkan dibandingkan menyadari bahwa wanita yang
terpilih malah mencintai orang lain? Yang tak lain adalah temannya sendiri?!

Seketika senjaku berubah menjadi gelap. Matahari seakan mewakili apa yang kurasakan, tenggelam hilang. Tak
berbekas.

“Jadi aku harus jawab apa?” Tanyaku menahan kesakitan.


“Apa kek. Kasih saran gitu! Kamu kan temen baiknya…”

Benar. Dia adalah teman baikku! Itulah sebabnya ini jadi terasa berkali-kali lebih menyakitkan. Aku tak bisa
membencinya karena dia adalah sahabatku! Meskipun ia telah mencuri perhatian darimu hingga membuatmu
memiliki sebuah rasa terhadapnya.

Sekarang apa yang harus aku lakukan selain kecanggungan karena hanya aku yang menyadari semua
kenyataannya. Termasuk perasaanku terhadapmu, itu adalah sebuah kenyataan. Termasuk persahabatanku dengan
Kevin, itu adalah sebuah kenyataan. Apa yang harus kulakukan, saat kuharap semua hanyalah mimpi buruk dan
aku terbangun darinya.
Ini menyakitkan. Karena Hanya Aku yang mengetahui SEMUANYA…

Aku menghela nafas panjang dan berharap hanya Tuhan yang saat ini mengerti diriku. Peganglah aku, dalam
kerapuhanku. Kemudian aku tersenyum menutupi semua rasa sakitku.
Kemudian untuk sekali lagi —atau terakhir kalinya— aku mengusap ujung atas kepalanya. Sebisa mungkin
menahan semua persepsi setan yang menghasutku. Dan… hanya kata-kata ini keluar dari bibirku yang kelu.
“Kudoakan Yang Terbaik Untukmu…”

Benar. Tidak ada yang patut disalahkan akan perasaan ini. Aku tak ingin menjadi orang yang berpura-pura kuat
dengan menahan sakit ketika kau bercerita tentang dirinya di depanku. Aku cemburu, ketika kau tersenyum namun
bukan untukku. Namun, saat ini… hanya itu yang bisa kuucapkan…

Anda mungkin juga menyukai