Anda di halaman 1dari 4

Nama : Avrillia Kartika M

No. : 07

Kelas : VIII D

Karawitan

1. Pengertian Karawitan

Karawitan. Sampai sekarang masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum


mengetahui persis apa yang dimaksud dengan karawitan, padahal istilah tersebut sudah
lama ada. Menurut pengertian ilmu bahasa, karawitan berasal dari kata ka-rawit an. Rawit
dapat berarti cabai kecil yang cukup pedas, tetapi rawit juga dapat berarti halus, indah,
seni. Dalam arti luas, karawitan meliputi : seni tari, seni pedalangan, seni rupa, dan seni
sastra. Dalam arti yang khusus, Karawitan adalah seni suara daerah yang berlaras Pelog-
Salendro.

Dalam bentuk penyajiannya, karawitan dibagi menjadi :

1. Karawitan Sekar
Karawitan sekar merupakan seni siara yang disajikan dengan suara mulut, baik
oleh juru sekar, maupun wirah-suara.
2. Karawitan Gending
Karawitan gending adalah seni suara yang disajikan dengan memakai waditra /
aslat musik. Pengelompokan alat musiknya pun bermacam macam seperti digesek
(rebab, tarawangsa), dipetik (kecapi), digoyangkan (angklung), ditiup (suling),
dipukul (gong,saron, boning, kempul, kenong, kendang, dsb.).
3. Karawitan Campuran
Karawitan campuran adalah seni suara campuran antara sekar dengan gending.
Dan cara penyajiannya pun berbeda. Ada yang lebih mendominankan sekarnya,
dan ada juga penyajian yang menyeimbangkan antara sekar dengan gending.

2. Analisa Artikel

Dari dua artikel yang dipilih, akan dibahas mengenai isi dari tiap-tiap artikel.
Untuk artikel yang pertama berjudul “Gamelan Jazz Patajava” yaitu tentang kolaborasi
musik dan pemusik Jawa dan Jerman sehingga melahirkan gamelan bergaya jazz, atau jazz
bergaya gamelan. Pada artikel ini membahas tentang album yang berjudul “Patajava” yang
merupakan hasil kolaborasi antara Djaduk Ferianto (Kua Etnika) dan Norbert Master
(kelompok Pata Masters dari Jerman). Paduan musik dari dua daerah yang berbeda, yaitu
Jawa yang diwakili oleh music gamelan yang dilatari oleh tradisi lisan, sementara Jerman
dengan konsep-konsep musik tradisi barat yang penuh dengan catatan dan aturan. Pada
akhirnya, karya yang secara konsepsional diolah dengan pendekatan cross culture tersebut
menjadi paduan yang sangat kontras, baik dalam pengolahan harmonisasi, pemilihan
melodi maupun penggunaan instrumentasi. Dalam memahami isi dalam karya Pata Java,
sepertinya penikmat musik digiring kembali untuk memahami sejarah kelahirann jazz
sendiri yang bermula dari harapan atas hak hidup yang sangat diskriminatif, sehingga
memunculkan kesetaraan. Dari situlah jazz mulai lahir dan tumbuh. Gamelan yang pada
dasarnya memiliki wilayah dan hukum-hukum musikal yang berbeda dengan musik barat,
khususnya Jerman, dalam kolaborasi ini disatukan dalam spirit musik jazz yang tidak
pernah mematok suatu estetik tertentu, kecuali tuntutan atas kemerdekaan dan kebebasan
individual. Sehingga, posisi gamelan yang pada dasarnya mempunyai nilai tawar yang
setara dengan musik tradisi barat , benar-benar menemukan kemerdekaan dan
kebebasannya. Untuk mencapai tahap ini, nampaknya yang paling berperan adalah
kesadaran bersama di dalam memahami kelebihan dan kekurangan dengan melihat
perspektif kebudayaan bangsa itu sendiri. Pertemuan dari kedua aliran musik yang berbeda
dari kedua daerah menghasilkan komposisi yang inovatif yang jauh melampaui sekedar
pertukaran atau bentuk-bentuk sintesis, tetapi dua bahasa musik yang saling bertegur sapa,
bermain bersama, kadang bertukar tempat, tetapi akhirnya menyatu kembali.

Beralih dari artikel pertama yang mengenai penggabungan antara gamelan dengan
jazz, kini akan membahas artikel kedua yang berjudul “Barometer #1: Bukan Sekedar
Pentas Pemanis”. Artikel ini membahas tentang pemikiran bahwa menjadikan Yogyakarta
sebagai barometer musik di Indonesia dan di dunia internasional mungkin bukan suatu hal
yang mustahil. Pemikiran ini berasal dari Blass Group Yogyakarta yang dikenal sebagai
perusahaan yang menyediakan sound system, lightning, dan stage, serta equipment
pertunjukan. Untuk mewujudnyatakan pemikiran tersebut, maka Blass Group Yogyakarta
mempunyai gagasan untuk menghadirkan konser gratis das spektakuler bertajuk :
Barometer #1. Konser gratis yang digelar di alun-alun Yogyakarta selama tiga hari
tersebut bertujuan untuk mengakomodasi keinginan kalangan generasi muda Yogyakarta
yang gandrung akan musik dan hiburan. Konser ini juga memang sengaja disediakan bagi
kalangan generasi muda Yogyakarta mengingat minimnya sarana dan prasarana
pendukung yang berkaitan dengan aktivitas generasi muda Yogyakarta akan hiburan yang
dapat dianggap layak mewakili citra generasi muda Yogyakarta. Pertunjukan tersebut
mengusung berbagai macam aliran jenis musik, tidak seperti musik pop saja, melainkan
juga menampilkan beberapa jenis musik etnik dari beberapa tempat di Yogyakarta. Hal ini
bertujuan agar semua unsur musik bisa hadir pada konser ini dan tidak membuat jenuh
pertunjukan barometer #1. Dalam konser ini, pihak penyelenggara juga tak lupa
menghadirkan penampilan khas Yogyakarta seperti gamelan yang ditampilkan di hari
pertama. Tetapi ada yang menarik perhatian dari penampilan gamelan tersebut
dikarenakan penampilannya menggunakan instrumentasi gamelan gelas. Penampilan ini
cukup unik karena menggunakan instrument gamelan gelas, bukan gamelan dalam kondisi
biasanya. Contohnya seperti alat musik gender yang menggunakan medium gelas dan diisi
dengan air yang berwarna-warni. Instrumentasi gamelan gelas ini dikembangkan oleh Drs.
Kathwarso selaku Kepala Bengkel Karawitan P3GK, Yogyakarta.

Dari kedua artikel yang telah dibahas memuat suatu kesamaan, yaitu adanya
modifikasi unsur-unsur dalam gamelan, entah itu dalam hal penyajian dan penampilan
musik, maupun tampilan fisik dari gamelan tersebut secara pribadi. Hal ini menandakan
bahwa gamelan sebagai alat musik tradisional dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan yang terjadi. Seperti yang telah diulas pada artikel pertama, gamelan sebagai
alat musik tradisional dapat berkolaborasi dengan aliran musik jazz. Dari kasus tersebut
dapat disimpulkan bahwa penyajian dalam bermain gamelan pada masa lalu berbeda
dengan pada masa kini. Gamelan sebagai alat musik tradisional dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan era musik dan dapat berkolaborasi dengan aliran musik lain, seperti
jazz. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, lalu dipadukan,
terjadi interaksi antara keduanya, dan pada akhirnya keduanya saling melengkapi sehingga
terjadi persilangan dua budaya yang berbeda dan menghasilkan karya yang unik. Hal ini
menurut saya sangat bagus, karena selain menghasilkan karya yang unik namun juga
menyuguhkan penampilan yang berbeda kepada para generasi muda. Generasi-generasi
muda akan melihat bahwa permainan gamelan tidak akan selalu membawakan lagu-lagu
tradisional, tetapi juga dapat berkolaborasi dengan musik lain. Dengan kata lain, jika para
generasi muda sudah memulai untuk menyukainya, bukan hal yang mustahil untuk
melestarikan permainan gamelan kepada para generasi muda. Selain dalam hal
penyajiannya, penampilan fisik dari gamelan sendiri pun kian dapat berubah. Terbukti dari
gamelan gelas yang dibawakan dari P3GK dalam konser barometer #1 di Yogyakarta. Hal
tersebut dapat menarik perhatian generasi muda sehingga mereka akan tertantang untuk
mempelajari alat musik gamelan.

Pada akhirnya, kesimpulan yang didapat adalah gamelan sebagai alat musik
tradisional harus dapat beradaptasi dengan berbagai macam perubahan-perubahan yang
ada. Sebagai alat musik, gamelan dapat merubah sedikit penampilan fisiknya, juga dapat
beradaptasi dengan perubahan era musik dan juga dapat berkolaborasi dengan musik lain
tanpa menghilangkan identitasnya sebagai alat musik kesenian khas Jawa.

Anda mungkin juga menyukai