Anda di halaman 1dari 4

FUNGSI PURA KAYANGAN TIGA

Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Het Godsdienstig Karakter Der
Balische Dorpsgemeenschap”, R. Goris mencatat bahwa ciri religius dari
desa adat di Bali dibentuk oleh tiga unsur fundamental yaitu:

1. Sejumlah tempat suci desa (Pura-Pura desa) sebagai tempat pemujaan;


2. susunan kepengurusan desa (prajuru desa) yang selalu dikaitkan
dengan fungsi-fungsi keagamaan;
3. Berbagai upacara seremonial (upakara)yang konsisten dilakukan oleh
desa.

Sejak awal, Maharesi Maharkadia telah memberikan pedoman pada


masyarakat Bali bahwa di tempat utama desa seyogyanya dibangun tempat
suci desa untuk memuja Tuhan (…tur hana kahyangan patut pauluaning
desa-desa) selanjutnya ditegaskan desalah yang wajib mengurus tempat suci
desa (desa ika ne wenang mikukuhin parhyangan desa).

Dicatat oleh Goris, pada mulanya pembentukan sebuah desa adat selalu
ditetapkan tiga tempat secara khusus yakni :

 suatu tempat untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan dan roh-roh


leluhur pendri desa;
 sebuah tempat untuk melaksanakan penguburan dan upacara kematian
beserta kompleks pemujaan terhadap roh-roh yang masih kotor (dalam
wujud pirata);
 suatu tempat untuk melakukan pertemuan baik bagi pengurus desa
maupun bersama-sama warga desa.

Untuk tempat yang pertama selalu diusahakan suatu tempat yang lebih tinggi
dari desa. Tempat ini merujuk ke arah gunung atau kaja. Di sinilah kemudian
dibuat tempat suci pusat atau asal yang difungsikan untuk memuju Tuhan
dalam perwujudannya sebagai dewa pelindung alam dan para roh suci leluhur
yang telah menjadi Dewa. Tempat suci inilah kemudian disebut “Pura
Puseh”, dan merupakan “tempat suci alam atau (Upper Worldly Temple).

Bagi tempat yang kedua dimana pada tempat itu digunakan untuk prosesi
kematian (setra) dan tempat suci untuk memuja Tuhan dalam perwujudan
sebagai dewa kematian, akan selalu dicari tempat yang lebih rendah dari desa
atau sering disebut ke arah laut (kelod). Tempat suci ini kemudian disebut
pura Dalem, yang merupakan tempat suci alam bawah (Nether Worldly
Temple). Pura Dalem difungsikan untuk melakukan penyucian terhadap roh
(Sang Hyang Dalem).

Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, Roh tidaklah secara serta merta
menjadi suci setelah manusia mati. Begitu manusia meninggal dipercaya
bahwa roh atau jiwanya masih berada pada alam bawah dalam bentuk Pirata.
Baru setelah dilakukan proses upacara penyucian di Pura Dalem rohnya akan
menjad| suci dan terangkat dari alam bawah menuju alam atas. Di Tempat
Suci (Pura Dalem) ini yang dipuja adalah Dewa penguasa Kematian yang
akan memberi restu (panugrahan) untuk menyucikan roh-roh dari warga desa
yang telah meninggal.

Untuk tempat pertemuan desa, warga desa (Krama Desa) memilih tempat di
tengah-tengah dari wilavah koloni desa, misalnya sering ditemui dekat
persimpangan jalan atau tempat dimana Pasar Desa terletak, tempat ini
berupa pavilion (Balai, Bale) dimana pada masa yang lalu dipergunakan
untuk tempat mangkal pemuda pemudi desa (Truna-Truni), tempat menginap
bagi para pelancong luar desa. Di samping itu digunakan juga sebagai tempat
pengukuhan (inisiasi) menjadi krama desa. Pusat desa yang memiliki multi
fungsi ini, berkembang menjadi Tempat suci yang disebut “Pura Bale
Agung”, sebagai tempat melakukan pertemuan. V.E Korn menggambarkan
Pura ini sebagai “the sacral men’s house”.

Pada desa-desa tua hampir seluruhnya memiliki tiga jenis tempat suci ini.
Hanya saja dalam penempatannya terdapat beberapa variasi. Misalnya Pura
Puseh ditempatkan sebagai bagian dari Pura Bale Agung atau sebaliknya. Di
daerah Buleleng Pura Puseh dan Pura Bale Agung dijadikan satu kesatuan ke
dalam Pura Desa.

Pada tipe Pura Dalem yang sangat tua terdapat bangunan (Pelinggih) yang
diperuntukkan bagi roh-roh warga desa yang baru meninggal, tipe ini
terdapat di desa-desa pegunungan sekitar danau batur (Desa wintang danu
batur). Demikian juga Pura Puseh, awalnya adalah tempat pemujaan yang
sangat sederhana. Pada tempat suci ini sering terdapat arca batu besar (Paica,
Taulan). Pada Pura Bale Agung dicirikan oleh adanya balai pertemuan yang
besar (Bale Agung) ditambah beberapa bangunan suci lainnya.

Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung sering ditemui besar dalam
ukurannya, tetapi senantiasa sederhana dalam disainnya. Pura-pura ini
mengalami perubahan arsitektur selama berabad-abad. Perubahan itu datang
sebagai hasil dari paham Hindu yang secara perlahan-lahan disaring dari
karajaan Hindu. Pada masa kerajaan Hindu di Bali, tempat suci kerajaan
disebut “Pura Pamerajan”. Pemerintah kerajaan memiliki dua tempat suci
yakni : Pura Penataran sebagai pura kerajaan atau pura pemerintahan dan
pura prasada (candi) sebagai tempat pemujaan bagi eluhur kerajaan.

Dalam pura penataran, kesatuan kerajaan melakukan peringatan meminta


berkah kemasyuran, perlindungan, kekuatan untuk memerintah yang
kesemuanya dilaksanakan dengan cara-cara religius. Di pura Prasada
keluarga raja mencoba mencari hubungan dengan para leluhurnya mohon doa
restu.

Dalam perkembangan kemudian pura penataran menjadi suatu pura yang


besar di dalamnya berisi altar, bangunan pemujaan (pelinggih), tempat
persembahan, balai pertemuan, balai gong, dapur suci, dan bangunan balai-
balai lainnya. Prasada unsur utamanya adalah suatu susunan batu besar
(candi). Unsur batu digunakan untuk keseluruhan disain pura ini, apakaha itu
untuk altar, maupun bangunan penunjangnya.

Mengikuti contoh-contoh pura kerajaan ini, maka pura-pura desa lambat laun
(juga arsitekturnya) kena pengaruh pola kerajaan Hindu. Pura Bale Agung
yang terdapat di desa mengikuti pola pura penataran kerajaan dan pura dalem
mengikuti pola pura Prasada. Persolannya kemudian, kerajaan memiliki dua
tempat suci (Penataran dan Prasada) sedangkan desa memiliki tiga pura
(puseh, Bale Agung dan Dalem ) lalu bagaimana gambaran hubungan kedua
jenis pura tersebut.

Di dalam pura penataran yang disembah adalah Tuhan penguasa wilayah,


(bumi, tanah). Dan sebagai tempat pertemuan keagamaan dari kerajaan. Hal
ini merupakan karakteristik dari pura Puseh dan Pura Bale Agung pada
tingkat Desa. Sedangkan Pura Prasada sebagai tempat untuk melakukan
hubungan dengan para Dewa, leluhur kerajaan adalah sama fungsinya dengan
pura Puseh, Desa. Fungsi pura dalem adalah sebagai tempat memuja leluhur
yang belum menjadi dewa (masih dalam bentuk pirata) tidak ditemukan
dalam kerajaan.

Para leluhur kerajaan selalu disucikan dan distanakan dalam sebuah candi.
Proses penyucian roh leluhur raja-raja tidak diijinkan untuk ditangguhkan.
Keseluruhan rangkaian upacara kremasi ini berakhir di dalam candi
(Prasada). Demikianlah idealnya menurut konsepsi masyarakat Bali Hindu,
dimana upacara pengabenan segera mungkin dapat dilakukan.

Akibat kontak yang konstan antara pihak kerajaan dengan orang-orang Bali
pedesaan dan tiadanya penyegaran pengaruh India dan Jawa (Hindu), maka
kerajaan dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, dengan kekuatan (power)
dan perlengkapan yang dimiliki, pihak kerajaan akan membuat dengan segera
candi atau prasada bagi raja yang meninggal. Kedua, mulai merasakan dan
berpikir lebih sebagai seorang Bali sehingga dirasakan perlu untuk
membangun Pura Dalem kerajaan. Biasanya sebutan pura ini mengacu pada
nama kerajaan yang bersangkutan. Misalnya Pura Dalem Koripan, Pura
Dalem Segening, Pura Dalem Gelgel dan sebagainya.

Dengan cara seperti ini terjadilah kesatuan arsitektur antara pura penataran,
pura bale agung dan pura puseh. Di satu pihak dengan pura dalem, pura
prasada dan pura dalem kerajaan di pihak yang lain. Sekarang ini dapat
dilihat pada candi kurung mengingat kepada jalan utama menuju pura
penataran dan candi bentar mengingatkan kepada susunan utama pura candi
atau pura prasada. Dewasa ini tak terhitung pura yang mempunyai kedua tipe
gerbang tersebut.

Setelah datangnya Mpu Kuturan di Bali (awal abad 11), Pura-pura Desa
tersebut mendapat penataan melalui konsep “Tri Murti” yakni paham teologis
yang menjabarkan kemaha kuasaan Tuhan dalam bentuk trinitas. Dalam
penataan Pura Desa itu, Pura Bale Agung difungsikan sebagai tempat
pemujaan Tuhan pencipta(brahma), Pura Puseh sebagai tempat suci untuk
memuju Tuhan pelindung (Wisnu) dan Pura Dalem tempat memuja Tuhan
pelebur (Siwa). Tiga pura milik desa ini kemudian disebut Kahyangan Tiga.
Desa dengan ciri kahyangan tiga ini sekarang lebih populer dengan sebutan
Desa Adat atau Desa Pakraman.

Di samping tiga pura utama tersebut, untuk desa-desa yang terletak dekat
pantai umumnya memiliki pura segara, demikian juga desa-desa yang
terletak di perbukitan biasanya terdapat pura bukit. Pada sejumlah desa di
Bali pura-pura kepunyaan desa adat tidak hanya tiga melainkan bisa lebih
dari itu sesuai dengan latar belakang historis, geografis dan sosiologis dari
desa yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai