Anda di halaman 1dari 9

CATUR WEDA SIRAH

Reg Weda :

Om atha puruso hawai narayana, Komayate prajah srejeyeti Narayanat prano jayate, Manah
sarwen driyani ca Om Kham wayur jyotir apah, Pretiwi wiswasya dharani Narayanad Brahma
jayate, Narayanad Rudro jayate, Om Narayanat Indro jayate, Narayanat Prajapati prajayate
Narayanad dwa dasa aditya, Rudra wa sawah sarwani chandamsi Om Narayanad ewam
samud padyante, Narayana prawretante Narayana praliyante, ya Etad Reg Weda siro dite.

Arti bebasnya
:

Om Hyang Widdhi sumber Kesadaran Agung Narayana, yang mengikat semua keinginan dan
perbuatan. Dari Narayana kekuatan hidup diciptakan. Narayana menciptakan pikiran, semua
indriya, udara/langit, cahaya, air, bumi, dan semua hal yang ada dan Narayana adalah
penopang dari segala sesuatu (atau seuruh alam semesta). Dari Narayana Brahma lahir, Dari
Narayana lahirlah Rudra, Indra, dan Prajapati. Dari Narayana Lahirlah dua belas aditya,
sebelas Rudra, delapan Wasu, dan semua pustaka Weda dilahirkan oleh Narayana, mereka
bertindak dengan energy Narayana, dan mereka akhirnya larut dalam Narayana, Jadi
Narayana adalah kepala yang utama dari Reg Weda demikian telah dipelajari kebenaranya.

Yayur Weda ;

Om atha nityo Narayanah, Brahmasca Narayanah Siwasca Narayanah, SangKaras ca


Narayanah.
Om Sakras ca Narayanah, Kalas ca Narayanah Om Urdhwam ca Narayanah, Adhas ca
Narayanah, Antar bhais ca Narayanah, Om Narayana edwedam sarwam, Yad bhutam yascho
bhawyam, Niskalangko Niranjana, Nirwikalpo Nirak yatah suddha dewa eko, Narayana na
dwityo sti kascit, Yah ewam weda sa Wisnur ewa bhawati, Ya etad Yayur Weda siro dite

Arti bebasnya :

Om Hyang Widdhi, Engkau yang kekal yang bergelar Sriman Narayana. Narayana adalah
Brahma (pencipta), Narayana adalah Siwa (Maha Suci), Narayana adalah Sakra (yang
terhebat), Narayana adalah waktu yang abadi, Narayana adalah empat penjuru arah mata
angin dan empat arah antara, Narayana adalah Zenith dan nadir interior dan eksterior,
Narayana adalah semua ini, yang tak terbayangkan, Beliau satu yang abadi, yang utuh, murni,
Yang Maha Esa, satu tanpa ada duanya. Engkau adalah Mahkamah Tuhan, wahai Narayana,
Dia yang telah datang untuk menyadari hal ini akan datang kepada Wisnu, Jadi dengan
mengetahui ini akan menjadi kepala yang berarti dari Yayur Weda telah dipelajari

Sama Weda ;

Om ity agre wyabaret iti pascat, Narayana yeti uparistat Om ity ekaksaram, nama iti dwi
aksaram, Narayana yeti Pancaksaram.Om etad wai Narayana sya, astaksaram padam, Yo
hawai Narayana sya, astaksaram padam abhyeti Anapabhruwah sarwa ayur eti, windante
prajapatya gum, rayas posam gopatyam, tatomretam asnuta, ity ya ewam weda ity upanisate,
ya etad sama weda siro dite
Arti bebasnya :

Pertama mengucapkan Om, kemudian namo dan akhirnya Narayanaya, Om adalah bentuk
dari satu suku kata, namo adalah dua suku kata membentuk dan Narayanaya adalah bentuk
lima suku kata, Ini memang delapan suku kata mantra dari Tuhan Narayana, siapapun yang
meresapkan kedelapan suku kata mantra dari Tuhan Narayana, akan bebas dari kutukan
apapun selama seluruh perjalanan hidupnya. Dia akan mencapai status Prajapati (Tuhan atas
semua mahkluk), memperoleh kekayaan, kepemilikan atas ternak, dan akhirnya mencapai
keabadian (moksa), jadi dengan mengetahui ini akan menajdi kepala ; yang berarti dari Sama
Weda telahdipelajari

Atharwa Weda ;

Om Suryatidam nirmalam satatam, Candra amretham sakalam Sa Sada Siwa sa Suryam,


Idapyam jagat twam, Brahma Surya, Surya prabhawam Maheswara Mahadewa, Sambu
Sangkaras ca Siwam Sada Siwa, Parama Siwa Taya suksma Parangga taya tayi sa Suryam,
Padma nabha Narayana Indra Suryam prakasam, Catur Bhumim asa mam asisam.Hresthi
sukham sajanam, sthawara jangga mam lata wreksa, sapra roham mregha prajadipati, Om
Siwam sarwa sakala maranam, nada bindu bhaskaram, Omkaram eka aksaram, kala agni
suryam tri aksaram, anggam panca brahmanam, Dewi aksara Narayana skandam Ghanapati
Kumara, Sthri Siwa Suryam, Sa etad Atharwa siro dite.

Arti bebasnya :

Om Hyang Widdhi, Om ini adalah kekal abadi, murni menerangi matahari yang murni, yang
menenangkan jagat raya seperti berasal dari bulan, yang merupakan putra dari Sada Siwa,
yang merupakan cahaya kosmik Brahma, pada Matahari yang sepanjang bersinar, Engkaulah
adalah Maheswara Dewanya para Dewa, Tuhan Yang tertinggi (Mahadewa), Yang Lahir
menjadikannya Esa (Sambu), Yang Maha Menarik (Sangkara), Engkau Yang maha
menguntungkan ( Siwa ), Engkaulah Matahari dengan pusar bunga Lotus, seperti
(Padmanabha), penopang dari seluruh alam semesta (Narayana), dan raja segala raja (Indra),
yang ada secara bersamaan, di empat belas dunia, Tuhan yang memberi kebahagian pada
orang Suci, manusia, binatang, pohon, tanaman merambat, dan mahkluk lainnya, Tuhan
tertinggi dari semua mahkluk (Prajadipati), Yang Paling menguntungkan, Om akhir dari
segalanya, Nada berkilau, dan bindu satu huruf suci yaitu satu suku kata Om, Engkau adalah
api, Matahari waktu, perwujudan dari tiga suku kata, lima Brahma dan dua suka kata, wahai
Narayana, Skanda, Ganesha, Kumara Dewi, Siwa, dan Surya, Jadi dengan mengetahui
(Narayana) akan menjadi kepala : yang berarti dari artharwa weda telah dipelajari

Narayana Upanishad catur weda sirah ke V (pancami weda);

Om pratar adhiyano, rathri kertam papamnasyati, sayam adiyano, diwasa kertam papam
nasyati, madhyahna dinam adhi thyabi mukho dhiyanah, panca maha petaka, papa petaka,
pramucyate, sarwa weda parayana punyam labhate, narayana sayujyam awapnoti, 2x, ya
ewam weda ity upanisad namo namah swaha

Arti bebasnya :
Ya Hyang Widhi, dia yang membaca mantra ini dipagi hari akan menghancurkan segala
dosa yang telah dilakukannya pada malam hari, dia yang membaca mantra ini di malam hari
akan menghancurkan dosa dosa yang telah dilakukannya pada siang hari, dia yang membaca
mantra ini di siang hari, dan berselimutkan matahari akan menghilangkan lima dosa besar
serta dosa-dosa kecil, dia juga akan mendapat manfaat suci dari membaca kitab suci Weda.
Di akhir hidupnya dia akan menjadi satu dengan Tuhan Narayana, ini adalah inti pengetahuan
Weda hamba bersujud padaMu,
Om '''''' dibaca Om atau Aum adalah sinar yang menetap dihati/jantung Sujud kepada
OMKARA sebagai awal dari permulaan alam semesta yg merupakan sumber keberadaan ini.
Om adalah maha tinggi dan segalanya semua alam semesta yang tampak dan tidak tampak
sesungguhnya adalah Om berada dalam Om dan kembali lagi ke Om. Mengucapkao aksara
OM 21 kali
akan membantu memurnikan dan menjernihkan fisik, dan mental sang pengucap. Sedangkan
OMKARA terakhir atau hitungan ke 21 akan membersihkan diri sang bakta bersatu dengan
Brahman. Pengucapan OMKARA 21 kali juga akan dibekali kekuatan serta kemampuan
memenangkan agitasi-agitasi yang timbul dari pikiran sehingga mempercepat diperoleh
berkah dari Brahman. Atau kongkretnya mengucapkan OM 21 kali akan memurnikan:

1. Pita suara
2. Tangan
3. Kaki
4. organ sekresi
5. Organ reproduksi
6. Mata,
7. telinga,
8. Hidung,
9. Lidah,
10. Kulit,
11. Prana,
12. apana,
13. vyana
14. samana
15. udana,
16. Lapisan badan,
17. Lapisan chi atau badan astral
18. Lapisan badan mental
19. Intelek,
20. Kebahagian sejati,
21. Pencapaian kesadaran agung diri sejati.
Sebelum menyembelih binatang korban untuk caru/tawur, didahului dengan mantra :

Mantra ini juga boleh digunakan sebelum memakan daging :

Juga mantra ini semestinya diucapkan sebelum ngayab caru agar hewan itu benar benar sudah
disucikan rohnya:

Om pasu pasa ya wihmahe sirah ceda ya dimahi, tanno jiwah pracodayat "
Artinya, Om Hyang Widhi Wasa, hamba menyembelih hewan ini, semoga rohnya bisa
menjadi suci
dan mendapat tempat yang layak sesuai karmanya.

Untuk mepepada singkat pujanya tepat jelas dan bisa digunakan :


Om sang sarwa paksi (dwi pada) paripurna ya namah swaha.
Om bang sarwa sattwa (catur pada) paripurna ya namah swaha.
Om Tang sarwa bhawa(pwa pada) paripurna ya namah swaha
Om ang sarwa mina (tanpa pada) paripurna ya namah swaha
Om ing sarwa tumuwuh paripurna ya namah swaha.

Artinya : sang kepada semua burung, bang kepada binatang berkaki empat, tang kepada
semua mahkluk berkaki banyak, ang kepada semua bangsa ikan, ing kepada tumbuh-
tumbuhan yang dapat melengkapi kesejahtraan manusia
Apakah itu Caru, Segehan, dan Tawur ?

Mecaru (upacara Byakala)

Adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai dang hyangan
dalam bahasa jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam
semesta (Panca Maha Bhuta).

Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:

1. Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang
sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)
2. Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam
wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus,
pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya
3. Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia

Biasanya ayam berumbun (tri warna?) digunakan sebagai pelengkap dari panca sata, urutan
penempatan caru (madya) panca sata adalah sebagai berikut:

* Timur = Purwa: ayam warna putih, dengan urip 5.


* Selatan = Daksina: ayam warna merah (biying), dengan urip 9.
* Barat = Pascima: ayam warna kuning (putih siungan) , dengan urip 7.
* Utara = Uttara: ayam warna hitam (selem), dengan urip 4.
* Tengah = Madya: ayam warna brumbun, dengan urip 8.

Dalam "kitab Samhita Swara" disebutkan,

Arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru.
Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan
hubungan manusia dengan alam lingkunganya.

Dalam "kitab Sarasamuscaya 135" disebutkan,

Bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup catur purusa arta guna mendapatkan :
Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita
artinya menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara
melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam
agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik.

Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan "Car" dalam
bahasa Sanskrit artinya keseimbangan/keharmonisan. Jika dirangkaikan, maka dapat
diartikan : Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.

Keseimbangan/keharmonisan yang dimaksud adalah terwujudnya Tri Hhita Karana yakni


1. keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan),
2. sesama manusia (pawongan), dan
3. dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu,
misalnya : pelanggaran ajaran dharma/dosa, atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah
timpal, mitra ngalang, dll), terjadinya perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau
bencana alam, kebakaran dll yang dapat merusak palemahan, patutlah diadakan pecaruan.

Kenapa dalam pecaruan dikorbankan binatang ?


Binatang terutama adalah binatang peliharaan/kesayangan manusia, karena pada mulanya,
justru manusia yang dikorbankan. Jadi kemudian berkembang bahwa manusia digantikan
binatang peliharaan. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten
caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata akan menggunakan ayam brumbun atau lima warna.
Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam. dan seterusnya

Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan
dalam Manawa Dharmasastra V.40; Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan
sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya.

Manusia yang akan memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut
juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang
lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia.

Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu
penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk
meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus
meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.

Berikut ini dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:

Segehan

Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan Segehan, Sega
berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh
nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk
nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk
kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk
pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, areng, garam dan lain-lainnya.
dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang,
sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air,
tuak, arak serta berem.

Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di
gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel, Segehan Cacahan, Segehan
Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara /
Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak bisa mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah /
sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke
perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang
Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan
sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari).
Segehan yang besar berbentuk caru.

Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan di dikpala dari
para dewa (Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan
segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan
Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat
air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu
halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-
pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan
sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar
para bhuta (panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati
makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.

Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu
rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca
warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah
(Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna
hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran
keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di
dikpala, di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah.

Dalam Lontar Carcaning Caru, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang
berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning,
merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan panca sata (kurban dengan
lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah,
hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih
digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi
sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan dari piodalan) yang memilki kekuatan
sampai datang piodalan berikutnya.

Caru

Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan madya ini di sebut dengan Caru. Pada tingkatan
ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging
binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan tingkatan jenis caru
yang di laksanakan. menurut lontar Carcaning Caru jenis-jenis caru adalah Caru ayam
berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor
ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru
yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai
dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.

Baten caru yang berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam
semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg
linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat
upacara.
Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan
dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam akan bisa kembali
stabil.

Tawur

Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur. Adapun yang digolongkan tawur
dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi - sesuai dengan yang
tersurat dalam lontar Bhama Kertih digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang
diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis
buwana agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100
tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.

Tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun
upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura
besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan
kabupaten/kota, provinsi, maupun negara. misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya
setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap
sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap
seratus tahun sekali.

Upacara Rsi Gana

Dalam upacara agama Hindu memang ada telah dikenal istilah Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk
pemujaan kepada Gana Pati (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vighnesvara (raja atas
berbagai halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar
dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak
pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan dasar upacaranya, sehingga seolah-
olah Rsi Gana itu sama dengan caru ~ kebanyakan orang menyebut dengan istilah caru Rsi
Gana.

Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti
upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan.
* Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan caru ayam
abrumbunan 33 (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna).
* Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda).
* Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih,
menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru.

Jadi, pelaksanaan upacara Rsi Gana adalah bertujuan untuk memuja Dewa Gana Pati atau
Dewa Ganesa yang merupakan Dewa Penguasa para Gana atau para abdi Dewi Durga, Dewa
Siwa, dan Gana Pati sendiri.

Anda mungkin juga menyukai