Anda di halaman 1dari 16

Candi Kalasan

LETAK DAN PEMUGARAN CANDI


Candi Kalasan terletak dipinggir jalan raya Jogjakarta Prambanan, sehingga akan terlihat jelas apabila
kita melewatinya. Candinya sudah sangat rusak, di pugar pada tahun 1927-1929, tetapi karena tidak
banyak batu candi yang dapat ditemukan lagi, maka apa yang terlihat sekarang adalah hasil maksimal
yang bisa dilakukan oleh para ahli arkeologi (Gambar 1).

Pada waktu diadakan pembongkaran oleh Dinas Purbakala sebelum Perang Dunia II, ternyata pada
bagian dalam kaki candi terdapat dinding yang lebih tua. Artinya candi Kalasan telah pernah direnovasi
sebelumnya. Kebiasaan memperbaiki suatu bangunan suci oleh penguasa –penguasa kemudian biasa
terjadi. Misalnya stupa Sanchi di India pun pernah terbukti ada perbaikan, atau usaha memperbesar
stupa tersebut .

LATAR BELAKANG KEAGAMAAN


Candi Kalasan merupakan candi yang bersifat agama Buddha Mahayana, dan merupakan candi agama
Buddha tertua di Jawa Tengah. Sebuah prasasti berbahasa Sansekerta yaitu prasasti Kalasan dari
tahun 700 Saka/778 Masehi telah ditemukan tidak jauh dari candi tersebut.
Berdasarkan prasasti Kalasan, sebuah bangunan suci untuk Tārā(Tārābhavanam) telah didirikan oleh
guru-guru raja Sailendra setelah mendapat ijin dari raja Panangkaran.
Prasasti Kalasan ini sangat penting, tidak saja untuk mengetahui bentuk agama Buddha yang
berkembang ketika itu dan kedua untuk menelusuri sejarah raja-raja yang memerintah di wilayah Jawa
Tengah pada abad 8-10 Masehi.
Berdasarkan kitab-kitab sumber agama Buddha, setelah Siddharta Gautama wafat, agama Buddha
pecah menjadi 2 aliran besar, yaitu:
Yang disebut agama Buddha Hinayana atau Therawada dan agama Buddha Mahayana.
Perbedaan yang signifikan adalah mengenai tujuan akhir hidup para pemeluknya. Cita-cita tertinggi
penganut agama Buddha Hinayana adalah menjadi Arhat bagi setiap orang, yang mempunyai arti
melenyapkan avidya (ketidak tahuan), dan melenyapkan segala keinginan duniawi agar terhindar dari
kelahiran kembali dan dapat mencapai Nirwana.
Adapun cita-cita tertinggi penganut agama Buddha Mahayana bukan menjadi Arhat bagi diri sendiri,
melainkan menjadi seorang Bodhisatwa, maksudnya menangguhkan pencapaian Nirvana atau yang lebih
dikenal sebagai tingkat Kebuddha-an, untuk menolong manusia lain mencapai tingkat tersebut.
Tekad menolong sesama mahluk itu didasari oleh rasa belas kasihan (karuna). Untuk menjadi seorang
Bodhisatwa tidaklah mudah, ia harus memupuk pengetahuan suci untuk memperoleh kebijaksanaan
dengan menempuh 10 tingkatan jalan (mārga) Bodhisatwa yang dikenal dengan nama daśa
boddhisattwabhūmi. Setiap tingkat (bhūmi) Boddhisatwa terkait dengan satu ajaran tentang
kesempurnaan (paramitā) yang berjumlah 10 pula. Oleh karenanya agama Buddha Mahayana juga
dikenal sebagai Paramitāyana.

Sunyata dan Skanda


Ajaran lain dalam agama Buddha Mahayana yang perlu penulis kemukakan, adalah ajaran tentang
śunyata (kehampaan,ketiadaan) dan skandha yang berjumlah 5.

Ajaran Bhakti
Menurut ajaran Buddha Mahayana, segala sesuatunya adalah hampa, oleh karenanya apa yang
diinginkan tidak ada, atau tidak terwujud, tidak perlu diminta dan dicari. Bukan saja dunia ini yang
hampa, bahkan Nirwana dan Dharma juga hampa, dan Kebenaran Tertinggi pun adalah
Kehampaan/Ketiadaan (Śunyata)

Ajaran Bhakti
Kemudian agama Buddha Mahayana mendapat berbagai pengaruh, di antaranya adalah ajaran bhakti.
Gerakan ini menekankan kasih dan penyerahan diri pada dewa tertentu. Dan pengaruh ini berakibat
kepercayaan munculnya para Buddha/Bodhisattwa yang bersifat mitis, yang merupakan pantulan dari
para Buddha yang menguasai mata angin.
Munculnya tokoh-tokoh Buddha/Boddhisattwa tersebut dikaitkan dengan ajaran Sakyamuni tentang 5
skandha. Menurut ajaran tersebut manusia merupakan perpaduan (samghata) dari nāma-rūpa, yaitu
rūpa (jasmani), vijñana (kesadaran), vedana (perasaan) samjña (pengamatan) dan samskara
(kehendak).
Selanjutnya ke-5 skandha tersebut diidentifikasikan dengan 5 Tathagatha atau Jina dengan mata angin
tertentu (Buddha-ksetra) yang dikuasainya, yaitu Wairocana (zenith), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa
(selatan), Amittabha (barat ) dan Amoghasiddha (utara). Masing-masing Tathagatha ini dari daya
tafakurnya dan kekuatan pengetahuannya, mengalirkan seorang Bodhisatwa dan seorang Manusia
Buddha.

Adi Buddha
Ajaran tentang 3 jenis “tubuh” yang berbeda-beda tingkatannya ini dikenal sebagai ajaran “Tiga tubuh
Buddha” (Trikāya), yaitu Dharmakāya, Sambhogakāya dan Nirmanakāya. Dharmakāya yang bersifat
Śunyata sering disebut Adi Buddha, atau nama lain sesuai dengan aliran pemujanya. Kelompok
Tathagatha termasuk, Sambhgakāya dan kelompok di bawahnya Nirmanakāya.
Adi Buddha yang disebut Bhattara Buddha dalam naskah Sang Hyang Kamahayanikan (naskah jaman
Mpu Sindok) digambarkan memiliki “pasangan” berbentuk wanita, bukan śakti karena dalam agama
Buddha tidak mengenal śakti, tetapi perwujudan Prajña (Kebijaksanaan) yang bersifat pasif, sedangkan
Adi Buddha sendiri perwujudan dari Karuna (Belas Kasihan) bersifat aktif.
Demikian pula masing-masing tokoh dalam Sambhogakāya dan Nirmanakāya, dipuja dengan masing-
masing prajña-nya yang disebut Tārā, dengan pembeda ciri-ciri ikonografi dan warna.

Candi Buddha Tertua


Menarik perhatian adalah bahwa candi tertua di Jawa dibangun untuk Tārā, berarti Tārā dianggap
sebagai dewi tertinggi. Hanya sayangnya arcanya telah hilang sehingga untuk identifikasi Tārā dari
Tathagatha yang mana sulit dilaksanakan. Dalam prasasti Kalasan disebut Arya Tārā , tokoh yang
jarang ditemukan di India, kecuali di Bengal, sedangkan di luar India sangat dikenal, antara lain di Tibet,
Nepal dan Cina. Pemujaan Tārā pada umumnya, bertujuan untuk minta keselamatan dalam perjalanan
di laut, namun sebagai dewi tertinggi pemujaan kepada Arya Tārā mempunyai tujuan yang lebih luas
lagi. Dalam prasasti Kalasan, Arya Tārā dikaitkan dengan ajaran dharma, dan menolong manusia
menyeberangi lautan samsara, untuk mencapai pengetahuan yang benar.

LATAR BELAKANG SEJARAH


Prasasti Kalasan sangat penting untuk merekonstruksi sejarah budaya masa Klasik Tua (periode Jawa
Tengah). Disebut dalam prasasti tentang pendirian sebuah bangunan suci (bhavana-) untuk Arya Tārā
(Tara-bhavana-), dan sebuah vihara untuk guru-guru raja Sailendra. Seperti telah dikemukakan
terdahulu, Arya Tara, dewi tertinggi dalam agama Buddha diharapkan dapat memberi kemudahan dalam
usaha manusia mengarungi “lautan samsara” . Adapun yang mendirikan adalah guru-guru raja
Sailendravamsatilaka (:manikam keluarga Sailendra) setelah mendapat ijin dari Sri Maharaja
Panamkarana.
Penyebutan 2 nama tersebut menimbulkan berbagai pendapat tentang berapa wangsa raja yang
memerintah di kerajaan Mataram tersebut, Dua wangsakah (Sailendra dan Sanjaya) atau hanya satu
wangsa, karena ada yang berpendapat raja-raja wangsa Sanjaya sejak raja Panangkaran berubah
haluan menjadi beragama Buddha ? Berdasarkan bacaan terakhir oleh penulis tentang prasasti Kalasan,
dapat dikemukakan, bahwa di Jawa Tengah memang ada 2 dinasti (wangsa) raja. Pada baris 2 dan
baris 5 prasasti Kalasan berbunyi sebagai berikut:
2. āvar(j)yā mahārājam dyāh pañcapanam panamkaranam
śailendrarājagurubhis tārābhavanam hi kāritam śrimat
(Terjemahan: sebuah bangunan suci (untuk) Tara yang mulia telah di-
suruh buat oleh guru2 raja Sailendra, setelah memperoleh persetuju-
an Maharaja Dyah Pancapana Panamkarana)

5. rājye pravarddhamāne rajñah śailendravamśatilakasya


śailendrarājagurubhis tārābhavanam kŗtam kŗtibhih
(Terjemahan: sebuah bangunan suci (untuk) Tara telah didirikan
oleh guru2 raja Sailendra di kerajaan “manikam raja2 Sailendra” yang
sedang berkembang).

Dari dua bait prasasati Kalasan tersebut, raja Panangkaran bukan raja Sailendra, dan ia bergelar
Maharaja, sedangkan raja Sailendra hanya bergelar “raja”. Melihat bahwa Tārābhavanam didirikan di
“kerajaan Sailendra yang sedang tumbuh”, maka ketika itu raja Sailendra masih merupakan raja “kecil” di
bawah kekuasaan Panangkaran. Bahkan ketika akan mendirikan bangunan suci untuk Tārā, raja
Sailendra (melalui guru2nya) minta ijin terlebih dahulu pada maharaja Panangkaran.

DESKRIPSI BANGUNAN CANDI


Telah dikemukakan terdahulu, candi Kalasan pernah diperbaiki, sisa-sisa candi pertama ditemukan pada
tahun 1940 pada waktu diadakan penggalian oleh Dinas Purbakala. Walaupun hanya sedikit tersisa dari
bangunan pertama ini, dapat dikemukakan bahwa candi Kalasan tahap pertama berdenah bujur sangkar
dan sederhana. Kemungkinan candi yang pertama inilah yang disebut dalam prasasti Kalasan, ketika
raja Sailendra baru memerintah sebagai bawahan raja Panangkaran.
Candi kedua, yaitu yang nampak sekarang terlihat perkembangannya, karena denah tidak bujur sangkar
lagi, pada tiap sisi diberi penampil sehingga membentuk denah palang atau dahulu lebih sering disebut
sebagai “salib Yunani”, atau “denah palang”.
Seperti lazimnya candi-candi dari periode Jawa Tengah )gaya Klasik Tua sekitar abad 8-10) Masehi,
secara vertikal candi terdiri atas kaki-tubuh-atap. Untuk memadatkan tanah tempat candi berdiri,
biasanya ada fondasi di dalam tanah atau di dalam tanah dan sekaligus dimunculkan di permukaan tanah
seperti halnya candi Kalasan. Fondasi di permukaan tanah ini di candi Kalasan berukuran tinggi kurang
lebih 1 meter, menjadi lapik kaki candinya yang didirikan di atas fondasi tersebut. Lapik lebih lebar dari
kaki candi, sehingga membentuk selasar untuk mengelilingi candi (pradaksina) (Gambar 1). Lapik ini
dihias oleh beberapa pelipit rata yang berukuran besar dan kecil.
Kaki candi berdiri di atas lapik, dengan tangga naik ke ruang candi di sebelah timur, hanya sayangnya
tangganya sudah rusak tinggal tumpukan batu saja. Demilian pula berbagai pelipit yang menghias
dinding kaki candi sudah rusak, tetapi A.J.Bernet Kempers (1959) dapat mencoba merekonstruksi
bingkai-bingkai kaki candi, yaitu berbentuk pelipit rata, pelipit padma dan pelipit setengah lingkaran
(kumuda).
Tubuh candi masih nampak bentuknya pada sisi selatan dan tenggara (Gambar 2).

Pintu-pintu penampil dan relung dihias kepala kala tanpa rahang bawah, yang dihubungkan dengan 2
pasang makara. Tidak banyak hiasan dinding candi, tetapi sangat bagus dan mempunyai nilai seni yang
tinggi. Dahulunya dinding candi diberi lepa, dan mungkin warna-warna tertentu. Beberapa tahun yang
lalu, pengunjung masih bisa menemukan pecahan kecil-kecil lepa dinding candi. Di samping motif kala-
makara, keindahan diperlihatkan pula oleh motif sulur daun atau sulur gelung (ricalcitran spiral) yang
menghias bingkai-bingkai candi.
Pada tubuh candi ini terdapat ruang candi (garbhagrha) yang bisa dimasuki dari pintu timur. Sebuah
lorong (antarala) menghubungkan pintu dengan ruang tengah tersebut. Di dinding sebelah barat terdapat
pentas persajian dengan sisa-sisa singgasana yang kosong, arcanya (Tārā ?) tidak ditemukan lagi.
Atap candi sebenarnya sangat unik, di bagian atas pintu penampil terdapat atap dengan hiasan stupika-
stupika. Di bagian tengah terdapat lapik berbentuk prisma segi-8 dengan kemungkinan puncaknya
sebuah dagoba besar. Dinding-dinding lapik masih terlihat beberapa relief manusia , hanya sayangnya
keadaannya sudah sangat rusak.

HALAMAN CANDI
Candi Kalasan dikelilingi oleh 52 buah stupa kecil-kecil sekarang tinggal fondasi-fondasinya. Ketika di
gali untuk diteliti, ternyata isinya peripih termasuk kaca perunggu. Pada candi Hindu, peripih dimasukkan
dalam sumuran candi yang ada di bagian bawah arca di ruang tengah. Pada candi-candi Buddha,
peripih dalam sumuran tidak ditemukan. Pada candi Kalasan rupanya peripih di letakkan di bawah 52
stupa kecil-kecil yang mengelilingi candi induk.
Keistimewaan lain dari candi Kalasan adalah pada ujung jalan setapak menuju candi di sebelah timur,
dihias dengan motif “batu bulan” (moonstone), berbentuk kurawal yang berfungsi semacam pembersih
kaki (Jawa:kekesed). Kebiasaan pemakaian “moonstone” ini banyak ditemukan pada kompleks kuil-kuil
India Selatan.

PENUTUP
Seperti telah dikemukakan terdahulu, Candi Kalasan pada umumnya dikaitkan dengan prasasti Kalasan
yang menyebut desa Kalasa tempat didirikan Tārābhavanam (bangunan suci untuk Tārā). Namun dari
hasil pembongkaran tahun 1940 terdapat kaki candi yang lebih tua,
Berdasarkan ciri-ciri struktural maupun arsitekturalnya, J.Dumarcay memperkirakan candi Kalasan yang
ada sekarang ini dibangun sekitar tahun 850 Masehi, di atas candi yang dibangun tahun 778

Sumber : http://jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=58:candi-
kalasan&catid=14:candi-dan-tempat-suci-kuno&Itemid=72&lang=id di unduh 30/4/2015

Candi Kalasan atau Candi Kalibening[1] merupakan sebuah candi yang dikategorikan sebagai
candi umat Buddha terdapat di desaKalasan, kabupaten Sleman, provinsi Yogyakarta, Indonesia.

Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi jalan raya antara Yogyakarta dan Solo serta sekitar 2
km dari candi Prambanan.

Pada awalnya hanya candi Kalasan ini yang ditemukan pada kawasan situs ini, namun setelah digali
lebih dalam maka ditemukan lebih banyak lagi bangunan bangunan pendukung di sekitar candi ini.
Selain candi Kalasan dan bangunan - bangunan pendukung lainnya ada juga tiga buah candi kecil di
luar bangunan candi utama, berbentuk stupa.

Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini menyebutkan
tentang pendirian bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan
sebuah vihara untuk para pendeta.[2][1] Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini
bernama Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga Syailendra.
Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti Kelurak tokoh ini dapat
diidentifikasikan denganDharanindra[3] atau dengan prasasti Nalanda adalah ayah
dari Samaragrawira[4]. Sehingga candi ini dapat menjadi bukti kehadiran Wangsa Syailendra,
penguasa Sriwijaya di Sumatera atas Jawa.[5]

Dalam Prasasti Kalasan berhuruf Pre Nagari, berbahasa Sanksekerta ini menyebutkan para guru
sang raja Tejapurnapana Panangkaran dari keluarga Syailaendra berhasil membujuk raja untuk
membuat bangunan suci bagi Dewi Tara beserta biaranya bagi para pendera sebagai hadiah
dari Sangha.
Profesor Dr Casparis. menafsir berdasarkan prasasti Kalasan itu, Candi Kalasan dibangun bersama
antara Budha dan Hindu. Sementara itu Van Rumond, sejarahwan dari Belanda meyakini bahwa di
situs yang sama pernah ada bangunan suci lain yang umurnya jauh lebih tua dibanding Candi
Kalasan, sesuai hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1928. Bangunan suci itu berbentu
wihara yang luasnya 45 x 45 meter. Ini berarti bangunan candi mengalami tiga kali perbaikan.
Sebagai bukti, menurutnya, terdapat empat sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol.

Pada bagian selatan candi terdapat dua relief Bodhisattva, sementara pada atapnya terdiri dari 3
tingkat. Atap paling atas terdapat 8 ruang, atap tingkat dua berbentuk segi 8, sedangkan atap paling
bawah sebangun dengan candi berbentuk persegi 20 yang dilengkapi kamar-kamar setiap sisinya.

Beberapa Keistimewaan dan Bentuk dari Candi


Kalasan[sunting | sunting sumber]
Pada candi Kalasan ini memiliki lapisan penutup candi yang dinamakan Bajralepa, yaitu semacam
plesteran di ukiran batu halus. Detil dari hiasan Bajralepa ini yang merupakan salah satu ciri Candi
Kalasan, yang juga dijumpai pada Candi Sari.

Denah bangunan Candi Kalasan berbentuk persegi. Atapnya segi delapan dan puncaknya
berbentuk dagoba (stupa). Keadaannya sudah sangat rusak. Hanya bagian selatan yang masih
utuh. Disebut-sebut, bilik pusatnya dahulu memiliki arca perunggu setinggi 6 meter yang kini hilang.
Sedangkan ketiga biliknya juga kosong.

Tubuh dan atap candi dihias dengan ukiran-ukiran yang sangat indah. Terdiri dari relung-relung,
sulur-sulur, arca-arca Budha, dagoba-dagoba dan arca Gana, yaitu manusia kerdil berperut buncit
yang biasanya memikul barang.

Mengenai hiasan ini, Bernet Kempers dalam bukunya, Indonesia Selama zaman Hindu, halaman 25,
menyebutkan bahwa cara pembuatan hiasan yang cukup rapi dan memikat ini menunjukkan bahwa
pada masa pembuatan candi ini memiliki pemahat dan ahli plester bangunan yang sangat cakap.

Ditambahkan menurut Bernet, Candi Kalasan dulunya ditutup oleh stucco seluruhnya, seperti juga
candi-candi yang lain. Sedangkan penghalusan bagian-bagian candi ditambahkan batu penutup
yang terbuat dari batu kapur.

Di dalam bangunan candi yang nampak sekarang, ternyata ada kontruksi yang lebih tua. Karena itu
beberapa ahli mengatakan bahwa banguna yang ada sekarang itu merupakan banguan tambahan
di sekitar abad ke-9. Bangunan aslinya jelas memiliki usia yang lebih tua daripada itu.

Denah kaki Candi Kalasan terletak di atas lapik berbentuk bujur sangkar. Dasar candi juga
berbentuk bujur sangkar. Pada kaki candi terdapat makara. Di sekeliling kaki ada hiasan
jambangan. Tubuh candi bujur sangkar dengan penampil-penampil yang menjorok ke luar di tengah
sisinya. Dilengkapi sebuah singasana yang dihiasi singha berdiri diatas punggung sekeor gajah.
Bagian luar candi, terdapat relung yang dihiasi gambar dewa memegang bunga teratai. Pada setiap
pintu masuk terdapat hiasan kepala kala yang dijenggernya terdapat kuncup bunga. Pohon dewata
ada diatasnya dan para penghuni kahyangan memainkan bunyi-bunyian seperti rebab, gendang,
kerang dan cemara.

Atap candinya terdapat hiasan Gana. Atap nya berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Di
tingkat pertama terdapat arca Budha. Pada keliling candi terdapat bangunan stupa setinggi 4,6
meter sebanyak 52 buah.

Keindahan candi Kalasan ini masih bisa dinikmati terutama pada bagian selatan candi. Terdapat
Banaspati yang besar, lajur yang tegak lurus dihiasi dengan sulur-sulur dan makara-makara, yang
merupakan termasuk hasil kesenian Jawa pada masa Hindu yang terbaik. Keistimewaan lain adalah
Makaranya menghadap kedalam dan keluar dan diatas kepala Kala terdapat lukisan berbentuk atap
candi yang menjulang tinggi.

Bila candi ini dilihat dari dalam, candi ini disusun dari tumpukan batu-batuan yag saling terkait dan
melebar kebawah.

Sekalipun candi ini telah dipugar pada tahun 1927 dan pada tahun 1929, namun masyarakat tetap
akan menemui kesulitan untuk melihat keindahan Candi Kalasan ini. Itu karena ada bagian-bagian
yang terpaksa tidak dapat dikembalikan seperti sediakala, disebabkan karena banyak batu -batu
aslinya yang hilang.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Kalasan

Lokasi Candi Kalasan

Candi Kalasan terletak di Desa Kalibening sub , Desa Tirtomartani , Kecamatan Kalasan ,
Kabupaten Sleman , Yogyakarta . Lokasinya sekitar 50 meteran di sebelah selatan jalan
raya Yogya – Solo. Itu adalah sekitar 15 Km dari Yogyakarta atau 2 Km di sebelah barat
Candi Prambanan .
Sumber : http://www.yogyakarta.co/candi-kalasan/

Tata Letak dan Bahan Bangunan


Tata letak

Tata letak Candi Sewu yang konsentris memperlihatkan bentuk mandala wajradhatu.

Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua sistem dalam
pengelompokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:

1. Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk berada di tengah–
tengah anak candi (candi perwara). Candi perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi
induk. Sistem ini dipengaruhi tata letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi
Prambanan dan Candi Sewu.
2. Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi perwara berada di
depan candi induk. Ada yang disusun berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung
memasuki kawasan yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan,
sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini merupakan sistem
tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang tinggi, sehingga bangunan induk atau
tersuci diletakkan paling tinggi di belakang mengikuti topografi alami ketinggian tanah tempat
candi dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan
dalam tata letak Pura Bali.
[sunting]Bahan bangunan

Tumpukan susunan balok batu andesit di Borobudur yang rapi dan saling kunci menyerupai balok permainan lego.
Candi Blandongan di komplekspercandian Batujaya, Karawang, Jawa Barat, berbahan bata merah.

Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi dan ketersediaan bahan serta
teknologi arsitektur masyarakat pendukungnya. Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit,
sedangkan candi-candi pada masa Majapahit di Jawa Timur banyak menggunakan bata merah.
Demikian pula candi-candi di Sumatera seperti Biaro Bahal, Muaro Jambi, dan Muara Takus yang
berbahan bata merah. Bahan-bahan untuk membuat candi antara lain:

1. Batu andesit, batu bekuan vulkanik yang ditatah membentuk kotak-kotak yang saling
kunci. Batu andesit bahan candi harus dibedakan dari batu kali. Batu kali meskipun mirip andesit
tapi keras dan mudah pecah jika ditatah (sukar dibentuk). Batu andesit yang cocok untuk candi
adalah yang terpendam di dalam tanah sehingga harus ditambang di tebing bukit.
2. Batu putih (tuff), batu endapan piroklastik berwarna putih, digunakan di Candi
Pembakaran di kompleks Ratu Boko. Bahan batu putih ini juga ditemukan dijadikan sebagai
bahan isi candi, dimana bagian luarnya dilapis batu andesit
3. Bata merah, dicetak dari lempung tanah merah yang dikeringkan dan dibakar. Candi
Majapahit dan Sumatera banyak menggunakan bata merah.
4. Stuko (stucco), yaitu bahan semacam beton dari tumbukan batu dan pasir. Bahan stuko
ditemukan di percandian Batu Jaya.
5. Bajralepa (vajralepa), yaitu bahan lepa pelapis dinding candi semacam plaster putih
kekuningan untuk memperhalus dan memperindah sekaligus untuk melindungi dinding dari
kerusakan. Bajralepa konon dibuat dari campuran putih telur, getah tumbuhan, kapur halus, dan
lain-lain. Bekas-bekas bajralepa ditemukan di candi Sari dan candi Kalasan. Kini pelapis
bajralepa telah banyak yang mengelupas.
6. Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki komponen kayu. Candi
kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini. Beberapa candi tertinggal hanya batu
umpak atau batur landasannya saja yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan
atasnya yang terbuat dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di
Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun sesungguhnya merupakan landasan pendopo yang
bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi Kimpulanmemiliki umpak yang diduga candi induknya
dinaungi bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi Plaosanmemiliki
komponen kayu karena pada struktur batu ditemukan bekas lubang-lubang untuk meletakkan
kayu gelagar penyangga lantai atas, serta lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji
jendela
http://rofiqotunnisa.blogspot.com/2012/10/tata-letak-dan-bahan-bangunan.html
Candi Kalasan terletak di pinggiran jalan raya Yogyakarta – Prambanan, merupakan candi Budha
peninggalan dinasti Syailendra (778M) oleh Tejahpurnapana Panangkaran, anak menantu dari Raja
Samarottungga dari dinasti sebelahnya yaitu Sanjaya. Pada masa ini kita mengenal di belahan bumi
lain di Arab, yakni Umar ibnu Abdul Aziz dari Dinasty Umayah, juga terdapat nama Sultan
Muhammad Al-Fakih. Disini perlu pula dibaca faktor Cina di dalam perkembangan budaya Islam
Jawa, faktanya negeri Cina menyimpan lebih banyak harta emas peradaban manusia asal
Javadwipa. Memahami sejarah Kalasan adalah membuka kebesaran Manusia Jawa di tengah geo-
struktur masyarakat dunia di masanya.

Candi Kalasan dibangun untuk menghormati Ibu mertua Rakai Panangkaran, di Dinasti Syailendra.
Karena itu bangunannya megah sekali serta dan memiliki ornamen indah unik, di sekeliling candi
terdapat Balekambang. Tubuh candi berhias 52 stupa, memiliki empat buah Ruang dengan pintu
masuk menghadap ke berhias kala, ruang di tengah yang terbesar berisi arca Dewi Tara setinggi 3-
6 meter. Bagian atas badan candi terdapat arca Dhyani-Budha di empat penjuru mata angina yaitu
Aksobhya, Amogasidhi, Amitabha dan Ratnasambhawa.

Bangunan candi ini direnofasi tahun 1927–1928, kemegahannya mengingatkan kita pada Candi Sari
sekitar 700m utara Candi Kalasan. Sedangkan Candi Sari (812 – 838M) berbentuk seperti vihara
Buddha sebagai tempat meditasi, mengajar calon Bikhu dan menyimpan kitab- kitab agama.
Bangunan Sari bertingkat, masing-masing memilliki tiga ruang yang saling berhubungan, terdapat
bekas tangga untuk naik. Atap candi terdiri 9 stupa berderet 3–3–3 sesuai ruang yang di bawah,
dinding candi berhias Dhyani-Bodhisattwa.

Relasi nama Panangkaran mengingatkan pula pada bangunan candi-candi di komplek Prambanan
yaitu Candi Lumbung, Candi Bubrah dan Candi Sewu. Semua berdiri di abad ke-9 berdasar prasasti
Kelorak 782M (barat candi) dan diteruskan prasasti Manjustri Grha 792M, artinya tahun itu candi
Sewu telah berdiri. Terdapat ciri-ciri gotong royong dengan tanda goresan batu sebagai hak raja
penerima pajak, jika diperhatikan tahun prasasti adalah masa Rakai Panangkaran bersama
bawahannya Jayamana, Stahtaka dan Sutragraha.

Relasi simbol ruang pada candi Kalasan juga bisa dirujuk pada komplek candi Sewu. Yakni
mengacu pada perlambang banyaknya bangunan (sewu) dari pusat ke pinggir masing-masing 1, 8,
28, 44, 80 dan 88 total 249 candi. Di pintu masuk terdapat delapan raksasa (yaksa) sebagai penjaga
bangunan. Pohon kalpataru dan hiasan purnakalasa merupakan lambang kesuburan. Pada Stupa
terdapat tiga bagian yakni andha segi empat di bagian bawah, harmika tengah dan yasthi paling
atas berbentuk bulat menyerupai puncak payung. Di Candi Sewu juga kita temukan patung
Jaladvara, yakni dewa penunggu bangunan suci.

Saat renovasi Sewu tahun 90an, ditemukan batubata merah berbentuk kubus 1m 3 berada di titik
pusat candi, merupakan prakerti yang unsur-unsurnya mengandung panca mahabutha yakni air, api,
tanah, aksa dan udara. Satu ruang utama dikelilingi empat ruang kecil, gambaran Gunung
Mahameru yang dikelilingi gunung-gunung kecil. Secara keseluruhan tata letak candi Sewu
mengandung konsep kosmologis, yaitu sebuah gunung di pusat benua di kelilingi lautan tak
terbatas. Bukti-bukti tersebut melemahkan pendapat bahwa perpindahan kerajaan Mataram Hindu
ke timur adalah karena kesengsaraan rakyat (Makalah pada Pendidikan Pramuwisata D.I.Y., 1994).

Sedang prasasti dekat Candi Plaosan menyebut dua orang Raja berbeda wangsa mendirikan
sebuah bangunan suci, yaitu Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya dan Sri Kahulungan dari wangsa
Syailendra. Sri Kahulungan oleh J.G. de Casparis diidentifikasi sebagai anak Raja Samarottungga,
yang dalam prasasti Karang Tengah 824M disebut nama Pramodhawardhani (Moertjipto, Prasetyo,
B., 1990). Candi Plaosan terletak di dusun Plaosan, Bugisan, Prambanan ±1,5km arah tenggara
komplek Candi Prambanan, terdiri dari kelompok Plaosan Utara dan kelompok Kidul yang hanya
memiliki sebuah candi. Sedang Candi Plaosan Lor memiliki 2 candi induk, 58 candi perwara dengan
jumlah stupa 126 buah. Di candi perwara ditemukan prasasti seperti disebut diatas bertuliskan huruf
Jawa Kuno Anumoda Sang Sirikan Pu Surya artinya Hadiah dari Sirikan pejabat Pu Surya, di candi
lain terdapat tulisan Anumoda Sri Kahulungan dan Dharma Sri Maharaja, sebagai hadiah Sri
Baginda Putri.

ERA PEMBELAJARAN

Kecuali Kalasan yang gagal renovasi sesuai bentuk awal, seluruh pemugaran candi-candi tersebut
di atas selesai dipugar pada Oktober 1993. Saat Gempa mengguncang Jogja 2005 bangunan candi-
candi itu kokoh berdiri. Plaosan misalnya dapat dikunjungi dengan lebih sempurna. Saat
pemugarannya ditemukan prasasti berhuruf shidam atau prenagari yang mengatakan bahwa
pembangunan Plaosan adalah oleh Rakai Pikatan (838 – 851M) yang masa pemerintahannya
penuh gejolak politik, hingga energinya difokuskan untuk membangun Larajonggrang.

Fakta geologi terbaru menyebut, bahwa candi-candi di sekitar Jogja telah ada sejak abad 1 dan
berkembang pesat pembangunannya pada abad 8-10. Meskipun pusat Mataram Kuno dipindahkan
tahun 928 M ke Jawa Timur, terbukti pembangunan candi-candi kecil tetap berlangsung hingga
abad 13 (Sri Mulyaningsih, 2006). Fakta ini terus bergerak berdasar hipotesa baru, kita masih harus
banyak belajar dari yang dilakukan generasi terdahulu. Kesan mengunjungi komplek Candi-candi
menjelang terbenam matahari, menikmati siluet sinar kemerahan di cela-cela bangunan candi
sungguh mengesankan, sekaligus menyadarkan bahwa manusia Jawa amatlah religius, bijaksana,
gemar bersuci dan berbakti pada Tuhan.

Nama arca Devi Tara pada Candi Kalasan dan ornamen khas disana bisa pula terbaca lain. Arti tara
yakni suci, dekat dengan kata Arab thair (burung) dan mathar (pangkalan udara). Era Mataram kuno
ini menjelaskan pada kita tentang kebesaran peradaban yang telah tinggi di tanah Jawa, sebagai
pusat perkembangan masyarakat di masanya. Candi Plaosan dan Kalasan memiliki alasan kuat
bagi pemujaan figur Ibu, ibu pertiwi atau Um (Umi-Ummah) dan kata Ratu – Keratuan – Kraton. Arca
Dewi Tara juga bermakna representasi figur suci seorang Ibunda dari Maharaja Jawa, mertua Raja
Tejahpurnapana Panangkaran.

Candi Kalasan seperti disebut sebelumnya, sengaja dibangun untuk menghormati kematian Sang
Ibunda mertua, hal ini merupakan penghormatan pada sosok perempuan yang lebih berhak untuk
disanjung, detaati dan diangkat tinggi-tinggi. Simbul suci dan feminitas merujuk pada fakta
bangunan candi, sekaligus menggambarkan bagaimana ketinggian moral Raja-rja di Jawa. Itulah
sebabnya, seorang Raja memiliki tugas-tugas Ke-Ratu-an (Kraton) yaitu membina dan mengabdi
kepada rakyat dan ibu pertiwi. Itu pula, sosok Dewi Tara yang dipuja dan dipuji adalah Dewi Quan’in
bagi seluruh semesta. Di dalam Islam, terdapat Hadits Rasul SAW yang menyebut Siti Fatimah
sebagai Ibu dari diri beliau, dimaksud untuk menghormat sosok perempuan. Dalam konsep ini,
awalnya kesucian berwujud maskulin, namun berubah menjadi feminin oleh tuntutan harkat
tanggung-jawab menjaga isi semesta. [

https://hpijogja.wordpress.com/2009/03/25/candi-kalasan/

Pengetahuan Sejarah Konsep Bangunan Pemujaan di Jawa


Pengetahuan Sejarah Konsep Bangunan Pemujaan di Jawa

KONSEP ADANYA BANGUNAN PEMUJAAN YANG BERUNDAK DAN BERTINGKAT

1. 1. Pengertian Bangunan Berundak danBertingkat


Bangunan bertingkat mana pengertiannya hampir sama dengan bangunan berundak. Akan tetapi
perbedaan dari sebutan tersebut adalah pada bagian mana yang bertingkat dari obyek bangunan yang
dimaksudkan. Pada pembahasan mengenai bangunan pemujaan masa Prasejarah (Megalitikum atau
batu besar) lebih cenderung pada bangunan berundak atau disebut punden. Hal tersebut karena pada
masa itu pembuatan tempat pemujaan kepada nenek moyang belum memiliki ruangan khusus sebagai
tempat menyimpan arca-arca dewa, atau hanya mendirikan tugu batu(Menhir) di atas bangunan
berundak. Oleh karena itu belum menggunakan atap bangunan. Akan tetapi hanya dibuat dengan
menyusun batu-batu yang didapatkan dari alam dengan bentuk berundak-undak seperti tangga sebagai
sesuatu yang mirip dengan gunung, dari konsep kepercayaan manusia prasejarah bahwa gunung adalah
tempat bermukimnya roh nenek moyang. Makna dari bangunan tersebut sangatlah singkat, yaitu semakin
tinggi kedudukan atau status sosial orang yang dikuburkan maka semakin tinggi pula bangunan tersebut
dibuat yang kebanyakan berundak tiga sampai lima.
Sedangkanmasa perkembanganHindu-Budha di Nusantara, bangunan pemujaan sebutannya lebih pada
bangunan bertingkat. Hal ini karena selain bentuknya yang bertingkat mulai dari bawah hingga atas, juga
disebabkan masing-masing tingkatan memiliki arti atau makna-makna tertentu.Jadi lebih tepatnya disebut
dengan bangunan bertingkat meskipun bentuknya masih berupa bangunan berundak, misalnya seperti
Candi Borobudur di Jawa Tengah dan Candi Jajagu(Jago)di Malang-Jawa Timur yang bentuknya mirip
dengan bangunan berundak pada masa Prasejarah. Oleh karena itu, konsep pembuatan bangunan
berundak dari masa Prasejarah tetap berlangsung sampai masa perkembangan kebudayaan Hindu-
Budha, khususnya pada masa akhir Kerajaan Majapahit menjelang abad ke-15 Masehi.
2.Asal Mula Adanya Bangunan Berundak Pada Kebudayaan Manusia Prasejarah
Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama secara berkelompok.Seperti yang dialami
oleh manusia pada masa prasejarah yang hidup secara bersama-sama. Dalam kebersamaan hidup itu
akhirnya melahirkan suatu kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan erat dengan antar sesama manusia dan
dengan alam sekitarnya yang disebut budaya. Menurut Soekmono (1973:76-78) dalam kebudayaan
masyarakat prasejarah muncul adanya sikap dengan memberi sebanyak mungkin kepada sesama
manusia dalam suatu kelompok atau dalam istilah antropologi disebut denganpotlatch. Maka dalam
kegiatan saling memberi antar sesama anggota kelompok tersebut memunculkan rasa timbal balik untuk
saling memberi. Akan tetapi, dalam kenyataannya memberi adalah hal yang lebih utama dari pada
menerima, sehingga dalam masyarakat tersebut menganggap orang yang memberi lebih banyak
memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Orang yang kuat lahir batinnya serta dapat
memberikan sesuatu yang lebih pada semua anggota masyarakatnya dianggap sebagai kepala suku.
Seorang kepala suku selalu mengadakan pesta jasa yang besar-besaran, berfungsi untuk meraih rasa
simpati dari rakyatnya. Seluruh rakyat senang dan kagum dengan apa yang telah diberikan oleh kepala
suku tersebut. Maka untuk melambangkan dari pesta jasa tersebut, masyarakat mendirikan sebuah tugu
batu berbentuk tegak yang disebut dengan menhir.
Pada saat kepada suku telah meninggal, mereka bagaikan kehilangan sesuatu yang sangat bernilai
harganya. Maka menhir yang mereka bangun fungsinya beralih dari lambang pesta jasa menjadi
lambang pemujaan terhadap ketua suku yang meninggal sebagai pelindung dan pemberi hidup bagi
mereka. Maka muncul anggapan bahwa arwah atau roh kepala suku yang sudah meninggal turun di
menhir tersebut dan dianggap masih bersama dengan mereka. Maka dari itulah muncul kepercayaan
terhadap roh nenek moyang atau dinamisme. Mereka menganggap orang yang sudah meninggal telah
pergi ke alam atau dunia selanjutnya. Untuk arwahnya dibuatkan menhir sedangkan raganya dimasukkan
ke dalam peti batu dan dikuburkan di tanah. Dalam kuburan tersebut dimasukkan juga barang-barang
berharga milik kepala suku/orang yang dianggap pemberi hidup tersebut atau disebut dengan bekal
kubur.
Pada perkembangan selanjutnya muncul anggapan tentang adanya dunia arwah yang jauh di atas dunia
ini. Maka dari itu mereka menganggap sesuatu yang lebih tinggi sebagai tempat bersemayamnya roh
nenek moyang. Tempat itu tidak lain adalah gunung. Kemudian kuburan dari nenek moyang tadi
dibuatkan sebuah bangunan lagi di atasnya yang berbentuk menyerupai gunung, atau yang disebut
dengan punden berundak. Dinamakan punden berundak karena bentuknya yang berundak-undak seperti
tangga yang kemudian di atasnya ditancapkan menhir sebagai lambang kesempurnaan bagi yang sudah
meninggal.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan fungsi dari bangunan berundak yaitu sebagai medium pemujaan
kepada roh nenek moyang/kepala suku, Pengharapan kesejahteraan bagi masyarakatnya yang masih
hidup, kesempurnaan bagi yang sudah mati. Hal ini berkaitan dengan didirikannya menhir di atas
bangunan berundak.
3.Proses Perkembangan Bangunan Bertingkat Sebagai Tempat Pemujaan
Menurut von Heine Geldren dan Quaritch Wales dalam Soejono(Ed)(1984: 12) Pada masa selanjutnya
bangunan-bangunan megalitik yang sudah dijelaskan di atas yang berupa punden berundak akhirnya
juga ikut menentukan bentuk-bentuk candi masa Hindu-Budha di Indonesia.Pengaruh Hindu-Budha
sebenarnya hanya berada di pusat-pusat kerajaan saja, karena lebih meresap pada golongan elit dan
bangsawan saja. Sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman tetap hidup dengan
kebudayaan aslinya., yaitu masih menganut sistem kepercayaan terhadap roh nenek moyang yang
disebut dengan Animisme.
Peninggalan-peninggalan purbakala seperti patung, punden, candi, maupun peninggalan lainnya
sebenarnya merupakan peninggalan masa megalitik yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha. Hal
tersebut dilihat dari bentuk-bentuk candi di Jawa, Bali, dan Sumatra yang ternyata tidak menunjukkan
jenis asli atau proto-type dari candi-candi yang ada di India sebagai pusat awal keberadaan kebudayaan
Hindu-Budha.
Hal tersebut dibuktikan dengan observasi langsung terhadap Candi Ceto dan Candi Sukuh yang berada
di karanganyar-Jawa Tengah. Candi tersebut adalah peninggalan masa megalitik, namun fungsinya
sebagai pemujaan tetap berlangsung sampai masa Hindu-Budha di Indonesia. Jadi konsep kebudayaan
masyarakat Indonesia sebelum mendapat pengaruh Agama Hindu-Budha, mereka sudah
mempunyaikeahlian membuat bangunan berundak yang berlangsung sampai abad ke-15 yaitu akhir
masa kebudayaan Hindu-Budha yang juga akan dilanjutkan dengan perkembangan Islam di Nusantara.
Akan tetapi, bangunan-bangunan yang difungsikan sebagai pemujaan pada masa Hindu-Budha sampai
masa perkembangan Islam memiliki makna atau arti yang lebih kompleks dibandingkan dengan masa
Prasejarah. Hal tersebut karena pada masa Hindu-Budha sampai perkembangan Islam sudah memiliki
landasan-landasan filosofis religius yang mendasari dibangunnya bangunan-bangunan pemujaan
tersebut.
4. Makna Bagian Bangunan Bertingkat Pada Agama Budha
4.1 Asal mula bentuk bangunan suci Agama Budha
Bangunan pemujaan atau Candi Budha dibangun berdasarkan bentuk yang disebut dengan stupa. Asal
mula dari bentuk bangunan Stupa berasal dari India. Ceritanya yaitu ada dua orang yang merupakan
penganut utama Agama Budha, yang diberikan sebuah tugas oleh Sang Budha untuk menyimpan
potongan rambut dan kukunya ke dalam bangunan yang bernama stupa (Suwardono, 2001:3).
pengertian dari stupa adalah bangunan pemujaan Agama Budha berbentuk kubah yang berdiri diatas
lapik segi empat dan di atasnya lagi diberi sebuah payung yang disebut Chatra, dan kadang-kadang
payung tersebut terbuka dan kadang juga tertutup. Makna dari payung tersebut adalah sebagai tanda
kehormatan atau lambang kahyangan. Suwardono juga menambahkan bahwa fungsi stupa antara lain
sebagai tempat menyimpan abu atau tulang Sang Budha dan Biksu atau disebut dengan
Dhatugarbha(Dagoba), tempat menyimpan benda-benda suci milik Sang Budha atau Biksu atau disebut
juga Reliq. Benda-benda tersebut antara lain: kuku, rambut, jubah, dan benda-benda lainnya milik Sang
Budha, tanda peringatan sesuatu yang penting dalam hidup Sang Budha, lambang suci dari Agama
Budha atau dianggap sebuah monumen yang bertuah atau berkekuatan gaib sebagai benda untuk
memusatkan meditasi atau semedi.
Sebuah bangunan suci atau Candi Budha yang megah dan besar berada di Jawa tengahyang didirikan
pada masa Dinasti Syailendraadalah Candi Borobudur. Candi ini merupakan kesatuan stupa yang
tersusun pada bangunan berundak yang bentuknya juga mirip dengan stupa dari bagian bawah hingga
ke bagian atas yang masing-masing bagian mengandung makna filosofis religius tertentu.
4.2Makna filosofis dariBangunan suci bertingkat Agama Budha
Dalam membahas tentang Bangunan Suci atau Candi Budha, salah satu yang dapat dijadikan contoh
adalah Candi Borobudur yang megah dan dibangun bertingkat yang masing-masing tingkatan bagian dari
bangunan suci Agama Budha terlihat dari bawah hingga atas mengandung makna filosofis religius.

Menurut W.F. Stutterheim dalam Suwardono (2001:9) menggambarkan aturan alam semesta yang
konsep pemikiran Agama Budha atau Budhisme terbagi menjadi tiga, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu,
Arupadhatu.
Gambar. 1: Bentuk bangunan bertingkat dalam Agama Budha dan masing-masing makna Filosofisnya
1. Kamadhatu (dunia hasrat), merupakan alam bawah atau dunia tempat dimana manusia
masih dikuasai oleh keinginan-keinginan yang rendah dalam dirinya. Hal tersebut digambarkan
dalam bentuk relief pada bagian kaki Candi Borobudur atau bagian bawah candi.
2. Rupadhatu (dunia rupa), merupakan sebuah dunia tempat dimana manusia sudah
terbebas dari ikatan nafsu. Akan tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini disebut
juga dengan dunia tengah yang memisahkan alam bawah dengan alam atas serta merupakan
dunianya orang suci.
3. Arupadhatu (dunia tanpa rupa), merupakan dunia atau tempat yang paling atas. Dunia ini
disebut juga sebagai nirwana, atau tempat dimana kebebasan secara mutlak sudah tercapai.
Maksudnya bebas dari keinginan dan ikatan bentuk dan rupa untuk memperoleh keabadian di
surga atau nirwana. Sehingga pada bagian puncak ini tidak digambarkan polos atau tidak
berelief-relief.
Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam konsep pemikiran Budhisme, manusia
dalam hidup ini melewati tiga tingkatan. Tingkatan yang paling bawah apabila manusia masih terikat oleh
nafsu dan keinginan duniawi dalam dirinya. Untuk dapat menuju ke tingkatan yang lebih tinggi harus
dapat melepaskan nafsu dan keinginan duniawi dengan kata lain mengabdikan hidupnya untuk beribadah
dan beramal baik dengan sesama makhluk yang maha pencipta. Setelah melewati tahap tersebut, tinggal
menunggu saat selanjutnya untuk dapat menuju nirwana atau dunia tanpa rupa dan bentuk. Maksudnya
yaitu kematian yang tenang dan kekal di alam berikutnya.

5. Makna Bagian Bangunan Bertingkat Pada Agama Hindu


Bangunan suci atau umumnya disebut dengan Candi dalam Agama Hindu, masing-masing bagian juga
memiliki makna filosofis religius tertentu. Hal ini berbeda sekali dengan Candi Budha yang memakai
konsep filosofis stupa dalam pembangunannya. Menurut Suwardono (2001:18) Candi Hindu adalah
bangunan suci Agama Hinduberbentuk menjulang ke atas yang terdiri dari tiga bagian dan masing-
masing mengandung makna filosofis religius, serta merupakan sebuah tiruan atau replika dari Gunung
Himalaya yang berada di India. Hal ini karena Agama Hindu berasal dari India, sedangkan Gunung
Himalaya merupakan sebuah gunung tertinggi di dunia yang puncaknya disebut Gaurisangkar. Puncak
tersebut oleh Umat Hindu diyakini sebagai tempat bersemayam para Dewa. Gunung sebagai tempat
bersemayam para Dewa Hindu tersebut dinamakan Meru. Gunung Meru memiliki puncak yang disebut
dengan kailasa sebagai istana surga para dewa. Gunung memiliki tiga stuktur yang terdiri dari kaki-
badan-puncak. Maka dari itu, candi sebagai gambaran dari gunung juga dibangun dengan memiliki tiga
bagian yang menjulang vertikal ke atas. Bagian-bagian itu dalam filsafat Hindu terdiri atas: Bhurloka(kaki
candi), Bwahloka(badan candi), dan Swaloka(puncak candi).
Gambar. 2: Bentuk bangunan bertingkat dalam Agama Hindu dan masing-masing makna Filosofisnya

1. Bhurloka, merupakan kaki candi yang relief-nya menggambarkan dunia bawah atau alam
manusia, dimana manusia masih diliputi oleh hawa nafsu.
2. Bwahloka, merupakan bagian dari badan candi yang menggambarkan antara dunia
bawah dan atas, disebut juga dunia tengah atau alam langit. Bagian ini bermakna tempat
manusia yang telah meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian.
3. Swaloka, merupakan bagian dari atap atau puncak candi yang menggambarkan alam
kahyangan atau surgawi. Tempat tersebut diyakini sebagai tempat para dewa.(Dikutip dari Buku
tentang Kompleks Percandian Prambanan)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bagian-bagian dari Bangunan Suci atau Candi Hindu
merupakan replika atau penggambaran tingkatan dunia yaitu dari dunia manusia yang terikat nafsu
duniawi, dunia manusia yang sudah meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan duniawi dan hanya
mengabdikan hidup untuk bersemedi atau mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sedangkan yang
ketiga adalah kahyangan atau tempat para dewa.
Pada awalnya manusia dalam membuat bangunan-bangunan pemujaan termasuk Candi Hindu, dengan
bahan dasar berupa batu alam. Namun dalam perkembangan pikirannya, mereka menggunakan bahan
dasar dari hasil cetakan tanah liat lalu dibakar sampai warnanya merah atau yang disebut dengan batu
bata merah. Karena menggunakan batu bata dirasa cara pembuatannya lebih praktis dan tidak memakan
tenaga terlalu banyak dan bahannya dari tanah yang mudah sekali diperoleh untuk membuatnya,
meskipun daya tahannya lebih rendah atau mudah pecah dibandingkan dengan berbahan batu.
Pembuatan bangunan pemujaan yang menggunakan batu bata tersebut banyak dijumpai pada bangunan
pemujaan masa Hindu-Budha Kerajaan Majapahit
Pada masa perkembangan selanjutnya, pembuatan bangunan pemujaan atau candi hindu dengan
menggunakan batu bata secara total dari dasar sampai atap candi tidak lagi dilakukan karena dirasa juga
sangat memberatkan. Oleh karena itu, masyarakat hanya menggunakan bahan batu bata untuk membuat
bagian bangunan yang paling bawah sampai tengah saja yang berasal dari batu atau batu bata.
Sedangkan atapnya bentuknya berlapis-lapis(tumpang) berbahan dari ijuk/serabut kelapa kayu dan
sebagai penyangganya juga menggunakan tiang kayu yang bawahnya berlapis umpak yang berasal dari
batu yang sudah dibentuk. Maka dari itu, pada bangunan yang menggunakan konsep tersebut tidak
jarang ditemukannya umpak-umpak batu yang fungsinya sebagai penyangga tiang bangunan. Karena
bentuk bangunan berundak seperti pada masa megalitik muncul kembali menjelang akhir masa Kerajaan
Majapahit. Fungsi candi dalam Agama Hindu adalah sebagai tempat pendarmaan Seorang Raja yang
oleh masyarakatnya dianggap sebagai penjelmaan dari Dewa-Dewa ke dunia.Kemudian masyarakat
tersebut memberikan gelar-gelar kedewaan pada Raja-nya setelah meninggal. Maka itulah muncul
dengan konsep yang disebut Dewa-Raja.

Salah satu contohnya adalah Candi Jajaghu(Jago) yang terletak di Kabupaten Malang. Seiring
perkembangannya, akhirnya ada konsep penyatuan Agama Hindu aliran Siwa dan Budha Mahayana.
Sedangkan Candi Jago merupakan tempat pendarmaan Raja Singhasari yang bernama Wisnuwardhana
sebagai Budha aliran Tantrayana. Menurut Sunyoto (2000:42) candi pada tahun 1272 Saka atau 1350
Masehi pernah diperbaiki oleh Adityawarman, seorang Raja Bawahan Majapahit yang diberikan
kekuasaan di Sumatra. Candi ini menggunakan atap
berupa tumpangyang disebut dengan meru.
Foto. 1: Relief Candi Jago yang menunjukkan dahulu beratap tumpang. (Foto: A’ang Pambudi N.)

http://jasmerahprodisejarah.blogspot.com/2011/09/pengetahuan-sejarah-konsep-bangunan.html

Anda mungkin juga menyukai