Anda di halaman 1dari 8

BOROBUDUR

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di
sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana
sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Dalam etnis Tionghoa,
candi ini disebut juga 婆羅浮屠 (Hanyu Pinyin: pó luó fú tú) dalam bahasa Mandarin.

Nama Borobudur

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di
mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya.
Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi
borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata
bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari
bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau
mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau
asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950
berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan
Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra
bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu
baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur
diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan
mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani)
untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. [1] Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan
leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam
bahasa sansekerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah
nama asli Borobudur.

Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak, dengan enam pelataran
berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama
sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa.

Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab
Mahayana. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang
harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh
kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga
dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini
terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan
sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari
nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni,
antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada
ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran.
Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan
ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di
dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu
masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang
terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini
pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang
disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah
ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada
zaman dahulu. menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak
boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung
seperti ini.

Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand,
Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah
dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah
lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi
candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara
berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang
merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu
seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.

Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah
jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta
daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-
relief cerita jātaka.

Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi
timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu.
Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju
puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

Kaki candi asli - ----- Karmawibhangga 160 pigura

Tingkat I - dinding a. Lalitawistara 120 pigura

------- - ----- b. jataka/awadana 120 pigura

------- - langkan a. jataka/awadana 372 pigura

------- - ----- b. jataka/awadana 128 pigura

Tingkat II - dinding Gandawyuha 128 pigura

-------- - langkan jataka/awadana100 pigura

Tingkat III - dinding Gandawyuha 88 pigura

-------- - langkan Gandawyuha 88 pigura

Tingkat IV - dinding Gandawyuha 84 pigura

-------- - langkan Gandawyuha 72 pigura

-------- Jumlah -------- 1460 pigura

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :

Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung
tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri
(serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab
akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai
dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara
keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati
(samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri
untuk menuju kesempurnaan.
Lalitawistara

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan
berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari
tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai
dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di
dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku
calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai
Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis
dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

Jataka dan Awadana

Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya
merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk
lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.

Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang
Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti
perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi
Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang
sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah
Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4
Masehi.

Gandawyuha

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana
tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh
Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang
berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu
Bhadracari.

[sunting]

Arca Buddha

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang

Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat
banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi lotus serta menampilkan mudra atau sikap tangan
simbolis tertentu.

Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar
pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama
terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung , baris keempat 72 relung, dan
baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.[3] Pada bagian
Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang
(berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan
pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa.[3] Dari jumlah asli sebanyak 504 arca
Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan
monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar
negeri).[4]

Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus
diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara,
Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut
ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat,
dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas.
Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di
pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima
Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.[5]

Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur,
maka mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:Arca Mudra Melambangkan Dhyani
Buddha Arah Mata Angin Lokasi Arca

Bhumisparsa mudra Memanggil bumi sebagai saksi Aksobhya Timur Relung di


pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur
Wara mudra Kedermawanan Ratnasambhawa Selatan Relung di pagar langkan 4
baris pertama Rupadhatu sisi selatan

Dhyana mudra Semadi atau meditasi Amitabha Barat Relung di pagar langkan 4
baris pertama Rupadhatu sisi barat

Abhaya mudra Ketidakgentaran Amoghasiddhi Utara Relung di pagar langkan 4


baris pertama Rupadhatu sisi utara

Witarka mudra Akal budi Wairocana Tengah Relung di pagar langkan baris kelima
(teratas) Rupadhatu semua sisi

Dharmachakra mudra Pemutaran roda dharma Wairocana Tengah Di dalam 72


stupa di 3 teras melingkar Arupadhatu

[sunting]

Tahapan pembangunan Borobudur

Tahap pertama

Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan 850 M). Pada
awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak. tetapi
kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar.

Tahap kedua

Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan satu undak lingkaran yang
langsung diberikan stupa induk besar.

Tahap ketiga

Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan dan diganti tiga undak
lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak ini dengan satu stupa besar di
tengahnya.

Tahap keempat

Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief perubahan tangga dan lengkung atas pintu.

[sunting]
Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur

Foto pertama Borobudur dari tahun 1873. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.

Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung)
susun tiga.

1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya
penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk
menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.

1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi
Borobudur.

1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.

1926 - Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang
Dunia II.

1956 - Pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke Indonesia
dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.

1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi
berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.

1968 - Pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk
menyelamatkan Borobudur.

1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai


Prof.Ir.Roosseno.

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO

1972 - International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan
Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika
Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung Indonesia.

10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur; pemugaran


selesai pada tahun 1984

21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada Candi Borobudur
yang kemudian segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh kelompok Islam ekstremis yang
dipimpin oleh Husein Ali Al Habsyi.
1991 - Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.

[sunting]

Referensi

^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2,
2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 46.

^ Walubi. "Borobudur : Candi Berbukit Kebajikan".

^ a b Soekmono (1976), page 35–36.

^ Hiram W. Woodward Jr. (1979). "Acquisition". Critical Inquiry 6 (2): 291–303. doi:10.1086/448048.

^ Roderick S. Bucknell and Martin Stuart-Fox (1995). The Twilight Language: Explorations in Buddhist
Meditation and Symbolism. UK: Routledge. ISBN 0700702342.

[sunting]

Lihat pula

Candi

Candi Prambanan

Anda mungkin juga menyukai