Anda di halaman 1dari 18

CANDI BOROBUDUR

Stupa Candi Borobudur ©2009 arie saksono

Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x
123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi
karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460
relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur
sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang
berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha
Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap
tingkatan kehidupan tersebut.

• Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih


terikat nafsu.
• Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat
membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat
tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
• Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa
yang berlubang-lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu,
rupa, dan bentuk.
• Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha
bersemayam.

Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah
jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang
suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-
relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat
pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang
aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief
kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di
Bergotta (Semarang).

Salah satu relief pada Candi Borobudur ©2009 arie saksono

Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha.
Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi
yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral
Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha
dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran
Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara
mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti
ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan
nama Bodhipathapradipa.
Arca Budha - Dharmacakra Mudra
courtesy ©2008 Renee Scipio

Struktur Borobudur

Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut

Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk
bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai
puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.

Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab


Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan
Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh
kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang
diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur
tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur
tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.

Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri
dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung
Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk
lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari
segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-
patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa


yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa
terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga
unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai
itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. menurut kepercayaan patung
yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi
yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand,
Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896
sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah
lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding
mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan
melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa
ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk
punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala.

Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu
seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.

Relief

Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai
arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari
bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi
ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.

Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi
timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur
meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.

Bagan Relief
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura
Kaki candi asli - ----- Karmawibhangga 160 pigura
Tingkat I - dinding a. Lalitawistara 120 pigura
------- - ----- b. jataka/awadana 120 pigura
------- - langkan a. jataka/awadana 372 pigura
------- - ----- b. jataka/awadana 128 pigura
Tingkat II - dinding Gandawyuha 128 pigura
-------- - langkan jataka/awadana 100 pigura
Tingkat III - dinding Gandawyuha 88 pigura
-------- - langkan Gandawyuha 88 pigura
Tingkat IV - dinding Gandawyuha 84 pigura
-------- - langkan Gandawyuha 72 pigura
-------- Jumlah -------- 1460 pigura

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :

Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang
mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap
perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga
perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran
kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah
berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju
kesempurnaan.

Lalitawistara

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga
Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief
ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak
27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra
Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah
120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan
sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

Jataka dan awadana

Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta.
Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa
dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik
merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.

Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya
bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab
Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan
sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan
yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian
cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Gandawyuha

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang
Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

Candi prambanan

Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi
ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa.
Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil atau candi utama dan lebih daripada 250 candi kecil.
Tiga candi utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara
Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.
Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma,
dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti, yang terdiri dari Dewa Brahma
sebagai Sang Pencipta, Dewa Whisnu sebagai Sang Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang
Perusak. dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur.

Candi Siwa (Dewa Pelebur) di tengah,

Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan
menemui 4 buah ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin. Satu ruangan utama
berisi arca Siwa , setinggi tiga meter, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi
arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah
yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang atau Lara/Loro Jongrang (dara langsing)
oleh penduduk setempat

Candi Wisnu (Dewa Pencipta) di utara

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa,dipersembahkan kepada Batara
Wisnu, yang menghadap ke arah utara, hanya satu ruangan yang berisi arca Wisnu.

Candi Brahma (Dewa Penjaga) di selatan


Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan
menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang


menghadap ke barat, yaitu Candi Nandi (kerbau) yang merupakan kendaraan Siwa, Candi
Angsa kendaraannya Brahma, dan Candi Garuda kendaraan Wisnu.

Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman
kedua memiliki 224 candi.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi
Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama
Garuda.Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas,
berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok
itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa
diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi
Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang
terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan
digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara.
Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang
juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi
adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah
Krut atau Pha Krut.

Prambanan juga memiliki relief candiyang reliefnya dipahatkan searah jarum jam pada
dinding pagar langkan Candi Siwa dan bersambung di Candi Brahma. Sedangkan pada
pagar langkan Candi Wisnu dipahatkan relief cerita Krisnayana.
Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi
lisan.

Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap
sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief
pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para
ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola
lingkungannya.

Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di
Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan,
beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian
lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat
ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti
bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Ada juga berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi
Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai
tingkat genus.
Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang
pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing,
sebuah pulau di tengah Laut Jawa.
Di dalam kompleks candi Prambanan terdapat juga museum yang menyimpan benda
sejarah, termasuk batu Lingga batara Siwa, sebagai lambang kesuburun.

Candi Sewu

Masih di kawasan Candi Prambanan, kurang lebih 1 km di utara, wisatawan juga dapat
melihat komplek bangunan suci Candi Sewu. Agak berbeda dengan Prambanan, Candi
Sewu merupakan peninggalan kebudayaan Buddha kedua terbesar setelah Borobudur.

Berdasarkan prasasti dan data arsitekturnya, Candi Sewu dibangun sekitar tahun 782 M–
792 M, tepatnya pada masa pemerintahan Rakai Panakaran dan Rakai Panaraban (seorang
raja besar Mataram kuno). Dan merajuk pada prasasti berangka tahun 714 C atau 792 M
yang ditemukan pada tahun 1960 disini, nama asli Candi Sewu adalah Manjus’rigrha atau
rumah Manjusri, yaitu salah satu Boddhisatwa dalam agama Buddha.

Candi jago
Situs Candi Jago terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini
dahulunya bernama Jayaghu. Candi ini menurut Negarakertagama diketahui sebagai salah
satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Hayam Wuruk disebutkan pernah
melakukan kunjungan ziarah ke makam leluhurnya yakni Wisynuwardhana yang
dicandikan di Jayaghu atau Jago.

Sekalipun Candi jago diketahui sebagai makam Maharaja Wisynuwardhana, namun jika
dilihat dari bentuk arsitektur dan ragam hiasnya maka bangunan itu berasal dari zaman
majapahit akhir. Pada tahun 1272 Saka atau 1350 Masehi, misalnya, candi itu pernah
diperbaiki oleh Adityawarman. Dan sesudah itu, candi itu tampaknya mengalami beberapa
kali pemugaran pada kurun akhir majapahit yakni pada pertengahan abad ke 15.

Dilihat dari bentuk arsitekturnya, Candi


Jago mirip sekali dengan bentuk punden
berundak yang merupakan ciri
bangunan religi dari zaman
megalithikum yang mengalami
kebangkitan kembali pada massa akhir
majapahit. Badan candi terletak diatas
kaki candi yang bertingkat tiga.
Bangunan utama candi terletak agak
kebelakang dan menduduki teras tinggi.
Diduga pada bangunan utama itu diberi
atap dari ijuk sebagaimana pura-pura di
Bali. Bahkan dari sudut pandang
aetiologi nama Desa Tumpang tempat
dimana Candi Jago berada tentu berasal [navigasi.net] Budaya - Candi Jago
dari bentuk candi tersebut, sebab Tampak dari dekat relief yang menghiasi
didalam bahasa Jawa kuno kata Candi Jago
Tumpang memeliki arti "lapis, deretan
bertingkat, bersusun, membangun dalam
deretan bertingkat".
Arca Amoghapasa dewa tertinggi dalam agama Buddha Tantra yang memiliki tangan
delapan adalah perwujudan dari Wisynuwarddhana sebagaimana disebut dalam
Negarakertagama. Aca tersebut saat ini masih tersisa dihalaman candi tetapi kepalanya
telah hilang. Disamping Archa Amoghapasa terdapat arca Bhaiwara yang putus kepalanya
dan beberapa arca kecil serta sisa-sisa bangunan candi yang berserak disekitar area candi.
Sedang arca-arca lain yang pernah diperoleh dari area candi ini disimpan di Museum
Jakarta.

Sementara ditinjau dari ragam hias


terutama relief-relief yang menghiasi
tubuh candi yang mengisahkan lakon
Krishnayana, Parthayajna dan
Kunjakarna, makin menyakinkan bahwa
bangunan candi tersebut berasal dari
masa akhir Majapahit meski bahan-
bahan batunya sangat mungkin berasal
dari masa singosari atau masa ketika
candi itu direnovasi oleh
Adityawarman. Kisah Parthayajna dan
Kunjakarna, adalah kakawin yang
ditulis Mpu Tanakung yang hidup pada
masa akhir zaman Majapahit. Menurut
[navigasi.net] Budaya - Candi Jago P.J. Zoetmulder (1983), kedua kakawin
Arca Wisynu Warddhana sebagai itu dipahatkan sebagai relief pada
Amoghapasa dihalamn candi jago yang telah sebuah candi di Jawa Timur yakni
hilang bagian kepalanya Candi Jago.

[navigasi.net] Budaya - Candi Jago


Pemandangan teras candi dari arah puncak
candi
Relief Kunjakarna yang menghiasi
bagian teras Candi jago menceritakan Boddhicitta Wairocana di wihara yang sedang
mengajarkan dharma kepada para Jina, Boddhisattwa, Bajrapani dan dewa-dewa. Pada saat
yang sama yaksa bernama Kunjarakarna melakukan meditasi Buddha di Gunung Semeru
agar dapat dibebaskan dari wataknya sebagai setan pada inkarnasi berikutnya.

Relief Parthahayajna menuturkan perjalanan Arjuna ke Gunung Indrakila guna melatih diri
lewat tapabrata agar memperoleh bantuan senjata dari dewa. Gunung Indrakila adalah
tempat ia bisa berjumpa dengan para dewa, tetapi harus melalui Resi Dwipayana, mahaguru
dalam ajaran dan praktek Sivadharma. Resi Dwipayana mengajarai Arjuna tata cara untuk
mencapai pembebasan dan persatuan dengan hakekat Siva. Setelah satu tahun, di Gunung
Indrakila, Arjuna dikisahkan berhasil mencapai tujuannya di mana Siva menampakkan diri
sebagai Hyang Kirata.

Relief Krisnayana dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan kisah perkawinan Maharaja
Wisynuwarddhana dengan Nararya Waning Hyun, yakni lambang perkawinan dewa Wisnu
dengan dewi Sri yang menitis dalam wujud Kresna dan Rukmini. Didalam kakawin
krynayana disebutkan bahwa tokoh Prthukirti, ibu Rukmini, adalah adik Kunti dan
Basudewa. jadi Kresna dan Rukmini adalah saudara sepupu. Hal itu sesuai dengan fakta
bahwa Wisynuwarddhana adalah sepupu Waning Hyun. Pada akhirnya, Kresna berhasil
menikahi Rukmini dan hidup bahagia dengan dikaruniai sepuluh orang anak.

Candi muara takus

Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia.
Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto,
Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau.
Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan
tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.

Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat
pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke
pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua,
Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari
batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan
ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas
galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat
dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara
beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya
memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan
dilakukan oleh orang ramai.

Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam
kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat
pembakaran tulang manusia. Diluar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas)
yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di
Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha
berkembang di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat
menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas,
ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Yang
jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam.

Kompleks Candi Muara Takus, merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang


berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama
Buddha pernah berkembang di kawasan ini. Bangunan candi yang terdapat di kompleks
Candi Muara Takus antara lain :

1. Candi Mahligai: candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga
bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi
panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi
alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut
terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara
silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas
dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Dahulu menurut DR. FM Snitger, pada
keempat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari
batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman,
dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-
relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan.
Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang
sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
2. Candi Sulung (Tua): yaitu candi terbesar di antara bangunan lainnya di kompleks
Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan,
dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m
sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di
sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing
tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk
lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan
candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang
mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak
ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari
susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat
sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian
bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan
perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi
ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini
dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang
bentuk profilnya berbeda.
3. Candi Bungsu: bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada
bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan
ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah Timur terdapat stupa-stupa kecil serta
terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan
memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang diatasnya. Pada bidang tersebut terdapat
teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah
lubang di pinggiran padmasana stupa yang didalamnya terdapat tanah dan abu.
Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi
terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf
Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi
bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf.
Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan.
Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan
separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian
tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini
menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai
dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
4. Candi Palangka: terletak di sisi Timur stupa mahligai dengan ukuran tubuh candi
5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan
memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa
lampau diduga digunakan sebagai altar.

Sunday, 21 September 2008


Senja di Penataran
Candi Panataran adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu (Siwaitis) yang mulai
dibangun dari kerajaan Kadiri dan dipergunakan sampai dengan kerajaan Majapahit. Candi
Penataran terdiri atas beberapa gugusan sehingga lebih tepat kalau disebut komplek
percandian yang melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di
Jawa Timur dan Kompleks candi ini merupakan yang terbesar di Jawa Timur. Candi
Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914 - 1915 nomor 2045 dan
catatan Verbeek nomor 563

A. LOKASI
Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 m dpl (di
atas permukaan air laut), di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan
Nglegok, Kabupaten Blitar. Untuk sampai di lokasi percandian dapat di tempuh dari pusat
kota Blitar ke arah utara yaitu kearah jurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari
kota sampai lokasi diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan
berbagai jenis kendaraan. Setelah perjalanan mencapai 10 km dari kota Blitar, maka
sampailah di pasar Nglegok, kemudian terus sampai pasar desa Panataran. Dari sini jalan
bercabang dua, yaitu belok ke kanan menuju desa Modangan sedangkan yang belok kekiri
(ke arah barat) menuju ke lokasi percandian jaraknya tinggal sekitar 300 m.

B. SUSUNAN UMUM KOMPLEK PERCANDIAN


Secara garis besarnya susunan umum komplek Candi Penataran menempati areal tanah
seluas 12.946 m2 dengan bangunan candi berjajar dari barat laut ke timur kemudian
berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman komplek percandian kecuali halaman yang
berada di bagian tenggara di bagi-bagi (disekat) oleh dua jalur dinding yang melintang dari
arah utara ke selatan sehingga membagi halaman komplek percandian menjadi tiga bagian
yaitu halaman A untuk halaman I, halaman B untuk halaman II, dan halaman C untuk
halaman III. Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar
pada kepercayaan lama nenek moyang kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi,
halaman B masih di bagi lagi oleh dinding yang membujur arah timur - barat sehingga
membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh
tembok keliling belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya pondasi -
pondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh,
yang nampak sekarang adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas
pagar keliling. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah,
sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya.
Susunan komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang
satu dengan yang lain berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya
agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan bangunan pura yang
ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak paling belakang
adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan
induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang paling
belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur perwujudan
dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan
makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman
komplek percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di
bagian barat. Dengan menuruni tangga masuk yang berupa undak-undakan (tangga)
sampailah kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan diri sebelum masuk
halaman komplek percandian. Disini terdapat dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala)
yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Bodo” yang menarik
dari kedua arca penjaga ini bukan karena ukurannya yang besar dan wajahnya yang
menakutkan (daemonis) tetapi pahatan angka tahun tertulis dalam huruf Jawa Kuno: tahun
1242 Saka atau kalau di jadikan mesehi (ditambah 78 Tahun) menjadi 1320 Masehi

Dwaraphala (Mbah Bodo)


Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut
para Arkeolog berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran)
di resmikan menjadi kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari
Majapahit yang memerintah pada tahun 1309 - 1328 AD. Di sebelah timur kedua arca
penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan
bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut Jonathan Rigg dalam
kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang
ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A. Disini masih dapat disaksikan sekitar 6
buah bekas bangunan yang hanya tinggal pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata
merah. Melihat banyaknya umpak - umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa
dahulu terdapat bangunan - bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat
kita jumpai di Bali. Berapa banyak bangunan yang menggunakan tiang - tiang kayu belum
dapat diketahui dengan pasti. Bangunan -bangunan penting yang terletak di halaman A
adalah sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan nama
“Bale Agung”, kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan
umpak-umpak saja, sebuah bangunan berbentuk persegi empat dalam ukuran yang lebih
kecil dari bangunan bale agung yang di sebut dengan nama “pendopo teras” atau “batur
pendopo” dan bangunan yang berupa candi kecil berangka tahun yang di sebut candi
Angka tahun. Bangunan - bangunan tersebut seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Menurut halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang bagian depannya di
jaga oleh dua buah arca dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua arca dwarapala
ini pada lapik arca nya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Saka atau 1319
Masehi. Peristiwa apa yang dikaitkan dengan angkat tahun ini belum diketahui. Di
Halaman B masih dapat di saksikan sekitar 7 buah bekas bangunan, ada bangunan yang
terbuat dari bahan bata merah dan ada juga bangunan yang terbuat dari bahan batu
andesit. Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut enam buah diantaranya sudah tidak
dapat dikenali lagi bentuknya. Satu satunya bangunan yang cukup di kenal adalah Candi
Naga, di sebut demikian karena sekeliling tubuh bangunan tersebut di lilit ular Naga.
Bangunan Candi Naga seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Halaman terakhir adalah halaman C, di situ juga terdapat bekas pintu gerbang yang bagian
depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan, dua
buah yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk, tujuh bangunan yang lain
sementara ini belum terungkapkan.
Disebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu
bertulis. Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini para ahli menduga batu tersebut masih
berada di tempat aslinya. Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka
atau 1197 Masehi di keluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya
antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira
Paduka Batara Palah maka para Arkeolog berpendapat bahwa yang dimaksud Palah
tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah
Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran
memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun, di bangun dari 1197 Masehi pada jaman
kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman kerajaan Majapahit. Hampir semua
bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja
Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama
runtuh. Masih ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya
masih ada hubungannya dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan.
Bangunan tersebut berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi
yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang
agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut komplek percandian.

Bale Agung
Lokasi bangunan terletak di bagian barat laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke
depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu dindingnya masih dalam keadan Polos. Pada
dinding sisi selatan dan sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa undak-undakan
sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua bagian. Begitu pula
pada dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan bale agung
dililiti oleh ular atau naga, kepala ular tersembul pada bagian sudut bangunan. Di sebelah
kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca
mahakala. Arca-arca Mahakala yang teletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding
sisi timur nampaknya tidak lengkap lagi. Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37
meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Sejumlah umpak batu yang berada di lantai
atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan.
Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk
tempat musyawarah para pendeta atau Pedanda.

Pendopo Teras
Juga di sebut Batur Pendopo, lokasi bangunan berada di sebelah tenggara bangunan Bale
Agung. Berbeda dengan bangunan Bale Agung yang polos bangunan pendopo teras ini
dindingnya dikelilingi oleh relief-relief cerita. Pada dinding sisi barat terdapat dua buah
tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian utara.
Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat
arca raksasa kecil bersayap dengan lutut di tekuk pada satu kakinya dan salah satu
tangannya memegang Gada Pipi tangga yang pada bagian yang berbentuk ukel besar
berhias umpal yang indah. Bangunan pendopo teras berangka tahun 1297 Saka atau 1375
Masehi. Letak pahatan angka tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan
hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasi berada di pelipit bagian atas dinding sisi
timur, seperti pada bangunan bale agung, sekeliling tubuh bangunan pendopo teras juga
dililiti ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul diatas di antara pilar-pilar
bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul.
Bangunan tersebut seluruhnya dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran
panjang 29,05 meter, lebar 9,22 meter dan tinggi 1,5 meter. Diduga bangunan pendopo
teras ini berfungsi sebagain tempat untuk menaruh sesaji dalam rangka upacara
keagamaan.

Candi Angka Tahun


Disebut demikian karena di atas ambang pintu masuk bangunan terdapat angka tahun:
1291 Saka (=1369 Masehi). Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan pendopo
teras dalam jarak sekitar 20 m. Di kalangan masyarakat lebih di kenal dengan nama Candi
Browijoyo karena model bangunan ini dipergunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya.
Kadang-kadang ada yang menyebut Candi Ganesa karena di dalam bilik candinya terdapat
sebuah arca ganesa. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir
pada bentuk ukel besar (voluta) dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam
susunan segitiga sama kaki. Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan
candi lain terdiri dari bagian - bagian yang disebut: Kaki candi yaitu bagian candi yang
bawah, kemudian tubuh candi dimana terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan
kemudian mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota nampak
hiasan yang meriah. Pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau
ceruk yang berupa pintu semu yang dibagian atasnya terdapat kepala makhluk yang
bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kalayang di Jawa Timur
sering disebut banaspati yang berarti raja hutan yang bisa berupa singa atau harimau.
Penempatan kepala kala diatas relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat
agar tidak berani masuk ke komplek percandian. Bangunan candi Angka Tahun cukup
terkenal seakan-akan bangunan inilah yang mewakili komplek percandian Panataran. Di
bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya Majapahit” yakni
lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan
beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa
candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda.

Candi Naga
Berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah diterangkan di atas, Candi Naga berada
di halaman B. Bangunan terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter,
panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Seperti Candi Angka Tahun pintu masuk bilik
candi terletak di bagian barat dengan pipi tangga berhiasan tumpal. Fisik bangunan hanya
tinggal bagian yang disebut kaki dan tubuh candi, bagian atapnya yang kemudian dibuat
dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh. Bangunan yang kita saksikan pada saat ini
adalah hasil pemugaran tahun 1917 - 1918. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh
candi dililit naga dan figur-figur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah
masing-masing berada di sudut-sudut bangunan bagian tengah ketiga dinding dan
disebelah kiri dan kanan pintu masuk. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam pakaian
mewah dengan prabha di bagian belakangnya, salah satu tangannya memegang genta
(bel upacara) sedang tangan yang lain mendukung tubuh naga yang melingkar bagian atas
bangunan.
Kesembilan tokoh tersebut dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Pada
masing-masing dinding tubuh candi masih dihias dengan model-model bulatan yang
disebut dengan “Motif Medallion”. Di dalam bulatan terdapat relief yang menggambarkan
kombinasi antara daun-daunan atau bunga-bungaan dengan berbagai jenis biantang atau
burung. Di antara motif-motif medallion terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang
lebih kecil, sayang cerita yang digambarkan dalam relief-relief ini belum dapat
diungkapkan. Menurut orang-orang Bali yang pernah mengunjungi komplek percandian
Panataran fungsi Candi Naga adalah sama dengan Pura Kehen di Bali sebagai tempat
untuk menyimpan milik dewa-dewa. Pura Kehen itu terletak di daerah Bangli, usianya
belum terlalu tua di dalamnya terdapat arca-arca yang diduga berasal dari abad XIV. Jadi
yang tua adalah koleksi-koleksinya bukan bangunannya. Barangkali lebih tepat kalau
Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung.
Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat dengan kerajaan
Majapahit. Pura ini kecuali berfungsi sebagai pemujaan kerajaan Klungkung juga
dipergunakan sebagai tempat pemasupatian (pemberian kesaktian) senjata-senjata
pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan
maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para
dewa tetapi lebih tepat kalau untuk pemasupatihan benda-benda milik kerajaan Majapahit.
Untuk keperluan pemasupatihan tidak perlu dibawa ke Bali.

Candi Induk
Bangunan Candi Induk sebagaimana telah diuraikan dimuka adalah satu-satunya
bangunan candi yang paling besar diantara bangunan-bangunan kekunaan yang terdapat
di halaman komplek percandian.

Bangunan Utama Candi


Lokasi bangunan terletak dibagian yang paling belakang yakni bagian yang dianggap suci.
Bangunan Candi Induk terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19
meter. Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah
timur barat. Pada keempat sisinya kira-kira di bagian tengah masing-masing dinding
terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 meteran. Pada teras pertama dinding sisi
barat terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan.
Teras kedua bentuknya berbeda dengan teras pertama bagian-bagian yang menjorok
bukan ke luar tetapi ke dalam untuk ukuran yang lebih kecil. Adanya perbedaan ukuran
antara teras pertama dan teras kedua menyebabkan terjadinya halaman kosong di lantai
teras pertama sehingga orang dapat berjalan-jalan mengelilingi bangunan sambil
menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief. Tempat kosong ini namanya
selasar. Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di tengah-
tengah dinding, tangga naik bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.
Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca singa
bersayap dan naga bersayap. Naga bersayap kepalanya sedikit mendongak ke depan
sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dakam posisi berjongkok dan kaki depannya
diangkat keatas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga selain untuk mengisi bidang
yang kosong juga menjadi pilaster bangunan. Yang menarik dari lantai teras ketiga ini
adalah sewaktu diadakan pembukaan lantai dalam rangka pemugaran ternyata bagian
tengah lantai teras terbuat dari bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang
berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok ke depan. Berdasarkan
data-data tersebut timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi Penataran dibuat dari batu
merah. Dalam kurun waktu berikutnya diperluas dengan menutupinya memakai batu
andesit. Perluasan itu terjadi pada jaman Majapahit. Apakah bangunan yang lama yang
dibuat dari bahan bata merah ini yang dimaksudkan dalam prasasti Palah kiranya perlu
penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.
Dengan sampainya di lantai teras ketiga candi induk sampailah kita pada dasar kaki candi.
Disinilah seharusnya berdiri tubuh candi. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah di susun
dalam susunan percobaan di lapangan percandian. Karena bagian-bagian percandian
belum dapat di temukan semuanya maka sampai saat ini bangunan tubuh candi induk
belumdapat diselesaikan.
Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwarapala,
pada alas arca terdapat tahun angka 1269 Saka atau 1347 Masehi. Di bagian arca
dwaraphala ini terdapat relief cerita, relief-relief cerita juga terdapat pada dindingdinding
teras pertama dan kedua bangunan candi induk yang nanti akan diceritakan tersendiri.

C. CERITA - CERITA SINGKAT RELIEF – RELIEF


Sejumlah bangunan purbakala di Jawa Timur dindingnya berpahatkan relief-relief cerita
dalam kombinasi berbagai ragam hias yang indah dan menarik. Relief-relief tersebut
dipahatkan pada bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras dan juga
dipahatkan pada bangunan-bangunan yang di buat dari bahan bata merah walaupun
jumlahnya tidak terlalu banyak.
Pada umumnya relief-relief gaya Jawa Timur berbentuk agak pipih (gepeng) seperti
wayang, berbeda dengan relief-relief gaya Jawa Tengah yang berbentuk naturalis atau
realistik dalam arti mendekati bentuk model yang sebenarnya. Dengan melalui visualisasi
relief-relief ininenek moyang kita atau seniman ingin menyampaikan informasi atau pesan
kepada masyarakat. Informasi atau pesan tersebut dapat berupa cerita yang didalamnya
terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang kepahlawanan, tentang cinta kasih dan
sebagainya. Juga berupa tutur yakni dongengan yang bersifat mendidik. Dan tidak
mustahil bila di antara sekian banyak relief ada yang menggambarkan semacam protes
sosial yang terjadi pada zamannya. Studi tentang relief memang menarik sebab dari sinilah
kita dapat melihat gambaran sebagian dari kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu,
tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, tentang model-model bangunan, tentang
berbagai pola ragam hias, tentang filsafat dan kepercayaan nenek moyang pada waktu itu.
Untuk pembacaan suatu adegan dalam relief dapat mengikuti arah jarum jam yang juga di
sebut pradaksina dan juga dapat kebalikannnya yakni berlawanan dengan arah jarum jam
yang di sebut prasawnya. Jadi ada yang berurutan dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Di
komplek percandian penataran relief-relief yang terdapat di dinding-dinding pendopo teras
pada bidang atau panil-panil tertentu di bagian atasnya terdapat tulisan singkat dalam
huruf jawa kuno yang diduga merupakan petunjuk bagi para pemahat cerita apa yang
harus digambarkan. Beberapa tulisan singkat yang telah berhasil dibaca memang sesuai
dengan adegan yang dilukiskan dalam relief tersebut. Tulisan-tulisan singkat seperti ini
juga terdapat di candi Borobudur. Adapun relief-relief di komplek percandian Penataran
yang telah diketahui jalan ceritanya seperti di bawah ini.

Relief: Sang Setyawan


Lokasi: dinding sisi timur bangunan pendopo teras
Urutan adegan: Prasawya, dari kiri ke kanan dimulai dari sudut tenggara terdiri dari sekitar
18 panil

Cerita singkat: Adalah seorang penduduk khayangan bernama Sang Setyawan seseorang
yang dikisahkan mempunyai sifat-sifat patuh dan setia sehingga bersedia mengerjakan
segala pekerjaan sampai pekerjaan yang dipandang hina sekalipun. Pada suatu ketika
Sang Setyawan menghadap di kerajaan Pus - pa Tan Alum, rajanya bernama Jayati dari
negeri Kertanirmala. Sang raja terpikat oleh sifat-sifat Sang Setyawan sehingga dengan
senang hati ia menjodohkan dengan putrinya yang bernama Suwistri.
Tibalah saatnya Sang Setyawan meninggalkan istrinya untuk pergi bertapa. Suwistri
bersama abdinya yang bernama Sucita mencarinya ke hutan. Begitu melihat istrinya
datang dari kejauhan, Sang Setyawan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ular dan
harimau untuk membuat Suwistri takut.Ternyata Suwistri tenang-tenang saja. Begitu juga
sewaktu digoda oleh pertapa-pertapa yang sedang mengerjakan sawah mereka jatuh cinta
pada Suwistri dan saling berkelahi. Sang Setyawan kemudian menciptakan sebuah
pertapaan yang indah dan kemudian mengganti namanya dengan Cilimurti. Suwistri
kemudian dijadikan pertapa dan diberi pelajaran hal ihwal yang menyangkut kebiaraan.
Setelah selesai menuntut pelajaran tersebut kemudian ia menjadi satu dengan Cilimurti
yang ternyata adalah Sang Hyang Wenang. Tersebutlah kemudian orang tua Suwistri
bersama istrinya yang bernama Dewayani kemudian pergi untuk mencari anaknya.
Akhirnya diketahui bahwa anaknya telah bersatu dengan Sang Hyang Wenang. Raja
Jayanti bersama istrinya kemudian mengikuti jejak anaknya untuk menjadi pertapa. Atas
perintah Sang Hyang Wenang mereka diperintahkan untuk menuju ke gunung Meru, raja
Jayanti di bagian Timur sedangkan Dewayanti di bagian barat.

Relief: Sri Tanjung


Lokasi: dinding sisi barat kemudian terus berlanjut pada dinding sisi selatan pada
bangunan pendopo teras.
Urutan Adegan: prasawya, dimulai dari dinding sebelah kanan tangga masuk sebelah
selatan.

Cerita Singkat:Dikisahkan, adalah Pangeran Sidapaksa salah seorang turunan Pandawa


yang mengabdi pada prabu Sulakarma di negeri Sindurejo. Pada suatu ketika Sidopaksa
diutus sang prabu untuk mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama
Tambapetra di desa Prangalas.Obat pesanan sang prabu memang tidak diperoleh malah
Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang bernama Sri Tanjung. Sidapaksa
berhasil mempersunting Sri Tanjung yang memang cantik rupawan. Kecantikan Sri
Tanjung terdengar pula oleh sang prabu dan berminat untuk berbuat yang tidak senonoh.
Dicarinya akal untuk memperdaya Sidapaksa dengan diutus kekhayangan dengan maksud
supaya dibunuh para dewa sesuai dengan bunyi surat yang dibawakannya. Memang
dikhayangan Sidapaksa sempat dihajar oleh para dewa dan hampir saja dibunuhnya. Pada
saat-saat kritis Sidapaksa menyebut-nyebut nama Pandawa, akibatnya ia tidak jadi
dibunuh karena sebenarnya ia adalah keluarga sendiri. Sidapaksa kembali dari khayangan
dengan selamat. Sementara Sidapaksa berangkat ke khayangan, prabu Sulakrama
berusaha menggoda Sri Tanjung akan tetapi tidak berhasil. Merasa malu kemudian sang
prabu menempuh jalan lain dengan memfitnah Sidapaksa. Dikatakannya bahwa selama ia
pergi kekhayangan istrinya telah berbuat serong. Fitnah ternyata berhasil membuat
Sidapaksa kalap dan sebagai puncak kemarahannya istrinya kemudian dibunuh.
Diceritakan dalam perjalanan ke alam roh Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain
diceritakan naik buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas. Di sana ia
bertemu dengan Betari Durga, karena belum waktunya meninggal maka oleh sang betari ia
dihidupkan kembali. Sri Tanjung kemudian kembali ke Desa Prangalas.
Tersebutlah Sidapaksa yang mengetahui bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah
sebagaimana diucapkan sesaat sebelum merenggang nyawa, menjadi sakit saraf dan
hampir-hampir saja bunuh diri. Kemudian datanglah Betari Durga yang menyuruh
Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri Tanjung. Terjadi kesepakatan, Sri
Tanjung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala Prabu Sulakrama.
Permintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan kepala sang prabu dijadikan alas kaki (keset =
bahasa Jawa) Sri Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia.

Relief: Bubuksah-Gagang Aking


Lokasi: Dinding pendopo teras sisi timur
Urutan Adegan: Prasawya, dari kiri ke kanan

Cerita Singkat: Adalah dua orang bersaudara masing-masing dikenali dengan nama
Bubuksah dan Gagang Aking. Kedua bersaudara tersebut bertapa untuk mencapai tingkat
kesempurnaan hidup. Caranya memang berbeda dalam melaksanakan “laku”, Bubuksah
makan segala makanan sehingga badannya gemuk sedangkan Gagang Aking menjauhi
makan minum sehingga menjadi kurus kering. Pada suatu ketika Betara Guru mengutus
Kalawijaya yang sebenarnya juga seorang dewa yang menyamar sebagai harimau putih
untuk menguji kakak beradik tersebut. Kalawijaya mengatakan menginginkan daging
manusia, ketika permintaan ini disampaikan ke Gagang Aking serta merta ditolaknya
dengan alasan tak ada gunanya memakan dirinya yang kurus itu. Sedangkan Bubuksah
menyediakan diri sepenuhnya untuk dimakan harimau putih karena dirinya dalam
menjalankan laku juga memakan segala jenis makanan dan juga binatang-binatang.
Harimau putih kemudian menjelma kembali menjadi Kalawijaya, Bubuksah dinyatakan
lulus dalam ujian. Setelah meninggal roh Bubuksah didukung di atas tubuh harimau
tersebut sementara Gagang Aking hanya bergelantung di ekornya saja.
Relief Bubuksah-Gagang Akih dapat kita saksikan di candi-candi yang lain misalnya di
Candi Surowono yang terletak di daerah Pare, Kediri dan di Candi Gambar Wetan yang
terletak di perkebunan Gambar, Nglegok, Blitar.

Relief: Ramayana (Hanoman Duto)


Lokasi: Dinding teras pertama candi induk, mengelilingi dinding teras.
Urutan Adegan: Prasawnya, dimulai dari dinding sisi utara yang menghadap ke barat terus
melingkar kembali ke dinding utara yang menghadap ke utara jumlahnya sekitar 91 panil.

Cerita Singkat: Hanoman salah satu pimpinan kera kepercayaan sugriwa pada suatu ketika
diutus ke alengka tempat istana Rahwana untuk mencari sinta. Dengan jalan mendaki
gunung kemudian menyebrangi lautan sampailah ia di istana Rahwana. Sementara
Hanoman bersembunyi di atas pohon, kemudian setelah keadaan memungkinkan ia
menyelinap kedalam istana untuk menyerahkan cincin titipan Rama. Sewaktu keluar istana
Hanoman kepergok penjaga istana hingga terjadilah perkelahian. Hanoman mengamuk
merusak taman, kejadian ini dilaporkan kepada Rahwana. Bala bantuan di kirim,
pertempuran sengit terjadi. Banyak korban berjatuhan bahkan Aksa anak rahwana sampai
patah tulang tangannnya. Pasukan berikutnya di pimpin oleh Indrajid yang
mempergunakan panah ular (panah berantai). Dengan panah ini hanoman berhasil di
belenggu, ekornya di bungkus kain kemudian dilumuri minyak terus dibakar. Tentu saja
membuat Hanoman meronta-ronta, dengan bergulung-gulung belenggu dapat dilepaskan.
Dalam keadaan terbakar ekornya ia melompat kian kemari, melompat ke atas hubungan
rumah sehingga seluruh istana terbakar. Suasana istana menjadi gempar, sebelum
meninggalkan tempat, Hanoman sempat pamitan kepada Sinta. Hanoman kemudian lapor
kepada Rama dan Laksmana. Sugriwa diperintah untuk mengerahkan pasukan kera.
Dengan menembok samudra pasukan kera berhasil membangun jembatan yang menuju
ke alengka. Setelah persiapan selesai bala tentara kera dipimpin oleh sugriwa, Laksmana
dan Rama menyerang alengka.
Korban banyak berjatuhan diantara dua pihak. Dalam pertempuran ini Laksmana berhasil
memanah Kumbokarno hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk
menumpas sisa-sisa pasukan.

Relief: Kresnayana (Noroyono Maling)


Lokasi: Dinding teras kedua candi induk
Urutan Adegan: Pradaksina, dari kanan terus ke kiri

Cerita Singkat: Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah
dipertunangkan dengan Suniti raja dari negeri Cedi. Pertunangan ini tidak disetujui oleh ibu
Rukmini yang menginginkan putrinya dapat dijodohkan dengan Kresna. Ibu Rukmini
berusaha untuk menggagalkan perkawinan ini. Sewaktu perkawinan akan berlangsung ibu
Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini keluar istana menuju pintu gerbang Sri Manganti,
kemudian disambut oleh Kresna utnuk dibawa lari. Suasana istana gempar, terjadilah
pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Rukma adik Rukmini
terkena panah Kresna kemudian terjungkal jatuh. Rukmini minta kepada Kresna supaya
adiknya tidak dibunuh. Kresna dan Rukmini kemudian pergi ke Dwarawati, mereka hidup
bahagia.

Relief: Pemburu yang tertipu


Lokasi: Dinding sisi utara kolam berangka tahun dan juga di bagian belakang arca penjaga
sebelah kiri tangga utara candi induk.
Urutan Adegan: Prasawya, dari kiri terus ke kanan, yang dibagian belakang arca
Dwaraphala candi induk hanya suatu adegan.

Cerita Singkat: Seorang pemburu hampir menjelang senja pulang dari hutan dengan
membawa hasil tangkapannya yang berupa seekor kura-kura. Seekor kancil yang konon
merupakan sahabat akrab kura-kura berusaha untuk menolongnya dengan memalingkan
perhatian pemburu kepadanya.
Karena penasaran pemburu itu kemudian meletakkan hasil buruannya ketanah dan beralih
mengejar kancil. Kura-kura berhasil meloloskan diri masuk semak-semak belukar. Kancil
larinya semakin kencang dan menghilang dalam hutan. Pemburu yang terkecoh oleh ulah
kancil terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Relief: Kura-kura yang sombong


Lokasi: Dinding kolam berangka tahun, dinding sisi barat
Urutan Adegan: Dari kanan terus ke kiri, letak panil hampir di bagian tengah dinding

Cerita Singkat: Adalah dua ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering.
Maklumlah sedang musimnya kemarau panjang. Seekor burung belibis berusaha untuk
menolongnya dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah telaga. Dengan
bergantung pada masing-masing ujung cabang kayu yang digigit oleh burung belibis kedua
kura-kura itu berhasil dibawa terbang. Sebelum diterbangkan burung belibis berpesan
kepada kedua kura-kura itu untuk tidak berkata-kata sepanjang perjalanan. Namun amanat
burung belibis itu dilanggar gara-gara tidak kuat menahan ejekan sekelompok serigala
sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat menjawab ejekan mulut kedua kura-kura ini lepas
dari cabang kayu yang digigitnya, jatuh ketanah dan menjadi santapan lezat kawanan
srigala.

Relief: Lembu dan Buaya


Lokasi: Dinding kolam berangka tahun pada dinding bagian barat, juga terdapat pada
bagian belakang arca dwarapala bertahun 1269 Saka yang terletak di sebelah kanan
tangga masuk bangunan candi induk sisi utara
Urutan Adegan: Dari kiri terus kanan

Cerita Singkat: Seekor buaya tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, untung berada di suatu
tempat yang berlubang sehingga masih sempat menyelamatkan diri tidak sampai mati.
Seekor lembu jantan lewat didepannya kemudian dimintainya pertolongan. Lembu jantan
tidak keberatan dan berhasil mengangkat pohon yang tumbang tersebut.
Karena tempat buaya di lautan maka lembu jantan dimintanya untuk mengantarkannya.
Setelah perjalanan sampai di tengah laut punuk (ponok, bonggol punggung) lembu
digigitnya. Terasa sakit terjadilah perekelahian. Lembu jantan hampir kalah karena laut
bukan alamnya. Datanglah kemudian kancil yang bertindak sebagai wasit perkara (tidak
digambarkan dalam relief). Buaya dikembalikan ke tempat semula sewaktu kerobohan
pohon dan kemudian ditinggal sendirian. Buaya tinggal menuju ajalnya saja.

Anda mungkin juga menyukai