Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x
123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi
karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460
relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur
sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang
berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha
Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap
tingkatan kehidupan tersebut.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah
jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang
suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-
relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat
pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang
aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief
kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di
Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha.
Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi
yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral
Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha
dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran
Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara
mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti
ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan
nama Bodhipathapradipa.
Arca Budha - Dharmacakra Mudra
courtesy ©2008 Renee Scipio
Struktur Borobudur
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk
bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai
puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh
kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang
diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur
tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur
tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri
dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam
antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung
Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk
lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari
segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-
patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah
lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding
mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan
melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa
ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk
punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu
seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Relief
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai
arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari
bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi
ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi
timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu
gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang
sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur
meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.
Bagan Relief
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura
Kaki candi asli - ----- Karmawibhangga 160 pigura
Tingkat I - dinding a. Lalitawistara 120 pigura
------- - ----- b. jataka/awadana 120 pigura
------- - langkan a. jataka/awadana 372 pigura
------- - ----- b. jataka/awadana 128 pigura
Tingkat II - dinding Gandawyuha 128 pigura
-------- - langkan jataka/awadana 100 pigura
Tingkat III - dinding Gandawyuha 88 pigura
-------- - langkan Gandawyuha 88 pigura
Tingkat IV - dinding Gandawyuha 84 pigura
-------- - langkan Gandawyuha 72 pigura
-------- Jumlah -------- 1460 pigura
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang
mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap
perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga
perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran
kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah
berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju
kesempurnaan.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga
Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief
ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak
27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan
kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya
penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra
Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah
120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan
sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti
"hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta.
Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa
dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik
merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya
bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab
Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan
sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan
yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian
cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang
Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Candi prambanan
Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dari Candi Borobudur), berdirinya candi
ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa.
Kompleks candi ini terdiri dari 8 kuil atau candi utama dan lebih daripada 250 candi kecil.
Tiga candi utama disebut Trisakti dan dipersembahkan kepada sang hyang Trimurti: Batara
Siwa sang Penghancur, Batara Wisnu sang Pemelihara dan Batara Brahma sang Pencipta.
Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma,
dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti, yang terdiri dari Dewa Brahma
sebagai Sang Pencipta, Dewa Whisnu sebagai Sang Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang
Perusak. dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur.
Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan
menemui 4 buah ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin. Satu ruangan utama
berisi arca Siwa , setinggi tiga meter, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi
arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah
yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang atau Lara/Loro Jongrang (dara langsing)
oleh penduduk setempat
Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa,dipersembahkan kepada Batara
Wisnu, yang menghadap ke arah utara, hanya satu ruangan yang berisi arca Wisnu.
Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman
kedua memiliki 224 candi.
Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi
Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama
Garuda.Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas,
berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok
itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa
diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi
Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang
terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).
Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan
digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara.
Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang
juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi
adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah
Krut atau Pha Krut.
Prambanan juga memiliki relief candiyang reliefnya dipahatkan searah jarum jam pada
dinding pagar langkan Candi Siwa dan bersambung di Candi Brahma. Sedangkan pada
pagar langkan Candi Wisnu dipahatkan relief cerita Krisnayana.
Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi
lisan.
Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap
sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief
pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para
ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola
lingkungannya.
Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di
Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan,
beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian
lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat
ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti
bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.
Ada juga berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi
Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai
tingkat genus.
Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang
pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing,
sebuah pulau di tengah Laut Jawa.
Di dalam kompleks candi Prambanan terdapat juga museum yang menyimpan benda
sejarah, termasuk batu Lingga batara Siwa, sebagai lambang kesuburun.
Candi Sewu
Masih di kawasan Candi Prambanan, kurang lebih 1 km di utara, wisatawan juga dapat
melihat komplek bangunan suci Candi Sewu. Agak berbeda dengan Prambanan, Candi
Sewu merupakan peninggalan kebudayaan Buddha kedua terbesar setelah Borobudur.
Berdasarkan prasasti dan data arsitekturnya, Candi Sewu dibangun sekitar tahun 782 M–
792 M, tepatnya pada masa pemerintahan Rakai Panakaran dan Rakai Panaraban (seorang
raja besar Mataram kuno). Dan merajuk pada prasasti berangka tahun 714 C atau 792 M
yang ditemukan pada tahun 1960 disini, nama asli Candi Sewu adalah Manjus’rigrha atau
rumah Manjusri, yaitu salah satu Boddhisatwa dalam agama Buddha.
Candi jago
Situs Candi Jago terletak di Desa Jago, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini
dahulunya bernama Jayaghu. Candi ini menurut Negarakertagama diketahui sebagai salah
satu candi pendharmaan bagi Maharaja Wisnuwardhana. Hayam Wuruk disebutkan pernah
melakukan kunjungan ziarah ke makam leluhurnya yakni Wisynuwardhana yang
dicandikan di Jayaghu atau Jago.
Sekalipun Candi jago diketahui sebagai makam Maharaja Wisynuwardhana, namun jika
dilihat dari bentuk arsitektur dan ragam hiasnya maka bangunan itu berasal dari zaman
majapahit akhir. Pada tahun 1272 Saka atau 1350 Masehi, misalnya, candi itu pernah
diperbaiki oleh Adityawarman. Dan sesudah itu, candi itu tampaknya mengalami beberapa
kali pemugaran pada kurun akhir majapahit yakni pada pertengahan abad ke 15.
Relief Parthahayajna menuturkan perjalanan Arjuna ke Gunung Indrakila guna melatih diri
lewat tapabrata agar memperoleh bantuan senjata dari dewa. Gunung Indrakila adalah
tempat ia bisa berjumpa dengan para dewa, tetapi harus melalui Resi Dwipayana, mahaguru
dalam ajaran dan praktek Sivadharma. Resi Dwipayana mengajarai Arjuna tata cara untuk
mencapai pembebasan dan persatuan dengan hakekat Siva. Setelah satu tahun, di Gunung
Indrakila, Arjuna dikisahkan berhasil mencapai tujuannya di mana Siva menampakkan diri
sebagai Hyang Kirata.
Relief Krisnayana dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan kisah perkawinan Maharaja
Wisynuwarddhana dengan Nararya Waning Hyun, yakni lambang perkawinan dewa Wisnu
dengan dewi Sri yang menitis dalam wujud Kresna dan Rukmini. Didalam kakawin
krynayana disebutkan bahwa tokoh Prthukirti, ibu Rukmini, adalah adik Kunti dan
Basudewa. jadi Kresna dan Rukmini adalah saudara sepupu. Hal itu sesuai dengan fakta
bahwa Wisynuwarddhana adalah sepupu Waning Hyun. Pada akhirnya, Kresna berhasil
menikahi Rukmini dan hidup bahagia dengan dikaruniai sepuluh orang anak.
Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia.
Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto,
Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau.
Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan
tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat
pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke
pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua,
Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari
batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan
ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas
galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat
dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara
beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya
memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan
dilakukan oleh orang ramai.
Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam
kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat
pembakaran tulang manusia. Diluar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas)
yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di
Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha
berkembang di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat
menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas,
ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Yang
jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam.
1. Candi Mahligai: candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga
bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi
panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi
alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut
terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara
silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas
dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Dahulu menurut DR. FM Snitger, pada
keempat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari
batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman,
dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-
relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan.
Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang
sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
2. Candi Sulung (Tua): yaitu candi terbesar di antara bangunan lainnya di kompleks
Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan,
dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m
sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di
sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing
tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk
lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan
candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang
mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak
ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari
susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat
sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian
bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan
perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi
ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini
dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang
bentuk profilnya berbeda.
3. Candi Bungsu: bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada
bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan
ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah Timur terdapat stupa-stupa kecil serta
terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan
memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang diatasnya. Pada bidang tersebut terdapat
teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah
lubang di pinggiran padmasana stupa yang didalamnya terdapat tanah dan abu.
Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi
terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf
Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi
bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf.
Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan.
Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan
separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian
tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini
menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai
dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
4. Candi Palangka: terletak di sisi Timur stupa mahligai dengan ukuran tubuh candi
5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan
memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa
lampau diduga digunakan sebagai altar.
A. LOKASI
Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 m dpl (di
atas permukaan air laut), di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan
Nglegok, Kabupaten Blitar. Untuk sampai di lokasi percandian dapat di tempuh dari pusat
kota Blitar ke arah utara yaitu kearah jurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari
kota sampai lokasi diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan
berbagai jenis kendaraan. Setelah perjalanan mencapai 10 km dari kota Blitar, maka
sampailah di pasar Nglegok, kemudian terus sampai pasar desa Panataran. Dari sini jalan
bercabang dua, yaitu belok ke kanan menuju desa Modangan sedangkan yang belok kekiri
(ke arah barat) menuju ke lokasi percandian jaraknya tinggal sekitar 300 m.
Bale Agung
Lokasi bangunan terletak di bagian barat laut halaman A, posisinya sedikit menjorok ke
depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu dindingnya masih dalam keadan Polos. Pada
dinding sisi selatan dan sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa undak-undakan
sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua bagian. Begitu pula
pada dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh bangunan bale agung
dililiti oleh ular atau naga, kepala ular tersembul pada bagian sudut bangunan. Di sebelah
kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang berupa arca
mahakala. Arca-arca Mahakala yang teletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding
sisi timur nampaknya tidak lengkap lagi. Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37
meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44 meter. Sejumlah umpak batu yang berada di lantai
atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan.
Fungsi bangunan Bale Agung menurut N.J Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk
tempat musyawarah para pendeta atau Pedanda.
Pendopo Teras
Juga di sebut Batur Pendopo, lokasi bangunan berada di sebelah tenggara bangunan Bale
Agung. Berbeda dengan bangunan Bale Agung yang polos bangunan pendopo teras ini
dindingnya dikelilingi oleh relief-relief cerita. Pada dinding sisi barat terdapat dua buah
tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut di dinding bagian utara.
Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan kanan pipi tangga terdapat
arca raksasa kecil bersayap dengan lutut di tekuk pada satu kakinya dan salah satu
tangannya memegang Gada Pipi tangga yang pada bagian yang berbentuk ukel besar
berhias umpal yang indah. Bangunan pendopo teras berangka tahun 1297 Saka atau 1375
Masehi. Letak pahatan angka tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan
hiasan yang berupa sulur daun-daunan, lokasi berada di pelipit bagian atas dinding sisi
timur, seperti pada bangunan bale agung, sekeliling tubuh bangunan pendopo teras juga
dililiti ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul diatas di antara pilar-pilar
bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan berjambul.
Bangunan tersebut seluruhnya dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran
panjang 29,05 meter, lebar 9,22 meter dan tinggi 1,5 meter. Diduga bangunan pendopo
teras ini berfungsi sebagain tempat untuk menaruh sesaji dalam rangka upacara
keagamaan.
Candi Naga
Berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah diterangkan di atas, Candi Naga berada
di halaman B. Bangunan terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter,
panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Seperti Candi Angka Tahun pintu masuk bilik
candi terletak di bagian barat dengan pipi tangga berhiasan tumpal. Fisik bangunan hanya
tinggal bagian yang disebut kaki dan tubuh candi, bagian atapnya yang kemudian dibuat
dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh. Bangunan yang kita saksikan pada saat ini
adalah hasil pemugaran tahun 1917 - 1918. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh
candi dililit naga dan figur-figur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah
masing-masing berada di sudut-sudut bangunan bagian tengah ketiga dinding dan
disebelah kiri dan kanan pintu masuk. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam pakaian
mewah dengan prabha di bagian belakangnya, salah satu tangannya memegang genta
(bel upacara) sedang tangan yang lain mendukung tubuh naga yang melingkar bagian atas
bangunan.
Kesembilan tokoh tersebut dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Pada
masing-masing dinding tubuh candi masih dihias dengan model-model bulatan yang
disebut dengan “Motif Medallion”. Di dalam bulatan terdapat relief yang menggambarkan
kombinasi antara daun-daunan atau bunga-bungaan dengan berbagai jenis biantang atau
burung. Di antara motif-motif medallion terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang
lebih kecil, sayang cerita yang digambarkan dalam relief-relief ini belum dapat
diungkapkan. Menurut orang-orang Bali yang pernah mengunjungi komplek percandian
Panataran fungsi Candi Naga adalah sama dengan Pura Kehen di Bali sebagai tempat
untuk menyimpan milik dewa-dewa. Pura Kehen itu terletak di daerah Bangli, usianya
belum terlalu tua di dalamnya terdapat arca-arca yang diduga berasal dari abad XIV. Jadi
yang tua adalah koleksi-koleksinya bukan bangunannya. Barangkali lebih tepat kalau
Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung.
Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat dengan kerajaan
Majapahit. Pura ini kecuali berfungsi sebagai pemujaan kerajaan Klungkung juga
dipergunakan sebagai tempat pemasupatian (pemberian kesaktian) senjata-senjata
pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan
maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para
dewa tetapi lebih tepat kalau untuk pemasupatihan benda-benda milik kerajaan Majapahit.
Untuk keperluan pemasupatihan tidak perlu dibawa ke Bali.
Candi Induk
Bangunan Candi Induk sebagaimana telah diuraikan dimuka adalah satu-satunya
bangunan candi yang paling besar diantara bangunan-bangunan kekunaan yang terdapat
di halaman komplek percandian.
Cerita singkat: Adalah seorang penduduk khayangan bernama Sang Setyawan seseorang
yang dikisahkan mempunyai sifat-sifat patuh dan setia sehingga bersedia mengerjakan
segala pekerjaan sampai pekerjaan yang dipandang hina sekalipun. Pada suatu ketika
Sang Setyawan menghadap di kerajaan Pus - pa Tan Alum, rajanya bernama Jayati dari
negeri Kertanirmala. Sang raja terpikat oleh sifat-sifat Sang Setyawan sehingga dengan
senang hati ia menjodohkan dengan putrinya yang bernama Suwistri.
Tibalah saatnya Sang Setyawan meninggalkan istrinya untuk pergi bertapa. Suwistri
bersama abdinya yang bernama Sucita mencarinya ke hutan. Begitu melihat istrinya
datang dari kejauhan, Sang Setyawan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ular dan
harimau untuk membuat Suwistri takut.Ternyata Suwistri tenang-tenang saja. Begitu juga
sewaktu digoda oleh pertapa-pertapa yang sedang mengerjakan sawah mereka jatuh cinta
pada Suwistri dan saling berkelahi. Sang Setyawan kemudian menciptakan sebuah
pertapaan yang indah dan kemudian mengganti namanya dengan Cilimurti. Suwistri
kemudian dijadikan pertapa dan diberi pelajaran hal ihwal yang menyangkut kebiaraan.
Setelah selesai menuntut pelajaran tersebut kemudian ia menjadi satu dengan Cilimurti
yang ternyata adalah Sang Hyang Wenang. Tersebutlah kemudian orang tua Suwistri
bersama istrinya yang bernama Dewayani kemudian pergi untuk mencari anaknya.
Akhirnya diketahui bahwa anaknya telah bersatu dengan Sang Hyang Wenang. Raja
Jayanti bersama istrinya kemudian mengikuti jejak anaknya untuk menjadi pertapa. Atas
perintah Sang Hyang Wenang mereka diperintahkan untuk menuju ke gunung Meru, raja
Jayanti di bagian Timur sedangkan Dewayanti di bagian barat.
Cerita Singkat: Adalah dua orang bersaudara masing-masing dikenali dengan nama
Bubuksah dan Gagang Aking. Kedua bersaudara tersebut bertapa untuk mencapai tingkat
kesempurnaan hidup. Caranya memang berbeda dalam melaksanakan “laku”, Bubuksah
makan segala makanan sehingga badannya gemuk sedangkan Gagang Aking menjauhi
makan minum sehingga menjadi kurus kering. Pada suatu ketika Betara Guru mengutus
Kalawijaya yang sebenarnya juga seorang dewa yang menyamar sebagai harimau putih
untuk menguji kakak beradik tersebut. Kalawijaya mengatakan menginginkan daging
manusia, ketika permintaan ini disampaikan ke Gagang Aking serta merta ditolaknya
dengan alasan tak ada gunanya memakan dirinya yang kurus itu. Sedangkan Bubuksah
menyediakan diri sepenuhnya untuk dimakan harimau putih karena dirinya dalam
menjalankan laku juga memakan segala jenis makanan dan juga binatang-binatang.
Harimau putih kemudian menjelma kembali menjadi Kalawijaya, Bubuksah dinyatakan
lulus dalam ujian. Setelah meninggal roh Bubuksah didukung di atas tubuh harimau
tersebut sementara Gagang Aking hanya bergelantung di ekornya saja.
Relief Bubuksah-Gagang Akih dapat kita saksikan di candi-candi yang lain misalnya di
Candi Surowono yang terletak di daerah Pare, Kediri dan di Candi Gambar Wetan yang
terletak di perkebunan Gambar, Nglegok, Blitar.
Cerita Singkat: Hanoman salah satu pimpinan kera kepercayaan sugriwa pada suatu ketika
diutus ke alengka tempat istana Rahwana untuk mencari sinta. Dengan jalan mendaki
gunung kemudian menyebrangi lautan sampailah ia di istana Rahwana. Sementara
Hanoman bersembunyi di atas pohon, kemudian setelah keadaan memungkinkan ia
menyelinap kedalam istana untuk menyerahkan cincin titipan Rama. Sewaktu keluar istana
Hanoman kepergok penjaga istana hingga terjadilah perkelahian. Hanoman mengamuk
merusak taman, kejadian ini dilaporkan kepada Rahwana. Bala bantuan di kirim,
pertempuran sengit terjadi. Banyak korban berjatuhan bahkan Aksa anak rahwana sampai
patah tulang tangannnya. Pasukan berikutnya di pimpin oleh Indrajid yang
mempergunakan panah ular (panah berantai). Dengan panah ini hanoman berhasil di
belenggu, ekornya di bungkus kain kemudian dilumuri minyak terus dibakar. Tentu saja
membuat Hanoman meronta-ronta, dengan bergulung-gulung belenggu dapat dilepaskan.
Dalam keadaan terbakar ekornya ia melompat kian kemari, melompat ke atas hubungan
rumah sehingga seluruh istana terbakar. Suasana istana menjadi gempar, sebelum
meninggalkan tempat, Hanoman sempat pamitan kepada Sinta. Hanoman kemudian lapor
kepada Rama dan Laksmana. Sugriwa diperintah untuk mengerahkan pasukan kera.
Dengan menembok samudra pasukan kera berhasil membangun jembatan yang menuju
ke alengka. Setelah persiapan selesai bala tentara kera dipimpin oleh sugriwa, Laksmana
dan Rama menyerang alengka.
Korban banyak berjatuhan diantara dua pihak. Dalam pertempuran ini Laksmana berhasil
memanah Kumbokarno hingga mati seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk
menumpas sisa-sisa pasukan.
Cerita Singkat: Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah
dipertunangkan dengan Suniti raja dari negeri Cedi. Pertunangan ini tidak disetujui oleh ibu
Rukmini yang menginginkan putrinya dapat dijodohkan dengan Kresna. Ibu Rukmini
berusaha untuk menggagalkan perkawinan ini. Sewaktu perkawinan akan berlangsung ibu
Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini keluar istana menuju pintu gerbang Sri Manganti,
kemudian disambut oleh Kresna utnuk dibawa lari. Suasana istana gempar, terjadilah
pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Rukma adik Rukmini
terkena panah Kresna kemudian terjungkal jatuh. Rukmini minta kepada Kresna supaya
adiknya tidak dibunuh. Kresna dan Rukmini kemudian pergi ke Dwarawati, mereka hidup
bahagia.
Cerita Singkat: Seorang pemburu hampir menjelang senja pulang dari hutan dengan
membawa hasil tangkapannya yang berupa seekor kura-kura. Seekor kancil yang konon
merupakan sahabat akrab kura-kura berusaha untuk menolongnya dengan memalingkan
perhatian pemburu kepadanya.
Karena penasaran pemburu itu kemudian meletakkan hasil buruannya ketanah dan beralih
mengejar kancil. Kura-kura berhasil meloloskan diri masuk semak-semak belukar. Kancil
larinya semakin kencang dan menghilang dalam hutan. Pemburu yang terkecoh oleh ulah
kancil terpaksa pulang dengan tangan hampa.
Cerita Singkat: Adalah dua ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering.
Maklumlah sedang musimnya kemarau panjang. Seekor burung belibis berusaha untuk
menolongnya dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah telaga. Dengan
bergantung pada masing-masing ujung cabang kayu yang digigit oleh burung belibis kedua
kura-kura itu berhasil dibawa terbang. Sebelum diterbangkan burung belibis berpesan
kepada kedua kura-kura itu untuk tidak berkata-kata sepanjang perjalanan. Namun amanat
burung belibis itu dilanggar gara-gara tidak kuat menahan ejekan sekelompok serigala
sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat menjawab ejekan mulut kedua kura-kura ini lepas
dari cabang kayu yang digigitnya, jatuh ketanah dan menjadi santapan lezat kawanan
srigala.
Cerita Singkat: Seekor buaya tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, untung berada di suatu
tempat yang berlubang sehingga masih sempat menyelamatkan diri tidak sampai mati.
Seekor lembu jantan lewat didepannya kemudian dimintainya pertolongan. Lembu jantan
tidak keberatan dan berhasil mengangkat pohon yang tumbang tersebut.
Karena tempat buaya di lautan maka lembu jantan dimintanya untuk mengantarkannya.
Setelah perjalanan sampai di tengah laut punuk (ponok, bonggol punggung) lembu
digigitnya. Terasa sakit terjadilah perekelahian. Lembu jantan hampir kalah karena laut
bukan alamnya. Datanglah kemudian kancil yang bertindak sebagai wasit perkara (tidak
digambarkan dalam relief). Buaya dikembalikan ke tempat semula sewaktu kerobohan
pohon dan kemudian ditinggal sendirian. Buaya tinggal menuju ajalnya saja.