(Semarang). Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang
Budha.
Secara sepintas seluruh patung Budha tersebut serupa, tetapi apabila diamati secara
lebih detil, maka akan nampak secara jelas perbedaannya, yakni pada posisi atau sikap
tangannya. Sikap tangan inilah yang menjadi ciri khas pengelompokkan setiap patung Budha
di candi ini, ciri ini dikenal dengan istilah Mudra arah mata angin, yang disebut dengan
Dhayani Budha.
1. Amoghasidhi (Mata Angin Utara): Patung yang menghadap arah mata angin ke utara
dinamakan Dhayani Budha Amoghasidi, dengan nama mudra Abhaya-mudra. Sikap
tangan dari mudra ini adalah tangan kiri terbuka dan menengadah pangkuan, sedang
tangan kanan diangkat sedikit diatas lutut sebelah kanan dengan telapak menghadap
kemuka. Sikap ini melambangkan kondisi manusia yang berada dalam tahapan
menenangkan diri.
2. Aksobhya (Mata Angin Timur): Patung yang menghadap arah mata angin ke timur
dinamakan Dhayani Budha Aksobhya, dengan nama mudra Bhumispara-mudra. Sikap
tangan dari mudra ini adalah tangan kiri menengadah di atas pangkuan, sedang tangan
kanan menempel pada lutut sebelah kanan dengan telapak menghadap ke
dalam/menelungkup dan jari menunjuk ke bawah. Sikap ini melambangkan saat
Budha memanggil Dewi Bumi, sebagai saksi ketika beliau menangkis semua serangan
iblis dan roh jahat.
3. Ratnasambhawa (Mata Angin Selatan): Patung yang menghadap arah mata angin ke
timur dinamakan Dhayani Budha Ratnasambhawa, dengan nama mudra Wara-mudra.
Sikap tangan dari mudra ini adalah tangan kiri terbuka dan menengadah di atas
pangkuan, sedang tangan kanan menempel pada lutut kanan menengadah keatas, dan
jari-jari menunjuk ke atas. Sikap ini melambangkan kondisi manusia yang
memberikan amal dan memberi anugrah.
4. Amithaba (Mata Angin Barat): Patung yang menghadap arah mata angin ke barat
dinamakan Dhayani Budha Amithaba, dengan nama mudra Dhayana-mudra. Sikap
tangan dari mudra ini adalah kedua tangan diletakkan dipangkuan, yang kanan diatas
yang kiri, dengan telapak kanan menengadah dan kedua jempolnya saling bertemu.
Sikap ini melambangkan kondisi manusia yang sedang mengheningkan cipta dan
bersemedi.
Stupa yang ada di candi Borobudur dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Stupa Induk
Stupa induk berukuran lebih besar dari stupa-stupa yang lain dan terletak di puncak
sebagai mahkota dari seluruh monumen bangunan candi Borobudur. Stupa induk ini
mempunyai garis tengah 9,90 m dan tinggi stupa sampai bagian bawah pinakel 7
meter. Di atas puncak dahulunya diberi payung (charta) bertingkat tiga (sekarang tidak
terdapat lagi). Stupa induk ini tertutup rapat, sehingga orang tidak bisa melihat bagian
dalamnya. Di dalamnya terdapat ruangan yang sekarang tidak berisi.
2. Stupa Berlubang
Stupa berlubang atau terawang adalah stupa yang terdapat pada teras bundar I, II, dan
III dimana didalamnya terdapat 72 buah yang terinci menjadi:
(1) teras bundar pertama terdapat : 32 stupa berlubang;
(2) teras bundar kedua terdapat : 24 stupa berlubang;
(3) teras bundar ketiga terdapat : 16 stupa berlubang;
3. Stupa Kecil
Stupa kecil bentuknya hampir sama dengan stupa lainnya, hanya saja perbedaan yang
menonjol adalah dalam ukurannya yang lebih kecil dari stupa yang lainnya. Stupa ini
seolah menjadi hiasan dari seluruh bangunan candi. Keberadaan stupa ini menempati
puncak dari relung-relung pada langkan II sampai langkan V, sedangkan pada langkan
I sebagian berupa keben dan sebagian berupa stupa kecil, jumlah stupa kecil ada 1.472
buah stupa.
Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke
candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral
Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari
Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha.
Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan
Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut The
Lamp for the Path to Enlightenment atau yang lebih dikenal dengan nama
Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana
kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan
terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian
terpendam karena letusan Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan
Amawa berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi,
kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar Borobudur, seperti
Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat kerajinan. Selain itu, puncak
watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang panorama Borobudur dari atas.
Kesimpulan
Candi Borobudur merupakan salah satu peninggalan kerajaan budha yang berada
berdiri di Magelang, Jawa Tengah. Candi tersebut merupakan candi terbesar di Indonesia dan
merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia. Candi Borobudur juga merupakan tempat wisata
yang sering dikunjungi wisatawan lokal maupun asing. Candi borobudur mempunyai
beberapa arti dan makna begitu juga dengan bangunan bangunan yang berada didalamnya.
Saran
Kita sebagai pemuda pemudi bangsa Indoesia harus tahu dan mengerti tentang sejarah
sejarah di negeri kita tercinta ini. Selain itu kita juga harus ikut andil dalam merawat dan tidak
merusak segala peninggalan sejarah. Sehingga negara kita ini dipenuhi dengan bukti bukti
sejarah yang bisa terus kita tunjukkan kepada anak cucu kita nantinya.