Anda di halaman 1dari 35

MYSTICS IN BALI

Film ini dibuat tahun 1981, disutradarai oleh H. Tjut Djalil. Diadaptasi dari novel berjudul "Leak
Ngakak" karangan Putra Mada.

SUNAN KALIJAGA DAN SYEH SITI JENAR

Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar adalah dua orang wali yang terkenal memiliki pemahaman
berseberangan dengan para Wali lain ditanah Jawa kala itu. Mereka dikenal sebagai wali yang sangat
menghargai keberagaman keyakinan yang hidup dimasyarakat. Keduanya terkenal dekat. Namun
nasib baik tidaklah berfihak kepada Syeh Siti Jenar, karena beliau harus wafat dengan menjalani
hukuman pancung kepala. Walau film ini terlihat tidak berani mengungkapkan sisi terselubung fakta
gerakan radikal Islam waktu itu, namun cukuplah untuk dijadikan tontonan mengasyikkan. Film yang
dibintangi oleh Deddy Mizwar (Sunan Kalijaga) dan Ratno Timoer (Syeh Siti Jenar) jauh lebih baik
daripada film Syeh Siti Jenar yang dibintangi oleh Deddy Soetomo yang terkesan ngawur.

PART 1:

PART 2:

PART 3:

PART 4:

PART 5:

PART 6:

PART 7:
PART 8:

DOWNLOAD EBOOK DALIH PEMBUNUHAN MASSAL G


30 S

DALIH PEMBUNUHAN MASSAL G 30 S

SILSILAH RAJA-RAJA SINGASARI DAN MAJAPAHIT


by Damar Shashangka

Tampilkan posting dengan label URAIAN/BAHASAN. Tampilkan semua posting


Tampilkan posting dengan label URAIAN/BAHASAN. Tampilkan semua posting
Rabu, 02 Februari 2011
SILSILAH RAJA-RAJA SINGASARI DAN MAJAPAHIT

by Damar Shashangka

Diposkan oleh Damar Shashangka di 7:49:00 PM Tidak ada komentar: Label: URAIAN/BAHASAN
Reaksi: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Link ke posting ini
WILAYAH KERAJAAN MAJAPAHIT

Rontal Nagarakrêtagama
Pupuh 13

1. Lwir ning nūsa pra nūsa pramuka sakahawat ksoni Malayu,

Ning Jāmbi mwang Palembang karitan i Tba len Dharmāşraya tumūt,

Kandis Kahwas Manangkabwa ri Syak i Rkān Kampar mwang i Pane,

Kāmpe Harw āthawe Maödahiling i Tumihang Parllāk mwang i Barat.

Perincian pulau demi pulau yang menjadi negara bawahan, dimulai dari Malayu,

Daerah Jambi lantas Palembang kemudian Toba dan Dharmasraya tunduk,

Kandis, Kahwas, Minangkabau, daerah Siak, daerah Rokan, Kampar serta daerah Pane,

Kampe, Haru kemudian Mandailing, daerah Tamiang, Perlak serta daerah Barat.
2. Lwas lāwan Samudra mwang i Lamuri Batan Lāmpung mwang i Barus,

Yekādhinyang watk bhūmi Malayu satanah kapwāmath anūt,

Len têkan nūsa Taňjungnāgara ri Kapuhas lawan ri Katingān,

Sāmpit mwang Kuta Lingga mwang i Kuta Waringin Sambas mwang i Lawai.

Lwas serta Samudra (Pasai) kemudian daerah Lamuri, Batan, Lampung serta daerah Barus,

Itulah negara-negara utama di bhumi Malayu seluruhnya yang telah tunduk,

Sedangkan negara-negara di Tanjungnagara (Tanjungpura atau Kalimantan), yaitu daerah


Kapuas serta daerah Katingan,

Sampit serta Kota Lingga berikut daerah Kota Waringin, Sambas serta daerah Lawai.

Pupuh 14

1. Kadangdangan i Landa len ri Samdang Tirêm tan kasah,

Ri Sêdu Buruneng ri Kalka Saludung ri Solot Pasir,

Baritw i Sawaku muwah ri Tabalung ri Tuňjung Kute,

Lawan ri Malanö makapramuka ta ri Taňjungpuri.

Kadangdangan, daerah Landa lantas daerah Samadang serta Tirêm,

Daerah Sêdu, Barune, daerah Kalka, Saludung, serta daerah Solot dan Pasir,

Barito, daerah Sawaku dan daerah Tabalung serta Tanjung Kute,

Serta daerah Malano itulah negara-negara utama yang ditundukkan di Tanjungpuri


(Kalimantan).

2. Ikang sakahawan Pahang pramuka tang Hujungmêdini,

Ri Lengkasuka len ri Saimwang i Kalantên I Tringganö,

Naşor Paka Muar Dungun ri Tumasik ri Sang Hyang Hujung,


Kêlang Kêda Jêre ri Kaňjapiniran sanūsāpupul.

Yang ditundukkan dahulu adalah Pahang diwilayah Hujung Mêdini,

Lantas daerah Langkasuka, kemudian daerah Saimwang, daerah Kêlantan dan daerah
Trênggano,

Nasor, Paka, Muar, Dungun, daerah Tumasik semua Negara diwilayah Hujung Mêdini,

Kêlang, Kêdah, Jêre serta daerah Kanjapiniran semua tunduk.

3. Sawetan ikanang tanah Jawa muwah ya warnnanên,

Ri Bali makamukya Badahulu mwang i Lwā Gajah,

Gurun makamuka Sukun ri Taliwang ri Dompo Sapi,

Ri Sang Hyang Api Bhĭma Şeran i Hutan Kadalyāpupul.

Dibagian timur tanah Jawa adalah berikut perinciannya,

Daerah Bali dengan Negara terpenting Bêdahulu serta Lo Gajah,

Gurun serta Sukun, Taliwang, daerah Dompo dan daerah Sapi,

Daerah Sang Hyang Api, Bima, Seran serta daerah Hutan Kendali.

4. Muwah tang i Gurun sanūsa mangaran ri Lombok Mirah,

Lawan tikang i Sāksakādi nikalun kahajyan kabeh,

Muwah tanah i Bāntayan pramuka Bāntayan len Luwuk,

Tkeng Udamakatrayādhi nikanang sanūsapupul.

Serta Gurun yang juga disebut pulau Lombok Merah,

Berikut daerah subur Sasak, semua dikuasai,

Dan juga Bantayan didaerah Bantayan serta daerah Luwuk,

Hingga Udamaktraya dan pulau disekelilingnya tunduk serta.


5. Ikang sakasanūsanūsa Makasar Butun Bangawi,

Kunir Galiyaö mwang i Salaya Sūmba Solot Muar,

Muwanh tikang i Wandhan Ambwan athawā Malökö Wwanin,

Ri Sêran I Timūr makādi ning angêka nūsātutur.

Terperinci pula puau-pulau Makasar, Buton, Banggawi,

Kunir, Galiyao serta daerah Salayar, Sumba, Solot, Muar,

Hingga sampai daerah Wandhan, Ambon atau Maluku serta Wanin,

Daerah Seran daerah Timor serta pulau-pulau kecil disekitarnya.

Pupuh 15

1. Nahan lwir ning deşantara kacaya de Şri Narapati,

Tuhun tang Syangkāyodhyapura kimutang Dharmmanagari,

Marutma mwang ring Rājapura nguniweh Singhanagari,

Ri Cāmpā Kambojānyat i Yawana mitreka santata.

Dan inilah tercatat nama negeri tetangga yang berhubungan erat dengan Sang Raja,

Siam dan Ayudyapura, serta Darmanagari,

Marutma serta Rajapura juga Singhanagari,

Negara Champa, Kamboja dan Yawana semua adalah Negara sahabat.

by Damar Shashangka
Diposkan oleh Damar Shashangka di 7:36:00 PM Tidak ada komentar: Label: URAIAN/BAHASAN
Reaksi: 

NOVEL SABDA PALON (Kisah Nusantara Yang


Disembunyikan)

Maret 2011, Novel Sabda Palon masuk buku


"REKOMENDASI" di Gramedia Pondok Indah Mall, Jakarta. Telah terjual 55 eksemplar di sana
dalam waktu 2 minggu-an.
Mas Khrishna Pabhicara
(Penulis Novel), Damar Shashangka (Penulis Novel Sabda Palon) dan Mas Salahuddien Gz
(Editor-in-Chief Kayla Pustaka/Dolphin)

NOVEL SABDA PALON,

karya Damar Shashangka


DITERBITKAN OLEH

DOLPHIN
Jln. Ampera II No. 29, RT: 004/09, Ragunan Jakarta Selatan 12550.
Telp/Faks: (021) 7884 7301

http://www.kaylapustaka.com

Sabda Palon
©Damar Shashangka, 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved

Penyunting: Salahuddien Gz dan Dita Sylvana


Penyelaras Bahasa: Khrisna Pabichara
Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penata Letak: MT Nugroho
Cetakan I: 2011
ISBN: 978-979-16110-4-n

Harga: Rp 75.000,- (450 Hlm. Bookpaper)

Dolphin

Jln. Ampera II No. 29, RT: 004/09,


Ragunan Jakarta Selatan 12550.
Telp/Faks: (021) 7884 7301
E-mail: bunda_laksmi@yahoo.com

SINOPSIS

Pada tahun 1445 Masehi, atas permintaan Bhre Kêrtabumi, Syekh Ibrahim Al-Akbar berlayar
dari Champa menuju Jawa, diiringi Sayyid Ali Murtadlo dan tiga belas santrinya. Mengingat
pertumbuhan kaum muslim yang pesat di pesisir Jawa, syekh keturunan Samarqand itu
didaulat untuk menjadi petinggi agama Islam di Keraton Majapahit. Tetapi jung Syekh
Ibrahim diamuk badai hingga terdampar di pantai Kamboja. Mereka ditangkap prajurit-
prajurit Kamboja dan dipenjara oleh rajanya. Kabar perihal nasib rombongan Champa itu
akhirnya sampai di Jawa. Dipimpin Raden Arya Bangah, tujuh jung tempur Majapahit,
lengkap dengan meriam dan manjanik, segera meluncur ke Kamboja untuk membebaskan
mereka. Pertempuran sengit pun meletus di Prey Nokor.

Dalam pada itu, Sabda Palon dan Naya Genggong, dua punakawan Bhre Kêrtabumi, melihat
dengan mata batinnya bahwa trah Majapahit akan lumpuh. Selama lima ratus tahun awan
hitam akan menaungi Nusantara seiring datangnya para pengusung keyakinan baru yang
bakal mengakhiri kekuasaan Majapahit. Demi menjaga keutuhan Nusantara, Sabda Palon
menasihati Kêrtabumi agar mengambil selir dari Kepulauan Wandhan. Keturunan darinyalah
yang akan membangkitkan kejayaan trah Majapahit dua ratus tahun kemudian. Raja muda itu
pun mengawini Bondrit Cêmara, seorang emban dari Wandhan. Dewi Amaravati, putri
Champa permaisuri Kêrtabumi, dilanda cemburu tak tertanggungkan hingga ia berencana
membunuh Bondrit Cêmara berikut janin yang tengah dikandungnya.

Melalui narasi-narasi memukau nyaris pada setiap babak, novel ini tak hanya mampu
menyatukan keping-keping sejarah masa akhir kejayaan Majapahit yang tercecer dan
terpendam, tetapi juga bakal menyihir Anda untuk memasuki Nusantara masa silam. Tidaklah
mudah membawa pembaca abad 21 kembali ke abad 15, yang berjejal aroma dupa,
kemegahan pura, dan gadis-gadis yang masih bertelanjang dada. Tetapi Damar Shashangka
mampu melakukan itu dengan mempesona.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
CUPLIKAN

Pupuh 21
Hamuk Majapahit
......................................................................................................................................................
..........................................................

Hiruk-pikuk kegiatan perniagaan kini berubah menjadi teriakan yang memperingatkan


teman yang lain, bentakan agar segera melepas sauh, atau makian karena beberapa orang tak
sengaja menghalangi tubuh mereka yang hendak berusaha menyelamatkan diri.Tubuh-tubuh
itu berhamburan dari dermaga. Ada yang masih melompat turun dari jung. Ada yang tengah
sibuk mengangkat sauh. Ada yang sudah berlari ke daratan. Suasana kacau-balau.

Disusul dari arah berlawanan, beberapa kuda dipacu kencang menuju pelabuhan.
Tampak beberapa prajurit Kamboja datang untuk memastikan sendiri kabar yang telah
diterima dari petugas pelabuhan. Ada sekitar sepuluh prajurit yang memacu kudanya
mendekat ke dermaga. Dan begitu sudah sedemikian dekat dengan pantai, mereka
memperhatikan dengan saksama ke arah selatan. Di tengah lautan, tampak tujuh buah jung,
satu berukuran besar dan enam berukuran sederhana mulai merapat ke Prey Nokor. Kini,
tanpa memerlukan kaca pembesar berbentuk teropong, mata telanjang mereka sudah bisa
melihat bendera bergambar surya berkibar di atas jung-jung itu. Ditambah dengan bentangan
kain merah dan putih yang melambai-lambai ditiup angin barat, seluruh prajurit Kamboja
sudah yakin, jung-jung yang hendak merapat ke pelabuhan itu tak lain adalah jung-jung
tempur Majapahit.

Sang pemimpin pasukan tampak melirik ke beberapa titik tersembunyi. Titik di atas
dahan-dahan pohon dan menara pengawas. Di sana, beberapa prajurit panah Kamboja sudah
siap dengan busur dan anak panahnya. Posisi mereka sangat tersembunyi. Jika tidak awas,
siapa pun tidak bakal tahu jika ada orang yang tengah berada di sana. Begitu sudah yakin
dengan apa yang mereka lihat, segera mereka memutar arah kuda dan menggebrak kudanya
masing-masing meninggalkan pelabuhan. Di tengah hiruk-pikuk mereka yang tengah
menjauh dari bibir pantai, kuda-kuda mereka melesat bagai anak panah, berkejaran, susul-
menyusul.

Sedangkan di sana, di tengah laut selatan Kamboja, tujuh buah jung tempur sudah
semakin dekat. Kini, bentuk ketujuh jung itu sudah sangat jelas terlihat dari pantai. Bendera
besar bergambar surya, dengan umbul-umbul merah dan putih, berkelebat-kelebat tertiup
angin. Dalam jarah beberapa puluh tombak dari pantai, rupanya sauh sudah di turunkan.
Layar sudah tergulung semua. Tujuh jung itu berhenti bergerak. Disusul kemudian, dari dek
setiap jung, keluar perahu-perahu kecil yang memuat pasukan tempur Majapahit. Perahu-
perahu itu segera didayung menuju pantai. Kini, tak ada pemandangan lain di tepi Pelabuhan
Prey Nokor kecuali berpuluh-puluh perahu kecil, dengan prajurit siap tempur di atasnya, yang
tengah bergerak susul-menyusul ke daratan.
Begitu tiba di pantai, masing-masing prajurit melompat ke darat, bergerak dengan
sigap, bertumpu pada salah satu lutut, sedangkan perisai diposisikan melindungi bagian
badan. Berjajar-jajar dan susul menyusul mereka melakukan hal itu. Kini, di bibir pantai Prey
Nokor, terlihat berderet-deret pasukan Majapahit dengan perisai besi melindungi tubuhnya.
Prajurit yang turun belakangan segera ikut bersembunyi di belakang badan temannya yang
terlindung perisai. Prajurit yang tengah berlindung adalah prajurit pemanah. Begitu mereka
sudah dalam posisi aman, satu-dua dari mereka segera melepaskan anak panahnya. Terdengar
jerit kesakitan diiringi beberapa tubuh yang terjatuh dari atas pohon atau menara pengawas.
Rupanya, beberapa prajurit panah Kamboja yang sudah siap di tempat tersembunyi untuk
membidikkan anak panahnya telah didahului oleh prajurit panah Majapahit. Ada tujuh
prajurit panah Kamboja yang tersungkur ke tanah dengan anak panah menancap di tubuh atau
kepalanya.

“Merunduk!” Menyusul terdengar suara lantang dari pemimpin prajurit Majapahit.


Beberapa prajurit panah yang baru melepaskan anak panahnya segera bertiarap di belakang
prajurit yang membawa tameng. Anak-anak panah meluncur ke arah mereka. Dan semua
anak panah itu mental, tertangkis oleh tameng-tameng yang dipasang dalam formasi tertentu.

Begitu desingan anak panah sudah reda, terdengar teriakan keras:

“Bidik!”

Kini, prajurit panah yang baru saja berlindung di belakang prajurit yang membawa
tameng, dengan gerakan luar biasa cepat, segera memasang anak panah pada busurnya. Dan
ganti prajurit panah Majapahit kini melepaskan anak panah mereka ke beberapa titik. Dan
benar! Begitu anak panah meluncur ke beberapa arah, satu-dua tubuh jatuh tersungkur dari
atas dengan anak panah menembus badan mereka.

Seluruh prajurit lantas menunggu. Suasana hening dan sepi. Tak tampak lagi prajurit
panah yang tersisa. Begitu dirasa aman, seorang prajurit mengibarkan bendera merah.
Melihat bendera merah dikibarkan, menyusul dari arah lautan, perahu-perahu yang
mengangkut meriam dan manjanik mulai dikeluarkan. Susul-menyusul perahu itu didayung
ke tepian sembari membawa bêdhil gêdhe dan alat pelempar api itu.

Arya Gajah Para dan Arya Banyak Lêmpur turun dari jung, menaiki perahu dan
dilindungi beberapa prajurit yang membentuk formasi melingkar dengan tameng. Perahu
yang dinaiki Arya Gajah Para lebih dahulu bergerak, disusul perahu yang dinaiki Arya
Banyak Lêmpur. Kesatria-kesatria Majapahit sudah mulai menjejak daratan Kamboja.

Meriam dan manjanik sudah naik ke daratan, disusul kemudian Arya Gajah Para,
lantas Arya Banyak Lêmpur. Seluruh prajurit yang semula berjajar, dengan tameng-tameng
yang melindungi tubuh mereka, kini telah bergerak ke atas. Di dermaga, mereka membentuk
barisan. Ada sekitar lima ratus prajurit yang naik ke daratan. Namun, baru saja mereka
membentuk barisan, mendadak dari arah berlawanan terdengar suara berderap riuh-rendah.
Seluruh prajurit Majapahit waspada!

“Ardhachandra wyuuha!”

Arya Banyak Lêmpur yang memimpin dua ratus lima puluh prajurid segera berteriak
lantang memerintahkan seluruh prajurid Majapahit membentuk formasi perang Ardhachandra
wyuuha, yaitu formasi yang berbentuk melengkung bagaikan wujud rembulan sebelum
purnama. Dengan sigap dan terlatih, seluruh prajurit Majapahit, di bawah pimpinan Arya
Banyak Lêmpur, membentuk formasi tersebut. Beberapa orang berputar arah, posisi barisan
terlihat melengkung dengan cekungan di tengah-tengah.

“Samapta!” Kembali Arya Banyak Lêmpur berteriak, dan bunyi lutut menapak tanah
diiringi suara tameng-tameng menghentak serempak terdengar. Kini, dalam posisi
ardhachandra wyuuha, pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Banyak Lêmpur
meletakkan tameng-tameng di depan tubuh mereka dan posisi mereka berjongkok dengan
salah satu lutut menapak tanah. Di atas tameng, tombak-tombak terarah ke depan dengan
mantap. Luar biasa gerakan mereka, serempak dan terlatih.

“Samapta!” Kini terdengar teriakan Arya Gajah Para, yang memimpin dua ratus
prajurit yang sekarang posisinya ada di belakang prajurit Arya Banyak Lêmpur, yang terlebih
dulu membentuk formasi ardhachandra wyuuha. Mendengar komando tersebut, dua ratus
prajurit Arya Gajah Para segera menghunus pedangnya masing-masing. Bunyi besi terhunus
terdengar bising. Kini, dengan tameng di depan tubuh dan pedang terhunus, dua ratus prajurit
itu menunggu perintah selanjutnya.

Di belakang mereka ada lima puluh prajurit yang menjaga manjanik dan meriam.

Mata prajurit Majapahit awas mengamati gerakan berderap dari arah depan. Telah
terlihat, ratusan prajurit berkuda Kamboja tengah menyerbu mereka dengan pedang-pedang
terhunus. Kuda-kuda mereka berlari kencang, berderap, meluncur menuju barisan prajurit
Majapahit.

Laju prajurit Kamboja yang berteriak-teriak garang itu telah hampir dekat dengan
barisan prajurit Majapahit. Seluruh prajurit Majapahit tetap berada dalam posisi masing-
masing. Mata mereka awas. Tangan mereka telah siap menggerakkan senjata. Tinggal
menunggu aba-aba.
Begitu prajurit Kamboja telah semakin dekat, Arya Banyak Lêmpur berteriak:

“Hara Hara Hara Mahadewa!”

Barisan depan prajurit berkuda Kamboja menerjang barisan prajurit Majapahit. Dalam
posisi ardhachandra wyuuha yang melengkung di tengah, pasukan Majapahit yang posisinya
ada di tengah bergerak seolah minggir memberi jalan, namun dari sisi kiri dan kanan tombak-
tombak prajurit Majapahit menukik menusuk lambung-lambung kuda prajurit Kamboja.
Ringkikan kuda yang tertusuk tombak terdengar berselang-seling, disusul jerit kematian para
penunggangnya yang terjatuh dan langsung disambut tombak-tombak tajam.

Sebentar saja, sudah berpuluh-puluh kuda terjerembap dan penunggangnya tewas


tercacah tombak. Erangan kematian terdengar di mana-mana. Mereka yang bisa lolos dari
jepitan pasukan tombak segera disambut tebasan pedang oleh prajurit Arya Gajah Para yang
bersiap di belakang.

Bangkai kuda dan mayat prajurit Kamboja sebentar saja sudah tumpang-tindih di
tanah, bermandikan darah segar. Ada yang bisa meloloskan diri, melompat dari punggung
kuda, berguling di tanah, dan segera bangkit menyerang. Mereka yang selamat segera
disambut oleh prajurit pedang Arya Gajah Para. Prajurit tombak terus melakukan gerakan
mereka menusuk lambung, kaki, leher, dan paha dari kuda-kuda yang ditunggangi prajurit
Kamboja yang terus datang menyerang. Yang tidak cepat melompat sudah pasti meregang
nyawa terkena tombak.

…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
………………………………………………….

--------------------------------------------------
Pesan diatas 2 buku sekaligus diskon 15 % dari saya. Sekalian saya kasih kenang-
kenangan berupa tulisan plus tanda tangan dihalaman belakang khusus untuk si
pemesan. Kirim massage pemesanan dan alamat yang dituju di INBOX Face Book
saya, "Damar Shashangka", atau melalui sms/tlp ke nomor hand phone 0818-102-767
atau bisa kirim e-mail ke damarshashangka@gmail.com (belum termasuk ongkos
kirim) Buku akan dikirim melalui Pos/Tiki. Pembayaran melalui transfer ke rekening:

BCA KCP Gondanglegi,Malang


No.Rek : 31-70-41-76-90
a/n : Anton Maharani

Testimonu-Testimoni :
“Damar Shashangka memang sudah jauh hari diramalkan bakal memberikan pencerahan
terhadap masa gelap sejarah kemunduran Nusantara. Kehadiran novel ini patut dirayakan
dengan ritual khusus di Trowulan, petilasan kejayaan Nusantara masa silam.” (Leonardo
Rimba, pendiri Spiritual Indonesia )

“Sabda Palon adalah tokoh agung yang mempunyai energi besar di Cakra Ajna (mata ketiga);
menghadapi permasalahan yang pelik tidaklah cukup mengandalkan energi cinta di Cakra
Anahata (hati). Tidaklah mengherankan jika ia mampu menerawang sejarah ke belakang dan
ke depan. Sungguh, baru memegang buku ini saja sudah terasa energinya yang dahsyat. Dan
ketika menyimaknya, betapa pertarungan antara cahaya dan kegelapan tergambar indah di
dalamnya.” (Rini Candra, Master Maha Yoga Kundalini Indonesia)

"Ingatan kolektif kita sebagai bangsa perlu distimuli dan direkonstruksi dengan berbagai
kisah sejarah dari bermacam-macam sudut pandang -- sebab dari sanalah kita dapat belajar,
tentang faktor-faktor pembentuk kejayaan, kejatuhan, dan di atas segalanya kebangkitan yang
perlu untuk membentuk sendiri sejarah kita dan anak-cucu kita. Sabda Palon menjadi sangat
berharga bagi kita, selain karena figurnya yang memang menarik untuk dicermati, juga
karena novel ini berusaha mengisi ruang-ruang yang hilang atau kurang tergali dalam
berbagai dokumen sejarah kita... tentang sebuah masa ketika sebuah kerajaan besar yang
tangguh dan sangat dikagumi kawan dan lawan, yaitu Majapahit, memasuki usia senjanya.
Saya menikmati sepenuhnya dan tak sabar menanti kelanjutan sepak terjang para tokohnya."
(Wandy Binyo Tuturoong - konsultan media dan aktivis demokrasi)

Membaca Sabda Palon, saya cukup terbawa suasana masa lalu tanah moyang kita yang konon
memang terkenal penuh dengan gegap-gempita ambisi, persaingan dan intrik. Kata ‘terbawa’
saya gunakan untuk merepesentasikan emosi selama membaca. Ada ketertarikan, juga
bangga, kadang miris, terharu dan seringkali penasaran, tidak percaya.

Sebagai manusia yang lahir di sekitar Trowulan, saya jadi sering berharap siapa tahu moyang
saya adalah salah satu ksatria gagah perkasa itu, syukur-syukur sang Raja atau Rani,
kalaupun tidak yaah keturunan Jaka Tarub dan Nawangwulan boleh lah.. (silahkan menghina
saya sambil ketawa guling-guling…).

Sejarah memang sudah mencatat, Nusantara di sekitar abad ke-14 adalah masa transformasi
yang begitu heboh. Tidak hanya transformasi kekuasaan dan politik (geografis), tapi juga
menyangkut transformasi spiritual dan ideologi. Bahkan Thailand sudah lebih dulu membuat
film kolosalnya yang melibatkan kata ‘Jawa’, salah satunya Queen Of Langkasukha (Ini juga
bisa jadi bahasa lain bahwa saya selalu pengen memfilmkan Majapahit dengan sebenarnya
dan belum kunjung berhasil…)

Novel Sabda Palon ini tampaknya bertumpu di sekitar itu, bermedium penyebaran awal
agama Islam serta kedatangan para saudagar dan ksatria China untuk lebih leluasa
mengatakan betapa Nusantara ini terbangun dari heterogenitas atau multi-culture. Lalu
hadirnya tokoh Sabda Palon dan Naya Genggong dengan agama Budi-nya menjadi begitu pas
seperti yang diinginkan penulis untuk mengkritisi fanatisme ideologi yang menggerogoti
bangsa ini sejak kejatuhan Majapahit hingga saat ini.

Siapapun Damar Shasanka, dia story-teller yang cukup berbakat. Cerita panjang dengan plot
yang sangat random bahkan seperti hampir tidak ada main-plot yang menjembatani
keseluruhan cerita kecuali satu benang merah; Majapahit, dia berhasil menahan saya untuk
tidak buru-buru mengalihkan perhatian saya ke Manohara dengan Sinetron Supergirl-nya itu
atau Sinetron lucu lain bertitel Anak Yang Tertukar atau apalah... Damar Shasanka juga
berhasil menyamarkan antara catatan sejarah, imajinasi dan mungkin hasil olah batin
penelusurannya dengan narasi-narasi licin yang cukup cerdas.

Akhirnya saya menamatkan buku luar biasa ini dengan beragam kecamuk di kepala ini.
Selain belum dapat kepastian siapa moyang saya, saya juga masih bodoh dengan hal-hal di
luar catatan sejarah dan imajinasi. Saya termasuk yang anti fanatisme berlebih apalagi sampai
membunuh ideologi lain yang berseberangan dengan saya. Tapi saya juga belum berani
menyimpulkan bahwa kejatuhan Majapahit dan keterpurukan bangsa ini hingga sekarang
adalah karena ideologi tertentu. Sebab jika terpuruk itu maksudnya setelah dibandingkan
dengan Amerika atau Jepang, saya punya ukuran sendiri. Satu hal, saya selalu bangga dengan
manusia yang bangga dengan tanah dan moyangnya sendiri dengan karya seperti ini. Semoga
karya-karya seperti ini terus berlanjut…

Lohh..! jadi moyang saya itu siapa ya…? (Sigit Ariansyah – Sutradara film)

Salah satu keunikan Sabda Palon adalah keintensitasannya dalam menghidupkan banyak
tokoh di dalam cerita. Tidak terjadi asimilasi karakter yang sering diderita oleh penulis-
penulis fiksi sejarah. Damar Shashangka bisa dikedepankan sebagai generasi baru penerus
Nyoman S. Pendit. (Pringadi Abdi Surya - Penulis)

Pertama mengenal Sabda Palon dari Grup SI, jatuh cinta dengan pupuh2nya, berharap
terwujud isi pupuh tersebut. Kemudian, ada yg post soal trilogi Sabda Palon, sangat menarik!
Inilah buku pertama yg kupunya tak melulu soal cinta. Sengaja kupesan ke mas Salahuddien
GZ. Terus terang aku takut suatu hari buku ini diberangus oleh mereka yg merasa
"tersinggung". Maklumlah, sedang marak premanisme ala FPI. Lembar awal kubuka, jujur
kaget! Ada silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit. Sempat terbersit:

"Wow alamat kapan-kapan ini sih beres baca-nya. Berat. Ditambah pupuh Pertama Bumi
Wilwatika, yg kuanggap sebagai prolog. Buset namanya jelimet semua, belom lagi ada
sempalan-sempalan silsilah di paragrafnya".

Tapi semua hilang, ketika memasuki pupuh Dua terus hingga pupuh terakhir. Champa,
Kamboja, Majapahit, semua menyihir aku, terlarut dalam alurnya. Rasanya gak rela buat
menutup buku disaat kumerasa pedih di mata. Suatu buku aku anggap berhasil penulisannya,
ketika aku bisa terlarut, bisa merasakan debar-debar ketegangan, merasakan terharu hingga
meneteskan air mata.

Yah, sedikit bocoran, aku meneteskan air mata pada saat Kidang Telangkas, bertemu bapa-
nya di hutan. Yah, aku bukan pe-review buku, cuma penikmat buku. Yang jelas aku
menunggu lanjutannya. Ketika sampai di pupuh terakhir, rasanya gak rela khayalan tentang
alurnya harus berakhir...

@Damar Shashangka : buku yg bagus, Damar Wulan…cmiiw... (Noni Rafael – Penikmat


Buku)

“Novel ini merupakan referensi utama tentang sejarah Kerajaan Nusantara Majapahit,
mengingat banyaknya data dan informasi valid yang tersaji di dalamnya, menggugah kita
untuk bangkit kembali setelah lama limbung akibat tercerabut dari akar adat dan budaya
bangsa.” (Ahmad Sinter Prawiraatmadja - pelestari kebudayaan Sunda)

“Selama ini, pemahaman kita tentang sejarah kejatuhan Majapahit begitu terfragmentasi.
Sangat beruntung kita memiliki Damar Shashangka, yang dengan apik menyatukan keping-
keping sejarah tersebut ke dalam sebuah cerita yang tidak saja memberikan pemahaman yang
utuh, melainkan juga menghibur urat estetis kita.” (Khrisna Pabichara - penulis)

Jarang ada novel yg bisa membuat saya betah membaca halaman demi halaman. Sabda Palon
inilah salah satunya. Penyajian cerita sejarah yg menarik! Jadi penasaran dg seri ke-2 dr
trilogi novel ini” (Deddy D'Teges – Pemerhati Sejarah)

“Hanya satu kata yg terucap stlh membaca SABDA PALON karya Damar Shashangka:
Dahsyat! Detailnya luar biasa. Seperti ditulis seorang saksi mata. Jika difilmkan, yg pantas
menggarapnya adlh Peter Jackson atau James Cameron. Serius!” (Fouad Sn – Alumni
Pondok Modern Gontor)

“Dengan cantiknya Sabda Palon mengajak kita sejenak menengok ke belakang, bukan untuk
bernostalgia, apalagi dendam, terhadap masa lalu, melainkan untuk menemukan jati diri kita
kembali sebagai bangsa besar Nusantara.” (Yudi Sayutogoyo, perupa)

“Buku ini membuat saya serasa memasuki rumah Nusantara masa silam yang penuh pintu.
Setelah memasuki pintu satu, saya dihadapkan pada banyak pintu lain yang menggoda untuk
dimasuki. Dan setelah memasuki pintu-pintu yang ditawarkan buku ini, pemahaman saya
tentang rumah Nusantara masa silam semakin benderang.”

(Bangun Widodo - penggemar buku sastra)

Gramedia Pondok Indah Jakarta menambah stock lagi dari pihak distributor karena
penjualan bagus.

Jaya-Jaya Nuswantara, Tetep Jaya Ngadeepi Bebaya!

Rahayu…!
Jumat, 29 April 2011
LAUNCHING NOVEL SABDA PALON, DAMAR
SHASHANGKA 26 MARET 2011, TROWULAN,
MOJOKERTO
Kalacakra terlihatv di kepala salah seorang penari Bali
Meditasi bersama di Kolam
Segaran pada pukul 00.00 WIB 27/03/2011

Cofe Break makan bersama


Dibelakang tempat acara

Mahawihara Mojopahit,
Trowulan, Mojokerto. Pagi hari 27/03/2011

TABLOID POSMO EDISI 621 6-13 APRIL 2011

Rubriek posmo-laput Halaman 06-07

Dari Diskusi Kebudayaan “Bertemu Leluhur” di Trowulan,


Mojokerto
Ketokohan Sabda Palon begitu diagungkan oleh orang Jawa. Ia disebut sebagai leluhur
sekaligus danyang Tanah Jawa Dwipa yang sosoknya diidentikkan Nabi Khidirnya Wong
Jowo.
angsa Indonesia terancam menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan identitas.

B Universalisme sebagai ekses keterbukaan informasi global telah meluruhkan nilai-


nilai identitas bangsa Indonesia. Masyarakat kini pun semakin menjauh dari nilai-
nilai luhur kebudayaan masa silam yang berakar pada tradisi dan sejarah.

Nah, realitas Indonesia sekarang itulah yang menjadi latar keprihatinan dalam
acara diskusi kebudayaan “Bertemu Leluhur” yang diselenggarakan oleh Komunitas Spiritual
Indonesia pada hari Sabtu (20/3) pukul 19.00 WIB – selesai di Café Amanah, Trowulan,
Mojokerto. Bustanus Salatin, salah satu panitia yang juga penggagas Komunitas Spiritual
Indonesia menyatakan bahwa acara ini adalah sebagai bentuk apresiasi sekaligus menguri-uri
budaya leluhur nusantara. Hal ini selaras dengan visi Komunitas Spiritual Indonesia,
komunitas yang berbasis di dunia maya (internet) dan mempunyai 11.000 anggota dari
seluruh Indonesia. Komunitas ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan melestarikan berbagai
bentuk kebudayaan dan keragaman Nusantara, sekaligus mencari solusi atas berbagai
persoalan bangsa dari perspektif kebudayaan.

Dalam acara yang dikemas dengan suasana santai, namun serius tersebut panitia
mempersiapkan sejumlah acara yang terangkai dalam bingkai kebudayaan dan nuansa
spiritual yang kuat. Acara dimulai dengan launching sekaligus bedah novel sejarah Sabda
Palon Kisah Nusantara Yang Disembunyikan. Sesi ini diawali dengan pembacaan macapat
dan Tembang Dhandhanggula yang ditembangkan oleh Dhamarjati Shashangka, penulis
novel sejarah itu. Dilanjutkan diskusi dan tanya jawab seputar novel sejarah yang mengulas
mitos Sabda Palon dan ramalannya tersebut.

Dalam diskusi tersebut Dhamarjati Shashangka mengelak novel sejarahnya tersebut


dikatakan fiktif belaka. Apa yang termuat dalam novel sejarahnya tersebut adalah fakta yang
didapatkannya dalam 10 tahun riset tentang Sabda Palon yang diperkuat dengan keyakinan
yang bersumber dari tradisi masyarakat Jawa.

Ia lalu membandingkan Sabda Palon dengan Nabi Khidir. “Mitos seputar Sabda Palon
hampir mirip dengan kisah Nabi Khidir. Sebagaimana sosok Nabi Khidir yang oleh umat
Islam diyakini kebenarannya, Sabda Palon pun begitu pula, nyata atau tidak, Sabda Palon
telah terpatri dalam memori masyarakat Jawa,” urai Dhamarjati.

Acara malam itu kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai keris. Dalam diskusi
yang menghadirkan pembicara dari paguyuban keris Semarang tersebut Komunitas Spiritual
Indonesia berusaha mengajak sekitar 150 orang yang hadir malam itu untuk mengenal dan
mencintai keris sebagai warisan leluhur. Karena keris bagi masyarakat Jawa tidak hanya
sekedar senjata, namun lebih dari itu adalah sebuah perwujudan akan kekuatan magis
sekaligus supremasi khasanah keilmuan Jawa.

Setelah diskusi tentang keris, acara berlanjut dengan diskusi yang mengangkat tema
“Indonesia ke Depan”.

Dalam sesi ini hadir sebagai pembicara Djatikusumo dari Padepokan Wangon Sumber
Nogo dan Turmudzi dari Paguyuban Kahuripan As Shirot. Dalam diskusi inilah rasa
keprihatinan akan nasib bangsa ini semakin menguat. Djatikusumo, spiritualis dari Malang
yang juga mantan anggota DPR RI ini menyatakan bahwa kondisi bangsa Indonesia saat ini
sangat kontras dengan catatan sejarahnya. Sejarah bangsa ini ditulis dengan kabanggaan dan
optimism melihat ke depan. Sedangkan Indonesia sekarang terpuruk dengan berbagai
persoalan yang seolah tidak pernah tuntas. Djatikusumo kemudian mengungkapkan bahwa
sebenarnya Nusantara, terutama Jawa telah disebut dalam kisah-kisah lama. Seperti halnya
kisah Hanoman mencari sebuah obat yang hanya bisa didapatkan di Jambudwipa, atau Jawa.
Hal tersebut membuktikan betapa Jawa dulu telah tersohor sebagai tanah kesuburan dan
kemakmuran.

Diskusi kebudayaan malam itu diakhiri dengan meditasi bersama di kolam Segaran
Trowulan. Acara meditasi tersebut dipimpin oleh Ibu Srikandi, Pemangku Pura Majapahit.
Meditasi tersebut adalah sarana bagi penyatuan dan komunikasi antara manusia sekarang
dengan leluhurnya. Meditasi tersebut sekaligus sarana penyejuk jiwa bagi peserta yang hadir
malam itu. Seperti yang diungkapkan oleh Budiyanto dari Sidoarjo, dia mengungkapkan
bahwa dirinya mengikuti acara tersebut karena merasa jenih dengan beban pekerjaan dan
rutinitas sehari-hari. Budiyanto yang bekerja disebuah perusahaan leasing mobil
mengutarakan harapannya. “Semoga dengan mengikuti acara ini saya menemukan kesejukan
hati, Mas,” ucapnya.

Acara yang berlangsung hingga dini hari tersebut memang dihadiri beragam kalangan
dari berbagai profesi dan domisili. Seperti mahasiswa, guru, pekerja formal, hingga pekerja
informal. Seperti halnya Wagimin, peserta yang berasal dari Banten. Petani yang berusia 50
tahun tersebut mengaku datang bersama empat orang temannya dengan naik kereta api. Dia
rela jauh-jauh datang ke Mojokerto demi mengikuti acara yang disebutnya bermanfaat bagi
bangsa tersebut sekaligus menuntaskan rasa penasarannya akan peninggalan Majapahit yang
masih tersisa di Trowulan.

Roh Gadjah Mada

Ada hal yang mengagetkan di sela-sela acara diskusi spiritual yakni sempat terjadi
goro-goro yang menimpa salah satu penari pengisi acara. Tiba-tiba penari itu berteriak
histeris dan membuat gerakan meronta sambil memukul-mukulkan tangannya ke lantai tak
lama setelah dua dan empat orang rekan penarinya selesai mempertunjukkan tariannya di
depan peserta diskusi.

Para penari yang dipimpin oleh Mika Ketut dari Bali tersebut memang dipersiapkan
sebagai salah satu pendukung acara malam itu. Para penari travesti tersebut membawakan
tarian yang bernama Sekar Jagat, sebuah tarian penyambutan dari Bali. Putu Arya, salah satu
penari, menyatakan bahwa baru kali ini salah satu penarinya kerawuhan setelah membawakan
tari sekar jagat. “Ini baru pertama kali terjadi, penari saya ada yang kerasukan setelah menari
Sekar Jagat,” ujarnya.

Menurut Ibu Srikandi, yang turut membantu melepaskan penari tersebut dari
kesurupan mengatakan bahwa kesurupan ini terjadi karena panitia lalai dalam
mempersiapkan perangkat upacara yang seharusnya ada dalam setiap acara yang berkaitan
dengan Majapahit seperti dupa. Dia kemudian menjelaskan bahwa penari tersebut kesurupan
arwah leluhur Majapahit. Hal ini dibenarkan oleh Putu Arya yang juga menangani kesurupan
tersebut. Dia menyatakan bahwa rekan penarinya di rawuhi oleh Gadjah Mada. “ Yang hadir
dalam tubuh teman saya tersebut adalah orang yang mengucap Sumpah Palapa. Dia hadir
karena marah atas tidak adanya perangkat upacara seperti dupa dan bunga yang menandakan
masyarakat sekarang telah lupa pada ajaran leluhur,” akunya kepada posmo. (RADITYA-
MG1)
ANTARA SEMAR, SABDA PALON DAN KALIJAGA

da yang luar biasa saat Komunitas Spiritual menggelar diskusi Bertemu Leluhur,

A terutama yang menyangkut jati diri Sabda Palon. Sosoknya dianggap masih
menyimpan misteri. Namun dalam masyarakat Jawa, ia sudah kadung digambarkan
sebagai tokoh yang konon usianya paruh baya dengan bahu yang lebar dan gemuk.
Janggut tumbuh di bawah bibirnya. Sedang di sekitar mulutnya, janggutnya dicukur
dengan rapi. Hidungnya mancung, menunjukkan berasal dari Jambudwipa Utara.

Dia bertelanjang sebatas pinggang sebagaimana kebiasaan seorang brahmana dalam


cuaca panas. Cara dia mengikat kainnya dengan lipatan di belakang menandakan darimana
dia berasal. Ikat pinggang yang rumit dengan bertahtakan batu permata dia kenakan sebagai
penanda bahwa dia adalah pejabat istana dengan pangkat penasihat.

Pakaiannya dirajut benang emas ditambah dengan gelang, anting, dan ikat pinggang
yang indah. Antingnya tampak sangat berat hingga menekan telinganya, bahkan anting itu
sampai dua kali mengoyak telinganya. Anting itu terbuat dari emas murni, logam yang
melambangkan kemurnian spiritual.

Dia abadi seabadi semesta dan sangat samar. Terkadang dia mewujud, lahir menjadi
manusia biasa. Dan tak ada yang tahu jika dia telah menyaru dalam tubuh manusia.

Jati Diri Semar

Gambaran di atas merupakan pemaparan Dhamarjati Shashangka terhadap tokoh


agung tanah Jawa itu. Meskipun novel sejarah, Dhamarjati sekali lagi menolak jika gambaran
atas Sabda Palon sebagaimana yang dia tafsirkan dari perjumpaan Sunan Kalijaga dengan
Sabda Palon.

Masih menurut Dhamarjati, Sunan Kalijaga adalah orang yang pernah bertemu
dengan Sabda Palon. Tokoh lain yang juga pernah bertemu dengannya adalah Syekh Subakir
danSyekh Siti Jenar. Perjumpaannya dengan Sabda Palon itulah yang menginspirasi Sunan
Kalijaga untuk membuat sosok Semar dalam pewayangan Jawa baru. Sosok Semar
sebenarnya adalah personifikasi atas sebuah kecintaan pada ilahi yang teramat sangat.

“Sebagaimana arti Semar yaitu sem sem ing samar, tergila-gila pada yang melampaui
nalar,” tutur Dhamarjati.

Lebih lanjut Dhamarjati kemudian menjelaskan bahwa Sabda Palon sebenarnya telah
tergurat dalam memori masyarakat Jawa sejak dulu. Dalam setiap candi yang memuat relief,
pasti ada sosok Sabda Palon yang digambarkan dengan punakawan tambun yang berdiri
dibelakang. Meskipun Dhamarjati sendiri mengaku tak tahu persis siapa sebenarnya nama
aslinya. Namun nama Sabda Palon sendiri sudah menunjukkan makna, yaitu ketetapan yang
tak tergugat.

Pertemuan antara Sabda Palon dengan Sunan Kalijaga disebut dalam serat Sabda
Palon. Sunan Kalijaga bertemu dengan Sabda Palon dan Naya Genggong yang saat itu tengah
mendampingi Prabu Brawijaya. Dalam perjumpaan tersebut, Prabu Brawijaya yang saat itu
sudah memeluk Islam mengutarakan maksudnya pada Sabda Palon dan Naya Genggong agar
mengikuti jejaknya memeluk Islam. Namun Sabda Palon menolak. Dia justru mengucap janji
bahwa lima ratus tahun kemudian akan muncul agama Budhi yang akan menggantikan agama
di Jawa. Saat itu tiba seluruh penduduk Jawa akan beragama Budhi, siapapun yang menolak
akan menjadi tumbal makhluk halus. Sebagai tanda teguh janjinya itu akan muncul pertanda.
Pertanda itu adalah jika Gunung Merapi memuntahkan laharnya kearah barat daya.

Melihat kisah diatas, Dhamarjati menegaskan bahwa sebenarnya Sabda Palon


bukanlah sosok yang anti-Islam. “Jika dia tidak suka pada Islam, tentu dia akan menolak
Sunan Ampel menyebarkan agamanya di Majapahit,” alasannya. Sabda Palon saat itu hanya
resah atas telah terpecahnya Islam menjadi kelompok-kelompok yang saling menyalahkan.
Seperti halnya Islam abangan dan putihan. Dengan kondisi demikian, maka Islam telah
berubah menjadi kekuatan politik, bukan lagi ajaran keilahian.

RAMALAN MUNCULNYA AGAMA BUDHI

TAHUN 2056, NUSANTARA JAYA

Berbagai prahara yang menimpa bumi pertiwi berupa bencana alam dan kemanusiaan dating
silih berganti. Terawang kalangan tokoh sesepuh yang waskitha, menangkap adanya misteri
yang menyelimuti hadirnya berbagai bencana ini. Lalu apakah yang sesungguhnya terjadi di
Nusantara ini ?

ANYAK jawaban yang muncul di hati nurani bangsa ini. Rakyat pun seakan bisa

B membaca, jika Indonesia sekarang berada di lembaran suram yang mengguratkan


kepedihan karena luka dan putus asa. Birokrasi yang lamban dan korup, sistem dan
lembaga peradilan yang tak berpihak pada kebenaran, pemerintah yang abai akan
kesejahteraan rakyatnya, dan ulah sebagian kelompok yang mencederai nilai
kehidupan bernegara menjadi tema utama yang tersaji dan membentuk jalinan cerita
yang memenuhi lembaran itu. Belum lagi serentetan bencana yang terjadi dewasa ini, tsunami
Aceh, gempa Yogyakarta, bencana Lumpur Lapindo Sidoarjo, meletusnya Merapi serta
bencana-bencana lain yang silih berganti menghiasi pemberitaan media massa seolah
menunjukkan tanda kemurkaan alam atas Indonesia.

Nah, melihat berbagai hal itu, pertanyaan segera muncul, apa yang terjadi dengan
Indonesia. Dhamarjati Shashangka, spiritualis sekaligus penulis novel sejarah Sabda Palon
menyatakan bahwa saat ini adalah sebuah masa ramalan Sabda Palon akan mendekati
kenyataan. Ramalalan Sabda Palon adalah sebuah ramalam tentang akan datangnya agama
dan tatanan baru di Jawa yang akan menggantikan tatanan yang lama.

Agama Budhi

Dhamarjati kemudian menjelaskan bahwa segala yang terjadi dengan Indonesia saat
ini sesuai dengan tahapan ramalan Sabda Palon. Seperti halnya tsunami Aceh yang sudah
teramalkan oleh Sabda Palon dengan kata-kata alon munggah ning daratan.

Bencana adalah mekanisme alam yang terjadi ketika kesadaran kemanusiaan telah
menurun. Bencana-bencana tersebut akan terus berlanjut hingga muncul dan menguatnya
kembali ajaran/agama Budhi di Indonesia. “Ajaran Budhi tersebut kini telah muncul dan akan
mencapai puncaknya pada tahun 2056,” tutur Dhamarjati. Hal itu sesuai dengan ucapan
Sabda Palon yang menyatakan bahwa agama Budhi akan menguasai kembali Jawa kira-kira
500 tahun lagi. Ramalan Sabda Palon tersebut dikeluarkan pada tahun 1478 M atau 1400 S.
Dan sesuai dengan ramalannya, munculnya agama Budhi akan diiringi dengan bencana yang
silih berganti dan tidak terelakkan oleh bangsa Indonesia sekarang.

Hadirnya agama Budhi tersebut menurut Dhamarjati nantinya tidak akan


menyingkirkan agama-agama lain. Agama-agama yang ada sekarang tetap akan ada karena
agama Budhi adalah sebuah konsep tentang kesadaran bahwa agama adalah sekedar busana
untuk menuju keilahian. Agama Budhi pula yang menjadi tatanan baru Indonesia yang
menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Djatikusumo. Mantan anggota
DPR RI ini menyatakan bahwa 500 tahun setelah Sabda Palon mengucap ramalannya,
metode filsafat baru akan muncul yang akan melandasi tatanan dunia baru. Ajaran tersebut
akan menyisihkan pengaruh kapitalisme dan komunisme yang mewarnai dunia sekarang ini.
Padahal tatanan kapitalisme sekarang inilah yang disebutkan dalam ramalan Jayabaya,
Anenangi zaman edan, yen ora ngedan ora keduman. Tatanan baru itu akan lahir di Indonesia
yang menjadikan Indonesia akan menjadi pemimpin dan penuntun bangsa-bangsa di dunia
hingga tahun 3000. Namun sedikit berbeda dengan penafsiran Dhamarjati Shashangka,
Djatikusumo meyakini bahwa ramalan tersebut telah mulai mewujud pada tahun 1945 dan
hingga kini akan semakin mendekati kenyataan.

Namun, sebelum kemakmuran dan kesejahteraan terwujud, Indonesia akan


mengalami berbagai bencana terlebih dahulu. Bencana-bencana tersebut akan menempa
Indonesia menjadi bangsa yang besar. “Sebelum ramalan tersebut terwujud Indonesia akan
mengalami sakit terlebih dahulu hingga terhimpit langit,” tuturnya.

Djatikusumo kemudian mengingatkan orang Jawa untuk tidak melupakan Jawanya,


Jawa sebagai peradaban, keluguan, dan kebenaran. Tirakatan dan sesajen pun tidak boleh
ditinggalkan karena keduanya adalah sarana komunikasi antara yang sekunder yaitu manusia
dengan yang primer yaitu yang tak kasat mata. Komunikasi tersebut sangat penting untuk
menciptaan sinergi antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta)
sebagaimana dahulu leluhur bangsa ini melakukannya.

Djatikusumo yakin bahwa ramalan Sabda Palon itu akan terwujud dan Indonesia akan
melewati semua bencana ini. Sejarah membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang
besar yang tercatat dalam sejarah dunia.

“Indonesia dan Jawa adalah miniatur dunia,” tuturnya. Dari tanah inilah segala ilmu
pengetahuan sebenarnya bersumber. Dan ilmu yang sekarang berkembang di seluruh dunia
adalah secuil dari ilmu di Nusantara. (RADITYA-MG1)

Catatan : Tabloid POSMO keliru mencantumkan nama Damar Shashangka menjadi


Dhamarjati Shashangka.
JAKA TARUB DAN DEWI NAWANGWULAN (1)
Babad Tanah Jawi, Balai Pustaka, 1939-1941

Bale Pustaka - Batawi Sèntrêm 1939

Diterjemahkan oleh :

Damar Shashangka

2011

Bagian 1

Pupuh 13

Dhandhanggula

1) Datatita lingira ing nguni | wontên malih ingkang cinarita | kang tinutur sajarahe | Ni
Wulanjar ing Tarub | Pan kalangkung kawêlasasih | Satilare kang raka | tansah agung wuyung |
Kang dadya paraning brôngta | Ni Wulanjar ing Tarub dahat kapingin | wruh rasaning sêsuta ||

Selanjutnya pada jaman dulu, ada tersebut sebuah kisah, sejarah dari, Ni Janda di Tarub, Sangat-
sangat memelas, semenjak meninggalnya sang suami, disebabkan sangat besar keinginannya.
Keinginan hati, dari Ni janda di Tarub, adalah rindu untuk memiliki seorang putra.

2) Duk ing nguni maksih ri kang laki | Nyai Rôndha dèrèng asêsuta | kasêlak tilar kakunge |
Marmanya ya kalangkung | Nyai Rôndha dera prihatin | lali boga myang nendra | dahat dera
nêkung | Samana gya tinarima | de Hyang Suksma ing malêm Anggara Kasih | madya ratri
wayahnya ||

Dulu ketika suaminya masih hidup, Nyai Janda belum dikaruniai anak, terburu meninggal sang suami.
Oleh karenanya sangat-sangat, didera keprihatinan Nyai Janda. Hingga lupa makan dan tidur,
sungguh-sungguh memohon. Waktu itu diterima (permohonannya) oleh Hyang Suksma tepat di
malam Anggara Kasih (Selasa Kliwon), menjelang tengah malam.

3) Anon cahya padhang anêlahi | Ni Rôndha prênah dhepok kang raka | patapane duk gêsange
| ni rôndha kagyat dulu | ya ta nuli dipun parani | dhatêng ing Nyai Rôndha | gyan cahya kadulu
| saking liwunge kang manah | Ni Wulanjar tan ana dèn kawêdèni | Ri sapraptaning kana ||

Terlihat cahaya terang menyilaukan. Ni Janda tengah duduk dipadepokan almarhum suaminya,
tempat bertapa dulu saat sang suami masih hidup. Ni Janda terkejut melihat, segera dicari, oleh Nyai
Janda, tempat dimana terlihat cahaya tersebut. Didera rasa penasaran, Nyi Janda tidak lagi merasa
takut. Sesampainya disana.

4) Nyai gêdhe pan kagyat mulat ing | dening ana jabang bayi lanang | sasor giyanti ênggone |
Gya pinaranan gupuh | unggyan ingkang ri jabang bayi | ya mring nyai wulanjar | nulya glis
sinambut | kang jabang bayi ingêmban | mring Ni Rôndha saksana binêkta mulih | dhatêng ing
wismanira ||

Terkejut Nyai Gêdhe begitu melihat, seonggok bayi lelaki, tergeletak dibawah (pohon) giyanti.
Tergopoh segera didekati, tempat dimana jabang bayi berada, oleh Nyi Janda. Lalu segera diambil,
dan sang jabang bayi digendong, oleh Nyai Janda lantas dibawa pulang, ke rumahnya.

5) Ri sapraptaning wisma tumuli | Ni Rôndha langkung bingah ing nala | Anulya wêwêdhak age
| apilis kunir apu | Mangkah-mangkah pambayun kalih | lwir bêbêle Ni Rôndha | Karsaning
Hyang Agung | dinulur ing sakarsanya | Nyai Rôndha saluku dènya alinggih | sutanya
sinusonan ||

Sesampainya di dalam wisma, Ni Janda sangat gembira dalam hati. Segera memakai bedak,
mengenakan pilis kunir apu (ramuan khusus bagi wanita setelah menjalani persalinan dan dioleskan
didahi). Mendadak payudaranya meranum, penuh payudaranya oleh air susu. Sudah menjadi
kehendak Hyang Agung, dikabulkan keinginannya. Nyi Janda duduk berselonjor kaki, lantas
menyusui anak barunya.

6) Ri saksana byar raina nuli | têtanggane pra sanak Ni Rôndha | miyarsa tangising rare |
anulya samya rawuh | atêtinjo mirsa bêbayi | Kagyat angling ing nala | kapanane iku | wawrat
dene apêputra | baya sapa rencange apulangrêsmi | dahat gawok tumingal ||

Ketika pagi menjelang, semua tetangga dan saudara Ni Janda, yang mendengar tangis bayi, segera
datang, menilik untuk melihat sang bayi. Terkejut dan berkata dalam hati, Kapan mula, mengandung
hingga sekarang sudah memiliki putra? Siapakah teman bersenggamanya? Didera keheranan semua
yang melihat.

7) Ri kang têbah pra sanak pan prapti | atêtinjo mring nyai wulanjar | samya bêkta samêktane |
Ri kang bêbayinipun | nusu lamun ana têtami | ywan tan ana dhatêngan | pan tan arsa nusu |
nanging jêmpoling astanya | kang dèn susu kacarita sapta ari | padhang anglir raina ||

Mengelus dada para saudara yang datang. Yang menilik Nyai Janda, segera membawa bingkisan
seadanya. Sedangkan sang bayi, hanya mau menyusu jika ada tamu datang. Jika tak ada tamu yang
datang, tidak mau menyusu, akan tetapi ibujarinya yang dimasukkan, dalam mulut Tersebutlah tujuh
hari sudah, terang bagaikan siang.

8) Soroting cahyaning jabang bayi | ri kang madhangi wismèng ni rôndha | dadya tan ana
wêngine | Nyai Rôndha ing Tarub | salaminya darbe bêbayi | kathah darajatira | myang rijêkinya
gung | ri sakwèhnya kang umulat | jalu èstri ring jabang bayi wlas-asih | saha kacaryan mulat ||

Sorot cahaya dari jabang bayi, menerangi wisma Ni Janda, sehingga tidak pernah ada malam. Nyai
Janda di Tarub, setelah memiliki bayi, banyak mendapatkan keberuntungan, besar rejekinya. Semua
orang yang melihat, lelaki maupun perempuan kepada jabang bayi merasa sayang, sungguh beda
sikapnya.

9) Tan warnanên laminya ing mangkin | jabang bayi umur pitung warsa | dadya panutan
rarywakèh | Ki Jaka bawanipun | rare cilik apan padha sih | tut wuri mring Ki Jaka | karyanya
nênulup | angambil kinjêng kandhêla | sabên dina rarywakèh kang anut wuri | samya sih mring
Ki Jaka ||

Tidak diceritakan waktu yang berjalan, jabang bayi sudah berusia tujuh tahun, menjadi panutan rakyat
banyak, Ki Jaka namanya. Semua anak sangat menyayangi, senantiasa mengikut Ki Jaka.
Kegemarannya menyumpit, mencari belalang besar. Setiap hari rakyat banyak yang ikut, dan
menyayangi Ki Jaka.

10) Samana Ki Jaka aprihatin | sing gènnya ngarsakkên tulup ika | mila tan dhahar tan sare |
Kawarnaa ring dalu | kae Jaka sare naritis | anèng patapanira | ramanya karuhun | wayahe
bangun raina | wontên dêmon sumaladhang ngulon guling | asangkoh ujung lanang ||

Kala itu Ki Jaka tengah bersedih, dikarenakan besarnya keinginan untuk memiliki sumpit bagus, oleh
karenanya tidak makan dan tidur. Tersebut disuatu malam, saat Ki Jaka tidur diluar, di bekas
pertapaan, ayah pungutnya dahulu, menjelang pagi hari, mendadak tergeletak sumpit disebelah barat
tempatnya tidur, dengan besi tajam diujungnya.

11) Dyan cinandhak mring Ki Jaka aglis | punang dêmon aponthang kancana | Ki Jaka bungah
manahe | Enjing kesah nênulup | rare kathah samya tut wuri | Sabên dina mangkana | mantuk
lamun surup | Samana saya diwasa | kae Jaka ngumur kawan wêlas warsi | maksih rêmên
mangkana ||

Segera diambil oleh Ki Jaka. Sumpit tersebut berhiaskan kencana. Ki Jaka senang dihati, Keesokan
harinya pergi berburu, banyak anak yang ikut dibelakang. Begitulah kegiatannya setiap hari, pulang
jika sudah sore. Semakin bertambah besar, Ki Jaka berusia empat belas tahun, kegemarannya tetap
tidak berubah.

12) Nyai Rôndha sangêt mituturi | mring kang putra Lah sira kramaa | apan sira wus agêdhe |
marènana nênulup | akramaa nak ingsun gusti | lah sira pilihana | parawan ing Tarub | pra
tuwin Warung Sêsela | pilihana Ki Jaka umatur aris | Ulun ibu lênggana ||

Nyi Janda memberikan nasehat, Sudah saatnya dirimu menikah. Dirimu sudah besar, berhentilah
berburu dengan sumpit. menikahlah wahai anakku. Pilihlan, perawan di Tarub, anak para saudagar,
pilihlah. Ki Jaka menjawab pelan, Hamba belum berkeinginan, ibu.

13) Kala ing mangke tan arsa krami | maksih rêmên nênulup mring wana | wikana ibu ing
têmbe | Ibunira lingnya rum | Lah ta apa kang sira anti | lah sira wus winayah | ala ucapipun |
yèn sira tan akramaa | apa sira nganti rabi widadari | ora karsa manusa ||

Untuk menikah saat ini. Hamba masih suka berburu ke hutan,. Mohon ibu memahami. Sang ibu
berkata manis, Apa lagi yang kamu tunggu. Sudah waktunya menikah. Buruk ucapan orang, jikalau
dirimu tidak segera menikah. Apakah dirimu menunggu untuk bisa menikahi seorang bidadari, dan
tidak mau menikah dengan manusia?

14) Kae Jaka aturira aris | Ibu sampun age kita duka | ing benjing pintên dangune | Nyai
Rôndha amuwus | Yèn mêngkono ta sira kaki | rêmên asaba wana | nanging wêkas ingsun | aja
munggah ing prawata | lamun sira kaki anênulup paksi | iku ta pangalapan ||

Ki Jaka menjawab sopan, Ibu janganlah marah, tidak akan lama lagi. Nyai Janda berkata, Jikalau
memang dirimu, masih suka bermain ke hutan, pesanku, jangan naik keatas bukit, saat kamu berburu
dengan sumpit. Disana tempat para makhluk halus.

15) Ri sampunnya mangkana sira glis | Ki Jaka kesah dhatêng ing wana | ya ta nênulup
karyane | Ya ta saya andarung | lampahira tan manggih paksi | saya kalunta-lunta | supe
wêkasipun | sigra minggah mring prawata | Kae Jaka tan manggih pêksi satunggil | Mangkana
cinarita ||

Sesudahnya segera, Ki Jaka pergi ke tengah hutan, menikmati kegemaranya menyumpit. Semakin
lama masuk, tidak juga ditemukan seekor burung pun. Terlunta-lunta sehingga lupa pesan ibunya.
Naik ke atas bukit. Namun tidak juga didapati seekor burung pun. Diceritakan.

16) Wontên paksi endah ingkang warni | pinaranan dhumatêng Ki Jaka | akarsa tinulup age |
Punang pêksi dyan mabur | mencok ing pang dènya angalih | anulya ingangkatan | tinulup dan
mabur | Ki Jaka langkung kacaryan | tinut wuri wau saparaning paksi | ya ta kalunta-lunta ||

Terdapat seekor burung yang indah, didekati oleh Ki Jaka, hendak disumpit. Burung segera terbang,
hinggap didahan, Diangkatnya sumpit segera, disumpit namun kembali terbang. Ki Jaka sangat-
sangat heran, diikuti kemanapun burung terbang, terlunta-lunta jalannya.

17) Sangsaya nêngah manjing wanadri | tinut wuri paksi mring Ki Jaka | gya manjing ing wana
gêdhe | adoh lor adoh kidul | punang paksi ical tan kèksi | Nênggih têngahing wana | wontên
sêndhangipun | kang sêndhang wêning gumilang | kacarita padusaning widadari | Gara Kasih
têkanya ||

Semakin masuk ke dalam hutan, tetap diikuti burung tersebut oleh Ki Jaka, tak terasa masuk sudah
dalam hutan besar, jauh dari perkampungan penduduk. Burung hilang tak tahu kemana. Ditengah
hutan, terdapat danau, sangat-sangat jernih airnya, konon tempat tersebut adalah pemandian
bidadari, setiap Anggara Kasih (Selasa Kliwon) mereka senantiasa datang kesana.

18) Wau nuju dinanggara Kasih | kang widadari nuju asiram | ing awang-awang sangkane |
swaranira kumêrud | kae Jaka garjitèng ati | iki swaraning apa | ing luhur kumêrud | Dyan
widadari tumêdhak | mring talaga Ki Jaka dhêdhêp tan angling | sarwi ampungan wrêksa ||

Hari itu tepat hari Anggara Kasih, para bidadari tengah mandi, turun dari angkasa, ramai suaranya. Ki
Jaka berkata dalam hati, suara siapakah itu, dari atas ramai terdengar. Para bidadari turun, kearah
danau dan Ki Jaka bersembunyi tanpa mengeluarkan suara, dibalik pepohonan besar.

19) Nulya cucul ingkang widadari | kasamêkan sinjang lan rasukan | ambyur ing we siram
kabèh | ganti kosokanipun | pambayunnya lir cêngkir gadhing | pindha wintang sinêbar |
pancoroting banyu | Ki Jaka kenyut ing nala | tansah sabil ing nalanira pribadi | Ki Jaka
anggarjita ||

Melepas busananya para bidadari, tanpa memakai sinjang (kêmben) dan busana apapun,
menceburkan diri ke dalam air. Saling menggosok tubuh temannya, payudaranya bagaikan kelapa
cêngkir gadhing (kepala kecil yang berwarna kuning), bagai bintang yang bersebaran, ditengah
jernihnya air. Ki Jaka terhanyut dalam hati, senantiasa menahan diri. Mendadak berkehendak dalam
hati.

20) Arsa nyêlêr sinjang myang kulambi | Ki Jaka mara sarwi anglungsar | angula dumung
lampahe | nulya inguthik sangkuh | ri kang sinjang lawan kulambi | saha kasamêkannya | Wus
kêna sinambut | mêhêng busana saangga | kang dèn ambil kêkêmbên sinjang kulambi |
binêktèng mantuk wisma ||

Ingin mencuri sinjang (kêmben) serta busana. Ki Jaka mendekat sembari mengendap-endap, bagai
ular tingkahnya. Lantas digapai dengan ujung sumpit, sinjang (kêmben) dan busana, serta perhiasan
lainnya. Terambil sudah, busana lengkap sekujur badan. Semua yang telah berhasil didapat, segera
dibawa pulang ke wisma.

21) Sapraptane ing wisma tumuli | kasêmêkan sinjang lan rasukan | nulya sinimpênan age |
anèng dhasaring lumbung | Kae Jaka wangsul tumuli | ambêkta kasêmêkan | lawan
sinjangipun | sigra wangsul dhatêng wana | Sampun praptèng talaga têngah wanadri | Ki Jaka
ling-alingan ||

Sesampainya di wisma, seluruh busana, segera disimpan, didasar lumbung. Lantas Ki Jaka kembali,
sembari membawa busana, beserta sinjang yang lain, kembali ke tengah hutan. Sudah tiba di pingir
danau tengah hutan, Ki Jaka bersembunyi.

22) Kang asiram pêpakan pan maksih | sami cêciblon eca kosokan | agênti lawan rowange |
adangu dènya adus | tanpa nyana lamun dèn intip | Ya ta sira Ki Jaka | sigra watuk-watuk |
Saksana kagyat kabèhnya | widadari umulat mring sang apêkik | samya mabur mring wiyat ||

Yang tengah mandi masih lengkap semua, masih bermain-main air dan saling membersihkan
punggung temannya, bergantian satu sama lain. Lama mereka mandi, tidak menduga jika diintip. Ki
Jaka segera mengeluarkan suara batuk, seketika terkejut semua, bidadari serempak menatap kearah
sang tampan, berkelebat terbang ke atas angkasa.

23) Umantuk mring kayanganirèki | Apan ana ya kari satunggal | anuju kang pangarsane |
maksih anèng jro ranu | ingkang ilang bwaksananèki | Dèwi Anawangwulan | ri kêkasihipun |
maksih akungkum jro toya | ri warnanya lêwih samèng widadari | lwir sasôngka cahyanya ||

Pulang ke kahyangan. Ada satu yang tertinggal, termasuk pemimpinnya, masih ada didalam air,
dialah yang kehilangan busananya, Dewi Anawangwulan, namanya. Masih juga tetap berendam
didalam air, sangat cantik sang bidadari, bagai cahaya rembulan.
24) Ki Jaka Tarub agya marani | sarya angling alon ri wuwusnya | dahat tambuh patakone |
Inggih kita mbok ayu | lah ring pundi pinangkèng nguni | sintên sinambat nama | angum
jroning ranu | lah kita punapa karya | dahat lawas ulun iki aningali | lah kita sajarwaa ||

Ki Jaka Tarub segera mendekat, sembari berkata pelan, dengan menenangkan diri. Wahai cantik,
darimakah asalmu? Siapakah namamu? Mengapa berendam didalam air? Apa yang tengah kamu
lakukan? Telah lama aku melihatmu, jawablah segera pertanyaanku.

25) Sang Dyah Ayu angling asmu nangis | Pan ingsun iki dudu manusa | widadari sayêktine |
Nawangwulan ran ingsun | Ingsun adus ing tlaga iki | tinilar mulih ingwang | maring rowang
ingsun | kagyat ana janma prapta | janma edan akarya kagyating galih | mijile rowang ingwang
||

Sang Dyah Ayu menjawab sembari menangis, Diriku ini bukan manusia, aku bidadari, Nawangwulan
namaku. Diriku mandi di danau ini, ditinggal pulang, oleh teman-temanku, karena terkejut melihat
seorang manusia lelaki, manusia gila yang membuat hati mereka terkejut, dan membuat pulang
semua temanku.

(Bersambung)

(28 Mei 2011, by Damar Shashangka)

Anda mungkin juga menyukai